Saturday, September 13, 2008

Dilema Perencana Wilayah

Soal konsentrasi pembangunan di Jawa, dan Jabodetabek. Ya, ini masalah klasik. Dan, kalau jawabannya lagi-lagi titah Sistem Kota-kota, ini juga jawaban klasik, normatif. Lalu berikutnya, ke belakang, menyalahkan pengambil kebijakan orde baru, orde lama, ....terus...sampai Deandels. Ke belakang sedikit menyalahkan developer. Dengan begitu amanlah sudah. Salahnya tidak menerapkan Sistem Kota-kota (kata Pak Aby).
Menurut saya setiap kebijakan kewilayahan harus didasarkan kepada pertimbangan "kekuatan" yang bekerja. Seperti teknik sipil yang mendasarkan setiap konstruksinya atas "kekuatan" gravitasi, bagaimana mengelola daya gravitasi itu sehingga terbangun strukur yang kokoh.
Merencana wilayah dasarnya juga bagaimana mengenali, menghitung dan mengelola "kekuatan gravitasi" ekonomi geografi (kalau skalanya wilayah), selain konstrain fisik. Ada kekuatan-kekuatan lain, tapi tak sedominan "daya tarik ekonomi". Aglomerasi ekonomi yang membentuk kota/pusat tersebut. Pola sebaran (geografis)nya yang membentuk pola sistem permukiman dalam wilayah.
Tentu pola itu bukannya tidak bisa diubah. Untuk menatanya, diperlukan intervensi berupa investasi prasarana, kelembagaan dan aturan yang "sebanding kekuatannya" dengan kekuatan daya tarik (potensi) ekonomi yang ada. Sehingga upaya/kebijakan penyebaran (pusat) pembangunan juga membutuhkan dana yang sangat besar, aturan dan kelembagaan yang kuat berpihak kepada masyarakat di wilayah yang mendapat manfaatnya.
Mengadakan dana yang sangat besar dan pemerintahan yang kuat, perlu waktu. Tapi tiap rezim pemerintahan harus segera menguasainya. Untuk percepatan itu diperlukan investasi dari luar, untuk mengeksploiasi SDA, dan membangun industri kebutuhan masyarakat agar tidak tergantung pada impor sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dan investor perlu "lokasi yang siap". (Investor adalah adalah pencari untung, bukan nabi. Jadi jangan salahkan investor yang cari untung. Yang mengandaikan investor yang baik budi adalah orang naif!). Dan "lokasi yang siap", tentu adalah di sekitar Jakarta dan Surabaya. Selain itu di luar Jawa, di kawasan pertambangan, para investor membangun prasarana sejauh diperlukan untuk operasi usahanya. Lagi pula kota-kota tambang umumnya di remote area, tidak di pemukiman yang berkembang (di Soroako bukan di Makassar, di Pasir bukan Samarinda).
Kenyataan itu yang menyebabkan konsentrasi pembangunan di sekitar Jakarta dan Surabaya sulit dihindari. Prasarana relatif lebih siap, pasar konsentrasi utama nya juga di Jawa. Pembangunan prasarana skala besar di Sumatera, seperti trans Sumatera, kenyatanya tidak menghasilkan pusat baru yang kuat, tetapi memperluas wilayah pelayanan Jawa saja.
Dengan realita seperti itu, pertumbuhan Jakarta dan sekitarnya yang pesat, dalam arti positif dan negatif. Maka secara lokal perlu dicari solusi, dan dimunculkan berbagai solusi antara seperti kota satelit, kota penyangga, dan sebagainya. Yang dalam konteks perencanaan kota dan wilayah ini adalah solusi yang optimal yang bisa diberikan. Bahwa itu bukan solusi penyebaran pembangunan nasional `anak kecil' juga tahu.
Kekuatan lain yang mempengaruhi gravitasi adalah otonomi atau desentralisasi pemerintahan ke daerah. Walaupun sudat ada konsep Sistem Kota-kota, kalau semua urusan diputuskan di pusat, ya bias kepada kepentingan pusat, semua perusahaan buka headquarter di Jakarta. Banyak konsep percepatan pembangunan di daerah terkendala aturan terkait kelembagaan yang masih terpusat. Termasuk dalam hal ini Kapet dan lainnya. Maka angin otonomi daerah menjadi harapan baru akan terjadinya desentralisasi kegiatan (ekonomi) dan pemerataan pembangunan ke daerah-daerah. Karena itu saya heran mengapa wacana Desentralisasi/Otonomi Daerah ini jarang dibahas, atau dihindari, dalam milist ini - (sehingga saya sering menyentil bahwa sebagai planner UU kita bukan hanya UUPR, masih banyak UU lain terutama UU32/2004 yang perlu diacu). Seberapa ini efektif bagi penyebaran pembangunan ke daerah-daerah, ini tergantung pada seberapa efektif kualitas pemerintahan di daerah yang mengemban otonomi itu tentunya.
