Saturday, September 13, 2008

Manajemen Penataan Ruang & Kawasan

Bicara tentang manajemen perkotaan/daerah (kalau dibatasi pada tata-ruang atau fisik) akan menyangkut tiga aspek di bawah ini.

(1) Manajemen Pelayanan - sebagai misal, pelayanan tata ruang. Di pemerintah daerah, urusan tata ruang adalah urusan pelayanan publik. Bagaimana masyarakat punya akses atas informasi RTR secara mudah dan transparan. Sehingga RTR tidak jadi 'obyek' pungli atau permainan 'gertak sambal' seperti lalu-lintas. Masyarakat tidak diberi tahu rencana yang benar, peruntukan yang benar, kalau tanya juga 'dipersulit', tahu-tahu dipersalahkan. Atau kalau mau tahu rencana harus 'bayar tak resmi'.
Untuk itu diperlukan a.l. SPM (Standar Pelayanan Minimal), seperti sekian % area kota harus punya rencana detail, sekian % area harus sudah mendapat penyuluhan tentang RTR, dst. Sehingga jelas bagi Pemda/SKPD yang bersangkutan agar memprogram dan menganggarkannya. Tanpa target SPM yang disepakati, maka Pemda akan seingatnya saja dalam menyusun, menganggarkan dan mengimplementasikan RTR.

(2) Manajemen Pembangunan - seperti manajemen proyek tapi lebih luas. Ini masih terkait dengan penerapan PPBS tapi lebih kompleks. Permasalahannya ialah menyangkut multi units, multi sumber dana. Program pembangunan kota/kawasan menyangkut multi-sektor, sementara tiap sektor/SKPD cenderung jalan sendiri2, punya prioritas anggaran masing2.
Umumnya program kota adalah multi-sektor, sehingga tantangannya ialah bagaimana meningkatkan koordinasi dan integrasi aktivitas, agar tidak saling tunggu atau duplikasi.

(3) Manajemen Kawasan - ini sifatnya lebih menetap atau jangka panjang. Menyangkut pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan pelayanan secara menerus (continuous process improvement), karena permasalahan kota/daerah juga dinamis sepanjang waktu.

Kalau dibandingkan dengan manajemen (perusahaan) swasta, seperti BSD, Lippo City, Jababeka, dst, tentu kita tahu bedanya seperti:
a. Swasta butuh konsumen, kalau tidak terbeli bisa bangkrut. Pemerintah daerah tak perlu jualan
b. Penduduk kota/kawasan swasta terbatas pada 'pembeli/penyewa' property, terseleksi, terbatas, sehingga lebih mudah diajak kerjasama (ada syarat di depan). Sedang jumlah warga kota sifatnya relatif terbuka, tak bisa dibatasi oleh Pemda. Dst.
c. Organisasi swasta lebih otonom. Perencanaan dan penganggaran bisa dilakukan tanpa tergantung banyak pihak di luar. Acuannya adalah permintaan konsumen. Di Pemda, rantai keputusan perencanaan dan penganggaran berjenjang, perlu kesepakatan banyak pihak, dari masyarakat, DPRD, hingga ke instansi induk (sektoral). Soal infrastruktur misalnya, ada klasifikasi jalan kota/kabupaten, provinsi, nasional. Jalannya nyambung tapi jadwal pembangunan atau rehabilitasinya bisa beda-beda
d. Di swasta ada reward dan punishment yang riil bagi personil dan organisasi. Di Pemda tidak riil, bagi yang perform reward-nya tak jelas, juga yang tidak melakukan apa-apa. Ini karena aturan dan keputusan masih belum otonom

Eksperimen daerah yang mau dikelola secara otonom seperti swasta mungkin adalah P. Batam. Tapi tidak bisa murni otonom, karena beberapa Departemen tidak pernah mengijinkan ada "daerah dalam daerah". Juga soal pertanahan, yang tak mengijinkan kepemilikan bagi warga asing. Padahal market yang dituju internasional. Tidak dimungkinkannya membatasi arus penduduk 'informal', mengakibatkan banyaknya kawasan kumuh di pulah yang SDA nya terbatas itu.

Namun dengan karakteristik seperti itu, beberapa kota/daerah toh secara optimal masih bisa me-manage kotanya dengan baik. A.l. Kota Solo, di tangan walikota Jokowi penataan fisik seperti PKL bisa berjalan baik tanpa konflik berarti. Pemindahan PKL dilakukan dengan cermat, memanusiakan (pakai iring2an segala). Tempat penampungan PKL, pasar tradisional dikelola secara baik, bak pasar modern. Bersih, penjual, karyawan berseragam. Ada door price sepeda motor hingga mobil. Tak mau kalah dengan hipermart dst.
Jokowi meng'gratis'kan kios bagi eks PKL. Uangnya dari mana? Ternyata ya dari retribusi harian. Jadi investasi Pemda ditargetkan akan kembali. Karena retribusi harian yang tampak kecil (biasanya habis di mafia parkir), kalau di-manage baik besar juga sebetulnya.

Kalau kita lihat hasil 'Otonomi award' ala KPPOD, Jawa Pos, juga PU, sebetulnya banyak sekali inovasi dan good practice yang dilakukan Pemda, yang layak dicatat dan dipertukarkan. Namun berbeda dengan pembangunan fisik, kalau jadi ya selesai. Dalam manajemen diperlukan 'continuous process improvement' yang tak kenal kata selesai. Karena hari ini dapat Adipura, tapi sebulan setelah itu bisa kotor kembali kalau tidak di-manage terus. Apalagi sumber persoalan juga dinamis.[Risfan Munir]

No comments: