Wednesday, November 08, 2006

de Soto (2)

Yang saya tangkap dari diskusi sementara ini masalahnya adalah:

  • Trust. Legalisasi diperlukan karena persoalan trust. Pada komunitas kecil dimana tingkat kepercayaan antar anggotanya terjaga, mungkin legalisasi atau surat2an tidak diperlukan. Tapi begitu ada kebutuhan interaksi dan transaksi dengan pihak di luar kelompok, masalah nya akan lain. Belum tentu fihak luar itu percaya tanpa adanya jaminan. Jaminan bisa surat, bisa dari tokoh yang dipercaya, atau reputasi kelompok. Masalahnya (dalam kasus kredit) uang yang akan dipinjamkan kan milik masyarakat pula. Selama hidup masih di lingkungan komunitas sendiri mungkin legalisasi, sertifikasi bisa tidak diperlukan,
  • Pilihan mau masuk pasar atau tidak. Seperti dalam regional planning, kalau pilihannya "territory closure", mencukupkan diri dengan sumber daya lokal (komunitas) mungkin integrasi dengan sistem ekonomi regional/nasional/global tak diperlukan. Tapi kalau pada level tertentu perlu transaksi dengan "pihak luar", maka perlu berintegrasi ke sistem ekonomi yang melibatkan orang/fihak yang tidak kenal secara pribadi (face to face). Maka soal trust perlu dijamin oleh sesuatu yang legal, entah apakah itu berarti juga formal.

Soal perlunya kehati-hatian, baik untuk de Soto, M Yunus, atau best-practices yang lain tentunya harus disikapi secara wajar. Seperti best-practice umumnya, perlu dilihat prasyarat keberhasilannya. Masing-masing punya keunggulan, tapi juga persyaratan yang mesti disesuaikan dengan tujuan dan kondisi lingkungan setempat. Grameen bank misalnya, hampir 100% penerima kreditnya perempuan, itu karena kepedulian pada perempuan, atau justru itu syarat suksesnya? Trust terbentuk melalui komunitas perempuan itu. Karena di Bogor pernah dicoba diterapkan di beberapa komunitas, yang banyak anggota laki-laki nya kolektibilitasnya lebih rendah, karena pria lebih mobile, banyak yang pindah ke kota (atau juga karena pria lebih suka ngemplang?). Pada komunitas lain barangkali trust dibangun melalui ikatan keagamaan, etnis atau lainnya.

Risiko 'runtuhnya kemandirian' tampaknya ada disemua pilihan. Integrasi ke pasar (bebas) dalam kondisi timpang, bisa membuat capital komunitas tersedot gurita kapitalis. Tapi mengandalkan trust dalam sistem informal juga bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus hubungan informal sangat mengandalkan tokoh pemimpin komunitas, yang kharisma, tapi mudah mengarah kepada retorika "one man show". Sehingga 'kemandirian/ keberdayaan' anggota lalu kelompok menjadi korban juga. Gejala ini bukan hanya pada komunitas tradisional, tapi bisa melanda juga pada Big NGO (yang modern). Kalau ini yang terjadi, maka untuk menjamin "one man, one vote" mungkin tetap diperlukan hubungan intern organisasi, (juga kartu suara) yang formal. Kalau tidak, hilang pemimpin hilang pula trust diantara anggota. Apakah begitu?

Yang ingin saya katakan, menjadi formal atau tetap informal, melegalisir atau tetap extra legal, masuk sistem pasar atau 'territory closure', adalah pilihan atau srategi si warga sendiri.
@@@ (Risfan Munir)

Sunday, November 05, 2006

Geertz: Sejarah Sosial Mojokuto

Untuk merespons pentingnya keseimbangan dalam melihat sejarah kota dan desa, elite dan massa, ada baiknya membuka kembali karya klasik Clifford Geertz tentang Mojokuto (The Social History of an Indonesian Town). Sekaligus untuk mengenang jasa-jasa beliau yang wafat 31 Oktober kemarin.

Ada ungkapan Geeertz yang mengesankan saya: "...orang perlu untuk terus mengejar "kijang" ilmiah melampaui bidang-bidang akademis yang berpagar rapat dimana margasatwa yang diburu kebetulan memasukinya." (CG, pada Agricultural Involution). Ini rasanya pas untuk diterapkan pada urban/rural studies.