Sampai disini, kesimpulan sementara: (1) Perencana wilayah harus lebih memahami bahwa suatu rencana atau konsep pembangunan wilayah perlu didasarkan atas pemahaman dan pengelolaan kekuatan (gravitasi) ekonomi. Dan, intervensi dalam pengeloaan kekuatan tersebut memerlukan dana (investasi prasarana) memadai dan perangkat aturan dan kelembagaan yang kuat. (2) Berkaitan dengn itu perencana wilayah juga perlu mamahami posisinya, bahwa ada fenomena (nasional, global) dan kebijakan skala lebih luas (nasional) yang lebih menentukan sebaran lokasi kegiatan/pembangunan. (3) Masih banyak yang perlu dilakukan perencana dalam pembangunan skala wilayah untuk menumbuhkan ekonominya mengatasi pengangguran, pendaya gunaan sumber daya alam yang wajar, mengatasi masalah lingkungan.Ini domain perencana wilayah, dan bekal ilmunya cukup.
Soal ketimpangan pembangunan nasional itu adalah domain kebijakan publik, yang mesti mencakup kebijakan ekonomi, politik dsb. Boleh-boleh saja perencana wilayah ikut terjun ke sana, tapi jangan pada saat yang sama juga fanatik dengan atribut "physical planner"nya. Itu sudah beyond physical planning, tapi komprehensif dan politis. Bahkan urusan kepala negara. Lihat saja Obama waktu kampanye ke beberapa negara bagian yang 'kehilangan lapangan kerja' karena relokasi industri ke Meksiko dst, solusi yang ditawarkan Capres itu adalah meninjau agreement NAFTA. Hal seperti itu memang di luar kendali perencana/pemerintah daerah.
Dilema perencana wilayah
Kesimpulan saya selanjutnya, dilema perencana wilayah adalah karena positioningnya sebagai Insinyur (seperti Arsitek yang merencana dan mengendalikan pembangunan fisik rumah/gedung seseorang, semua tergantung kecukupan dana dan kesepakatan kedua pihak). Tetapi yang dihadapi perencana kota/wilayah adalah publik, yang fihaknya banyak, aspirasinya banyak, sedang dana pembangunannya tergantung APBD/N yang diputuskan tiap tahun oleh orang banyak pula. Kesimpulannya, kecuali bekerja di developer atau Departemen Transmigrasi, tak mungkin perencana kota merencana kota dan menyaksikan kotanya jadi dibangun sesuai rencana. Masih banyak proses yang harus dilaluinya dari rencana tersusun, disetujui, disyahkan dewan, diterjemahkan dalam uraian program/kegiatan, dianggarkan, disosialisasikan dan yang dilakukan masyarakat dimonitor, ditindak dst. Logisnya demikian, jadi jangan kecewa.
Alternatif lain, ya positioning seperti ahli manajemen, ahli ekonomi, yang perannya menyarankan pengelolaan, penataan, pembinaan - dengan sadar mengatasi masalah yang tak kunjung selesai (masalah manajemen tidak pernah berhenti, juga ekonomi seperti gejolak inflasi, persaingan, dst). Dan, ini wajar saja sebagai peran profesi. Ahli ekonomi tidak pernah merasa 'diobok-obok' walaupun ekonomi di hampir semua negara naik-turun. Ahli manajemen juga diperlukan terus, karena selalu ada masalah persaingan, human resources, performance dst. Tidak ada 'nabi ekonomi' yang mengatasi semua masalah dengan 'masterplan'nya. Tak ada ahli hukum yang dengan skenario strateginya menghapus semua kejahatan (di satu desa sekalipun). Namanya juga profesi, biasa-biasa sajalah, yang penting bisa memberi solusi dalam perkembangan wilayah/kota yang dinamis, selalu ada soal termasuk konflik kepentingan yang perlu diatasi, dst.
Karena itu, saran saya, milist ini akan produktif kalau membahas berbagai masalah dan alternatif solusi, termasuk aspek-aspek scara agar suatu solusi jadi kebijakan. Mungkin perlu belajar untuk tidak selalu normatif, seperti "....kalau pakai UU ini masalah beres, kalau pakai Konsep ini, masterplan tipe ini pembangunan pasti merata, lingkungan pasti sustainable," dst. Dan, menggeser wacana dari sisi "perencanaan", ke sisi "pemanfaatan dan pengendaliannya." Karena sisi pemanfaatan itu mungkin mengandung banyak aspek yang justru perlu dipalejari/diantisipasi planner sejak awal.
Suatu saat saya menjadi wisman, kebetulan tour guide-nya antropolog dan bertanya apa pekerjaan saya. Saya jawab "urban planner". Respons dia "Wah seperti Tuhan ya, mengatur kehidupan manusia, dimana mereka harus tinggal, dimana harus bekerja." [Risfan Munir]

No comments: