Thursday, December 24, 2009

Avatar: Kunci Keunggulan Ekonomi Lokal

Mengisi liburan dengan nonton film Avatar, tiba-tiba ingat desa Kaenbuen serta Perjuangan Pengembangan Ekonomi Lokal. Film ini menggambarkan kontras dan konflik antara “kesombongan kedigdayaan angkara murka” (pemodal besar) terhadap “komunitas asli suku Na’vi beserta lingkungannya.”

Film campuran animasi serta 3-D ini dengan cantik menggambarkan kearifan suku asli yang hidup “menyatu dengan lingkungan”, betapa tiap gerakan pohon, binatang dan manusia akan seimbang kalau menyatu dengan spirit alam, yang tak lain adalah kearifan naluri dan instink yang sesuai petunjuk Tuhan.
Kuda liar mau dikendarai kalau manusia bisa “menyelaraskan” detak jantung dan irama nafasnya dengan si kuda. Bagitu pula pepohonan akan memberikan kehidupan. Bahkan secara simbolis digambarkan betapa penerangan api di waktu malam tak diperlukan, karena banyak pepohonan yang mengelurkan fosfor. Kunci semua kekuatan dalam keselarasan itu adalah NETWORK spirit dan energy antar jenis mahluk hidup dan lingkungan/habitatnya.

Kontras dengan semua itu adalah kekuatan angkara murka, yang mengandalkan nafsu menguasai, mengandalkan teknologi besi (robot, mesin terbang, bulldozer) yang niatnya adalah menguasai wilayah untuk menyedot sumber energy dan SDA lainnya. Sama sekali impersonal, tidak ada empathy kepada komunitas setempat. Mereka dianggap sebagai monyet, dan menganggap perlawanannya sebagai terorisme yang layak dibasmi dengan terror kedigdayaan teknologi.

Akhir kisah, terserah bagaimana kita menginterpretasikannya, menghubungkan romantisme film itu dengan kenyataan dunia sesungguhnya. Tapi simblolisme yang ditampilkannya, bahwa KEMENANGAN yang dicapai oleh suku asli adalah dari kekuatan NETWORK social antar individu, juga dengan mahluk hidup lainnya, tanaman, binatang, dan alam (morfologi, geologi) lingkungan. Serta KESELARASAN hidup dengan lingkungan, termasuk tidak mengonsumsi melebihi kebutuhan hidup. Itu semua yang menjadikan suku asli Na’vi ini mampu bertahan dari angkara murka.

Risfan Munir, penulis buku ”Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati” (Gramedia, November 2009) dan kolumnis tetap pada Anda LuarBiasa.com.

Saturday, August 08, 2009

WS Rendra - Potret Pembangunan Dalam Puisi


Ikut melepas kepergian penyair besar WS Rendra tergerak saya untuk membuka kumpulan puisinya yang terangkum dalam "Potret Pembangunan dalam Puisi" yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, 1980. Sesuai judulnya, ini adalah kumpulan puisi Rendra yang paling eksplisit bicara (mengritik) praktek kepemerintahan dalam proses pembangunan.

Misi perjuangan Rendra menurut Prof. A. Teeuw, ahli tentang sastra Indonesia dari Belanda, adalah tegaknya identitas diri manusia Indonesia, dalam kancah arus perubahan yang dibawa oleh ideologi dan gerak pembangunan, pertarungan kapitalis vs komunis, kebobrokan penguasa, sistem pendidikan "membeo" yang mematikan cipta, rasa dan karsa, dan sejenisnya. Juga keberpihakannya kepada mereka yang terpinggirkan, tersuruk dan terpuruk dalam proses pembangunan.

Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade 1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Hidup mereka bermewahan secara mencolok dan norak, sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan "manusia seutuhnya" dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan linkungannya, digantikan pendidikan yang mengajar anak didik "membeo, menghapal", mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata.

Secara emosional saya seikit-banyak terbawa oleh sajak-sajak ini, karena kurun Rendra menulisnya, adalah masa saya kuliah, pada pertengahan 1970an. Sebagian saya saksikan langsung pembacaannya, termasuk ketemu langsung dengan beliau. Salah satu sajak yang saya hafal adalah "Sajak Seonggok Jagung" (1975), saya saksikan bagaimana Sang Burung Merak membacakannya di Aula Barat ITB. Saya kutip sebagian:

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,

sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
...................

Tetapi ini:
Seonggok jagung dikamar

dan seorang pemuda tammat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.

Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu

dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
......
Seonggok jagung di kamar

tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.

Efek sampingan dari pembangunan, yang membuat kelompok tertentu (majikan) makmur berlebihan, hedonis, sementara yang lain jadi korban, bisa dirasakan pada "Sajak Gadis dan Majikan":

Janganlah tuan seenaknya memelukku. Kemana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku bukan ahli dalam menduga, tetapi jelas sudah ku tahu pelukan ini apa artinya ...

Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, kerapian, dan tata cara.
Tetapi lupa diajarkan: kalau dipeluk majikan dari belakang, lalu sikapku bagaimana! ...


Menanggapi pembangunan sektor pariwisata, khususnya di pulau Bali yang dinilai ower exploitative terhadap budaya, ekonomi lokal dan lingkungan hidup, Rendra menulis "Sajak Pulau Bali" (1977), secara dramatis dibacanya di tengah suasana demonstrasi mahasiswa di Lapangan Basket ITB kala itu, sebagian kutipannya:
..........
Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimpi,
membawa bentuk kekuatan modalnya: lapangan terbang,
"hotel-bistik-dan-coca cola," jalan raya, dan para pelancong.

"Oh, look, honey - dear! Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat kelapa seperti kera.
Fantastic! Kita harus memotretnya!.....

Dan kemajuan kita adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali hotel-hotel pribumi bangkrut ........

