Wednesday, December 31, 2008
Pengembangan Ekonomi Daerah Sawit
Sudah waktunya lebih serius mengembangkan industri hilir sawit yang beraneka. Pengusaha masih tergiur untuk ekspor CPO semata, apalagi disaat harga pasaran dunia tinggi. Pada saat harga merosot seperti saat ini, baru terasa bahwa ketergantungan pada ekspor ada batasnya.
Seharusnya momentum saat ini dipakai untuk mengevaluasi. Industri hilir sawit yang beragam itu tepat untuk menciptakan lapangan kerja yang luas.
Saat ini yang berkembang baru industri minyak goreng. Belakangan untuk bio-energi juga mulai dikembangkan, tapi masih bersifat coba-coba. Yang lain masih terbuka peluang pasarnya sesungguhnya. Peluang pasar domestik masih sangat luas.
Pada tahun 2007 produksi CPO mencapai 17,2 juta ton, diperkirakan menjadi 18,8 juta ton pada 2008. Sementara pasar domestik hanya menyerap 4,5-5 juta ton CPO per tahun. Sebagian masih untuk minyak goreng.
Bagaimana mendorong dan memfasilitasi industri di daerah, melibatkan perguruan tinggi, lembaga penelitian untuk berinovasi mengembangkan industri hilir tersebut. Perlu model Fadel Muhammad yang gigih mengembangkan agro industri berbasis jagung, untuk daerah penghasil sawit.
[Risfan Munir, Local Economic Development Planner]
Wednesday, November 12, 2008
Wisata Kerajinan di Yogyakarta
Buku ini layak menyandang judul wisata kerajinan, karena keseluruhan 96 halamannya tampil berwarna dan berfoto. Membaca buku ini kita diajak berwisata, mulai dari mengenal transportasi menuju Yogya. Lalu memilih penginapan, dari yang kelas melati hingga hotel berbintang. Pilihan moda transpor dalam kota, serta tempat bersantap.
Mulai mengunjungi sentra-sentra, dimulai dari Kotagede yang menyajikan pesona kilauan kerajinan peraknya, berlanjut ke Desa Gamplong yang menyajikan kerajinan tenun khas. Ke Malangan, yaitu desa wisata kerajinan anyaman bambu. Sentolo yang menawarkan kerajinan serat tumbuhan. Dan, Lemah Dadi yang desa ukiran batu.
Pilihan selanjutnya ialah ke Karebet yang memproduksi batik kayu yang unik. Di lanjutkan melihat sentra kerajinan tatah di Sungging. Ke Giriloyo melihat batik asli Yogyakarta, atau mencari keris di Banyu Sumurup.
Bisa juga ke Manding pusatnya industri kulit di selatan Yogya. Serta ke Kasongan, yang ternyata bukan hanya menjual gerabah. Dan, seni keramik yang juga ada di Pundong. Atau berburu kerajinan anyaman di Beringharjo, yang kaya pilihan batik juga. Serta Pasar Seni Gabusan yang menyajikan segala rupa kerajinan.
Bagi pemburu furnitur dan interior, ada Bab khusus berjudul ”Mari Berburu Furnitur!”
Nimat nian berwisata melalui buku ini, karena selain dilengkapi foto berwarna, juga penjelasan ringkas tapi informatif, termasuk sejarah ringkas sentra tersebut, apa ciri khas produk kerajinannya, serta latar budayanya. Kalau lagi malas baca, melihat-lihat fotonya saja sudah bisa punya gambaran apa yang kita dapat dari situ. Mengenai harga, ini memag bukan bukan katalog barang, jadi ada rentang harga di sana-sini, cukup untuk tahu itu level harganya di lapis mana.
Secara keseluruhan desain buku ini bagus, ukuran dan penataan foto-foto yang harmonis, enak dilihat. Ini mungkin didukung latar belakang kedua kaka beradik ini sebagi kontributor Tabloid RUMAH. Hanya kalau boleh dibilang kekurangannya, penulis tidak menyertakan Peta Kota Yagya, atau setidaknya orientasi lokasinya. Namun kekurangan ini ditutupi oleh adanya daftar alamat tiap sentra kerajinan, lengkap dengan nomor telpon tempat, dan HP contact personnya.
Data Buku: B. Anindyaning Pratisari dan C. Antari Pratista, ”Wisata Kerajinan Yogyakarta: 19 Sentra Layak Dikunjungi, 35 Barang Layak Dibeli,” Prima Media. September 2008.
Wednesday, October 08, 2008
Kepedulian Pemda pada Pengembangan Ekonomi
Mengenai banyak Pemda yang tidak aktif memajukan daerahnya, sebetulnya kebanyakan mengurusi, tapi masalahnya seringkali sangat sektoral, masing-masing Dinas punya program dan prioritas yang tidak saling mendukung. Masalah klasik juga. Misalnya, Dinas Pertanian membina petani apel, jeruk, jahe atau lainnya tapi masalahnya perlu ada agro-industri untuk pengolahannya. Sementara itu Dinas Perindustrian dan Perdagangan mengurusi komoditas yang lain. Dinas Koperasi & UKM lain lagi yang dibina.Sementara dari Dinas Pendapatan Daerah (DPKD) malah meningkatkan retribusi disitu. Tidak ada kesatuan pendapat soal jenis komoditas apa yang akan diprioritaskan, sehingga semua upaya difokuskan ke situ.
Friday, September 26, 2008
Land Economic
Lahan pekotaan jumlah atau luasnya relatif terbatas, sedangkan
permintaan potensial meningkat terus. Akibatnya harga cenderung naik.
Harga terus naik itu telah menjadi asumsi umum di masyarakat dan
di'teguh'kan pengembang. Padahal di sisi permintaan tiap saat bisa
saja menurun, karena menurunnya daya beli. Income warga yang bisa
disisihkan (disposable) menurun. Ini bisa karena inflasi, atau naiknya
harga rumah, naiknya suku bunga, dst.
Permasalahan bisa timbul jika para pengembang terus 'meniupkan' iklan
secara berlebihan, ditunjang dengan sektor perbankan dan keuangan yang
juga mendorong penyerapan kredit (KPR, konstruksi) yang sedang
overliquid. Akibatnya, pasar atau konsumen dibujuk secara berlebihan,
bahkan sampai syarat penerima kredit juga dilonggarkan secara kurang
hati-hati. Akibat selanjutnya, potensi kredit macet tinggi. Kondisi
bubble economy ini bisa membahayakan sektor keuangan dan ekonomi
secara keseluruhan.
Di negara maju seperti USA, kecenderungan tak wajar tersebut bisa
tidak segera dirasakan masyarakat karena disana tiap KPR (mortgage)
dijaminkan kepada lembaga keuangan sekunder, yang juga 'menjualnya' ke
pasar hutang. Dengan kondisi bubble yang kian membengkak tanpa
kontrol, akhirnya besarnya kredit KPR yang macet kian tak
tertangguhkan. Maka terjadilah tragedi subprime mortgage yang
gelombang ikutannya (tsunami) akhirnya merontokkan raksasa keuangan
dan mengguncang sistem keuangan pada umumnya.
Kembali ke pangkal soal, yaitu karena penilaian dan pricing yang tak
wajar atas tanah perkotaan. Serta asumsi bahwa permintaan riil selalu
naik. Ini juga mengingatkan bahwa jika sektor riil lainnya sulit
bergerak (karena berbagai kendala) maka sektor keuangan cenderung
menggelontorkan likuiditasnya ke sektor (real) property. Hal terakhir
ini dapat dibuktikan dengan tren aktifnya kelompok bank yang terjun di
sektor (real) property.(Risfan Munir)
Saturday, September 13, 2008
Memahami Makassar
Yang jelas hinterland Makassar adalah penghasil komoditas ekspor yang masih handal seperti kakao, kopi, rumput dan lainnya. Mereka adalah masyarakat ekonomi yang justru beruntung saat harga komoditas dunia sedang naik, saat nilai rupiah merosot. Dan, mereka mengapalkan produknya, menginvestasikan dan membelanjakan uangnya di Makassar. Ada juga industri semen tak jauh dari situ.
Jadi perannya sebagai kota pelabuhan utama, pusat jasa, belanja, pendidikan, kesehatan, dst., masih dominan. Besaran angkanya perlu dipelajari. Namun kehadiran kelompok usaha Lippo dan BII yang membangun kawasan komersial dalam skala besar, setidaknya menunjukkan bahwa ada potensi ekonomi disana (lugasnya: ada pasar dan ada uang berputar).
Saya tidak tahu KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang diusulkan Sulsel adalah Makassar atau Pare-pare. Tapi kalau itu Makassar, maka peluangnya untuk menjadi pelabuhan utama akan makin besar. Karena investor akan memdapatkan berbagai kemudahan. Tinggal bagaimana Makassar dan Sulsel memanfaatkannya, dan merangkaitkannya dengan kegiatan ekonomi sekitar.
Pada sisi lain, daerah greater Makassar juga sudah banyak mengembangkan inisiatif untuk mendorong ekonomi wilayahnya, misalnya dengan program Gerbang Emas (gerakan bangun ekonomi masyarakat). Suatu gerakan antar Pemda dan masyarakat ekonomi yang didukung BI juga untuk menumbuhkan UMKM. Sektor yang nyatanya paling menyerap tenaga kerja.
Jalan raya berbayar Makassar -Pare-pare akan kian meningkatkan akses ke daerah penghasil komoditas ekspor di atas. Peluang yang layak dikembangkan ialah pengolahan bahan mentah seperti kakao, kopi, kopra, ikan menjadi bahan (setengah) jadi.
Dengan meningkatkan berbagai peluang dalam agro-industri, meningkatkan kualitas sektor jasa, kapasitas infrastruktur dan penataan kota (tata ruang, transportasi) niscaya akan menaikkan daya tariknya bagi wilayah provinsi lain di timur.
Di sektor jasa, selain pusat belanja, bagaimanapun Unhas cukup dihitung sebagai pusat pendidikan tinggi di wilayah timur. Banyak kegiatan pendidikan di Maluku, Papua yang berorientasi ke situ. Termasuk pendidikan kejuruan, perawat, dst. Juga ada LAN, Diklat Wilayah dan sejenisnya, yang melayani provinsi di wilayah timur.
Fasilitas rumah sakit berskala regional juga ada beberapa, seperti Stella Maris, Pelamonia, Akademis, Grestelina, RSU Labuhan Baji, dst. Yang sebagian bisa jadi RS rujukan bagi wilayah lain.
Dari pengamatan umum beberapa kali ke sana, selain transportasi kota, masalah drainase kota tampaknya menonjol, karena topografi relatif datar, kepadatan bangunan tinggi. Juga solusi atas masalah listrik yang langka.
Demikian sumbang saran saya, intinya potensi kota Makassar secara ekonomi tinggi, perlu didukung dengan peningkatan kapasitas prasarana kota, konsesi-konsesi sebagai konsekuensi otonomi daerah dan KEK, serta management perkotaan, dan kerja sama dengan daerah sekitarnya. [Risfan Munir]
Manajemen Penataan Ruang & Kawasan
Bicara tentang manajemen perkotaan/daerah (kalau dibatasi pada tata-ruang atau fisik) akan menyangkut tiga aspek di bawah ini.
(1) Manajemen Pelayanan - sebagai misal, pelayanan tata ruang. Di pemerintah daerah, urusan tata ruang adalah urusan pelayanan publik. Bagaimana masyarakat punya akses atas informasi RTR secara mudah dan transparan. Sehingga RTR tidak jadi 'obyek' pungli atau permainan 'gertak sambal' seperti lalu-lintas. Masyarakat tidak diberi tahu rencana yang benar, peruntukan yang benar, kalau tanya juga 'dipersulit', tahu-tahu dipersalahkan. Atau kalau mau tahu rencana harus 'bayar tak resmi'.
Untuk itu diperlukan a.l. SPM (Standar Pelayanan Minimal), seperti sekian % area kota harus punya rencana detail, sekian % area harus sudah mendapat penyuluhan tentang RTR, dst. Sehingga jelas bagi Pemda/SKPD yang bersangkutan agar memprogram dan menganggarkannya. Tanpa target SPM yang disepakati, maka Pemda akan seingatnya saja dalam menyusun, menganggarkan dan mengimplementasikan RTR.
(2) Manajemen Pembangunan - seperti manajemen proyek tapi lebih luas. Ini masih terkait dengan penerapan PPBS tapi lebih kompleks. Permasalahannya ialah menyangkut multi units, multi sumber dana. Program pembangunan kota/kawasan menyangkut multi-sektor, sementara tiap sektor/SKPD cenderung jalan sendiri2, punya prioritas anggaran masing2.
Umumnya program kota adalah multi-sektor, sehingga tantangannya ialah bagaimana meningkatkan koordinasi dan integrasi aktivitas, agar tidak saling tunggu atau duplikasi.