Pendekatan mengejar "kijang" itu pula yang diterapkannya dalam mengkaji perubahan sosial/budaya kota Mojokuto (alias Pare, dekat Kediri) tahun 1952-1954.

Menarik, karena sebagai kota kecil tentu mewakili peralihan urban-rural. Dan saat itu Geertz juga sudah menangkap gejala sebelumnya dari dualisme: sektor formal yang diwakili sistem perkebunan, dan sektor informal yang merupakan massa pendatang dari pedesaan yang masuk ke kota, karena tak bertanah,miskin. Di antara keduanya, ada kelompok priyayi birokrat, pedagang Cina, pedagang santri.
Muzaik pengelompkan sosial itu jelas implikasinya dalam ruang geografis kota. Kelompok pengelola kebun enclave di pinggir kota, sekitar kebun dan perkantorannya. Priyayi birokrat di kompleks perumahan (gedung) dan kantornya. Kelompok pedagang Cina, di jalan utama berkelompok dengan toko dan gudangnya. Kaum santri pedagang kecil di kauman (belakang masjid), belakang pasar. Dan perkampungan padat, gubug-gubug bambu berserakan dibelakang dan di antaranya. Pola ini kelihatannya tipical, dan kok sampai sekarang tidak kunjung membaik ya (?).

Alkisah terjadilah dinamika sosial/budaya masyarakat, intra dan antar kelompok, ada upaya kompetisi dan kolaborasi dalam pergulatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tapi yang terjadi justru transisi yang berkepanjangan (sampai kini?). disini Geertz mengenalkan istilah “kota hampa” (hollow town) untuk menggambarkan suatu masyarakat kota yang tidak terintegrasi dan hanya merupakan kombinasi dari komunitas-komunitas kecil. Karena sistem lokal Majokuto itu (seperti daerah umumnya) tak pernah lepas dari pengaruh "dunia luar."

Geertz memberi latar belakang Mojokuto dan hinterland nya dengan sejarah dari mulai tumbuhnya kota yang dimulai dengan eksodus pasca perang Diponegoro (1830) dari Jawa Tengah ke timur. Lalu masa Keemasan Perkebunan (tebu, gula), yang menguntungkan selain Belanda juga pedagang Cina, birokrat daerah (perantara), petani pribumi pemilik lahan, serta buruh tani yang numpang hidup. Selanjutnya masa depresi ekonomi (pra 1930), jatuhnya harga gula di pasar dunia, meruntuhkan sistem ekonomi kebun tebu, dan tak pernah pulih lagi. Lalu masa penyesuaian yang terputus dengan masuknya Jepang, lalu perang kemerdekaan. Era kemerdekaan ditandai dengan kekuasaan yang kian terpusat. Sehingga kota Mojokuto mengalami transisi sepanjang masa, tanpa sempat menata hubungan sosial antar kelompok dan menyelasaikan persoalan ekonomi, sosial, budaya secara lokal.

Karena selalu menjadi "korban" dari ide, nilai-nilai, situasi dan tekanan dari luar. Bagaimana nasib kota-kota kecil seperti Mojokuto di era otonomi daerah? Dalam situasi dimana sistem ekonomi lokal hanya menjadi outlet eknomi global; konflik lokal tidak diselesaikan komunitasnya tapi menjadi konsumsi politik nasional? Akankah hollow-towns itu menjadi solid-town yang kompak dan mandiri? @(Risfan Munir)

Hernando de Soto

Secara kebetulan saya kemarin (3/11/2006) terundang dalam diskusi kecil dengan Hernando de Soto, yang diundang ke Indonesia oleh Danamon dan loran/majalahTempo.
Dalam diskusi kecil itu de Soto menguraikan betapa sektor informal, yang disebutnya extra-legal menyimpan begitu banyak capital. Sayangnya dalam transaksi bisnis umumnya itu masih jadi DEAD CAPITAL, yang tidak dapat dimanfaatkan pemiliknya. Dan itu menguntungkan sektor formal yang mampu menyulapnya menjadi property yang bernilai tinggi.

Banyak sekali capital yang dimiliki sektor informal yang jadi "mati" karena tak ada legal evidence/ certificate, record.

Pada jaman ini transaksi kegiatan ekonomi tidak lagi melihat barangnya, orangnya - itu sudah dipercayakan ke jasa surveyor. Yang berlaku adalah surat, sertifikat, rekomendasi, records. Perbankan sebagai contoh paling obvious, akan menanyakan agunan, jaminan (surat).

Handicap sektor informal selama ini disitu. Potensi banyak, aset (barang/jasa) yang layak diperdagangkan ada, pengalaman ada, pelanggan banyak, pemasok banyak, sayangnya itu hanya bisa diceritakan. Tidak ada pernyataan konsumen, lembaga berwenang, statistik produksi, penjualan, bahkan catatan internal juga tak ada. Punya properti tapi tanpa surat bukti, batas-batas hanya kesepakatan lisan
Bagaimana orang lain percaya, atau dibuat percaya. Padahal transaksi sering melibatkan orang yang baru kenal, datang dari tempat lain.

Dalam situasi ini, datanglah orang-orang "pandai" yang membeli aset-aset tersebut dengan harga "membantu", lalu menyulapnya dengan sedikit packaging. Kalau lahan ya dibuatkan siteplan, diurus ijinnya. Bahkan dengan uang muka kepada pemilik tradisional sedikit saja (dari nilai lahan pertanian yang rendah), bisa menjelma menjadi real-estate yang puluhan kali harganya. Developer pun masih akan "dikadali" bank, yang menjual surat piutang nya kepada developer untuk dijual ke pasar sekunder. Dan surat-surat itu akan berputar terus diantara lembaga keuangan, securities, dst. Sementara pemilik tanah asalnya masih meratap-ratap menunggu pelunasan yang tak kunjung tuntas.

Oleh karena itu, upaya memampukan sektor informal disarankan untuk dimulai dari menanamkan kebiasaan mencatat aset yang dimiliki, mencatat transaksi yang pernah dilakukan, siapa pelanggan, pemasok, dan setahap demi setahap yang bisa dilegalkan, ya dilegalkan.

Ini adalah upaya individual dan kolektif, karena aset dari sektor informal atau tradisional banyak yang sifatnya (masih) kolektif, atau terlalu kecil sehingga lebih efisien kalau diurus secara kolektif.

Bagi perencana/arsitek, mungkin membantu memetakan, men-siteplan-kan, membantu prosedur IMB akan bisa membantu. Untuk sektor informal perkotaan yang harus selalu bergerilya, barangkali "ijin" semi formal, kemingkinan "time-sharing" penggunaan sites tertentu di ruang public untuk berjualan, akan banyak membantu. (Risfan Munir)

Sunday, October 29, 2006

Planning: Melintasi Pancaroba

Planning dalam lintasan sejarah mungkin bukan jadi sebab awal, tetapi lebih banyak disusun untuk ”merespons” atau justru ”sebagai konsekuensi” dari perubahan dalam tataran lebih luas yaitu perubahan politik, ekonomi, sosial ataupun teknologi. Namun selalu ada tokoh yang layak dicatat sebagai ”agen perubahan” atau bahkan pioneer pada era-nya.

Masih dari buku yang sama,ada artikel "Expanding Grounds. The Roots of Spatial Planning in Indonesia" oleh Pauline KM van Roosmalen, yang secara lengkap membahas sejarah ke-planologi-an di Indonesia.

Tercatatlah peran Pieter Thijsse (1896-1981), insinyur pada DPU Bandung sejak 1921, dan mengajar planning and sanitation di ITB. Fondasi yang ditanamkan Thijsse adalah pentingnya penguatan: expertise, education, legislation. Seperti Karsten, yang mulai bergabung mengajar di ITB sejak 1941, ia juga menekankan agar pembangunan kota jangan hanya diperuntukkan bagi "the affluent" tapi juga kelas bawah, secara integrated.

Seperti diperkirakan, situasi perang mempengaruhi semua cerita. Desentralisasi yang dicanangkan sejak 1903, mengalami banyak tantangan. Begitu pula perkembangan ke-planologi-an. Thijsse menangkap bahwa situasi supply vs demand terhadap perencaan sangat timpang. Sementara kebutuhan "rekonstruksi" pasca perang sangat besar, namun tenaga perencana cuma 15 ahli. Terkait sarannya, tahun 1946 pemerintah membentuk Centraal Planologisch Bureau (Central Planning Bureau/CPB) sebagai bagian dari DPU, dengan tugas membimbing, mengkoordinasi rekonstruksi, di tingkat lokal, regional, nasional.