Pada sajak "Orang-orang Miskin" (1978) Rendra mengingatkan bahwa siapapun di negeri ini tidak bisa mengingkari adanya kemiskinan yang jumlahnya banyak.
........................
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap

akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
...........

Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka "Sajak Kenalan Lamamu" (1977) menohok tajam:
...................
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
......................
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,

untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
...........................

Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada "kerakyatan", kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah "menempel di kaca rumah, di gorden presidenan" kata sang penyair.

Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah "cara merampok", "festival kesenian", atau "pekan olah raga" yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi di "pesta" Pemilu tahun 2009. Sungguh benar, sungguh tragis.

Untuk mengantarkan Sang Burung Merak berpulang ke rahmatullah, barangkali potongan "Sajak Peperangan Abimanyu" (1977) ini layak direnungkan:

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru,
Sang ksatia berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,

di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat -
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.

.............................

Inna lillahi wa inailaihi rojiun. Semuanya dari Allah yang Maha Kuasa dan akan kembali kepadaNya.
Selamat jalan Mas Willy, semoga semua amal kebaikanmu diterima Allah swt, dan segala dosa dan khilaf diampuni-Nya. (rm)

[Risfan Munir, Local Economic Governance & Management Specialist, Research Triangle Institute (RTI), email: risfano@yahoo.com]

Saturday, August 01, 2009

Logistic Management to Support Urban Life

Today I got news that supply of mineral waters to Jakarta is limited, due to damage of a main bridge close to Sukabumi, the resource area of the water. It is another evidence of how fragile the situation of urban life, after a shortage of electricity, gas, water supply, now the mineral water. Three weeks ago there were two bombs had been exploded in the ‘twin hotels’ JW Marriott and Ritz Carlton in central Jakarta.

The situation actually remaining us how fragile and sensitive is the urban life, especially the city like Jakarta, or Surabaya, Medan, Denpasar. Anytime the villain can sabotage the city with only damaging one or two point of logistic lines. It can be supply of electricity, gas, water supply, food (rice), flour, meat, etc.

Logistic management is very important to maintain urban life. Once we fail, people will easy to be panic. We should protect the logistic system against the villain or terrorist sabotage, but before that we should maintain it to improve image of the government. Any failure of the logistic system will give bad image to government. People will upset and their trust to the city management will decrease suddenly.

In this case any local government unit should learn from management of grocery stores and their distribution outlets. How they develop and maintain network and partnership with local suppliers (villagers for fresh fruits and vegetables, or manufacturers for consumer goods), how they manage the stocks in the warehouses and their locations, then how to manage the networks of retailers. The strong logistic management can manage the flow efficiently and anticipating any risk of failure in delivery flow. Any risk is calculated, so that if something happen, the system has alternative sources of supply to take-over the failure.

Do we have any expert in urban/regional management or economic to do these logistic analyses, plan and management capabilities to manage the logistic to support urban life of our cities? [Risfan Munir, Local Economic and Public Service Management Specialist]

Friday, July 17, 2009

Ruang Terbuka Hijau: Good practice dari Jogya

Ada 3 cara yang melaksanakan rencana, menurut teori dan yg diadopsi UUPR tepatnya: (a) regulasi (police power, law enforcement); (b) eminent domain (investasi dgn penyediaan lahan, bangun prasarana, sarana); dan (c ) mekanisme insentif/ disinsentif (fiscal, non-fiscal).

Salut kepada Pemkot Jogja yang melaksanakan RTR dengan menganggarkan pembelian lahan RTH. Di kota lain yang terjadi sebaliknya: ruislag stadion untuk mal.
Kalau ada yang mengatakan ada "keistimewaan" yang sulit direplikasi ke daerah lain, dugaan saya itu a.l., pertama wibawa sultan untuk menangkal godaan/ tekanan.
Kedua, Jogja sadar sebagai kota wisata, PAD nya besar dari tourism dan multipliernya, dus pajak pembangunannya signifikan, sehingga investasi beli lapangan (RTH) justified secara budget.
Sedang daerah lain, mungkin melihat lapangan hijau kepala daerah matanya langsung hijau, APBD mepet, apalagi kalau punya tanggungan biaya kampanye pilkada. Yang jelas politik anggaran juga maunya dewan (Perda toh) dan pengaruh lainnya.
Perencana menunjukkan RTR yang baik, konstelasi pengambil keputusan yang menentukan (arah kebijakan, alokasi anggaran). Sehingga pada kebanyakan daerah, kalau kita lihat dokumen APBD nya, alokasi anggaran penataan ruang itu cuma: menyusun RTR, revisi RTR. Dan, nama urusannya pun bukan "penataan ruang" (luas), tapi "perencanaan tata ruang" (pengertian mereka PR itu cuma membuat rencana?). [Risfan Munir, urban planner]

Sunday, July 12, 2009

Koperasi 62 Tahun

Tanggal 12 Juli Indonesia memperingati Hari Koperasi ke 62. Hampir tak ada gaung, kecuali iklan kecil yang disponsori oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM RI.

62 tahun yang lalu, atau 2 tahun setelah kita Merdeka. Artinya hampir seusia Republik ini tapi nampaknya kian redup saja.

Kalau saya ditanya mengapa tujuan mulia untuk kesejahteraan wong cilik itu seperti mati angin. Menurut saya itu karena salah ibu asuhnya, yaitu pemerintah yang mengkooptasi lembaga yang seharusnya tumbuh dari bawah itu, menjadi program pemerintah. Ini seperti Pramuka, awalnya adalah "kepanduan" yang didirikan oleh lembaga masyarakat, lalu dikooptasi pemerintah (Orla) sebagai Pramuka, untuk tujuan mobilisasi pemuda. Akibatnya spirit kepanduannya hilang. Inisiatif lokal kalah dengan aturan main Pusat. Begitu pula koperasi, seperti menjadi penerus program pemerintah saja.

Tidak bisa dihindari kalau kisah diatas terjadi di era Orde Lama, Orde Baru, tapi di era demokrasi, otonomi daerah dan partisipasi, mungkin saatnya dilakukan perubahan paradigma.
Saat ini kita banyak mempromosikan "social capital" dalam pengembangan kelompok-kelompok UMKM. Ini akan sejalan, kalau social capital yang tumbuh spontan dari kesamaam nasib dan kepentingan itu dijadikan spirit baru bagi koperasi saat ini.
Telah banyak contoh kasus koperasi UMKM, koperasi komunitas simpan-pinjam yang sukses, itu bisa diangkat sebagai good-practices yang bisa dipertukarkan antar koperasi, antar daerah. [Risfan Munir, ahli pengembangan ekonomi lokal]

Saturday, July 11, 2009

TR: Tata Ruang sebagai Obrolan Sehari-hari

Dalam rangka memasyarakatkan wacana "tata ruang" kiranya sudah waktunyamengobrolkan tata ruang ini tidak melulu serius, mengerutkan dahi. Selama iniwacana tata ruang rasanya kok terlalu formal. Selalu dikaitkan dengan UU, PP, RTRW, pelanggaran, sanksi, dan tema-tema besar. Wal hasil kisahnya selalu sedih saja.

Bandingkan dengan obrolan ekonomi, yang walaupun kabarnya tak selalu baik, tapi ada kisah kehidupannya. Human interest kata jurnalis. Juga wacana tata ruang kebanyakan normatif, idealnya rencana, tidak diimbangi pengungkapan realita yang terjadi, kemampuan manajemen pemerintah, kemampuan komunitas dan mungkin manusia (human scale) dalam melaksanakannya, akibatnya kisahnya selalu kelabu, biru, sedih.

Baru-baru ini Kompas mengangkat tentang "tujuan wisata liburan", dimana banyak sekolah di Jateng, Jatim yang sampai mengumpulkan uang harian beberapa bulan (Rp1000/hari), hanya untuk bisa liburan sehari di Jakarta. Pada harian yang sama juga ditampilkan destinasi wisata menarik di sekitar kota, selain ke Mal. Ini contoh kisah-kisah menarik untuk obrolan tata ruang.
Sekarang banyak terbit buku tentang obyek wisata kuliner, kerajinan yang ternyata best-seller. Kisah tempo doeloe untuk kota Jakarta, Jogja, Malang, Salatiga, Semarang. Kalau ada inisiatif mem-FRAME (membingkai)nya sebagai panduanpemahaman tata ruang, itu sungguh strategis untuk "memasyarakatkan" wacana tataruang.

Saya ingat pernah membaca tulisan Otto Soemarwoto (alm) ttg kisah ekosistem, habitat semut sebagai bacaan anak TK/SD, sehingga kesadaran ekosistem dan pelestariannya tumbuh sejak usia dini. Waktu kecil dulu saya suka membaca peta, sambil berkhayal pergi ke kota-kota, gunung-gunung, pulau-pulau.

Mungkin kita perlu memikirkannya, mengingat setelah hampir 50th pendidikanPlanologi, sudah sejak 1992 ada UU Penataan Ruang yang pertama, kok rasanya wacana tata ruang belum menjadi idiom publik. Tata ruang disebut pada saat ada masalah (besar) saja.

Bagaimana agar tata ruang tidak hanya dikenal sebagai urusan penegakan hukum saja, tapi juga jadi etika, pola hidup yang mengindahkan ruang sekitar. Tata ruang yang saya maksud ialah harmoni, keserasian pola dan struktur ruang, yang sesungguhnya milik masyarakat.Tentunya rakyat bosen kalau cuma dikuliahi soal UU, PP, RTRW, IMB, itu kan urusan pemerintah dan polisi kotapraja (kata mereka). Juga capek juga kalau kisahnya tentang Pemda yang ingkar janji dan saling tuding terus-menerus. Capek deh! Bukannya tidak perlu, tapi perlu penyeimbang yang lebih segar dan populer, yaitu kehadiran kata tata ruang yang lebih menyenangkan. Lebih manusiawi, atau human scale.

Sekali lagi kehadiran wacana tata ruang yang lebih ringan, mungkin diperlukan dalam memasyarakatkan tata ruang saat ini. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]

TR: Tata Ruang sebagai Frame Berita

Dalam focused group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Ditjen Penataan Ruang dengan kalangan jurnalis beberapa waktu yang lalu, Uni Lubis dari ANTV mengungkapkan bahwa tata ruang memiliki segala yang diperlukan untuk menulis atau membuat berita. Salah satunya ialah elemen "konflik" yang umumnya terjadi dalam fenomena tata ruang.

Dr. Soraya Afif, dosen antropologi UI, menjelaskan bahwa penataan ruang bisa diartikan pula sebagai penataan kepentingan. Ini terkait banyaknya kasus konflik antar kepentingan dalam penataan ruang. Dia mengilustrasikan konflik yang sering terjadi antara otoritas kehutanan, pertambangan dan pemerintah daerah - yang akhirnya menyulitkan terciptanya tata ruang wilayah yang mendukung kelestarian alam.

Menurut Uni Lubis selanjutnya, untuk menjadikan tata ruang sebagai fokus perhatian media dan masyarakat diperlukan strategi media, a.l.: menjadikan tata ruang sebagai FRAME, bingkai (saya tangkap sebagai cara pandang).

Selama ini sebetulnya jurnalis/media telah banyak memberitakan, mewacanakan tentang fenomena tata ruang, tanpa menyadari atau mengungkap bahwa itu adalah "tata ruang". Misalnya soal konflik operasi HPH vs kawasan lindung, pertambangan vs taman nasional, penggusuran PKL, pengembangan wilayah, ketimpangan kemakmuran antar daerah, pasar modern vs tradisional, dst. Semua peristiwa itu diberitakan tanpa dikaitkan, apalagi dibingkai sebagai masalah tata ruang atau penataan ruang.

Sudah saatnya dijalin komunikasi antara insan penataan ruang dengan para jusnalis media cetak dan elektronik, sehingga antara keduanya terjadi pemahaman timbal balik. Para insan penataan ruang tahu apa yang menarik bagi jusnalis. Sebaliknya para jurnalis menjadi tahu apa urgensi aspek tata ruang bagi kehidupan masyarakat, bahwa tata ruang bukan hanya soal pelanggaran IMB, ruang terbuka hijau, penggusuran pedagang kaki lima, dst.
Hampir semua proses interaksi sosial, ekonomi, budaya dengan lingkungan (fisik) hidupnya, adalah peristiwa tata ruang.[Risfan Munir, Jakarta - Jogja]

TR: Tata Ruang Kita Bersama

Tata ruang - yaitu pola dan struktur ruang - adalah keadaan lingkungan/ kota/ wilayah yang dihuni dan dialami semua orang selama hidupnya. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga layak jadi wacana semua orang.

Istilah ini kurang menjadi wacana karena terkesan "teknis" bidangnya perencana dan lembaga pemerintah yang punya otoritas. Penataan ruang terkesan terbatas perancanaan, pelaksanaan program, pengendalian yang menjadi tugas pemerintah. Dan, sikap aparat pemerintah pun di masa lalu menguatkan anggapan itu.

Namun saat ini seharusnya berbeda. Sejak berlakunya Undang-undang Penataan Ruang, peluang partisipasi masyarakat menjadi bagian dari prinsip penataan ruang. Hanya saja masih diperlukan beberapa upaya agar masyarakat mau lebih aktif dan bisa berpartisipasi dalam penataan ruang, yaitu dengan diseminasi terus-menerus, dan memberikan saluran dan mekanisme yang diperlukan dalam penyampaian aspirasinya.

Pertama, diseminasi atau pengembangan wacana terus menerus mengenai penataan ruang. Menghadirkan wacana tata ruang di berbagai media sampai masyarakat sadar (aware) akan permasalahan tata ruang yang dialaminya tiap hari. Mengangkat isyu yang dialami warga sehari-hari, misalnya kemacetan lalu lintas di sekitar sekolah, kantor, pusat belanja, banjir, konflik pasar modern vs tradisional, penggusuran, renovasi kawasan bersejarah, alih fungsi lingkungan perumahan menjadi FO (factory outlet), rumah makan, serta tumbuhnya PKL dan lainnya. Atau isyu yang berskala wilayah, seperti kerusakan kawasan akibat penebangan, pembalakan, juga konflik antara kuasa pertambangan dengan kehutanan. Juga isyu ketimpangan tingkat kemajuan antar daerah, antar kota, antar pulau.
Semua isyu itu sebetulnya dirasakan dan dikeluhkan oleh masyarakat, LSM, para ahli, politikus. Tapi jarang dari mereka yang sadar bahwa itu adalah masalah tata ruang dan proses penataan ruang.
Namun wacana tata ruang tentu bukan menyangku persoalan saja, tetapi juga hal-hal baik yang dialami warga dan lingkungannya, misalnya lingkungan perumahan yang tertata rapi, asri, pertamanan, kolam atau danau yan asri, resor pariwisata yang atraktif, kawasan pertokoan yang jadi sarana rekreasi keluarga, kawasan industri yang tumbuh menyerap banyak pekerja, dst.

Kedua, perlunya akan "saluran" untuk penyampaian aspirasi dalam proses perencanaan maupun pengaduan dalam rangka ikut mengawasi maupun penyampaian keluhan.
Adanya kasus Prita vs Rumah Sakit Omni, serta disyahkannya UU Pelayanan Publik, mendesakkan perlunya "saluran" tersebut agar komunikasi antara masyarakat dan penyedia pelayanan dalam penyelenggaraan penataan ruang menjadi lancar. Dan, seperti judul lagu, "tak ada dusta di antara kita."

Kedua hal diatas yang perlu dijadikan agenda dalam memasyarakatkan dan meningkatkan kepedulian semua pihak akan tata ruang. Karena aspek tata ruang, seperti aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya, layak menjadi perbincangan atau "milik" semua orang. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]

Saturday, June 20, 2009

Manfaat Komunikasi Penataan Ruang

Apa manfaat kerjasama pengelola penataan ruang dengan jurnalis:
Untuk diseminasi/ sosialisasi peraturan-perundangan, rencana, dan progaram/ kegiatan pelaksanaan dan tindakan pengendalian, dan lainnya;
Untuk memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat, dan umpan balik tentang pelaksanaan dan hasilnya;
Untuk mengadvokasi, mengawal pelaksanaan rencana dan peraturan-perundangan agar dipatuhi oleh para pelaku pembangunan - baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat;
Untuk menjaga konsistensi dan momentum pelaksanaan, penegakan aturan, dan perhatian kepada permasalahan penataan ruang di masyarakat (mengingat pelaksanaan penataan ruang bisa berjangka panjang).
Untuk pencitraan institusi dan komunitas (?) penataan ruang agar selalu "hadir" dan dalam berbagai aspek dan momen kehidupan masyarakat. Secara proaktif (preventif), tidak sekedar reaktif (kuratif). Karena sering "kegagalan" penataan ruang dianggap penyebab persoalan atau bencana lingkungan, sementara penagakan aturan atau pelaksanaan tidak ada yang mendukung.

Bagi dunia jurnalisme aspek tata ruang ini bisa memberikan kerangka analisis terhadap permasalahan lingkungan, ekonomi daerah dan berbagai permasalahan wilayah dan kota. Sehingga dapat memperkaya perspektif pemberitaan dan investigasinya.[Risfan Munir]

Monday, June 15, 2009

Tata Ruang - Apa manfaatnya bagiku?

