Wednesday, April 21, 2010

Manajemen Pelayanan Publik: Pengembangan Sumber Daya Manusia

Manajemen Pelayanan Publik: Peningkatan Kinerja Manajemen Pelayanan Publik melalui Pengembangan Sumber Daya Manusia

Manajemen pelayanan publik bertujuan untuk memenuhi harapan dari setiap anggota masyarakat atas pelayanan publik yang “cepat, mudah, murah, tepat (sesuai kebutuhan)”. Sesuai amanat Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Standar Pelayanan Minimal. Seringkali terkendala ketidak-siapan sumber daya manusia nya. Sebagaimana keluhan umum masyarakat, “Sumber daya manusia yang melayani dan pendukungnya tidak profesional, tidak mengerti apa yang harus dilakukan; tidak melayani tapi bersikap sebagai penguasa”. Ini berlaku untuk peningkatan kinerja manajemen pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemberdayaan UMKM dan lainnya.

Tujuan dari peningkatan kinerja manajemen pelayanan publik terkait manajemen sumber daya manusia adalah: (1) Mencapai pelayanan yang lebih “cepat, aksesibel, mudah, sesuai kebutuhan kelompok sasaran”, dengan fokus pada perbaikan aspek sumber daya manusia; (2) Menyusun program pengembangan kompetensi sumber daya manusia untuk meningkatkan kemampuannya dalam manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik; (3) Mendukung program peningkatan prosedur dan organisasi pelayanan (bagian dari 3PO(prosedur, personil, policy, organisasi)) dengan mengisi posisi-posisi yang disarankan, dan program pengembangan atau peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang ada sesuai peran baru dan requirement baru dalam peningkatan kinerja manajemen pelayanan publik.

Sesuai tujuan tersebut, maka sasaran yang akan dicapai dalam program pengembangan sumber daya manusia, antara lain: (1) Matriks daftar jabatan dan fungsi sumber daya manusia sesuai struktur organisasi dan pembagian fungsinya; (2) Usulan rekruitmen atau pengembangan kemampuan sumber daya manusia yang ada untuk mengisi jabatan/fungsi yang disarankan dalam pengembangan organisasi pelayanan; (3) Usulan program pelatihan, pemagangan staf untuk memenuhi kebutuhan keahlian/keterampilan tersebut; (4) Matrik training apa, bagi siapa, kapan, dan berapa, yang sesuai dengan strategi pengembangan sumber daya manusia.

Pendekatan

Sebagai bagian dari perbaikan 3PO (prosedur, organisasi, sumber daya manusia, policy), maka pengembangan sumber daya manusia dalam hal ini diarahkan untuk mendukung perbaikan prosedur dan organisasi untuk meningkatkan kinerja.
Recruitment dapat dilakukan dengan dua alternatif untuk memperoleh sumber daya manusia yang dibutuhkan: penerimaan baru dari luar, atau diangkat dari sumber daya manusia Pemda yang ada. Namun keduanya tetap harus melalui seleksi dari beberapa calon, atas dasar kriteria profesionalisme yang disepakati bersama. Bagian ini merupakan tahap yang krusial, karena seringkali ada tekanan dari berbagai pihak untuk menempatkan orangnya.

Kriteria yang digunakan untk menilai calon, sebaiknya mencakup pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude). Selain professional dalam arti pengetahuan dan keterampilan, tapi juga punya sikap melayani masyarakat. Sesuai dengan tuntutan “pelayanan prima”.

Pada pengembangan organisasi (organization developement) biasanya disusun Uraian Jabatan (job description) dari setiap posisi atau jabatan untuk melengkapi organisasi yang ditingkatkan kinerja nya. Dengan demikian program peningkatan kompetensi disesuaikan dengan Uraian Jabatan yang telah diisi.
Dengan mengetahui kebutuhan akan peningkatan kompetensi, selanjutnya dapat disusun program peningkatan kompetensi sumber daya manusia.

Program pelatihan (training and development) ini, mungkin perlu juga pemagangan, tentunya dilakukan bertahap sesuai dengan penjadwalan dan ketersediaan. Jika mengirim banyak sumber daya manusia dalam waktu pendek masih belum bisa dilakukan, dapat dilakukan up-grading dasar untuk semua sumber daya manusia, agar setidaknya setiap sumber daya manusia punya pemahaman dan visi bersama atas perbaikan sistem pelayanan yang dilakukan. Hal ini penting, karena salah satu syarat kunci peningkatan pelayanan publik adalah perubahan mind-set dari para sumber daya manusia yang terlibat.

Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah mengenai reward, atau kompensasi bagi sumber daya manusia yang berprestasi, inovatif dan mendukung peningkatan kinerja manajemen pelayanan publik. Imbalan tidak selalu berarti materi, walaupun pada saat ini hal itu yang paling diharapkan. Imbalan berupa poin penilaian yang berarti bagi karier atau kenaikan pangkatnya, atau kemudahan-kemudahan tertentu yang bisa diberikan, misalnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau seminar. Reward ini penting untuk memotivasi, dan sebisanya ditunjukkan secara demonstratif.
Manajemen sumber daya manusia terkait manajemen pelayanan publik di atas berlaku untuk peningkatan kinerja manajemen pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemberdayaan UMKM dan lainnya. [Risfan Munir, Public Service Management Specialist, ex LGSP-USAID]

Saturday, April 17, 2010

Tanjung Priok, Lexus, Olive Tree

Menanggapi kejadian bentrok aparat Satpol PP DKI Jakarta dengan warga lingkungan Tanjung Priok, Arif Susanto dari Universitas Al-Azhar Indonesia menulis di Harian Kompas (17-4-2010). Secara jernih Arif mengajak untuk melihat situasi yang terjadi sebagai benturan antara tujuan pembangunan ekonomi, tuntutan kelancaran akses pelabuhan) dengan kepentingan mempertahankan identitas.

Yang dia jadikan acuan ialah buku popular karya Thomas L. Friedman, "The Lexus and the Olive Tree". Bahwa dalam era kontemporer menuju globalisasi saat ini ada kebutuhan manusia untuk tetap mempertahankan identitas budayanya, yang disimbolkan dengan Olive Tree (pohon zaitun), agar tidak tercerabut di dalam arus deras yang tak menentu. Ini mengingatkan kita akan istilah global paradox yang dikemukakan oleh Naisbitt (Megatrend).

Sementara Lexus menggambarkan hasrat menuju kesejahteraan di masa depan. Untuk maju, mau tak mau kita tidak bisa menolak arus globalisasi. Ini keniscayaan, karena kalau tidak akan ketinggalan dan terpuruk memuja masa lalu semata (glory of the past). Untuk itu maka peningkatan pelayanan pelabuhan internasional memang juga harus mengikuti standar operasi pelayanan yang ada.

Persoalannya, bagaimana mempertemukan kedua kepentingan itu, agar kejadian bentrokan di Tanjung Priok yang sampai menimbulkan korban jiwa, luka-luka, kendaraan petugas dst itu tidak terulang lagi.

Dalam tulisan tersebut, Arif juga melangkapinya dengan mengacu Amartya Sen, dari bukunya, “Identity and Violence” serta, “Development as Freedom”, yang juga menekankan agar dalam mengejar tujuan pembangunan, tidak semata ditujukan mengejar peningkatan pendapatan, tapi juga berfokus pada pemenuhan kebebasan substantive, termasuk menghargai identitas masing-masing anggota masyarakat. Artikel yang mencerahkan. Mudah-mudahan dengan pemahaman arti pembangunan yang lebih berimbang, kejadian yang membawa korban rakyat kecil itu tidak terulang.

Sesungguhnya secara teknis, dalam perencanaan ada Site Planning yang menata tapak kawasan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Dalam kajian juga ada metode LARAP (land acquisition and resettlement) dan ANDAS (analisis dampak sosial) setrta belakangan dikembangkan DRR (disaster risk reduction) yang juga diaplikasikan untuk mengantisipasi risiko sosial. Kesemuanya dapat digunakan dalam prosedur pembangunan.[Risfan Munir, urban and regional planner, local economic development specialist ]

Skenario Pembangunan Wilayah Timur Indonesia

Prof. A. Takdir Alamsyah menyampaikan tentang factor-faktor penentu Pembangunan Wilayh yang menyangkut 5D (3 Dimensi + Waktu + Kultur). Dan, saya mengusulkan tambah 2D (Decision maker; Driver/developer).

Seorang teman menyampaikan ide tentang perlunya membentuk Kaukus atau Forum (ada forum provinsi, yang dulu dimotori Fadel Muhammad), termasuk dimensi Decision-maker, atau stakeholders. Sedang Driver/mover, ini tak bisa dipungkiri adalah peran modal.

Lima D pertama bisa dibilang bisa diprediksi (predetermined factors), tapi dua dimensi terakhir termasuk (critical uncertainties) tak tentu, tergantung dinamika sikon dan pengambilan keputusan. Karena itu layak dibuat skenarionya.

Katakanlah ada kemungkinan Decision making process dari stakeholders bisa BAIK atau JELEK. Kemungkinan Aliran Investasi CEPAT atau LAMBAT.
Maka setidaknya situasi yang dihadapi KTI ada 4 kemungkinan:
1. Proses governance BAIK, Investasi CEPAT
2. Proses governance BAIK, Investasi LAMBAT
3. Proses governance JELEK, Investasi CEPAT
4. Proses governance JELEK, Investasi LAMBAT

Skenario 1, ideal, maka visi penataan ruang, pemerataan pembangunan, partisipasi masyarakat, sustainabel development mungkin dicapai. Asal kita bisa menyiapkan action-plan yang baik, karena kontrol oleh masyarakat juga jalan, kerjasama antar instansi/pihak jalan.
Skenario 2, karena governance bagus, tinggal memacu upaya mengundang investor, karena iklim usaha kondusif. Dari berbagai sumber kita tahu China dan Jepang sedang bersaing memperbaiki kinerja investasi mereka di wilayah kaya SDA, seperti KTI.
Skenario 3, awas, investasi datang dengan deras, tapi governance tidak siap. Pemda, Sektor jalan sendiri-sendiri "melayani" investor. Tanpa kerja sama, maka pola pembangunan yang terjadi sporadis, tak ada pemerataan. Lingkungan kian rusak, tanpa ada kontrol stakeholders yang efektif. Meningkatnya risiko protes-protes sosial karena ketidak-merataan, kerusakan lingkungan, dst.
Skenario 4, hopeless.