(3) Manajemen Kawasan - ini sifatnya lebih menetap atau jangka panjang. Menyangkut pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan pelayanan secara menerus (continuous process improvement), karena permasalahan kota/daerah juga dinamis sepanjang waktu.
Kalau dibandingkan dengan manajemen (perusahaan) swasta, seperti BSD, Lippo City, Jababeka, dst, tentu kita tahu bedanya seperti:
a. Swasta butuh konsumen, kalau tidak terbeli bisa bangkrut. Pemerintah daerah tak perlu jualan
b. Penduduk kota/kawasan swasta terbatas pada 'pembeli/penyewa' property, terseleksi, terbatas, sehingga lebih mudah diajak kerjasama (ada syarat di depan). Sedang jumlah warga kota sifatnya relatif terbuka, tak bisa dibatasi oleh Pemda. Dst.
c. Organisasi swasta lebih otonom. Perencanaan dan penganggaran bisa dilakukan tanpa tergantung banyak pihak di luar. Acuannya adalah permintaan konsumen. Di Pemda, rantai keputusan perencanaan dan penganggaran berjenjang, perlu kesepakatan banyak pihak, dari masyarakat, DPRD, hingga ke instansi induk (sektoral). Soal infrastruktur misalnya, ada klasifikasi jalan kota/kabupaten, provinsi, nasional. Jalannya nyambung tapi jadwal pembangunan atau rehabilitasinya bisa beda-beda
d. Di swasta ada reward dan punishment yang riil bagi personil dan organisasi. Di Pemda tidak riil, bagi yang perform reward-nya tak jelas, juga yang tidak melakukan apa-apa. Ini karena aturan dan keputusan masih belum otonom
Eksperimen daerah yang mau dikelola secara otonom seperti swasta mungkin adalah P. Batam. Tapi tidak bisa murni otonom, karena beberapa Departemen tidak pernah mengijinkan ada "daerah dalam daerah". Juga soal pertanahan, yang tak mengijinkan kepemilikan bagi warga asing. Padahal market yang dituju internasional. Tidak dimungkinkannya membatasi arus penduduk 'informal', mengakibatkan banyaknya kawasan kumuh di pulah yang SDA nya terbatas itu.
Namun dengan karakteristik seperti itu, beberapa kota/daerah toh secara optimal masih bisa me-manage kotanya dengan baik. A.l. Kota Solo, di tangan walikota Jokowi penataan fisik seperti PKL bisa berjalan baik tanpa konflik berarti. Pemindahan PKL dilakukan dengan cermat, memanusiakan (pakai iring2an segala). Tempat penampungan PKL, pasar tradisional dikelola secara baik, bak pasar modern. Bersih, penjual, karyawan berseragam. Ada door price sepeda motor hingga mobil. Tak mau kalah dengan hipermart dst.
Jokowi meng'gratis'kan kios bagi eks PKL. Uangnya dari mana? Ternyata ya dari retribusi harian. Jadi investasi Pemda ditargetkan akan kembali. Karena retribusi harian yang tampak kecil (biasanya habis di mafia parkir), kalau di-manage baik besar juga sebetulnya.
Kalau kita lihat hasil 'Otonomi award' ala KPPOD, Jawa Pos, juga PU, sebetulnya banyak sekali inovasi dan good practice yang dilakukan Pemda, yang layak dicatat dan dipertukarkan. Namun berbeda dengan pembangunan fisik, kalau jadi ya selesai. Dalam manajemen diperlukan 'continuous process improvement' yang tak kenal kata selesai. Karena hari ini dapat Adipura, tapi sebulan setelah itu bisa kotor kembali kalau tidak di-manage terus. Apalagi sumber persoalan juga dinamis.[Risfan Munir]
Kekuasaan dan Pembangunan Kota
Selanjutnya adalah "kekuatan" dari kuasa raja. Dan ini universal terjadi di semua benua dan sejarah masa lalu. Pokoknya bukan kuasa "rakyat". Hanya karena rakyat menganggap raja adalah "wakil tuhan" maka dianggap wajar. Struktur fisik yang dibentuk juga jelas pula pola dan orientasinya. Yaitu terpusat pada lokasi sang penguasa. Tantang cara membangunnya, bisa diperkirakan kebanyakan mengikuti cara membangun Piramid, jaman firaun Tembok Besar China, Jalan Deandels, menggunakan tenaga, keringat, darah rakyat dan modal cemeti.
Lalu, pola kota yang diajarkan di sekolah, yaitu kota-kota negara 'bekas penjajah' dan 'negara maju' yang teratur, indah dan cantik. Ini pola mengikuti aspirasi raja/bangsawan, borjuis, kapitalis, atau rakyat? Jawabannya bisa rupa-rupa, tergantung dari sejarah negaranya. Tapi pada umumnya di Eropa abad 19-20, negara memang cukup kaya, menganut Welfare State. Ini yang membuat negara bisa membangun berbagai prasarana dan sarana kota, yang baik dan indah untuk warganya. Kreativitas arsitek kota dan planner dapat dimanjakan di sana. Beban pajak kepada rakyat tidak sampai mencekik, karena ada sumber dana, yaitu dari tanah-tanah kolonial, daerah jajahan. Tentu saja adalah arsitek/planner kolonial yang cukup tajam panggilan sosialnya seperti Thomas Karsten, tapi pembiayaan memang dari surplus usaha kolonial.
Dari level pengembangan wilayah, pada masa modern (abad 19-20) itu juga semakin kentara, bahwa hampir TIDAK ADA KOTA DI DUNIA INI YANG TUMBUH PESAT, YANG BUKAN LANTARAN POTENSI EKONOMI LOKASI (ini kata dosen saya dulu). Dapat dikata "kekuatan" penentu pola perkembangan kota bergeser ke "kekuatan ekonomi". Di sana-sini negara mencoba membangun kota/permukiman, tapi logika (hukum) ekonomi-lah yang akhirnya yang menentukan keberlanjutannya.
Pada jaman Globalisasi ini "kekuatan ekonomi" tersebut nampaknya makin ekstrem. Dan menyakikan hati, karena kekuatan modal "dari luar" yang menentukan. Ya itu karena sistem ekonominya demikian. Tapi ini melanda semua negara, yang maju dan yang berkembang. China boleh membanggakan ekonominya, tapi secara fisik/budaya simbol kota-kotanya sudah berganti merk-merk dagang dari Barat. Di Amerika pun demikian, hypermart yang jadi simbul kedigdayaan ekonominya dipenuhi produk-produk China. Landmark buildings nya dimiliki oleh pemodal dari Asia Timur atau Midde East. Inilah konteks yang dialami kota-kota kita.
Nampaknya, perencanaan dan perancangan kota yang kita anut berbasis pada asumsi Welfare State, mengandaikan negara mampu mensejahterakan warganya dengan berbagai prasarana, sarana yang dibutuhkan, dengan penataan dan desain yang indah dan nyaman pula. Dan, ada penegakan hukum, law enforcement yang kuat. Kekecewaan timbul karena nyatanya (dari jaman awal) pemerintah tidak sampai kepada kemampuan seperti iu. Sempat makmur sebentar, lalu tergerus korupsi. Lalu datang era gonjang-ganjing reformasi. Tapi yang pasti kondisi ekonomi nasional tak kunjung baik, sehingga melahirkan 'lautan sektor' informal, yang dominan sekali mempengaruhi pola fisik kota.
Mungkin saatnya mempertanyakan kembali asumsi Welfare State itu. Hal ini mulia secara cita-cita, tetapi sangat jauh realitanya. Nyatanya pola fisik kota terbentuk oleh "kuasa modal" di satu sisi dan "kuasa massa miskin" di sisi lain. Pemodal makin berkuasa karena keuangan pemerintah kota kian terbatas, sementara jumlah warga miskin yang juga kian banyak yang berbondong ke kota (karena kerja di Malaysia juga kian sulit). Keduanya sulit dikendalikan oleh pemerintah (pengelola kota).
Bisa saja para intelektual ahli perkotaan 'menggerutu atau memaki', tapi pemerintah kota kita justru memerlukan dukungan perencana tentang bagaimana menjinakkan dua kekuatan dahsyat "modal" dan "massa miskin" tersebut. Contoh yang baik adalah Kota Solo, setidaknya dalam kasus dia bisa 'merelokasi' para pedagang kaki lima secara manusiawi. Membangun "mal" rakyat yang bersih dan teratur.
Itu mungkin yang optimal, karena bergerak di area advokasi (seperti "pejuang lingkungan hidup") nampaknya hal tabu bagi dunia perencanaan kota.
Namun kalau seorang planner mau murni sebagai 'perencana fisik' (tidak mau berurusan dengan aspek kebijakan publik), sebaiknya ya bekerja pada developer swasta saja, yang selama ini memang bisa merancang kota yang 'indah dan nyaman' sesuai kaidah-kaidah merencana kota. [Risfan Munir]
Dilema Perencana Wilayah
Menurut saya setiap kebijakan kewilayahan harus didasarkan kepada pertimbangan "kekuatan" yang bekerja. Seperti teknik sipil yang mendasarkan setiap konstruksinya atas "kekuatan" gravitasi, bagaimana mengelola daya gravitasi itu sehingga terbangun strukur yang kokoh.
Merencana wilayah dasarnya juga bagaimana mengenali, menghitung dan mengelola "kekuatan gravitasi" ekonomi geografi (kalau skalanya wilayah), selain konstrain fisik. Ada kekuatan-kekuatan lain, tapi tak sedominan "daya tarik ekonomi". Aglomerasi ekonomi yang membentuk kota/pusat tersebut. Pola sebaran (geografis)nya yang membentuk pola sistem permukiman dalam wilayah.
Tentu pola itu bukannya tidak bisa diubah. Untuk menatanya, diperlukan intervensi berupa investasi prasarana, kelembagaan dan aturan yang "sebanding kekuatannya" dengan kekuatan daya tarik (potensi) ekonomi yang ada. Sehingga upaya/kebijakan penyebaran (pusat) pembangunan juga membutuhkan dana yang sangat besar, aturan dan kelembagaan yang kuat berpihak kepada masyarakat di wilayah yang mendapat manfaatnya.
Mengadakan dana yang sangat besar dan pemerintahan yang kuat, perlu waktu. Tapi tiap rezim pemerintahan harus segera menguasainya. Untuk percepatan itu diperlukan investasi dari luar, untuk mengeksploiasi SDA, dan membangun industri kebutuhan masyarakat agar tidak tergantung pada impor sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dan investor perlu "lokasi yang siap". (Investor adalah adalah pencari untung, bukan nabi. Jadi jangan salahkan investor yang cari untung. Yang mengandaikan investor yang baik budi adalah orang naif!). Dan "lokasi yang siap", tentu adalah di sekitar Jakarta dan Surabaya. Selain itu di luar Jawa, di kawasan pertambangan, para investor membangun prasarana sejauh diperlukan untuk operasi usahanya. Lagi pula kota-kota tambang umumnya di remote area, tidak di pemukiman yang berkembang (di Soroako bukan di Makassar, di Pasir bukan Samarinda).
Kenyataan itu yang menyebabkan konsentrasi pembangunan di sekitar Jakarta dan Surabaya sulit dihindari. Prasarana relatif lebih siap, pasar konsentrasi utama nya juga di Jawa. Pembangunan prasarana skala besar di Sumatera, seperti trans Sumatera, kenyatanya tidak menghasilkan pusat baru yang kuat, tetapi memperluas wilayah pelayanan Jawa saja.
Dengan realita seperti itu, pertumbuhan Jakarta dan sekitarnya yang pesat, dalam arti positif dan negatif. Maka secara lokal perlu dicari solusi, dan dimunculkan berbagai solusi antara seperti kota satelit, kota penyangga, dan sebagainya. Yang dalam konteks perencanaan kota dan wilayah ini adalah solusi yang optimal yang bisa diberikan. Bahwa itu bukan solusi penyebaran pembangunan nasional `anak kecil' juga tahu.
Kekuatan lain yang mempengaruhi gravitasi adalah otonomi atau desentralisasi pemerintahan ke daerah. Walaupun sudat ada konsep Sistem Kota-kota, kalau semua urusan diputuskan di pusat, ya bias kepada kepentingan pusat, semua perusahaan buka headquarter di Jakarta. Banyak konsep percepatan pembangunan di daerah terkendala aturan terkait kelembagaan yang masih terpusat. Termasuk dalam hal ini Kapet dan lainnya. Maka angin otonomi daerah menjadi harapan baru akan terjadinya desentralisasi kegiatan (ekonomi) dan pemerataan pembangunan ke daerah-daerah. Karena itu saya heran mengapa wacana Desentralisasi/Otonomi Daerah ini jarang dibahas, atau dihindari, dalam milist ini - (sehingga saya sering menyentil bahwa sebagai planner UU kita bukan hanya UUPR, masih banyak UU lain terutama UU32/2004 yang perlu diacu). Seberapa ini efektif bagi penyebaran pembangunan ke daerah-daerah, ini tergantung pada seberapa efektif kualitas pemerintahan di daerah yang mengemban otonomi itu tentunya.
Sampai disini, kesimpulan sementara: (1) Perencana wilayah harus lebih memahami bahwa suatu rencana atau konsep pembangunan wilayah perlu didasarkan atas pemahaman dan pengelolaan kekuatan (gravitasi) ekonomi. Dan, intervensi dalam pengeloaan kekuatan tersebut memerlukan dana (investasi prasarana) memadai dan perangkat aturan dan kelembagaan yang kuat. (2) Berkaitan dengn itu perencana wilayah juga perlu mamahami posisinya, bahwa ada fenomena (nasional, global) dan kebijakan skala lebih luas (nasional) yang lebih menentukan sebaran lokasi kegiatan/pembangunan. (3) Masih banyak yang perlu dilakukan perencana dalam pembangunan skala wilayah untuk menumbuhkan ekonominya mengatasi pengangguran, pendaya gunaan sumber daya alam yang wajar, mengatasi masalah lingkungan.Ini domain perencana wilayah, dan bekal ilmunya cukup.
Soal ketimpangan pembangunan nasional itu adalah domain kebijakan publik, yang mesti mencakup kebijakan ekonomi, politik dsb. Boleh-boleh saja perencana wilayah ikut terjun ke sana, tapi jangan pada saat yang sama juga fanatik dengan atribut "physical planner"nya. Itu sudah beyond physical planning, tapi komprehensif dan politis. Bahkan urusan kepala negara. Lihat saja Obama waktu kampanye ke beberapa negara bagian yang 'kehilangan lapangan kerja' karena relokasi industri ke Meksiko dst, solusi yang ditawarkan Capres itu adalah meninjau agreement NAFTA. Hal seperti itu memang di luar kendali perencana/pemerintah daerah.
Dilema perencana wilayah
Kesimpulan saya selanjutnya, dilema perencana wilayah adalah karena positioningnya sebagai Insinyur (seperti Arsitek yang merencana dan mengendalikan pembangunan fisik rumah/gedung seseorang, semua tergantung kecukupan dana dan kesepakatan kedua pihak). Tetapi yang dihadapi perencana kota/wilayah adalah publik, yang fihaknya banyak, aspirasinya banyak, sedang dana pembangunannya tergantung APBD/N yang diputuskan tiap tahun oleh orang banyak pula. Kesimpulannya, kecuali bekerja di developer atau Departemen Transmigrasi, tak mungkin perencana kota merencana kota dan menyaksikan kotanya jadi dibangun sesuai rencana. Masih banyak proses yang harus dilaluinya dari rencana tersusun, disetujui, disyahkan dewan, diterjemahkan dalam uraian program/kegiatan, dianggarkan, disosialisasikan dan yang dilakukan masyarakat dimonitor, ditindak dst. Logisnya demikian, jadi jangan kecewa.
Alternatif lain, ya positioning seperti ahli manajemen, ahli ekonomi, yang perannya menyarankan pengelolaan, penataan, pembinaan - dengan sadar mengatasi masalah yang tak kunjung selesai (masalah manajemen tidak pernah berhenti, juga ekonomi seperti gejolak inflasi, persaingan, dst). Dan, ini wajar saja sebagai peran profesi. Ahli ekonomi tidak pernah merasa 'diobok-obok' walaupun ekonomi di hampir semua negara naik-turun. Ahli manajemen juga diperlukan terus, karena selalu ada masalah persaingan, human resources, performance dst. Tidak ada 'nabi ekonomi' yang mengatasi semua masalah dengan 'masterplan'nya. Tak ada ahli hukum yang dengan skenario strateginya menghapus semua kejahatan (di satu desa sekalipun). Namanya juga profesi, biasa-biasa sajalah, yang penting bisa memberi solusi dalam perkembangan wilayah/kota yang dinamis, selalu ada soal termasuk konflik kepentingan yang perlu diatasi, dst.
Karena itu, saran saya, milist ini akan produktif kalau membahas berbagai masalah dan alternatif solusi, termasuk aspek-aspek scara agar suatu solusi jadi kebijakan. Mungkin perlu belajar untuk tidak selalu normatif, seperti "....kalau pakai UU ini masalah beres, kalau pakai Konsep ini, masterplan tipe ini pembangunan pasti merata, lingkungan pasti sustainable," dst. Dan, menggeser wacana dari sisi "perencanaan", ke sisi "pemanfaatan dan pengendaliannya." Karena sisi pemanfaatan itu mungkin mengandung banyak aspek yang justru perlu dipalejari/diantisipasi planner sejak awal.
Suatu saat saya menjadi wisman, kebetulan tour guide-nya antropolog dan bertanya apa pekerjaan saya. Saya jawab "urban planner". Respons dia "Wah seperti Tuhan ya, mengatur kehidupan manusia, dimana mereka harus tinggal, dimana harus bekerja." [Risfan Munir]
Tuesday, January 29, 2008
Jakarta Banjir Lagi
Selain Valentine Day, rupanya event langganan bulan February untuk Jakarta adalah banjir musiman. Kemarin, 2-2-2008, Jakarta lumpuh. Kepala Negara dan istananya kebanjiran. Menurut Koran Tempo ada 140 titik banjir, dengan variasi kedalaman air 20 - 100 cm. Sedang jalan terendam di 64 titik, termasuk di jalan protokol Thamrin dan sekitar Taman Merdeka Monas, istana presiden dan wakil presiden.
Dampaknya banyak warga yang rumahnya tergenang. Dampak pada transpostasi, seperti biasa kemacetan lalu lintas merata hingga seluruh Jabodetabek. Beberapa koridor busway ditutup. Angkutan kereta api metro Jakarta - Tangerang terganggu karena ada longsoran.
Yang lebih dramatis, landasan Bandara Soekarno-Hatta tergenang pada dua landas pacu, mengakibatkan bandara ditutup selama hampir lima jam, sehingga 237 penerbangan terganggu jadwalnya. Banyak penerbangan tujuan Jakarta yang selain ke Halim terpaksa mendarat di Palembang, Semarang, Surabaya, Singapura. Lalu lintas Bandara ke Jakarta pp, macet total karena beberapa ruas jalan tol tergenang.
Hujan yang turun dengan durasi satu hari lebih itu telah membuat ibukota hampir lumpuh. Padahal kelihatannya hujan kali ini hanya di wilayah Jakarta, tidak di wilayah hulu (Bogor).
Mengapa kondisi fatal ini bisa terjadi?
Kalau hanya hujan lokal, berarti ini karena sistem drainase yang tidak berfungsi.
Mengapa sistem drainase tidak berfungsi? Setidaknya ada tiga sebab: (1) karena saluran mampet, (2) karena kapasitas tampung saluran tidak memadai, (3) karena permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air.
Pertama. Mengapa (1) saluran mampet? Karena lubang outlet dipenuhi sampah dan tahah, saluran penuh sampah, pendangkalan karena kotoran, bahkan terurug bangunan, jalan.
Mengapa bisa terjadi? Karena tidak ada manajemen pemeliharaan yang memadai. Karena kebiasaan masyarakat buang sampah sembarangan.
So, mengapa tidak dilakukan perbaikan manajemen pemeliharaan?
Tidak ada pengorganisasian yang jelas? Tidak ada SOP? Tidak ada pelatihan personil? Tidak ada kebijakan antar instansi yang jelas, terpadu?
Kedua. Mengapa (2) kapasitas tampung saluran tidak memadai? Karena pendangkalan makro. Karena sistem saluran dimensi dan cakupannya sudah tidak mengejar peluasan kawasan terbangun. Kata Kasi Pemeliharaan dan Pengendalian Air DPU Jakarta, 200 pompa pengendali air sudah dikerahkan tapi tak banyak berarti
Mengapa sistem tidak memadai? Karena tidak ada antisipasi dan perencanaan yang baik? Karena budget tak cukup. Katanya diperlukan sedikitnya Rp 1,1 trilliun untuk pengerukan saluran makro, sementara tahun ini anggaran cuma Rp 50 miliar.
Ketiga. Mengapa (3) permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air. Karena rencana tata ruang tidak terkoordinasi dengan rencana tata air. Karena ijin-ijin membuka lahan, membangun real-estat, mendirikan bangunan tidak dikontrol soal dampaknya pada ketinggian dan peil banjir. Pembangun berikutnya selalu lebih tinggi. D.p.l menimpakan risiko banjir ke lingkungan yang terbangun sebelumnya. Bahkan munkin tiap lingkungan baru tak jelas drainasenya disalurkan ke sistem sekunder, primer yang mana, berapa kapasitasnya.
So, perlu pemotretan lokasi-lokasi langganan banjir dan genangan. Lalu, dievaluasi ketinggian permukaannya. Mana-mana lingkungan yang jadi sebab genangan. Juga, dipetakan saluran drainase yang melayaninya. Lalu dipertajam analisis permasalahan sistem drainase tersebut.
Juga sebab makro lain, yaitu meningginya permukaan air laut. Dan, intrusi air laut ke dalam tanah, sehingga menahan aliran bawah tanah. Kelihatannya kok DKI tidak berupaya mengefektifkan antisipasi naiknya tinggi air laut, justru meningkatkan pembangunan fisik pantai.
So, mana yang mau diprioritaskan dari dua masalah besar - pengendalian banjir, pengendalian transportasi? Kejadian kemarin menunjukkan keduanya tidak bisa dipisahkan. Walau lalu-lintas terjadi harian, sedang banjir musiman. Tapi momentum Presiden dan Wakil nya yang kebanjiran itu bisa segera jadi momentum untuk meng-goal-kan kembali proposal penanggulangan banjir ibukota. Tapi kalau untuk merampungkan koridor busway saja harus memakai dana subsidi pendidikan das-men, maka untuk normalisasi darinase, juga pembangunan kanal banjir dari mana ya? Kita percaya Bang Foke tahu jawabannya.
Manajemen kinerja pemerintah DKI, atau Bang Foke, bisa dilihat dari berapa besar dampak banjir dibanding Feb 2007, lalu beberapa bulan lagi bagaimana kalau datang bencana yang sama. Bagaimana perbaikan sistem antisipasi, pencegahan dan penanggulangannya. Bagaimana prosesnya, bagaimana output dan outcome nya. Adakah perubahan, adakah tanda-tanda kesungguhan dalam menangani masalahnya? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2 Perencanaan Wilayah dan kota, ITB]
Agropolitan dan Kota Industri China
Bang Aunur. Wah, ber-GongXi Fatchai masih disana? Gimana sih kalau orang China asli memperingati itu? Oleh-oleh sementara ini bagi saya menguatkan kesadaran bahwa antara pembangunan ekonomi (wilayah) dan trend tumbuhnya kota-kota tidak bisa dipisahkan. Sulit bilang perencanaan wilayah/kota itu ilmu spatial/fisik atau ekonomi, atau .....ya pokoknya "wilayah" itulah dengan berbagai dimensinya.
Kalau boleh ambil pelajaran yang lain, pilihan model pengembangan wilayah itu bukanlah doktrin, tetapi pilihan berdasarkan diagnostik, sesuai kondisi potensi, fase pertumbuhan, dan masalah yang dihadapi suatu wilayah (sub-nasional) yang spesifik. Bukan satu model template, all-size, yang diterapkan seragam di seluruh negeri.
Pada masa optimis dulu, di negara kita juga diterapkan konsep transformasi struktural dari "pertanian - ke manufaktur - ke jasa", dalam sekuen Repelita I, II, dan III, sebagaimana modelnya WW Rostow. Hasilnya, swasembada pangan sempat, tapi saat ke industri? We don't know what went wrong? Or we know? Tahu-tahu kota-kota sudah jadi pusat-pusat jasa perdagangan, tapi yang dijual produk import, yang justru memukul industri lokal.
Selamat 'belajar sampai negeri China', ditunggu oleh-oleh lainnya. [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2 Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB]
Concern Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK)
Kalau kita baca, pelajari, amati origin dari urban planning memang macam-macam. Tapi mulanya memang dari concern. Di Inggris misalnya, concern terhadap town planning kan karena dampak revolusi industri atas buruknya lingkungan hidup perkotaan. Yang punya inisiatif awal justru para ahli kesehatan masyarakat. Lalu ide 'garden city of tomorrow' yang menjadi ide awal 'greater city' itu adalah utopia dari Ebenezer Howard yang jurnalis. Dari cetusan-cetusan concern dan ide itulah kemudian para arsitek dan insinyur merespons dan memberikan kontribusinya sebagai ahli desain dan konstruksi.
Pada sisi lain, yang tidak terpisahkan adalah perencanaan wilayah (regional planning). Tradisi perencanaan wilayah yang menonjol kemudian adalah dari USA yang punya wilayah luas, dan sejarah pengembangan wilayah dari koloni-koloni nya di pantai timur, tempat orang-orang Eropa mendarat, lalu berangsur ke West. Dipelopori oleh kafilah-kafilah para pioneer yang menjadi tema-tema film western itu. Dalam tradisi ini yang kemudian dipelajari adalah peran sebaran potensi sumber daya alam, sejarah dan karakteristik tumbuhnya kota-kota sebagai pusat pelayanan dan pusat produksi (agroindustri, tambang, manufactur). Juga pengaruh dari meluasnya jaringan transportasi, kereta api, sungai, dan kemudian jalan raya seiring revolusi otomotif. Ini adalah ladang eksplorasi atau riset para ahli geografi ekonomi. Fenomena ini yang diambil polanya, dan dikembangkan sebagai regional planning.
Perkembangan ilmu perencanaan wilayah menemukan bentuknya yang lebih sistematik antara lain setelah USA mengalami great depression, yang sebagai solusinya Franklin D Rosevelt sebagai bagian dari New Deal nya meluncurkan Tennesse Valley Authority, dengan konsep pengembangan wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), yang secara sengaja membangun bedungan serba-guna, lahan-lahan pertanian, jaringan kota-kota sebagai pusat pelayanan dan produksi, jaringan transportasinya. Ini adalah program pengembangan wilayah yang direncanakan sistematis, untuk menciptakan lapangan kerja, mendongkrak produksi.
Dari dua fenomena di atas, masing-masing kita bisa memberi istilah sendiri. Apakah itu perencanaan fisik, ekonomi, atau apa? Tapi itu kan istilah berdasarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah di Indonesia, yang membedakan pas-pal, sos-ek-bud, dan persepsi dominasi di antaranya. Juga insinyur atau sarjana ekonomi. Juga departemen apa yang berhak menangani. Ini adalah nomenklatur dan wacana kita di Indonesia saat ini. Tapi hakekatnya adalah fenomena-fenomena original di atas.
Ini kan seperti dalam agama. Ada yang bertanya Nabi Muhammad saw kok gak pakai gelar haji? Beliau ilmunya apa Fiqih, apa Usuluddin, apa Tasawuf..... ? Ini kan istilah atau nomenklatur kita sekarang, di IAIN, di Indonesia. Pada komunitas Nabi yang original dulu tidak ada pemilahan itu.
Kalau kita lihat di ITB misalnya, sekarang ini banyak jurusan/departemen yang pakai kata 'geo' dan 'physic', sementara orang jurusan fisika sendiri juga belajar subyek 'kebumian', dan orang geologi juga pasti belajar fisika. Deferensiasi dan kombinasi itu masih ditambah ada yang pakai 'teknik', ada yang tidak pakai. Jadi batas-batas itu sulit dipisahkan.
Orang instansi teknik mengatakan SWP dan Sistem Pusat-pusat itu domain penataan ruang. Tapi growth-poles, agglomeration, dst itu semua kan ditemukan oleh ekonom, geografer dan jadi pelajaran sekolah mereka? Kesimpulannya, perencanaan wilayah dan kota itu memang ilmu yang "holistik".
Ya, pokoknya Perencanaan Wilayah dan Kota. Apa itu kota? fisik kah, ekonomi kah, sosial kah? Ya tergantung kacamata yang dipakai. Kata orang jaman sekarang "holistik", "meta-disiplin" .
Kota tumbuh karena potensi dan motif ekonomi, karena orang datang untuk mendapatkan pekerjaan, mondar-mandir melakukan aktivitas kerja. Memilih tinggal disini, atau pindah kesana karena tempat kerjanya. Dan, kemampuan (ekonomi) nya untuk mengoptimalkan tempat yang aksesibel tapi affordable. Bagaimana merencanakan kota dan wilayah kalau tidak mulai dari situ. Kan tidak mungkin merencana kota/wilayah berdasarkan ilham, patok landmark (simbol dewa), terus tarik garis geometris kesana sini, apa radial, apa konsentrik, terus dilingkari pakai ring-road, dikapling-kapling.
Setelah land-suitability analysis dilakukan, kawasan-kawasan non-budidaya dipisahkan, selebihnya adalah pertimbangan ekonomi, sosial-ekonomi, efisiensi, aksesibilitas, dan juga budaya. Semua planner punya keterampilan dasar (otoritas penuh) untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, zonasi kawasan non-budidaya, tetapi untuk menetapkan persyaratan pembangunan/ pelestariannya, perlu mengundang teman dari disiplin enjineering. Dan, untuk merencanakan kawasan budi-daya, mau tak mau juga perlu kerjasama multi-disiplin dengan ahli ekonomi, sosial, budaya. Untuk merencana jaringan prasarana juga perlu mengundang ahli jalan, air bersih, sanitasi, prasarana dan utilitas lainnya.
Karena masing-masing disiplin yang berkontribusi itu, umumnya (atau diasumsikan) bukan spesialis di skope kota/wilayah, maka dari awal dituntut dari planner untuk bisa meng-guide dan memfasilitasi, memberi kerangka, agar setiap disiplin yang terlibat itu betul-betul mengarah ke isyu, visi, tujuan, arah pengembangan kota/wilayah yang sama, terpadu.
Hal terakhir ini yang menjadi dilema, tantangan, 'rahmat sekaligus kutukan' bagi planner. Karena ini tidak mudah, kalau tidak musykil. Ini pula (menurut saya) yang membuat banyak planner memilih mengambil 'spesialisasi' sesuai minat dan kesempatan kerjanya. Ada yang bias ke fisik (spatial), lingkungan hidup, ada yang bias ke ekonomi, belakangan banyak pula yang bias ke sosial. Ya ini wajar-wajar saja, kan semua bidang juga begitu.
Ada kecenderungan spesialisasi, seperti Ekonom, ada yang bias ke makro, mikro, manajemen, akuntansi, kependudukan, dst. Ada juga kecenderungan 'integrated' , bidang satu tapi dikeroyok multi disiplin, seperti bidang Perminyakan misalnya, yang dikeroyok geolog, petroleum engineer, ahli mesin, teknik kimia, instrumen, dst.
Jadi komentar saya ke Pak Hengky, kalau melihat profesi perencanaan wilayah dan kota (PWK) secara utuh, sebaiknya tidak wawancana teman-teman dari "satu-dua sumber dari satu aspek, peran, dan satu era" saja. Sebaiknya lihat juga kurikulum sekolah PWK saat ini dan beberapa masa sebelumnya. Lihat juga apa yang ditangani planner di tingkat kota, kabupaten, propinsi, Bappenas dan beberapa departemen (PU, Perumahan, Depdagri, Transmigrasi, Daerah Tertinggal, Pariwisata, Kelautan). Dari segi akademis di tingkat internasional sekolah perencanaan ada yang dekat dengan arsitektur, ada yang dekat dengan ekonomi. Di dalam negeri, ada yang ala ITB, ITS, ada yang ala UNDIP, UGM yang serupa tapi tak sama. Juga peran sarjana planologi, sebagai perencana, sebagai pelaksana, juga sebagai pengendali. Sehingga ada gambaran utuh. Intinya, Planning bukan cuma profesi "merencana sistem kota-kota" dan site-planning, sedang aspek lainnya dianggap "distorsi".
Peran perencana harus pula dilihat secara proporsional. Tidak bisa kita bilang, rencana yang buruk sebagai penyebab malapetaka. Atau ekstrem sebaliknya, rencana sudah sempurna, pelaksananya saja buruk. Rencana bisa ada bisa tidak, bisa buruk bisa baik. Tapi 'pelaksanaan rencana adalah bidang yang maha luas', mulai dari bagaimana menggoalkannya jadi SK/peraturan, memperjuangkannya dalam proses musrenbang dst, memperjuangkannya di 'kamar panitia anggaran'. Ada konflik antara 'rencana bagus' yang satu (menurut kelompok tertentu) terhadap 'rencana bagus' yang lain. Kalau anggaran sudah tersedia, bagaimana memperjuangkannya dalam pelaksanaan di lapangan. Pembangunan busway mestinya ya bagus untuk jangka menengah, tapi di lapangan harus berhadapan dengan maslah kemacetan lalu lintas saat ini. Menghijaukan kembali RTH bagus, tapi berhadapan dengan tuntutan hunian, tempat kerja, dst.
Masalah klasik, antara supply vs demand, antara tuntutan pembangunan vs ketersediaan sumber daya. Ketidak-efektivan manajemen pembangunan Pemda, sulitnya kerjasama antar lembaga/daerah, dst. Sementara sumbar masalah juga bertambah. Pengangguran dan kegagalan sektor pertanian, pembangunan wilayah belakang membuat banjir masalah ke kota besar. Ditambah soal kontrol terhadap lingkungan hidup yang merusak ekosistem hulu, juga hilir (pantai), menjadi cerita klasik yang hanya berganti episode saja.
Apakah itu semua salah planner? Ah...kok terlalu ge er kayaknya. Apa ya sehebat itu, seolah tumbuh/runtuhnya kota karena 'rencana'. Di rencana atau tidak, kalau 'potensi'nya kuat, 'permintaan' kuat ya tumbuh. Rencana atau perencana, kan hanya upaya untuk memberi pertimbangan, mengingatkan perlunya mengoptimalkan, mengefisienkan, mengefektifkan potensi dan upaya terhadap tuntutan kebutuhan. Dalam lautan masalah pembangunan nasional, wilayah, kota, desa yang saling terkait, dan multi/meta disiplin ini.
Soal disiplin adalah soal ilmu/akademik, namun soal profesi adalah soal panggilan tugas dan 'perjuangan' , soal misi. Kalau penertiban RTH (ruang tebuka hijau) berisiko penggusuran hunian, penghancuran mata-pencaharian rakyat, di saat kehidupan ekonomi kian sulit, krisis pangan. Yang manakah yang akan dipilih Planner, mendukung "penyelamatan RTH" atau "penyelamatan lapangan kerja rakyat"? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2, Perencanaan Wilayah dan Kota ITB]
City Competitiveness: The Sinking Giant
Kalau ditanya soal city competitiveness, wah ....? Kalau saya bekerja untuk/di Kota Tangerang, Medan, Makassar, Batam....maka artikel di Jakarta Pos itu akan saya pajang di mana-mana, agar investor tidak ke Jakarta, tapi ke kota-kota tersebut.
Bagi Jakarta sendiri, saya kira berat karena masalahnya (internal, kiriman) makin akut, sedang resources dan kemampuan manajemen pembangunan ada batasnya. Dalam kondisi tersebut tentunya akan selalu dilematis, apakah akan memperbaiki kondisi Jakarta seluruhnya, atau mengembangkan "etalase" saja. Membangun sesungguhnya atau citra semata. Prioritas pada perbaikan kondisi fisik, atau sosial ekonomi.
Kelihatannya policy DKI ingin galak terhadap pendatang (urbanisan) yang tidak siap dari daerah, pada sisi lain mengundang tamu (wisatawan, investor). Maka melanjutkan kebijakan gubernur sebelumnya dengan 'membersihkan' RTH. Prioritas pada aspek fisik ini membawa risiko tergusurnya banyak 'penghuni' pertamanan tersebut. Pada kasus taman Barito 400an pedagang kena dampak, ini kabarnya membuat 2000an pekerja kehilangan pekerjaannya. Pembebasan RTH yang lain, yang meliputi 55.540m2 mengakibatkan 16 komunitas kehilangan tempat tinggal. Pilihan ini mulai mengundang banyak kritik. Tergantung DKI bagaimana memilih dan melaksanakan prioritasnya, dan bagaimana memenangkan opini publik. Akankah gubernur sekarang setegas pendahulunya, apalagi tahun depan lagi pemilu nasional? Mungkin dia berusaha mengejar waktu.
Dari segi prasarana yang tidak bisa ditunda adalah bagaimana mengatasi banjir ditambah naiknya air laut, dan transportasi kota. Kedua masalah ini menuntut kerjasama baik dengan daerah sekitar, dengan departemen, instansi, maupun dengn masyarakat, karena masalahnya begitu luas. Kepandaian DKI untuk menarik perhatian Pemerintah (Pusat) juga sangat diperlukan, karenanya dalam banyak hal kewenangan ditangan Pemerintah.
Kemarin di 'pita berita' TV terbaca adanya policy pengurangan subsidi pendidikan (dasar-menengah) untuk dialihkan kepada percepatan pembangunan jalur busway koridor sekian, sekian. Ini tentunya juga bisa mengundang reaksi masyarakat.
Keterpaduan antar pihak adalah hal yang sulit, dialog antar daerah, antar lembaga, selalu sulit. Mungkin karena tidak ada trust, takut diserobot duluan. Selain antar daerah, dalam kasus Jalan Tol Pluit-Bandara, yang boleh dikata sebagai "pintu gerbang" ibu kota dari manca negara, kenapa tidak bisa 'dikhususkan' untuk ke Bandara pp saja. Pendapatan jalan tol kan bisa dikompensasi dari jalur lain, seperti mengatasi jalan sepi. Saya tidak tahu karena Jasa Marga gak mau rugi, atau Pemda DKI dan Tangerang yang minta dibuka pintu begitu banyak. Kesimpulannya: Tidak ada prioroitas, atau tidak ada kerjasama.
Masalahnya begitu besar, sumbernya juga banyak yang di luar kuasa DKI, itu semua instansi, daerah, jalan sendiri-sendiri. Solusi yang ditempuh nasional tampaknya bukannya mempromosikan Batam, Medan, Makasar, tapi pembangunan jembatan Jawa - Sumatera, yang kemungkinan besar justru memperbesar arus ke Jakarta.
Sekali lagi peluang bagi, ini peluang bagi pemerintah daerah Medan, Batam, Makasar, Tarakan untuk memanfaatkan artikel "Jakarta: The Sinking Giant" itu. Termasuk New Town seperti Karawaci, sebaiknya invest membangun jalan tol langsung ke Bandara, minta dukungan Pemprov Banten.
Sebagai anak bangsa tentu kita lebih rela kalau tamu dan investor ke kota-kota tersebut daripada mereka lari ke Kuala Lumpur, Ho Chi Minth City dst.
Tapi investor itu siapa sih. Apa perlunya investor datang kesini, yang datang kan uangnya dan eksekutifnya. Pemodal perlunya kan pokoknya RoI nya bagus. Yang penting kan infrastruktur memadai, buruh tidak mogok, peraturan tidak macam2. Dan saat ini kebanyakan investor yang datang adalah yang melihat Indonesia sebagai 'pasar raksasa', dan sumber alam yang masih banyak. Bukan yang melihat potensi SDM, baik skill nya atau murah nya. Mungkin mereka juga kurang peduli seperti apa Jakarta, asal ongkos produksi, logistik, buruh murah, aturan tidak macam-macam. [Risfan Munir, alumnus Teknik Planologi, ITB]
Saturday, January 19, 2008
Mencari PWK yang konsisten dan berdaya prediksi
Dalam perjalanan saya menekuni ilmu perencanaan wilayah dan kota ini, formula-formula yang konsisten itu yang saya coba cari. Karena ilmu planologi ini multi disiplin maka formula yang sangat eksak dan sangat konsisten mungkin tak ada. Maka setidaknya yang mendekatilah.
Yang saya temukan adalah geografi lingkungan, geografi ekonomi sebagai hukum ”fisika”nya; lalu strategic planning sebagai metoda atau enjinering nya. Yang lain-lain adalah untuk penghalusan atau derivat dari apa yang dihasilkan dari formula dan alat tersebut.
Dengan geografi lingkungan saya dapat menganalisis untuk segera memperoleh kelayakan peruntukan, potensi dan suitability nya. Hasilnya bisa diplot dipeta segera.
Dan berikutnya adalah geografi ekonominya, yaitu kegiatan apa yang paling potensial dan telah berkembang di lokasi atau wilayah itu. Bisa segera diplot diatas peta suitability di atas. Teori lokasipun bisa dipakai. Selain itu berikutnya adalah bermain angka-angka proyeksi, perubahan struktur kegiatan ekonomi, dan semacam gap analysis terhadap standar kebutuhan lahan, prasarana, utilitas, dst, dst.
Dan seluruh proses itu menggunakan pendekatan strategic planning yang juga berlaku universal. Tinggal pendekatan penyusunannya bisa konvensional, bisa partisipatif. Dan tiap level punya ketajaman dan kedetailan yang berbeda.
Rasanya dengan dua 'basic sciences' dan satu metode tersebut kok cukup punya pegangan begitu. Ini adalah back-bone dari struktur berfikir kita. Selebihnya adalah dagingnya, warna, modifikasi2, penajaman2. Yang paling penting kita punya pegangan sehingga tidak bingung, eklektik, kesana-kemari.
Setidaknya kalau kita mendatangi suatu kabupaten/kota, dengan pengamatan cepat atau kondisi geografis, kita segera punya gambaran potensi utamanya apa. Dengan verifikasi atas peruntukan lahan, sebaran permukiman dan kondisi jaringan prasarana dan utilitasnya, segera kita bisa melihat prospeknya kan. Tentu saja arahnya tidak selalu untuk pertumbuhan dan pengembangan ya. Untuk wilayah tertentu bisa saja fokus utamanya pelestarian lingkungan, atau mitigasi bencana.
Selebihnya biasanya masalah administrasi atau development management seperti programming dan analisis pembiayaannya serta sumber-sumbernya. Bisalah ini dipelajari dengan learning by doing.
Kalau kemampuan atau pola dasar itu betul-betul kita pegang biar tiap tahun berganti planning style, dari masterplan ganti RIK, ganti RUTR, lalu muncul PJM, PJP dst, itu cuma modifikasi saja. Juga berbagai pendekatan pembangunan, kalau kita percaya, bisa diikuti untuk menajamkan pendekatan.
Saya cenderung memegang pola berpikir tersebut, dan memilih hati-hati dalam menerapkan pendekatan kontemporer yang terlalu spesifik yang dikembangkan kelompok tertentu. Karena sekali pegangan pola berpikir itu goyah maka akan jadi layang-layang putus lah kita.
Kalau bisa belajar lagi saya pikir public policy itu penting, karena sebuah produk rencana haruslah bisa digiring jadi kebijakan publik, melewati proses konsultasi publik, ada risiko konflik dst. Dan pelaksanaannya dikawal oleh perangkat dan alat hukum, oversight dari legislatif, masyarakat dan media.
Saya banyak lihat teman-teman yang menyusun rencana berdasarkan panduan, peraturan semata, tanpa memegang 'basic sciences' dan dan 'basic method' nya , akibatnya ganti peraturan hilang pegangan dia. Lha kalau ganti menteri, ganti policy terus planner ganti ilmu, ya bukan ilmu namanya. Setidaknya, kalau harus kerja untuk berbagai bidang, basic method 'strategic planning' nya, termasuk derivat nya, yang perlu kita pegang.
Sekali lagi, Planning itu ada basic sciences dan basic method nya sebagai back-bone, bukan ilmu eklektik yang cuma mengandalkan doktrin, retorika, atau peraturan.
Dan akhirnya perlu juga disadari bahwa ilmu Planning aslinya adalah memang Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK). Posisinya ada di bawah kebijakan pembangunan dan rencana tingkat nasional. Alat-alat analisisnya valid untuk skala kota dan wilayah. Boleh saja seorang planner merencana skala nasional, sektoral, tapi harus ingat bahwa ilmu dari sekolahnya kan PWK. Jadi kalau bermain diluar PWK itu boleh dibilang tanggung jawab pribadilah, kalau melenceng jangan disalahkan ilmunya. Karena ilmu apapun kan ada batasnya. Bukan mau-mau sendiri. Seorang insinyur mesin ya jangan sok jadi ahli komputer. Boleh saja, tapi kalau ada misjudge itu salah orangnya, bukan salah ilmu teknik mesinnya.
Hal terakhir ini sering menjadi jebakan (atau kutukan) bagi planner. Karena mempelajari aspek sosial-ekonomi-fisik, sok menangani segala aspek kehidupan. Atau sebaliknya banyak orang lain menuntut planner bisa jadi ahli masalah sosial, ekonomi, atau enjineering. Jadinya seperti sasaran kritik saja. Dalam hal ini kita harus tahu diri jika masuk ke "level of incompetence". Kalau harus masuk ya belajar lagi ilmu tambahan tersebut. Sekali lagi, kita perlu menegaskan bahwa PWK itu ada ilmu dasarnya, bukan kumpulan dari wacana yang kiri kanan oke. Karena kalau ngaco-ngaco nanti hilang kepercayaan orang.
Harus dibedakan antara praktek dukun dengan disiplin ilmu kedokteran. Meskipun kadang dukun bisa menyembuhkan, tapi apakah 'konsisten' dan bisa 'diprediksi' ampuh untuk semua pasien? Makin bisa menyembuhkan segala penyakit, makin layak diragukan.
Sdri Melly, semua hal di atas terkait dengan pancingan anda tentang fondasi dan bangunan 'ilmu'. Saya tidak tahu pengalaman anda saat kuliah, tapi saat saya kuliah dulu terus terang bngung sekali, karena tiap hari menerima ilmu yang merupakan kumpulan tulisan macam2, readings tanpa satupun textbook yang utuh, diskusi2, di sela-sela itu ada alat2 (hitung, gambar peta) yang sepertinya eksak tapi ternyata makan diskusi dan beda pendapat lagi. Sehingga penemuan fondasi dan 'back-bone' itu menurut saya sangat diperlukan. Tulisan diatas dan posting sebelumnya adalah upaya atau ijtihad saya, yang jadi pegangan saya selama berprofesi. Tentu anda atau teman planner lain bisa punya kesimpulan lain.
Tapi soal tanggung jawab profesi, mungkin lain lagi. Seorang insinyur mesin bisa saja jadi ahli kebijakan industri, pioneer industri mobil nasional. Itu sudah di luar konteks diskusi soal ilmu tadi.
Memang dalam milist ini diskusi berkembang berdasar latar belakang orang, hobby dan tempat kerjanya. Tapi mesti dibedakan antara diskusi 'fondasi ilmu planning' seperti yang Melly angkat, dengan diskusi bebas antar teman tentang soal macam-macam.
PWK itu sekolahnya cuma 4,5 tahun, seperti sekolah teknik mesin, ekonomi, kedokteran. Janganlah dituntut macam-macam, dan jangan pula merasa bisa semua hal. Kalau anda ketemu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional boleh lah tanya dia segala macam, karena punya deputi dan staf bidang yang banyak. Tapi seorang sarjana Planologi? Masa kegagalan 100 tahun kebangkitan nasional, kok planner yang dimaki...please deh...Planner juga manusia, kata kawan kita.
Kadang saya iri kepada tetangga kantor saya di gedung Bursa Efek Indinesia, para ahli yang kerja di sekuritas, investment banking, dan berbagai lembaga keuangan terkaitnya itu. Teman-teman yang banyak dari matematika dan fisika ITB itu, bekerjanya cuma dengan satu rumus saja, yaitu: F=P(1+r)t , rumus ini saja dibolak balik pakai kalkulator seri HP-Business nya, sambil memantau pola-pola grafik turun-naik, kalau mirip clurit jual, kalau mirip tongkat golf beli. ....Bayangkan cuma satu rumus?!, yang para planner juga biasa pakai untuk memproyeksi penduduk. Kalau mereka kenal rumitnya pikiran kita barangkali akan bilang...Gitu saja kok repot. Dan lebih iri lagi karena tiap Tahun Baru yang buka kantor selalu Presiden sendiri, tidak diwakilkan.[Risfan Munir, planolog alumnus ITB]
Membaca buku "1000 Hari di Bali Barat"
Terkait dengan ajakan Sdri. Melly untuk juga mengembangkan praksis perencanaan wilayah dan kota, referensi di bawah ini mungkin menarik.
Baru-baru ini saya baca buku yang ditulis oleh planolog tamatan ITB, Ria Fitriana. "1000 Hari di Bali Barat, sebuah Catatan Proses Belajar Bersama Masyarakat". WWF Indonesia. Nov 2007.
Buku ini mengisahkan pengalaman Ria dalam pendampingan untuk pengelolaan sumber daya alam pesisir, pengembangan ekonomi rakyat, dan pengorganisasian masyarakat di kawasan Bali Barat. Walau tujuan utamanya adalah terkait upaya peletarian Taman Nasional Bali Barat, tapi aspek yang digarap, dan solusi yang dirumuskan komunitas terkait pengembangan ekonomi rakyat dan aspek penguatan kerja sama antar anggota komunitas, dan lintas kelompok dengan pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP). Membaca buku ini seolah menyegarkan ingatan pada doktrin Geddes "Folk-Place-Work".
Buku yang merupakan catatan dan refleksi pengalaman ini dimulai dengan upaya memahami apa yang terjadi, sebagai pendahuluan untuk mengantarkan pembaca pada situasi yang memprihatinkan bagi lingkungan dan kelangsungan hidup, antara lain akibat penggunaan 'potas' untuk menangkap ikan. Dampaknya mengancam kelestarian ikan dan terumbu karang, dan nantinya kehidupan komunitas nelayan sendiri. Jelasnya ada konflik kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Pembahasan selanjutnya mengikuti alur berturut-turut: Memahami Kawasan Bali Barat, Merumuskan Strategi Bersama, mewujudkan tindakan, mengerahkan dan mengembangkan kemampuan, isu keberlanjutan, serta memantau proses dan mengkaji manfaat.
Dibaca sepintas lalu seperti sistematika dokumen penyusunan strategic/ action plan, namun seperti pada judulnya, ini merupakan rekaman proses belajar bersama masyarakat. Ini mengingatkan pada apa yang disebut John Friedman sebagai 'planning as a learning process'.
Pemahaman dan pengumpulan informasi diperoleh melalui kunjungan dan serangkaian diskusi informal bersama masyarakat, bersama kelompok pengaruh dan tentu dengan pengumpulan data sekunder pendukung.
Proses pemetaan masalah dan rencana pengentasan, potensi dan harapan, dan penentuan kelompok sasaran juga dilakukan bersama masyarakat, yang diarahkan untuk mendorong tindakan nyata. Yang terakhir ini bedanya dengan planning umumnya yang berakhir dengan penganggaran pemerintah.
Dalam implementasi action plan itu dilakukan pengerahan dan pengembangan kemampuan masyarakat, sehingga mereka lebih berdaya secara ekonomi, sosial, dan kesadaran akan pelestarian lingkungan.
Yang menarik dari buku ini, karena bahasanya menggunakan bahasa cerita realita dan proses yang terjadi di tingkat komunitas. Penulis juga menggunakan kata saya, sehingga kesannya bercerita. Maka menjadi bahasa yang hidup, bebas dari sekat bahasa teknis ekonomi, sosial, tata ruang. Folk-Place-Work digarap sebagai satu kesatuan utuh, tidak dipisah-pisah. Tidak juga anti ekonomi, anti sosial, atau anti fisik.
Apakah buku ini mewakili genre baru dari planning sebagaimana diantisipasi oleh Friedman sebagai 'planning as a learning process' itu? Entahlah. Tapi seperti ajakan untuk mengembangkan praxis Planning, maka buku sejenis ini adalah tepat sebagai acuan. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]
Argumentasi ekonomi dalam Perencanaan Wilayah dan Kota
Menurut saya seperti kita belajar ilmu fisika, ada rumus yang diyakini tapi disederhanakan untuk level SMA, level S-1 (praktisi), lalu ada level S-3 yang meriset ulang, menggugat teori atau konsep yang ada. Namun saat aplikasi di pabrik ya yang praktis saja. Kalau rumusnya Newton, atau rumus menghitung diameter kabel itu diperdebatkan di depan teknisi ya kacau. Menurut saya itu salahnya para pemikir agama (ahli filsafat agama) yang memperdebatkan filsafat tuhan dan keimanan di publik awam, yang seharusnya jadi subject seminar S-3 saja. Ya, ini pemisalan yang saya ekstrem-kan. Tapi pada orang/kelompok yang sama pun mesti ada kejelasan saat ini kita bicara di level mana. Saat di lapangan saya kadang ketemu aktivis LSM yang bicara retorika landasan negara, atau sosialisme di kelompok petani, menutut saya kok ya aneh, orang sedang ngomong pentingnya gotong-royong meluruskan parit kok diajak menyerang ideologi ekonomi negara.
Eh, kejuahan ya nglanturnya..... Anyway, saya setuju dengan anda untuk mengembangkan praksis perencanaan tata ruang atau yang lebih netral perencanaan pengembangan wilayah dan kota.
Kedua, soal term 'spatial capital'. Istilah ini saya kira tidak ada di kamus planning. Tapi diskusi itu diawali dengan istilah 'social capital'. Memang social capital sendiri ada yang mengkritik sebagai ekonomisasi dari aspek sosial. Yang seharusnya masing-masing aspek punya tujuannya sendiri. Sehingga 'spatial capital', tentu saja sulit menghindar dari persepsi ekonomi. Konotasinya tentu mengarah ke 'land-value', 'land-price'. Sebagaimana bicara lingkungan, kalau suatu hamparan kita sebut 'lingkungan hidup' atau habitat, konotasinya ke pelestarian lingkungan dst. Tapi kalau hamparan itu disebut sumber daya alam, ya konotasinya langsung ke ekonomi.
Tapi apakah term ekonomi itu sendiri buruk? apakah term sosial itu lebih mulia? lalu spatial lebih gagah, macho? Sehingga ada statement bahwa 'ekonomi' itu produk import, sedang yang asli Indonesia adalah yang “mulia-mulia” (?). Apa bangsa ini tidak butuh makan? Saya kok punya pendapat salah satu sebab bangsa kita korup adalah tradisi feodal kita mengharamkan bicara ekonomi. Ekonomi atau dana dibutuhkan oleh para feodal, tapi dianggap ‘urusan belakang’, tidak layak dibicarakan. Sehingga yang terjadi para istri berupaya sana-sini cari dana, dagang atau pungut ini-itu, untuk kemuliaan kedudukan suaminya di masyarakat (sorry pendapat pribadi).
Eh, nglantur lagi ya….
Mesti disadari juga, bahwa Planning, kalau toh bukan ilmu adalah teori atau konsep yang ada tujuan, lingkup, komponen, struktur dan prosesnya. Planning bukan konsep yang bisa "ngarang sendiri" atau "eklektika" alias gado-gado. Konsistensi dan daya prediksi tentu dituntut oleh public. Lha kalau tidak konsisten, tidak punya daya prediksi, kalau diterapkan tidak ada jaminan (deduktif, induktif) akan menghasilkan suatu tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat, ya konsep "rencana suka-suka" namanya itu. Kalau itu untuk merencana kebun sendiri OK saja. Tapi kalau untuk publik, ya jangan bereksperimen dengan publik sebagai korban.
Untuk itu menemukan ‘konsistensi’ dan ‘daya prediksi’ itu, mulai dari saat sebagai mahasiswa, pengajar, konsultan, fasilitator, penulis, saya selalu mencoba menggali argumentasi atau penjelasan yang kurang lebih mendekati ‘konsistensi’ dan punya ‘daya prediksi’ itu. Kalau merekomendasikan tindakan ini, outputnya itu, outcome nya itu, dan impactnya nanti kesana. Sejauh yang bisa saya pikir, yang bisa saya tulis dan praktekkan, rasanya ‘argumentasi ekonomi’ kok lebih kena bagi saya. Dan rasanya misi penciptaan lapangan kerja, meningkatkan keunggulan daerah, pengentasan kemiskinan, itu misi yang valid.
Memang kalau menekuni planning ini kan ada yang bias ke aspek-aspek visual. Tapi aspek visual buat saya pribadi tidak kuat. Selain soal artis design yang subyektif, menjelaskan manfaatnya ke publik sangat sulit. Mendesign site kan tidak seperti mendesain patung atau taman. Kecuali bisa meyakinkan Gubernur/Walikota/Bupati, DPRD, dst.
Pendekatan anthropologis, kebetulan bagi saya juga sulit, karena harus empiris, spesifik. Tidak selalu kita punya resources untuk mendampingi komunitas. Tapi kalau resourcenya mendukung, sebetulnya ini ideal, karena ujungnya kan memberdayakan, membuat masyarakat menemukan potensi dan solusi nya sendiri, bisa mengurangi ketergantungan.
Argumentasi spatial, yang murni fisik, menurut saya ampuh untuk merencana ”kawasan non-budi daya”, juga zonasi berbasis daya dukung lahan, buffer-zone, bantaran sungai. Dengan mengandalkan analisis geologi teknik, jenis tanah, topografi, vegetasi, curah hujan, faktor iklim dan faktor fisik lokal lainnya. Saya kira semua planner menguasai tekniknya, apalagi setelah ada aplikasi2 GIS untuk memetakan land-suitability.
Tapi kalau sudah menyangkut merencanakan ”kawasan budi-daya”, kawasan terbangun, lingkungan kota, ini pertimbangan dan argumentasinya sudah bukan fisik lagi. Karena secara fisik syarat untuk perumahan dan perdagangan kan sama (misalnya). Argumentasinya menjadi serba relatif, tergantung kepentingan. Dan lagi-lagi disini argumentasi ekonomi (bagi yang pro vs yang kontra, yang diuntungkan (+) vs dirugikan (-)) oleh RUTR akan menjadi bahasa yang lebih common. Aksesibilitas adalah bahasa teori lokasi (ekonomi), juga trade-off, opportunity cost, land value, apalagi land price.
Juga sistem kota-kota, lepas dari setuju atau tidak, dasarnya adalah teori lokasi (ekonomi) dan geografi ekonomi. Losch, Chritaller, Brian Berry semua argumentasinya geografi ekonomi. Juga Pak Poernomosidhi, argumentasi SWP dan sistem kota-kota nya juga pada fungsi (ekonomi) kota dan sistem jaringan koleksi/distribusi barang. Lalu derivat nya seperti NUDS, P3KT jelas argumentasinya juga mempromosikan kota-kota sebagai simpul-simpul koleksi/distribusi, pusat-pusat pertumbuhan (ekonomi). Juga pengembangan transmigrasi, basisnya adalah penyediaan lapangan kerja (Nakertrans), pemerataan penduduk dan optmalisasi pendaya-gunaan sumber daya alam nasional. Konsepnya juga (dari bawah) pengembangan SP (satuan permukiman) yang self-subsistence, lalu penguatan basis produksi SKP (satuan kawasan permukiman), untuk berlanjut ke integrasi dengan SKP lainnya membentuk satuan wilayah lebih luas, ya daerah itu sendiri. Back-bone nya ekonomi, yang lain mengikutinya.
Argumentasi ekonomi itu untungnya sudah jadi common language. Kalau kita mau menggoalkan program kan mesti pakai bahasa yang dipahami umum. Kecuali soal bencana alam, misalnya. Kalau argumentasi lingkungan hidup dan sosial-budaya, biasanya akan perlu diucapkan oleh pakar atau tokoh karismatis, atau dengan ”pressure” lewat media atau massa di lapangan. Sedang otoritas pejabat biasanya lemah kalau atasannya beda pendapat, apalagi di era saat ini antar instansi sering beda pendapat.
Saya menyadari argumentasi ekonomi memang tidak ideal. Karena itu saya salut dengan planner seperti Ria Fitriani, misalnya, yang menerapkan pendekatan ”utuh” (sosial-fisik-ekonomi) dalam kerja pendampingan di lapangan untuk pelastarian kawasan pesisir Bali Barat, sebagaimana ditulis dalam bukunya ”1000 hari di Bali Barat”. Kesan saya, saya tuliskan pada posting berikutnya. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif."]
Monday, January 07, 2008
Visit Indonesia Year 2008 Rute Yogyakarta Kuala Lumpur
Ini menarik, nampaknya jalur penerbangan ini layak dibuka karena 'dijamin' oleh arus pulang-perginya penumpang TKI dan TKW ke Malaysia. Namun dengan adanya rute penerbangan ini diharapkan oleh pemerintah untuk bisa merangsang meningkat arus wisatawan dari Malaysia ke Yogyakarta. Sekali lagi, TKI dan TKW bukan saja menjamin arus devisa dari remittance (uang kiriman ke kampung), tapi juga telah menopang rute penerbangan dua negara sehingga arus wisatawan bisa dimungkinkan naik.
Harapan itu ditunjukkan oleh Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) yang menganggap ini sebagai tantangan, dan dia optimis dengan kerjasama itu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Yogyakarta akan berkontribusi besar dalam mencapai target Visit Indonesia Year 2008 yang tujuh juta itu.
Penerbangan Malaysia Airlines akan menggunakan pesawat Boeing 737-400. Dengan operasi itu berarti ada 73 penerbangan dengan 25.504 tempat duduk dioperasikan Malaysia Airlines per minggu ke lima kota di Indonesia (Kompas, 12-1-2008).
Bicara soal semboyan, maka kelihatannya "Malaysia Truly Asia" akan bertemu dengan "Jogja, Never Ending Asia". Daya tarik mana yang lebih besar kekuatannya dalam menarik wisatawan dari Kuala Lumpur ke Jogja, atau sebaliknya. Kita tunggu saja berita selanjutnya.
Sesuai hukum gravity potential, besar arus dan arahnya akan ditentukan oleh kekuatan daya tarik antara dua titik (kota) yang berhubungan. Baiklah kita mencoba mengukur kedigdayaan masing-masing. Yogyakarta adalah seperti kumpulan saripati dari berbagai produk dan spirit budaya Asia (ada India, Islam, Budha atau Asia Timur) yang sudah mengendap dan diinterpretasikan sebagai budaya lokal. Wajar kalau Jogja menyebut diri Never Ending Asia.
Sementara Malaysia, yang budayanya tampak lebih muda, karena lokasi geografisnya di persimpangan, dihuni warga multi ras, Melayu, India, China, dst. Yang masing-masing masih hadir sesuai asalnya, belum menyublim menjadi 'budaya lokal'. Maka wajar kalau strategi mereka adalah menonjolkan multi-ras yang disebutnya Truly Asia itu.
Dengan kata lain, kalau soal keorisinilan maka Jogja bisa lebih unggul. Tetapi kalau dari segi kesiapan menyongsong dan melayani tamu dari luar, budaya kontemporer, nampaknya Kuala Lumpur bisa lebih siap. Lebih banyak orang KL yang menguasai bahasa English, India, Mandarin. Namun mereka juga sadar akan ketebatasan sumber budaya itu, sehingga mereka memilih strategi 'meminjam' bahkan 'mengakui' produk budaya tiap ras untuk dipaket dan dijual.
Sementara itu Jogja sangat kaya akan daya tarik dan produk budaya, sebagai atraksi atau obyek wisata. Namun masalahnya adalah produk Never Ending Asia itu kadang sudah menjadi produk lokal. Kebanggaan lokal, yang kadang berlebihan sehingga kurang awas terhadap selera wisatawan mancanegara. Untuk itu maka melalui berbagai upaya promosi, dan prinsip "7-P" (product, price, place, promotion, people, process, physical evidence) harus diupayakan agar lebih familier bagi wisatawan mancanegara.
Kalau kita berfikir lebih jauh lagi, dengan kerendahan hati, terbukanya rute penerbangan Jogja - Kuala Lumpur itu juga bisa dijadikan kerjasama pemasaran ke berbagai negara lain, Jepang, Amerika, Eropa, dengan membuat paket perjalanan Kuala Lumpur - Jogja - Bali, atau Kuala Lumpur - Jogja - Borobudur - Semarang misalnya, melengkapi simbol-simbol Islam (Kesultanan Mataram), Budha atau Asia Timur (Candi Borobudur), Hindu (Candi Prambanan), Katholik (Sendang Sono), ditambah ikon China (China-town, Cheng-ho di Semarang). Pengalaman perjalanan sepanjang koridor ini niscaya bisa diisi dengan wisata agro, mampir ke berbagai pengrajin tembikar, logam, pembatik, pengukir, dan banyak atraksi yang bisa dikembangkan. Untuk itu peranan penataan ruang kawasan juga sangat diperlukan, seperti ditunjukkan oleh kreasi teman-teman yang merancang kawasan Pecinan dan Kolonial di Semarang lama.
Bagaimanapun, tentunya kita berharap agar tiap momentum bisa dimanfaatkan agar bisa mempercepat Jogja dan sekitarnya untuk bangkit kembali pasca gempa yang lalu. [Risfan Munir berdasar pengalaman penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di beberapa daerah di Indonesia]
Visit Indonesia Year 2008 dan Desa Wisata
Berbicara mengenai manfaat yang terakhir itu ada inovasi yang layak dicatat, yaitu tentang pengembangan desa wisata. Sebagai salah satu contoh ialah pengembangan Desa Wisata Candirejo. Berkaitan dengan Visit Indonesia Year 2008 ini ada gunanya meninjau konsep pengembangan alternatif di desa yang tak jauh dari Candi Borobudur ini.
Pengembangan Desa Wisata Candirejo ini sebetulnya motif dasarnya adalah dalam rangka konservasi sumber daya air di kawasan sekitar. Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam kelompok pecinta alam Patrapala dari Yogyakarta disponsori oleh donor dari Jepang untuk melakukan kajian konservasi air, melalui pelestarian peruntukan lahan perdesaan, agar tidak jadi korban ekspansi pertumbuhan fisik sehubungan kegiatan pariwisata sekitar Candi Borobudur. Kajian ini berkembang dengan mengaitkan misi lingkungan dengan pengembangan ekonomi lokal. Ini mengingat akan mustahil mengonservasi kawasan tanpa memberikan manfaat ekonomi warga setempat.
Melalui proses pendampingan yang partisipatif, melibatkan warga dan stakeholders, secara bertahap terbentuklah konsep Pengembangan Desa Wisata Candirejo itu. Inti dari konsep desa wisata ini adalah menawarkan kehidupan perdesaan asli desa setempat (Jawa Tengah). Rumah-rumah desainnya dipertahankan apa adanya. Rumah desa Jawa, yang kadang ada pendopo kecil, bale-bale tempat duduk di depan rumah, dengan pelataran yang diteduhi pohon rambutan dan liainnya. Di bagian belakang rumah ada kandang ternak, atau tempat penyimpan kayu bakar dan lainnya.
Hubungan antar rumah juga dibiarkan apa adanya, hanya jalan-jalan kecil yang ada dirapihkan diperkeras. Ada halaman yang cukup luas milik desa dijadikan arena penyelenggaraan pertunjukan tarian setempat dan sajian hiburan lainnya. Biasanya pertunjukn malam menggunakan penerangan obor.
Atraksi wisata yang ditawarkan adalah pengalaman 'hidup' di desa khas Jawa Tengah itu, sehingga wisatawan dipersilahkan tinggal menginap di rumah-rumah penduduk. Tentu saja untuk akomodasi ini, rumah-rumah yang kamarnya dianggap layak menerima wisatawan diberi bantuan untuk sedikit merenovasi, membuat sumur, kamar mandi dan mendapat penerangan listrik. Ada puluhan rumah yang berfungsi sebagai semi homestay ini.
Untuk menghidupkan suasana dan membuat wisatawan betah tinggal beberapa hari, pengelola yang sesungguhnya warga dengan fasilitator dari Patrapala itu mengadakan berbagai acara. Agenda acara yang dikembangkan, antara lain perjalanan ke sekitar kawasan, mulai dari mendaki bukit, menikmati pemandangan matahari terbit, atau terbenam, menyaksikan pagelaran kesenian, tarian sebagai tontonan dan yang interaktif dengan pengunjung, upacara-upacara adat disesuaikan dengan kalender setempat, misalnya memperingati tahun baru Jawa, upacara menyongsong panen, penikahan, khitanan, dst.
Saya sendiri ke Candirejo beberapa tahun lalu dalam rangka menjadi pembicara suatu seminar yang diselenggarakan di ruang depan satu rumah yang tidak besar, berdinding bilik bambu. Sejuk tanpa AC (sehingga aman bagi ozon), karena dari jendela dan pintunya berembus angin dari halaman sekitar yang diteduhi pohon rambutan dan sawo itu.
Lokasi tujuan wilasata alternatif ini setahu saya berkembang juga di beberapa daerah, melengkapi obyek dan atraksi wisata yang konvensional.
Sekali lagi momentum Visi Indonesia Year 2008 ini layak untuk dimanfaatkan. Suksesnya penyelenggaraan Global Climate Change Summit yang disponsori UNDP di Bali menjelang akhir tahun 2007 kemarin tentunya berdampak positip bagi 'kepercayaan' wisatawan dunia ke Bali dan daerah tujuan wisata (DTW) lainnya di nusantara. [Risfan Munir pernah menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata untuk beberapa propinsi dan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia, lihat juga blog Urbanis nya]
Penataan Ruang Pariwisata
Seperti disinggung pada posting sebelumnya, prinsip pemasaran dan pengembangan pariwisata menggunakan prinsip marketing mix '7-P' (product, price, place, promotion, people, process, physical evidence). Semua itu tentunya terjadi dalam seatu kawasan atau Daerah Tujuan Wisata (DTW), serta pengalaman selama perjalanan dari 'gerbang masuk' hingga lokasi obyek utama.
Tata Ruang Koridor Wisata
Secara agak ekstrem, bagaimana wisatawan dari airport di Makasar menuju Tana Toraja yang memakan waktu 8-10 jam itu tanpa merasa bosan. Apa saja yang bisa disajikan selama perjalanan itu? Sebuah biro perjalanan menyatakan akan membawa lebih banyak wisatawan kalu di sepanjang koridor Makasar, Maros, Barru, Parepare, Pinrang hingga Tator itu bisa dihadirkan kegiatan pembuatan perahu, me,buat jala, menenun sutera, menanam, memanen, menangkap ikan dan berbagai atraksi khas daerah yang menarik. Atraksi dan obyek itu sementara ini memang sudah ada, termasuk taman wisata penangkaran kupu-kupu Bantimurung yang terkenal itu, tetapi lokasinya umumnya masih jauh dari jalan dan belum ditata secara menarik.
Dengan adanya pembangunan/ peningkatan jalan raya Makasar-Parepare dan lapangan terbang baru tentunya waktu tempuh bisa diperpendek, namun penataan ruang sangat dibutuhkan untuk mengarahkan pengembangan atraksi-atraksi di sepanjang koridor itu, penataan dan pelestarian lokasi-lokasi tertentu untuk mencegah kelongsoran dan banjir yang sering terjadi di musim hujan di jalan menuju Tator, juga pasang air laut di sekitar Barru ke Parepare.
Tata Ruang Cluster DTW
Penataan ruang juga dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang integrated antara obyek utama dan satelit-satelitnya. Misalnya Borobudur dengan obyek-obyek sekitar Kabupaten Magelang. Juga kota Bukittinggi dengan obyek-obyek di Kabupaten Agam. Keterkaitan dalam mendukung satu tema yang sama atau konsisten. Hubungan antar titik itu harus dipertegas dengan prasarana jalan dan sarana transpor yang mendukung, dan bukti-bukti fisik yang konsisten, seperti desain bangunan pelayanan wisata, rumah makan dan lainnya.
Untuk Jawa Tengah saya pernah menyarankan agar ditegaskan tema-tema seperti ikatan budaya, misalnya: Hindu-Budha dengan memanfaatkan daya tarik candi-candi, China dengan jejak muhibah Cheng-ho, dan wisata Walisongo dengan makam dan masjid-masjidnya. Tema terkait kegiatan ekonomi tradisional, seperti batik, kretek, jamu, agro-wisata kebun teh, sawah, kebun bunga dan hortikultura lainnya.
Untuk menegaskan dan mendukung kekuatan daya tarik tema-tema tersebut tata-ruang koridor dan clusters DTW nya perlu disiapkan. Promosi bersama dilakukan sehingga saling menguatkan tema-tema tersebut. Bisa jadi antara tema budaya/agama dengan kegiatan dan kesenian dipadukan, saling melengkapi, agar wisatawan kegiatannya lebih padat dan bervariasi dalam waktu singkat.
Upaya promosi bersama bisa dilakukan di antara Pemda provinsi, antar kabupaten/kota, dengan perusahaan batik Keris, Danarhadi, Semar, teh Sosro, jamu Jago, Air Mancur, Sido Muncul, asosiasi biro perjalanan Asita, PHRI, Angkasapura, Garuda, Asia Air, Lion Air, Merpati dan lainnya.
Itu adalah contoh bagaimana penataan ruang diarahkan untuk mendukung tujuan pariwisata, dengan membuat wisatawan betah tinggal lebih lama, dan kebutuhan yang tercermin dalam '7-P' nya terpenuhi secara optimal. [Risfan Munir dari pengalaman penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di beberapa daerah di Indonesia, lihat juga blog Urbanis nya]
Benchmarking Kuala Lumpur
Kota Kuala lumpur menarik sebagai benchmark, karena dekat dengan Indonesia, sama-sama di negara yang baru berkembang, Asean, tropis, juga sama-sama mayoritas Melayu, multi etnik (ras) tetapi pendorong ekonominya dari etnis tertentu. Selain itu menyebut nama Kuala Lumpur (KL), atau Malaysia diharapkan bisa menggugah semangat bersaing, ada semacam sybling-rivalry antar dua bangsa serumpun ini.
Setidaknya ada beberapa aspek yang layak di-benchmark dari pembangunan dan manajemen kota atau Bandar Raya KL ini.
Tourism. Sangat informatif, didukung petugas yang profesional, lancar berbahasa English, helpful. Obyek dan atraksi wisata kotanya memang menarik, ditata dan dipaket dengan apik, modern, kompak -artinya semua dapat dikunjungi dalam waktu pendek. Obyek dan atraksi pokoknya sebetulnya tidak terlalu aneh, tapi 'dipermodern' dan 'disederhanakan' sesuai kebutuhan dan keterbatasan (waktu) wisatawan. Secara umum menumbulkan kesan bahwa kota ini dibangun untuk wisatawan. Brosur tujuan wisata tersedia dalam jumlah memadai di banyak tempat, dengan desain dan logo 'Malaysia Visit Year' bergambar kembang sepatu (hibiscus) menunjukkan message yang jelas.
Transportation. Modern, integrated, well managed, itulah kesan umum yang kita rasakan sebagai pengunjung dari Jakarta. Untuk sarana angkutan umum ada monorel, LRT, ERT, bus kota reguler, bus komuter, bus wisata (Hop-on, Hop-off), aneka taxi. Semua moda dan jenis angkutan saling mengisi dan menyambung secara terpadu. Ini ditunjukkan secara jelas di KL Sentral, pada terminal utama ini (seperti Blok-M nya), semua moda angkutan umum bertemu, termasuk yang dari luar kota. Terminal raksasa dua lantai ini dibangun secara modern, dilengkapi panel-panel elektronik menunjukkan jadwal/arah perjalanan tiap moda angkutan. Ada petugas penerangan dan informasi pariwisata dengan banyak brosurnya.
Prasarana jalan raya bebas hambatan yang malang melintang menghubungkan antar kawasan kota tentunya ikut menjamin kelancaran transportasi. Jalan raya terasa dibangun untuk kelancaran pengguna jalan, bukan untuk 'mencari uang.'
Pelayanan publik. Dari pengamatan atas 'wajah permukaan' pada sektor pariwisata (pesiaran), transportasi umum, kebersihan kota, ketertiban, timbul kesan kuat bahwa pelayanan publik dikelola dengan baik.
Outcome berupa kebersihan, ketertiban, kelancaran, informasi menunjukkan performance kerja manajemen yang baik. Juga sikap dan perilaku petugas lapangannya yang profesional, menunjukkan supervisi dan manajemen SDM yang berjalan baik.
Land-use dan Pengelolaan lingkungan. Built-up area yang tidak terlalu padat, luasnya area terbuka hijau, bahkan hutan kota, populasi pohon sepanjang jalan, dari segi land-use menjamin situasi lingkungan yang sehat. Paru-paru kota bisa bekerja baik.
Pembangunan hunian yang diarahkan vertikal, dengan investasi pada rumah-susun mendukung land-use hijau tersebut.
Pembagian fungsi antar bagian wilayah kota juga diterapkan. Sehingga ada bagian wilayah sentra bisnis dan perbelanjaan, yang merupakan kawasan andalan untuk sarana bisnis modern dan global, yang mengakomodasi semua kebutuhan bisnis modern, seperti hotel-hotel berbintang, gedung-gedung perkantoran modern (smart building), termasuk menara kembar Petronas, landmark yang sempat menjadi gedung tertinggi di dunia. Tampak jelas niat untuk menarik perhatian (investor) dunia. Kawasan lain yang dikembangkan sebagai akomodasi bagi competitive indultrial cluster adalah Putrajaya dan Cyberjaya.
People-culture. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat kota lebih manageable adalah jumlah penduduknya yang tidak terlalu besar. Jumlah penduduk kota KL dan negera Malaysia relatif kecil dibanding Indonesia.
Pada aspek sosial-budaya, yang ditawarkan oleh Malaysia adalah tema-tema keanekagaraman ras, bukan etnik. Ada Melayu, China, India, dan 'suku' dayak. Seperti sajian tarian, kerajinan dari aneka ragam ras tersebut.
Dari sisi sosial-ekonomi, kelihatannya dengan jumlah penduduk yang tak terlalu besar, pendapatan nasional relatif tinggi, pendidikan rata-rata relatif tinggi membuat kota KL tidak harus menampung 'masalah' migrasi desa-kota yang tidak siap, pengangguran dan sektor informal. Sehingga tidak ada PKL informal di pusat keramaian sekalipun. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]
Visit Indonesia 2008
Hal yang paling penting tentang pariwisata adalah pemasaran, promosi. Prinsip dasar paling umum adalah AMBAK (apa manfaat bagi ku/wisatawan).
Pariwisata: Bisnis Hiburan sebagai sumber devisa
Pariwisata adalah soal bisnis, jualan. Apa yang layak dijual, diminati wisatawan ya jual saja, dengan cara yang menarik bagi wisatawan. Apa yang menarik bagi wisatawan? Ya tanya ke mereka. Lakukan survey.
Selama ini kita banyak GR nya. Merasa punya banyak daya tarik, merasa diri menarik. Tetapi kurang pemasarannya. Asumsi kita orang luar negeri tahu 'kekayaan wisata' kita. Nyatanya kan tidak. Kita lupa bahwa mereka tidak pernah belajah Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia seperti anak SD/SMP kita. Coba kalau ada kesempatan jalan ke Singapore, Malaysia tanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia? Jawabannya umumnya minim. Kaum terpelajarnya saja banyak yang tidak tahu peta wilayah Indonesia, apa lagi multi-etnik dan daya tarik budaya dan alamnya. Yang mereka tahu paling cuma Jakarta, Bali, Batam dan sekitarnya.
Masalahnya, umumnya kita kalau membahas pariwisata selalu condong bicara dari sudut pandang kita sendiri (inward looking), bukan dari sudut pandang wisatawan. Kita sering rancu antara misi pariwisata dengan misi 'kebanggaan budaya' dan harga diri bangsa. Kurang mau melihat dari sisi wisatawan.
Bahwa banyak daerah kebanjiran, ada korban Lapindo, saya kira tidak soal, karena sebagian besar wisatawan perlunya cuma ke daerah tujuan wisata (DTW) tertentu saja. Mereka tidak tahu apa itu Indonesia, Jawa, Sumatra, Sulawesi, itu apa, dimana. Yang mereka tahu Bali, Jogya, Tana Toraja, mungkin Bukittinggi dan sekitarnya, juga Bunaken. Kalimantan atau Borneo sudah jelas lebih dikenal sebagai hinterland-nya Malaysia, yang lebih menghargai dan lebih banyak memasarkannya. Untuk pulau Bintan saya dengar banyak tour operator yang samar saja menyebutnya sebagai bagian dariIndonesia, mungkin supaya wisatawan tidak takut.
Yang paling penting adalah bagaimana DTW-DTW yang sudah dikenal itu dipaketi sedemikian rupa sehingga lebih informatif dan menarik.
Segmenting, Targeting, Positioning
Baiklah kita bicara pasar dulu.Bicara strategi pemasaran, berarti bicara – segmenting, targeting, positioning. Segmenting artinya mesti diperjelas dulu segmen pasar mana yang akan dituju. Melihat trend belakangan, apalagi pasca 9/11/2001 dan bom Bali, maka mungkin presentase terbesar yang diharapkan adalah dari Asia Timur, dari pada Eropah dan USA. Selain itu Australia, walaupun mereka takut-takut, tapi Bali dekat dan murah, mereka juga sudah kenal, bahkan mungkin punya mitra usaha disitu. Asumsi itu tentu perlu dikonfirmasi dengan data. Tentunya market yang lain juga tetap harus digarapwalaupun bukan prioritas.
Setelah tahu segmen, berapa besarnya, bagaimana karakternya, kelompok usia, length of stay, spending behaviour, maka selanjutnya bisa dilakukan targeting, yaitu lebih memfakuskan lagi dari segmen itu siapa yang dituju, paket dan karakter atraksi wisata apa yang mereka gemari. Berapa dan bagaimana target kita canangkan.
Selanjutnya, proses positioning. Bagaimana kita, Indonesia, dengan Visit Indonesia, bagaimana positioning kita terhadap para pesaing. Kita akan mengunggulkan diri di sebelah mana?
Pada masa sekarang ini, bisa menahan wisatawan hingga 7 hari saja barangkali sudah berat. Dengan demikian maka obyek dan atraksi yang akan disajikan juga harus dengan batasan 7 hari dikurangi waktu perjalanan. Mengingat sebaran DTW yang luas, maka sepertinya kita tidak bisa ambisius membawa wisatawan ke banyak lokasi sekaligus. Sehingga kalau ke Bali, yang dengan sekitarnya saja. Kalau ke Jogya, ya ke Borobudur dan sekitarnya saja, begitu pula ke Tator, atau ke Bukittinggi. Atau bisa ke dua DTW tapi waktunya lebih singkat, lebih banyak di perjalanan. Berarti belanjanya jadi kurang.
7-P
Selanjutnya, lebih operasional, sebagai bisnis jasa marketing pariwisata menggunakan doktrin marketing mix 7-P (bukan cuma 4-P), yaitu: Product, Price, Place, Promotion, Process, People, Physical evidence. Artinya, tidak seperti barang yang disajikan produknya, diberi harga yang pas, diletakkan di tempat yang pas, dan dipromosikan. Tapi menyangkut pariwisata perlu ditambahi pengalaman wisatawan menikmatinya, apakah enjoy, dan people atau tour-operator, penduduk yang ditemui itu mendukung suasana, serta ada bukti fisik di lapangan yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan. Ini yang kompleks, karena sering harus integrated antar kegiatan pariwisata, serta dengan kegiatan, sarana, dan prasarana pendukungnya.
Baru-baru ini Menteri Jero Wacik dengan Garuda Indonesia mencanangkan dukungan maskapai ini terhadap VIY-2008 dengan menambah operasi ke Jepang. Acara yang juga didukung oleh semua asosiasi operator biro perjalanan dan perhotelan itu difokuskan ke Jepang. Bahkan untuk promosi sengaja akan mengundang Sadao Watanabe, sang bintang Jak Jazz itu.ini membuktikan bahwa fokus kita terutama Asia Timur.
Memang jumlah dan frekuensi kunjungan wisman dari Asia Timur ini harusnya diantisipasi dari dulu. Kalau di Bali, kehadiran mereka memang sudah direspons dari dulu, ini bisa kita lihat dengan banyaknya brosur macam-macam di Airport Ngurah Rai dalam huruf kanji. Saya tidak tahu di Bitung, tetapi di Jawa Tengah yang juga banyak dikunjungi mereka nampaknya belum merespons. Padahal seharusnya Jawa Tengah mempelajari kenapa banyak sekali orang Jepang, juga Taiwan, Korea, atau komunitas Budhist itu kesana, bukan Cuma sebagai wisatawan tapi juga mensponsori pemugaran candi-candi (terutama Borobudur, Prambanan) tapi kok tidak ada brosur dalam hurut kanji, yang ada nama-nama jalan ditulis dalam huruf ’honocoroko.’ Counters information center juga kurang sekali, kalau ada tidak informatif.
Kalau asumsi saya benar, bahwa orang luar negeri itu tidak kenal Indonesia, maka adalah kesalahan kita sendiri kalau dunia internasional tidak mengenal kekayaan daya tarik wisata di negara kita. Mestinya kan bisa menahan wisman 7 hari di Jawa Tengah, lalu tahun depan diharap mereka 7 hari lagi ke Bali, 7 hari masa liburan lain ke Sumatera Barat, dst.
Masalah klasik lain adalah soal petugas yang tidak profesional, sedikit yang menguasai bahasa asing. English saja terbatas, apalagi Jepang, Mandarin dst.
Kalau mau benchmarking, bisa kita jadikan Visit Malaysia 2007 sebagai acuan. Dengan kepala dingin harus diakui bahwa kalau bicara persaingan global, maka konkritnya adalah besaing dengan Malaysia. Yang kayaknya sebanding, dan beatable begitu. Bagaimana dia memasarkan, memaketi dan mempromosikan potensi wisatanya yang terbatas itu dengan baik sehingga begitu 'friendly' bagi wisatawan mancanegara (wisman).
Kalau dibandingkan dengan Malaysia, katakanlah Kuala Lumpur saat menerapkan Visit Malaysia 2007 yang lalu . Kesan penerapan 7-P tersebut sungguh jelas terasa.mulai dari KL International Airport, spanduk brosur-brosur, pin petugas, poster di mobil-mobil di hotel sungguh terasa. Dengan logo ’bunga sepatu’ (hibiscus) yang konsisten digunakan dimana-mana memberi kesan serius menyambut tamu.
Dan yang lebih penting lagi, paket-paket, seperti ditunjukkan oleh brosur-brosur yang desainnya senada itu menunjukkan ’pengemasan’ atraksi dan obyek yang jelas temanya. Agak berbeda dengan disini yang kesannya tiap operator berlomba paket untuk lokasi dan atraksi yang kurang lebih sama, dengan cara promosi dan brosur yang saling bersaing juga. Ini jelas membingungkan wisatawan, yang bukan rombingan (kalau rombongan sudah tidak perlu informasi?). Kesimpulannya kalau di Malaysia jejak Visit Malaysia 2007 sebagai ’program bersama’ itu tampak menonjol, mudal dilihat dan dirasakan wisatawan. Kalau di Indonesia untuk VIY-2008 ini bagaimana?
Malaysia juga tampak sangat serius dalam mengidentifikasi, merevitalisasi, mengemas produk-produk budayanya. Bahkan sampai-sampai yang kontroversial seperti mengakui lagu Rasa Sayange, Reog, Batik sebagai miliknya. Dari sisi mereka itu menunjukkan keseriusannya untuk merevitalisasi kekayaan budaya yang (sebetulnya) terbatas itu. Terutama soal batik Malaysia mereka sangat serius kelihatannya. Sementara kita, setelah kaget ’milik’nya diakui bangsa lain, sampai sekarang juga terbatas ’ngomel’ saja. Nyatanya no action. Tidak ada misalnya dari Departemen Kehakiman mempromosikan kemudahan mengurus hak cipta, paten, dan bentuk HAKI lainnya, atau bantuan pelayanan bagi UKM atau maestro tertentu sebagai ’aksi.’
Yang hilang dari kita saat ini adalah kejayaan Bandara Sukarno-Hatta yang pernah kita banggakan itu. Sementara KL International Airport pada tahun 2005-2006 meraih predikat sebagai the World’s Best Airport, untuk kelas 15-25 juta penumpang/tahun, maka Bandara Sukarno-Hatta kian terpuruk pamornya dengan jalan raya (tol) yang sering terendam air, dan makin macet karena makin banyak pintu keluar/masuk yang dibuka. Ini menunjukkan bahwa di kita ”tidak ada prioritas, tidak ada keterpaduan”. Semua jalan sendiri-sendiri, saling cari untung sendiri, saling jegal. Dalam dunia pariwisata pengalaman ’first impression’ dan ’last impression’ itu sangat menentukan. Kalau keluar dari airport saja sudah macet lebih dari sejam, maka moodnya sudah kacau, pulangnya juga membawa kenangan kemacetan yang sama. Maka agak nekad kalau kita terus mengharap mereka kembali, atau akan menceritakan ’kenangan manis’ kepada tetangga, keluarga dan rekan kerjanya untuk ke Indonesia. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]