Tersirat bahwa perencanaan bergeser dari orientasi pada penciptaan lingkungan "ideal" ala Karsten, ke arah kegiatan rekonstruksi. Ini menjadi lebih tegas dengan keluarnya Town Planning Ordinance (SVO), sebagai: "Regulation to ensure a well-considered town planning, in particular in the interest of a quick and effective reconstruction of territories stricken by turmoil of war" (di-English-kan oleh penulis artikel). Yang menarik, tercatat daerah yang menerapkan SVO, dan kemudian SVV (Town Planning Regulation) adalah justru dari wilayah Indonesia Timur. Sebelum kemudian Lieutenant Governor General (1948) menetapkan untuk kota-kota secara nasional.

Situasi pasca Kemerdekaan tentu saja berpengaruh. Tahun Desember 1949, Thijsse mengundurkan diri. Berkutnya, menyusul integrasi Irian Barat ke bumi pertiwi, hampir semua ahli dari Belanda pulang kampung. Dunia akademis perencaan sempat vakum sebentar, hingga para lulusan dari USA dan Eropa lainnya masuk, dengan paradigma yang berbeda.

Apakah perbedaan paradigma tersebut. Penulis artikel tidak sampai mengulasnya. Kalau boleh berpendapat, dari pengamatan situs lingkungan yang ditinggalkannya, nampak bahwa perhatiannya pada kondisi lingkungan alam nusantara sangat kentara. Memanfaatkan iklim untuk fisika bangunan, gunung dan contour sebagai orientasi lanskap; dan perhatiannya pada lingkungan sosial dengan desain dan kelengkapan sanitasi kampung-kampung pribumi kelas bawah yang masih berbekas hingga saat ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Thijsse sepulang dari "studi bandingnya" ke Belanda dan Eropa lainnya, menyatakan bahwa planning practice disana tidak bisa serta merta di "copy & paste" disini.

Betulkah di paro pertama abad ini (sebelum dan pasca perang kemerdekaan) kota kita lebih diwarnai paradigma perencanaan "beauty and harmony" (ciri "welfare state"), sedangkan pada paro kedua lebih dipengaruhi pertimbangan "kompetisi ekonomi, land price" (ciri kapitalis, liberal)? Yang berlanjut hingga sekarang dengan kompetisi merubah stadion, alun-alun, sekolah dan public services lainnya menjadi toko?
Namun lepas dari itu, dari masa ke masa nampaknya planning, yang posisinya "sebagai konsekuensi" atau "yang merespons" situasi politik, ekonomi, sosial harus menggeliat terus untuk menjawab tuntutan masyarakat akan tersedianya ruang yang "habitable", bagi yang kaya dan miskin, yang formal (legal, dibikin legal) maupun yang informal (para-legal). (Risfan Munir)***

Friday, October 27, 2006

Sepenggal Sejarah Kota

Jika memperhatikan beberapa kota yang punya peninggalan sites yang bagus, seperti bagian utara kota Bandung, kota Bogor, Semarang, Malang, timbul pertanyaan: sejak kapankah kota-kota itu menjadi "amburadul?" Apakah faktor-faktor penyebabnya? Atau bagaimana proses perubahan fisik tersebut terjadi?

Sebagian dari pertanyaan tersebut akan dapat dijawab oleh buku: "Kota Lama, Kota Baru; Sejarah kota-kota di Indonesia". Buku ini diterbitkan Penerbit Ombak, dengan sponsor Netherlands Institute for War Documentation dan Jurusan Sejarah UNAIR, Desember 20050 (ombak_community@yahoo.com)

Namun cakupan buku ini jauh lebih luas dari sekedar nama-nama kota di atas, yaitu mulai dari Bukittinggi di belahan barat, hingga kota pulau Buton dan Manado di belahan timur. Sejarah yang hendak diungkap adalah perubahan sebagai dampak dekolonisasi yang meliputi kurun 1930-1970.

Yang menarik, situasi uncertain seperti yang dialami pasca reformasi politik 198 dan desentralisasi saat ini repanya juga dalam intensitas yang lebih "revolusioner" pada era dekolonisasi tersebut.

Tercatat bahwa semangat merencana kota (abad 20) sebetulnya merupakan respons dari "undang-undang desentralisasi" tahun 1903, yang memberikan kesempatan kotapraja untuk merancang pembangunan kotanya, yang baru berimplikasi pada sekitar tahun 1921, antara lain dengan diterimanya proposal Thomas Karsten "Indian Town Planning".

Tercatat bahwa Karsten merencana kota lebih berdasarkan kelas sosial daripada segregsi rasial (sebelumnya selalu ada pemisahan antara warga Eropa, Cina, Arab, dan probumi). Dia juga menyediakan ruang bagi kelompok tak mampu, dengan model perkampungan.

Selama dan setelah perang kemerdekaan, tentu kota-kota telah berubah lebih cepat lagi, dengan migrasi penduduk dari wilayah pergolakan ke kota. Sehingga secara soaial, ekonomi, spasial mengalami konsekuensi perubahan tersebut. Perkampungan warga kian padat, melampaui kapasitas prasarana dan sarana yang mendukungnya.

Masa berikutnya, Orde Baru, mengenalkan dan menguatkan kecenderungan melihat ruang berdasar nilai ekonominya. Terjadilah kompetisi perolehan lahan sesuai kemampuan daya beli. Maka terjadilah pergeseran ruang-ruang publik, sarana pelayanan publik, juga perumahan yang tergusur oleh kegiatan komersial yang saling bersaing menarik minat konsumen yang itu-itu juga. Sebagian kawasan menjadi "modern", sebagian kian "deteriorate".

Pada saat ini kota-kota kita umumnya dicirikan dengan landmark yang berupa supermal, hypermart – symbol kuasa ekonomi (konsumerisme). Apakah ini pertanda sejarah baru? Kolonialisasi baru (globalisasi)? Simbol-simbol budaya lokal (alun-alun, monumen) , ekonomi lokal (pasar tradisional, dst) telah terpinggirkan. Kemana kota-kota kita setelah ini? (Risfan Munir)***

Wednesday, October 18, 2006

Yunus

M Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh menerima Hadiah Nobel. Ini menarik karena selama ini M Yunus lolos dari perhatian media barat. Seperti kata MY sendiri, ini adalah kemenangan orang miskin.

MY mulai peduli pada kaum miskin tahun 1974, ketika itu sebagai profesor ekonomi "merasa bersalah" melihat penderitaan dan perjuangan kaum miskin untuk hidup. Sebagai profesor ekonomi ia merasa terlalu arogan, mengajar teori ekonomi yang muluk-muluk, sementara di sekitarnya penduduk dibelit kemiskinan. Terketuk hatinya untuk membantu mereka dengan mencoba meningkatkan akses kepada kredit mikro, info teknologi dan deserusnya.
Grameen (Bank Desa) yang didirikan tahun 1974, diresmikan sebagai lembaga formal tahun 1983, pada saat ini memiliki 2226 cabang, di 71371 desa, malayani 6.6 juta nasabah, 94% perempuan.

Makna: ada ilmu, ada kepedulian. Kaduanya direalisasikan dengan tekad "berguru kepada orang miskin."

Kata-katanya yang menarik, bahwa dia tidak memerangi orang kaya. Tapi hanya peduli pada kaum miskin. "Ini hanya gerakan membantu orang miskin. Saya tidak peduli jika orang kaya bertambah kaya." Lalu "Saya hanya khawatir dengan orang miskin yang bertambah miskin." (Risfan Munir)

Muhammad Yunus

M Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh menerima Hadiah Nobel. Ini menarik karena selama ini M Yunus lolos dari perhatian media barat. Seperti kata MY sendiri, ini adalah kemenangan orang miskin.

MY mulai peduli pada kaum miskin tahun 1974, ketika itu sebagai profesor ekonomi "merasa bersalah" melihat penderitaan dan perjuangan kaum miskin untuk hidup. Sebagai profesor ekonomi ia merasa terlalu arogan, mengajar teori ekonomi yang muluk-muluk, sementara di sekitarnya penduduk dibelit kemiskinan. Terketuk hatinya untuk membantu mereka dengan mencoba meningkatkan akses kepada kredit mikro, info teknologi dan deserusnya.
Grameen (Bank Desa) yang didirikan tahun 1974, diresmikan sebagai lembaga formal tahun 1983, pada saat ini memiliki 2226 cabang, di 71371 desa, malayani 6.6 juta nasabah, 94% perempuan.

Makna: ada ilmu, ada kepedulian. Kaduanya direalisasikan dengan tekad "berguru kepada orang miskin."

Kata-katanya yang menarik, bahwa dia tidak memerangi orang kaya. Tapi hanya peduli pada kaum miskin. "Ini hanya gerakan membantu orang miskin. Saya tidak peduli jika orang kaya bertambah kaya." Lalu "Saya hanya khawatir dengan orang miskin yang bertambah miskin." (risfan munir)

Sunday, August 06, 2006

Arief Budiman dan Teori Ketergantungan

Ada wawancara Kompas, 5/8/06, dengan Arief Budiman. Ditanya soal relevansi teori ketergantungan, dia mengatakan bahwa masalah pembangunan masih terkait dua masalah besar: ada masalah mentalitas, kebudayaan, kultural, tetapi juga faktor eksploitasi kapitalisme global.

Apakah teori ketergantungan dari era 1980an masih relevan? Katanya masih, cuma lebih kompleks masalahnya. Kita juga melawan ketergantungan. Seperti masalah pedagang kecil dan pedagang besar. Pedagang kecil bisa bertarung. Tapi selama mereka tidak memiliki modal yang besar, teknologi, akan dikuasai pedagang besar. Modal dikuasai mereka, pasar juga dikuasai mereka. Misalnya kalau mau ekspor ke negara besar, kita harus melalui calo mereka juga. Kalau kita buka jaringan sendiri sulit.

Apa masalah Indonesia? Dia berpendapat, kita belum sepenuhnya menjadi negara modern. Artinya, profesionalime kerja, modal. Kalau Korea Selatan saja masih susah apalagi kita. Korsel sudah melakukan transformasi yang besar, birokrasinya tambah modern dan profesional.

Adakah korelasinya dengan demokrasi? Betul. Tapi demokrasi sebenarnya produk dari profesionalisme. Jadi profesional dulu baru demokrasi. Korsel sudah modern sebelum dia jadi demokrasi. Bahkan kadang kemodernan itu membutuhkan kepemimpinan 'tangan kuat'. Seperti di China, Singapura. Mungkin kita perlu seorang diktator kayak Lee Kuan Yew yang punya keinginan baik. Seperti Aristoteles bilang, sistem pemerintahan yang paling bagus adalah demokrasi, asal kepala negaranya seorang filsuf. Tetapi lebih bagus lagi otoriter tetapi filsuf. Orang otoriter biasanya lebih eksploitatif dan demokrasi mencegah dia menjadi eksploitator.

Yah itulah kata Arief, yang studinya tentang teori ketergantungan, dan pengamat sospol yang cukup bersuara di masa Orba dan sesudahnya. Rasanya memang relevan itu teori ketergantungan. Tetapi melawan hegemoni penjajah baru yang berkolaborasi dengan aristokrat (baca koruptor) lokal ini memang sulit. Tekanannya sudah masuk ke sistem ekonomi terkecil sekalipun. Di desa terkecil, bahkan terpencil, lebih mudah didapat camilan atau minuman bermerek global daripada yang asli lokal.

Kompas hari yang sama menulis berita: impor produk MBM dari negara maju sangat berisiko. Ketua Asosiasi Masyarakat Veteriner Indonesia mengatakan, risiko paling merugikan bila impor MBM dilakukan, Indonesia akan mendapat penilaian buruk dari dunia internasional terkait dengan pemasukan produk tersebut. Kalangan internasional akan menolak produk ternak dan asal ternak dari Indonesia.

Itu kan bentuk penjajahan. Produk kita sering ditolak dengan alasan-alasan macam-macam diluar kualitas barang, seperti masalah penebangan hutan, pekerja anak, HAM, dst. Yang dilontarkan oleh importir (bukan yang berwenang). Kita dipaksa membuka pasar lebar-lebar tanpa reserve. Padahal mereka sendiri tetap memproteksi petaninya. Setelah kita buka pintu, mereka masukkan produk seperti daging yang tidak bebas penyakit 'sapi gila' itu. Sudah gitu kitanya kok ya nurut aja?!***(risfan munir)

Sunday, June 25, 2006

Hernando de Soto

Misteri Kapital, judul buku yang ditulis Hernando de Soto ini. Membaca Pendahuluan nya sudah kelihatan arah sekaligus kekuatan de Soto. Bahwa ada misteri mengapa di dunia ketiga ini, begitu banyak orang berusaha, berkerja keras, bertani, berproduksi, berdagang, banyak kerya seni dan kerajinannya yang diakui dunia, resourcesnya pun berlimpah, namun mengapa hasilnya begitu-begitu saja, tidak berhasil menjadi pilar kapital.

Yes, that's a big question: Why capitalist is hard to success in outside the current rich country? The West always said that because of working ethic, culture, religion, IQ, etc. But de Soto discover that the problem is "the mystery of capital." (risfan munir)

Wednesday, June 21, 2006

Koto Gadang

Koto Gadang adalah heritage, kota kecil yang konon dibangun sekitar tahun 1920an, setelah ada gempa yang menghancurkan rumah-rumah penduduk. Dicanangkan sebagai heritage karena warisan arsitekturnya menjadi monumen bangunan dan kota yang khas. Dia tidak tahu gaya apa, tetapi kalau dilihat merupakan perpaduan arsitektur kolonial dan bentuk atap, panggung rumah tradisional Minangkabau.
Kalau kita datang melalui Ngarai Sianok, melalui jalan terjal berkelok-kelok akan kian terasa suasana perdesaan lama Minangkabau.
Melihat banyaknya bangunan bata seperti di atas, mengesankan bahwa pada masa itu Koto Gadang memang dihuni oleh orang mampu. Hal ini diperkuat oleh kenyataan di sekitarnya persawahan yang subur.Menurut sopir yang berinisiatif sebagai penunjuk jalan, Emil Salim masa kecilnya sempat tinggal di situ.
Melihat masjid Koto Gadang, sy jadi teringat cover majalah Islam Panji Masyarakat pada tahun 1960annya, yang menampilkan foto masjid-masjid di seantero Sumatera Barat. Tentu saja karena pemiliknya adalah buya Hamka.
Ya, menyebut nama-nama intelektual asal Sumbar seperti Emil Salim, Hamka, St Syahrir, KH Agus Salim, Syafrudin Prawiranegara, M Hatta, dst., dia jadi bertanya bagaimana tradisi intelektual yang tinggi itu bisa tumbuh subur di Sumbar. Tetapi sekaligus juga muncul pertanyaan, mengapa kemudian mereka, atau sebaliknya apakah itu karena mereka kemudian, meninggalkan daerahnya.
ZS menjelaskan bahwa lahirnya banyak intelektual terkemuka itu karena tradisi keilmuan, diawali dengan ilmu agama telah berakar lama. Membaca dan membahas ilmu menjadi kebiasaan. Menuntut ilmu menjadi prioritas setiap orang, dan mereka mendorong putra-putrinya untuk sekolah setinggi-tingginya.
Ini mengingatkan dia pada Iskandar Alisyahbana yang meyakini: kuasai ilmu terkini - terapkan, innovasi - bisniskan sehingga menyejahterakan - kuasai ilmu lebih tinggi, dst.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana tradisi meningkatkan kualitas hidup melalui penguasaan & inovasi Iptek ini bisa dihidupkan sebagai tradisi masyarakat. Untuk melawan tradisi "short-cut" yang hanya menciptakan rent-seekers alias calo.***

Gembong LSM

Suara teriakan sudah habis,Jurus2 legal yang ditempuh sudah kalah,Masa yang dikerahkan juga sudah sukses mengulingkan penguasa lama, sekaligus menobatkan tirani baru,
Apa lagi ...?Berpartai? lewat jalan politik? "ada uang ada masa" krn momentum rakyat marah sdh lewat,
Alternatif lain, kembali berkiprah praktis, "small is beautiful", bikin proyek perbaikan lingkungan, menulis buku, peduli ini-itu, sambil membina kader.

Friday, June 02, 2006

Bencana Alam Jogya dan Klaten

Musibah bencana alam gempa bumi Sabtu tanggal 27 Mei 2006.Gempa bumi yang terjadi di Jogya (Bantul) dan Klaten.