Bagaimana kesiapan rencana tata ruang, rencana pembangunan, rencana tingkat lokal dan komunitas dalam mengantisipasi keempat kondisi tsb. Ini tentu perlu antisipasi dan respons yang ber-7 Dimensi juga. Begitukah? Semoga menginspirasi diskusi lanjut. [Risfan Munir, urban & regional planner]

Skenario Minapolitan

Mambaca FOKUS, Komas 16-4-2010, saya tertarik dengan topik, "Minapolitan: Agar Ambisi Bisa Terwujud." Terutama tantangan - Pemerintah pernah membuat program pengembangan Agropolitan, Kawasan Sentra Produksi, KAPET, dst. Yang tidak berlanjut.

Berbagai prsoalan dikemukakan, seperti: dukungan Daerah, pasokan faktor produksi (benih, bahan bakar, energi), dukungan sisi hilir, pemasaran, dst. Anggaran pemerintah. Koordinasi antar lembaga. Termasuk konsistensi Kementerian Kelautan Perikana sendiri, yang dari menteri ke menteri bisa berubah fokusnya antara Kelautan atau Perikanan. Dari artikel itu jelas yang sekarang bias ke budidaya perikanan (air tawar dan laut).

Supaya tak terjebak terlalu optimis atau sebaliknya. Secara umum, saya coba memahami masa depan dengan pendekatan skenario, ada dua Faktor Penting dan Uncertain (di luar kendali institusi), misalnya: Respons Pelaku Ekonomi dan Dukungan Pemda. Kalau dua faktor ini mendukung, maka sustainability Minapolitan bisa terjamin.

Dengan dua Faktor itu sebagai sumbu vertikal dan horizontal, akan terbentuk empat Kuadran probabilitas.
Kwadran-1: Respons PELAKU Usaha Tinggi; Dukungan PEMDA Tinggi
Kwadran-2: Respons PELAKU Tinggi, PEMDA Rendah
Kwadran-3: Respons PELAKU Rendah, PEMDA Tinggi
Kwadran-4: Respons PELAKU Rendah, PEMDA Rendah.

Kalau yang terjadi Skenario-1 (KW1), respons pelaku usaha bagus, dukungan Pemda kuat. Ini tentu yang diharap. Maka 41 Minapolitan contoh kemungkinan besar sustainabel. Namun ini perlu didukung bukti bahwa bisnis memang berjalan, market dalam dan luar negeri menyerap. Ini upaya-upaya yang relatif bisa dilakukan kalau action plannya matang.

Skenario-2 (KW2), respons pelaku ekonomi baik, tapi Pemda kurang mendukung. Ini bisa rawan, karena dunia usaha tidak akan tumbuh baik kalau kena "ekonomi biaya tinggi", perijinan berbelit, lahan sulit didapat.
Sering Pemda mendukung, tapi hasilnya kebalikan. Misalnya, untuk pembinaan UMKM, yang dilakukan penertiban dan pemberlakuan perizinan usaha yang syaratnya tidak realistis.

Pada Skenario-3 (KW3), Pemda mendukung, tapi pelaku usaha acuh. Program pemerintah bagaimanapun sebatas anggaran, kalau bisnis nelayan tak jalan, supply-chain macet ya habis proyek, habis cerita. Dunia usaha tentu melihat kesuksesan, adanya pasar, pasokan, infrastruktur.

Seingga intinya bagaimana meyakinkan Pemda melalui pendekatan kepemerintahan, insentif, promosi kepada KDH, DPRD, wakil masyarakat. Disamping produk kebijakan formal.

Kepada dunia usaha dan Pemda perlu dibuktikan bahwa bisnis Minapolitan memang jalan. Sistem produksi-pemasaran hulu-hilir bergerak. Untuk itu, perlu fokus agar dengan anggaran (Rp 3.1 + 1.6 trilliun) dana KKP + Rp 1.7 trilliun dari Kem PU, bisa menunjukkan bisnis Minapolitan memang berjalan dan menguntungkan.

Untuk itu mindset Kemeterian ybs juga dituntut untuk berlaku sebagai "pembina usaha", tidak terpecah fokusnya ke banyak hal yang terlalu luas. Ini juga tantangan tersendiri. Tentu banyak tantangan dan action plan lain. Tulisan ini hanya apresiasi dan upaya memahami dari beberapa artikel di Fokusnya Kompas kemarin. Khusunya menyangkut Minapolitan.
[Risfan Munir, urban & regional planner, local economic development specialist]