Orang kebanyakan, swasta, bahkan instansi pemerintah pun akan bertanya, "apa manfaatnya bagiku?" Saat diajak membahas tata ruang.

Dalam mengomunikasikan dan mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam melaksanakan dan mengawal atau mengadvokasi RTR, perlu diyakinkan dengan membicarakan "apa manfaat tata ruang" bagi masing-masing dari mereka dan bagi masyarakat umumnya.
Wartawan atau media massa tentunya juga hanya tertarik dengan berita atau informasi yang terkait dengan kepentingan orang banyak, bukan materi teknis untuk kalangan terbatas.

Untuk itu dalam mensosialisasikan penataan ruang, akan lebih efektif kalau dikaitkan dengan isyu-isyu yang berkembang dan aktual di masyarakat. Sekaligus bekerja sama dengan instansi lain atau stakeholders yang juga menangani isyu tersebut.
Sebagai contoh, isyu yang aktual saat ini, dalam bidang ekonomi ialah mengurangi kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Bagaimana mencapai target MDG, th 2015 angka kemiskinan 1/2 dari angka th 2000. Gejala yang muncul, ada gelombang besar arus warga miskin ke perkotaan bekerja di sektor informal. Mereka menempati lahan publik, sempadan, dan sejenisnya. Bagaimana respons penataan ruang?
Dalam bidang pertanian, bagaimana menjamin ketahanan pangan sementara lahan pangan yang subur banyak beralih fungsi menjadi kawasan terbangun perkotaan. Bagaimana solusi bagi kelanjutan ketahanan pangan, bagaimana pula bagi petaninya kalau tak boleh alih fungsi, sementara nilai ekonomis tanaman pangan relatif rendah dibanding peruntukan perkotaan.
Dalam bidang lingkungan hidup. Bagaimana mengantisipasi perubahan iklim dan pemanasan global, terutama bagi kota pantai. Bagaimana mengatasi kerusakan lingkungan hulu (up-stream) wilayah aliran sungai, yang memicu erosi dan banjir kawasan hilirnya. Bagaimana usulan penataan ruang dalam kasus ini? Bagaimana insan penata ruang bisa kerja sama dengan jurnalis untuk bisa melakukan pemantauan (watch-dog) dan memberi tekanan (pressure) kepada pelaku dan penegak hukum supaya menindak pelanggar RTRW tersebut.
Itu adalah contoh-contoh untuk menghadirkan isyu penataan ruang kepada masyarakat melalui isyu terkait dengan bidang-bidang yang dirasakan kemendesakan dan gawatnya oleh masyarakat.
Untuk itu diperlukan strategi dan pendekatan komunikasi yang proactive, mengantisipasi lalu menyampaikan sesuatu, memberikan peringatan. Jangan sampai bencana terjadi baru bereaksi. Sudah terlambat dan memberi kesan defensif (mengaku salah, kecolongan).
Sebagai profesional semestinya mengingatkan berbagai pihak akan adanya peluang maupun ancaman. Ini perlu dijadikan isi dalam mengkomunikasikan dan meningkatkan citra penataan ruang di masyarakat.
[Risfan Munir, Graha Cakra Malang]

Friday, June 12, 2009

Citra Organisasi Penataan Ruang

Citra organisasi adalah akumulasi dari berbagai asosiasi, selain itu pengukurannya melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholder). Oleh karenanya tak mengherankan kalau peningkatan citra organisasi ini membutuhkan komitmen yang besar dan berjangka-panjang.

Sebagai ilustrasi, penilaian atas perusahaan bisnis yang dilakukan oleh Businessweek versi Indonesia (18 Juni 2009), setidaknya melibatkan beberapa dimensi yang diukur.
Dimensi performance – rangkuman atribut kinerja internal sesuai standar kinerja yang ditetapkan. Dimensi quality – merupakan rangkuman dari berbagai atribut kualitas produk, inovasi, kepedulian terhadap pelanggan. Dimensi responsibility – merupakan atribut tanggung-jawab sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.

Adanya indikator tersebut meunjukkan bahwa citra organisasi adalah hal yang dapat diukur, dan bersifat dinamis, bisa naik/turun sepanjang waktu. Tiap organisasi atau lembaga perlu memahami apa yang menjadi KEBUTUHAN dari para pemangku kepentingan. Dan, organisasi harus merumuskan strategi dan mendesain berbagai program untuk meningkatkan citra organisasi.

Selanjutnya, citra organisasi adalah hasil multi-interaksi, dalam bentuk iklan (advertorial, inforial), kontak langsung, atau kabar dari mulut ke mulut, situs web, pengalaman pengguna jasa/konsumen dan bentuk komunikasi lainnya.

Hal penting lainnya, citra organisasi adalah tanggung jawab seluruh jajaran organisasi tersebut, mulai dari pimpinan puncak hingga staf terbawah. Siapakah yang sanggup mengahadapi para pemangku kepentingan, masyarakat? Tentu semua staf dan mitra yang terlibat. Dan, walaupun organisasi menggunakan jasa public relation (PR), tugas mereka lebih banyak di lini depan yang komunikasikan visi, misi, program, kegiatan dan prestasi-prestasi organisasi, menanggapi pertanyaan dan isyu tertentu, tapi citra lembaga dalam jangka panjang ditentukan oleh kinerja dan perilaku seluruh staf dan mitra.
Jelaslah bahwa di tingkat perusahaan atau organisasi saja pengembangan citra perlu menjadi bagian dari strategi utama, apalagi yang menyakut pelayanan publik.

Maka untuk menngkatkan citra organisasi penataan ruang, setiap pimpinan, staf, unit-unit maupun lembaga-lembaga mitra yang terlibat harus ikut ber tanggung-jawab. Jadi bukan sekedar divisi humas, profesional PR yang disewa, atau jusnalis yang diajak berkiprah. Mereka semua bisa membantu banyak, kalau insan tata ruang sendiri juga antusias menunjukkan kontribusinya dalam menjawab kebutuhan masyarakat.

Tantangannya adalah, urusan penataan ruang ini terpisah-pisah antara instansi Perencana, instansi dan masyarakat Pemanfaat rencana, dan instansi Pengendali (monitoring, evaluasi, penindakan) nya. [Risfan Munir]

Tak Kenal maka Tak Peduli

Tak kenal maka tak peduli. Mungkin ungkapan itu tepat untuk otokritik urusan penataan ruang. Bagaimana masyarakat, antar lembaga pemerintah, apalagi dunia usaha peduli dan berpartisipasi kalau mereka tak kenal "penataan ruang" itu apa.

Masyarakat akan bertanya "Apa Manfaatnya BAgiKu?" (AMBAK). Hal yang perl disadari oleh para pengampu tata ruang, bahwa istilah "tata ruang" terdengan teknis, urusan ahlinya. Seperti halnya, teknik sipil, kedokteran.
Masyarakat lebih familier dengan "kebutuhan" hdupnya, seperti urusan pendidikan, kesehatan, kebersihan, sembako, lapangan kerja (ekonomi), lingkungan hidup.
Oleh karena itu, untuk membuat penataan ruang lebih difahami, menjadi "kebutuhan" yang diperjuangkan, bahwa ruang (publik) adalah hak warga, mereka harus dikenalkan dengan apa itu "penataan ruang".

Otokritik disini, para ahli (perencanaan) tata ruang masih banyak yang "angkuh" seolah menyimpan rahasia ilmunya. Di sisi lain pejabat atau birokrat juga masih "arogan" mengandalkan "peraturan/ perundangan" untuk memaksakan implemantasi tata ruang. Yang dipusat berasumsi undang-udang, peraturan pemerintah dan sanksinya cukup untuk "mengancam" daerah atau instansi lain. Sementara yang di daerah berasumsi, cukuplah implementasi penataan ruang mengandalkan polisi pamong praja dan aparat ketertiban lainnya.

Dalam era demokrasi dan informasi saat ini "keangkuhan" itu sudah jadul (jaman dulu). Sudah saatnya memahami ungkapan "tak kenal maka tak peduli." Komunikasikan apa itu penataan ruang? Apa manfaatnya bagiku (AMBAK)?
[Risfan Munir, Semanggi Jkt]

Saturday, March 21, 2009

Manajemen Perubahan Kota (3): Skenario Kawasan Kota Baru Yogyakarta

Bung Djarot, Bung Indra Budiman membawa diskusi kepada jalur kajian manajemen perubahan suatu permukiman.

Di samping sudut pandang "hukum" yang berujung pada kesimpulan "kalah tau menang". Kita juga bisa membuatnya sebagai "kajian perubahan lingkungan perkotaan". Coba tengok gambar/peta stadia kota, maka akan tampak dulu bagaimana, sekarang bagaimana. Di balik itu tentu tersimpan kisah menang/kalah dan pergeseran serta penggusuran, tapi juga ada kisah manis atau good-practices nya.

Kalau Bung Djarot mencoba memproyeksikannya ke kasus Kotabaru Yogya (Mentengnya Yogya?). Barangkali istilah blue-print kurang pas untuk konservasi. Boleh jadi ini menyangkut trend atau skenario perubahan, dan bagaimana meresponsnya. Kita bisa coba berfikir bukan dalam skenario "win-lose" tapi "challenge-response".

Tentu ada kekuatan eksternal maupun internal kawasan (Kotabaru) yang bekerja. Kekuatan eksternal, bisa jadi desakan kearah kegiatan komersial, mengingat lokasinya tak jauh dari Tugu, Malioboro dan Jalan ke Solo sebagai pusat kota atau CBD.

Secara internal, warga termasuk institusi yang tinggal di situ memang menikmati nilai lokasi karena aksesibilitas yang tinggi. Tapi kisah klasiknya bagaimana 'ketahanan ekonomi' mereka. Orang kaya lama yang menghuni (ini kawasan berdiri th 1920an ya) apakah masih 'cukup kaya' untuk memeliharanya? Bayar PBB? Biasanya kan pensiunan, atau keturunannya sebagian saja di situ, atau lebih baik jual saja agar warisannya mudah dibagi.

Lalu pembeli, atau penghuni baru: apakah mereka membeli untuk rumah tinggal? Maukah orang yang beli rumah seharga di atas Rp 1M itu tinggal di tempat yang kian hiruk-pikuk karena transportasi kota itu? Mungkin di bagian-bagian tertentu masih tenang ya.

Kalau dibanding dengan Jakarta, ada kasus Menteng, ada Kebayoran Baru. Lingkungan Kebayoran Baru sudah banyak yang beralih fungsi atau taraf "stress" terutama sekitar jalan utama. Kalau kawasan Menteng, khusus bagian intinya masih lebih tenang, karena 'orang kaya' yang beli dari 'priyayi lama' akan bangga berumah di lingkungan super-elite itu. Tarif PBB tidak sensitif bagi kantong mereka.

Upaya konservasi memang harus diterapkan bagi lingkungan seperti Menteng, Kebayoran Baru, Kotabaru Yogya, kawasan sejenis di Malang (jalan dengan nama gunung: Ijen, Semeru, Merbabu), kawasan Darmo Surabaya. Tapi bagaimana menghindari skenario "menang - kalah", yang biasanya banyak kalah nya.

Apakah masih layak berobsesi bahwa ada Pemda yang begitu strong, konsisten. Mengingat walikota ganti lima tahunan. Peruntukan komersial masih lebih menguntungkan jangka pendek bagi keuangan daerah untuk kota, yang tak bisa mengharap bagi hasil eksploitasi SDA. Mengharap pressure group, dari kelompok mana ya? Arsitek dan planner tak semua punya komitmen besar untuk itu? Budayawan biasanya ya himbauan moral saja, mana bisa melawan hasrat komersial (?).

Solusi yang umumnya dipikirkan ialah: "pertahankan bentuk/ struktur, oke lah perubahan fungsi". Itupun mesti diberlakukan selektif.Tapi strateginya, mestinya ya berilah insentif bagi penghuni supaya betah setidaknya mempertahankan bentuk arsitekturnya. Beri keringanan PBB, kemudahan utilitas, kemudahan lain. Tapi repotnya Pemerintah sendiri kan tidak satu policy untuk konservasi itu. Ada Dinas Tata Ruang/Cipta Karya dan Dinas Pariwisata/Budaya yang mau konservasi, ada BPKD (dulu Dispenda) yang mau pajak/ retribusinya, ada Bina Marga yang mau melebarkan jalan, Dinas perhubungan yang bikin trayek angkot lewat situ, dst.

Terakhir, asumsi pokok kita bahwa kalau RTRW sudah di-Perda (peraturan daerah)- kan, sudah aman. Tapi Perda sendiri, atas persetujuan Pemda, Dewan kan bisa berubah.

Itu mungkin yang terlintas di pikiran saya Bung Djarot. Tentu setiap kemunkinan skenarionya ada di antara yang optimis dan pesimis. Kisah arsitek yang melestasikan Kampung Batik Laweyan, barangkali contoh optimismenya. Tapi jangan seperti pelestarian Kawasan Condet di Jakarta, yang meminta warga (umumnya tradisional, ekonomi lemah) untuk jadi kawasan asli Betawi, sementara tetangganya yang tak di"marga-satwa"kan dapat windfall money karena harga tanah yang selangit. Sekali lagi, salah satu kuncinya, apa insentif bagi warga yang (harus) melestarikannya. Damai di bumi, Risfan Munir

Manajemen Perubahan Kota (2): Skenario Kawasan Kota Baru Yogyakarta

Saturday, March 21, 2009 8:29 AM
Arsitek Djarot menulis:

Pak Risfan, matur nuwun atas pencerahannya. Saya kira kita perlu sangat memperhitungkan sebuah konsep yang namanya "umur perencanaan" . Memang tampaknya sepele, tetapi ini sebenarnya dahsyat, sebab mengandung kerendahan hati yang dilandasi konsep kesementaraan. Seorang planner saya kira ada di dalam ketegangan situasi sementara, mirip situasi sementara dalam pandangan Popper itu.

Benar Pak, blueprint barangkali diperlukan, tetapi toh umurnya hanya sementara. Saya setuju dengan blueprint yang sementara semacam itu, supaya jejak-jejak perencanaan justru memperkaya kehidupan. Saya tidak tahu benar bagaimana "blueprint" kawasan Kotabaru di Jogja yang awalnya adalah permukiman elite orang kaya Belanda masa lalu dan sekarang sedikit-demi sedikit mulai menguat karakter komersialnya. Apakah ahli-ahli planning bisa mengarahkan perkembangan Kotabaru menjadi apa 20 tahun ke depan ? Barangkali harus belajar kemampuan seperti Mama Lorenz ya ??? Salam, Djarot Purbadi

Arsitek Indra Budiman Syamwil menanggapi:

Rekan Ysh,
Di era transformasi budaya, fikiran dan kemunculan sub-kultur serta habitus baru ini yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Persoalan dan perilaku merruang dengan sendirinya mengalami perubahan, demikian pula ekonomi ruang yang penuh 'uncertainty' . Manajemen by objective perlu diubah menjadi 'management of change', bagaimana meng 'antisipasi' dan mengelola perubahan itu sendiri. Bukankah demikian Pak Risfan dan Pak Djarot?
Salam, Indra B Syamwil

Manajemen Perubahan Kota (1): Kasus Kemang Jakarta

Dari referensi@yahoogroups.com, saya kutip diskusi yang menarik sebagai berikut.

Date: Friday, March 20, 2009, 3:13 AM
Arsitek Djarot menulis:

Dear Sobats,
Jika ruang kota atau kawasan merupakan "teks" maka makna keberadaannya tergantung pada konteks yang berlapis-lapis. Kadang konteks kita kenali dengan baik tetapi kiranya banyak konteks yang tidak kita kenali. Celakanya "the hidden contexts" tersebut sangat dinamis jika ada di kawasan yang berubah dinamis juga Ketika konteks berubah maka teks juga akan mengalami perubahan. Kasus Kemang barangkali bisa dibaca dengan cara demikian. Lagi pula, ketika suatu rencana "membeku" menjadi blueprint atau semacamnya, maka makna rencana tersebut menjadi "berubah" karena sebenarnya konteks empiris berubah sementara konteks yang digunakan dalam proses perencanaannya tentunya tetap.

Artinya, ilmu perencanaan selalu dalam keadaan gamang, sebab relasi konteks dengan teks yang digarap keduanya obyek yang dinamis. Dinamikanya kadang tidak terduga, sebab menyangkut dimensi kuantitatif maupun kualitatif. Apakah begitu ? Kasus Kemang rasanya seperti gugurnya sebuah konsep karena perubahan yang terjadi pada fenomena empiris dalam pemikiran induktif naif ! Salam, Djarot Purbadi

Risfan Munir menjawab:

Bung Djarot,
Walau samar saya menangkap 'pesan' njenengan. Bahkan John Friedman, salah satu bapak planning itu, juga mewanti-wanti soal cara pandang "blue-print planning". Karena komunitas kota sudah seperti organism yang tumbuh dinamis, diluar dugaan "ibunya" sendiri sekalipun. Siapa yang bisa meramal dengan akurat saat ini.
Para analis ekonomi (bidang yang katanya paling kuantitatif) tercanggih sekalipun saat ini tak lebih baik dari Mama Lorenz.