Mendengar lagu Indonesia Jaya dan Padamu Negeri pada malam peringatan kelahiran Pancasila yang ke 61, dada terasa bergetar, penuh haru. Sudah lama kita hanya mengutuk kebobrokan birokrasi, ulah politikus, korupsi, memburuknya pelayanan publik, membuat kita menjadi sinis kepada bangsa sendiri.

Tapi dihadapan bencana alam yang menyebabkan penderitaan besar bagi sebagian anak bangsa, terasa benar panggilan untuk "bersama kita bisa." Bahu membahu memperbaiki kondisi kehidupan saudara2 yang susah, dan masa depan bersama.**

Era Ideologi Besar Sudah Mati?

Apakah pikiran2 besar saat ini memang sudah bukan jamannya lagi. ataukah optimisme orang, termasuk intelektualnya atas kemanjuran ide-ide besar atau ideologi sudah surut? Yang tinggal hanya ideologi kapitalisme yang kian masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan.Yang disponsori oleh lapisan yang berduit, bermodal, dan dibela, dipertahankan oleh lapisan menengah yang ikut menikmati kenyamanan hidup.

Masalahnya siapa yang membela lapisan bawah, lapisan miskin, lemah, informal di perkotaan dan di daerah perdesaan. Saat ini ketimpangan, gap, kian menganga lebar. Kondisi ekonomi mereka kian hari kian parah. Kebangkrutan usaha lokal, menimbulkan kian meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan berbagai dampak negatifnya.
Sementara itu sistem keuangan lokal, wilayah, nasional semakin didesak untuk terintegrasi (tanpa reserve), menimbulkan arus capital outflow secara kontinyu. Akumulasi modal dari tabungan atau surplus yang kian menipis itu secara kontinyu mengalir ke luar daerah, keluar negeri, dan hanya dapat dimanfaatkan oleh sistem ekonomi (sektor riil) lokal, daerah hanya sedikit.

Namun hanya berapa persen dari intelektual, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang punya interest kesana? Umumnya orang lebih cenderung pragmatis saja, sambil melempar kesinisan, kepahitan akan apa yang terjadi.
Perhatian orang sekarang lebih banyak ditujukan kepada bidang politik, namun bukan politik untuk mencari alternatif solusi, tetapi sekedar persaingan antar partai, antar calon kepala daerah, presiden.

Massa yang hidupnya kian sulit bukan diajak untuk memperbaiki nasibnya secara praktis, realistis dalam memanfaatkan sumberdaya dan peluang yang tersisa, tetapi malah diajak berilusi bahwa kalau partai, atau tokohnya menang maka segala yang dicitakan akan jadi kenyataan, tanpa diberi tahu konsepnya dalam mengatasi masalah.
Kaum intelek, aktivis LSM, yang katanya peduli, sekarang lebih asyik mengurus politik dari pada perbaikan sistem ekonomi lokal, rakyat.**

Sunday, May 28, 2006

Demokrasi dan Ekonomi

Ok dengan demokrasi, tapi ujian bagi bangsa ini, setelah 8 tahun reformasi yang membuka pintu lebar2 bagi arus demokrasi.

Setelah delapantahun apa yang didapat rakyat? Rasanya kok berputar-putar saja. Ungkapan aspirasi, kebutuhan bergeser jadi konflik un berbagai alasan yang semakin superficial dan remeh.

Pertanyaannya, akankah masyarakat tetap sabar menunggu perbaikan nasibnya. Sementara dengan naiknya harga BBM dengan multiple effect-nya semakin menurunkan daya beli masyarakat.

Krisis energi semakin dirasakan. Rencana PLN untuk privatisasi yang ditolak pemerintah/dewan, membuyarkan skenario pengembangan kapasitasnya. Sebagai akibatnya maka kemampuan PLN dalam menjamin kestabilan pasokan energi layak dikhawatirkan.

Tandanya sudah mulai dilakukan penggiliran pasokan listrik untuk industri. hal ini tentu akan segera berdampak pada kemampuan mengundang investor baru, bahkan deindustrialisasi sangat mungkin terjadi.

Lalu bagaimana? What next? Apakah pesta demokrasi (yang chaotic) ini akan dibiarkan terus berkepanjangan. Tidakkah keresahan dan ketidakpastian yang semakin parah ini bisa menjadi lahan subur yang dimanfaatkan oleh kehadiran "diktator" baru yang menjanjikan kestabilan.***