Kita bisa bikin blue-print, tapi bisakah kita meramal (kecuali yang pesimistik) tentang tebal kocek pemerintah atau masyarakat untuk melaksanakannya? Kapasitas kelembagaan untuk pengendalian? Jumlah orang miskin, sektor informal kota? Celakanya semua ini memberi tekanan kepada "relevansi" suatu blue-print kota.

Tapi toh, Pemda dan masyarakat perlu "kepastian" atau setidaknya "pedoman" bagi lokasi tempat tinggal dan usahanya di peta kota. Jadi bagaimana "pedoman" yang pas itu? Yang tidak tampak sebentar-sebentar harus "disesuaikan" , sehingga hilang wibawanya? Inilah mungkin tantangan bagi kita. Damai, [Risfan Munir]

Friday, March 20, 2009

Manajemen Penataan Ruang

Saat ini terjadi kegalauan di kalangan perencana, karena banyaknya gejala pembangunan fisik di perkotaan kok 'melanggar' aturan rencana tata ruang. Ini memerlukan pemikiran yang lebih jeli soal penerapan rencana tersebut.

Penataan Ruang selama ini lebih banyak dilihat dari aspek Perencanaannya saja, sementara Penataan Ruang sesuai UUPR menyangkut aspek "perencanaan - pelaksanaan/pemanfaatan - pengendalian," yang hakikatnya merupakan siklus proses MANAJEMEN PENATAAN RUANG, sebagai bagian dari manajemen pelayanan publik.

Bicara Manajemen, khususnya manajemen mutu, biasanya kita gunakan siklus "plan-do-check-action (PDCA)" secara berkelanjutan, dalam rangka continuous process improvement. Dalam bahasa UUPR identik dengan "perencanaan - pemanfaatan - pengendalian."

Dari berbagai diskusi dapat saya simpulkan ada beberapa tantangan dan agenda Manajemen Penataan Ruang yang memerlukan respons, antara lain di bawah ini.

ASPEK PERENCANAAN (plan):
Tantangan:
- Bagaimana menuntaskan perangkat rencana, berbagai jenis rencana: panduan, standar teknis, standar land-use, prosedur, kaitannya dengan rencana sektor dan lainnya,
- Kajian bagaimana merencana "tata ruang dinamis", di tengah perubahan multi-dimensi yang unpredictable ini. Bagaimana menggunakan skenario? Kalau toh ada review, apa syarat dan prosedurnya?
- Bagaimana prosedur perencanaan yang lebih partisipatif, melibatkan stakeholders?
- Bagaimana dengan pelatihan bagi perencana dilakukan bagi aparat, konsultan dan lainnya? Seperti kerja sama IAP dan DJPR. Bagaimana agar merata, bagaimana standarisasi mutunya?
Dan, seterusnya.

ASPEK PEMANFAATAN (do):
Tantangan:
- Bagaimana agar semua jenis rencana yang menurut regulasi harus ada bisa tersusun di semua daerah, kawasan, zona?
- Bagaimana rencana didiseminasi, diketahui dan difahami oleh warga bersangkutan, ada jajaran SKPD terkait, LSM, media massa?
- Apa instrumen "pelaksanaan" yang diterapkan - kombinasi atau salah satu dari: law enforcement, gov't investment (eminent domain), insentif/disinsentif, sesuai UUPR?
- Bagaimana agar "pressure" dari masyarakat dan media, legislatif dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan RTR
- Menciptakan dan menginventarisasi contoh atau best practices dalam penerapan instrumen2 tersebut dari barbagai daerah dan kasus. Kalau diteliti tentu banyak kisah sukses pelaksanaan penataan ruang "kawasan konflik kepentingan", "kawasan super padat", "penataan kampung tengah/pinggir kota", "penataan commercial strip", pendekatan partisipatif, melibatkan swasta, kerja sama antar instansi, dst.
- Diseminasi best practice tsb melalui workshop pertukaran pengalaman antar daerah,
Dan seterusnya,

ASPEK PENGENDALIAN (check, action):
Tantangan:
- Bagaimana memantau pelaksanaan dan pertumbuhan spontan yang terjadi di lapangan. Adakah pernah disusun prosedur pemantauan (inspeksi)? Yang melibatkan warga?
Adakah forum, pertemuan periodik membahas fenomena penataan ruang dan pertumbuhan fisik, risiko-risiko atau trend yang mengkhawatirkan?
- Bagaimana mendorong partisipasi masyarakat, media massa, legislatif agar aktif memantau pelaksanaan RTR,
- Lalu, apa action nya? Adakah strategi dan SOP seperti melakukan shock teraphy dan sejenisnya, SOP bagi aparat dan warga yang ditunjuk dalam melakukan sidak dan penindakan, Dan, lainnya

FEED-BACK:
Bagaimana agar proses Plan - Do - Check - Action (PDCA) itu dilakukan terus secara cyclical. Sehingga dalam praktek manajemen penataan ruang sehingga selalu dianggarkan pelaksanaannya, dst.

AGENDA:
Berbagai tantangan tersebut harus direspons dengan Agenda atau tindakan:
- Penyusunan agenda tindakan yang terencana dengan: rincian kegiatan, input, output dan outcome nya?
- Karena "pelaksana" tata ruang sebagian besar bukanlah instansi tata ruang, maka bagaimana menggalang saling pengertian dan dukungan antar sektor, antar instansi?
- Urusan penataan ruang termasuk "urusan wajib" pemerintah daerah, jadi bagaimana menagih pelaksanaan urusan wajib itu?
- Sebaliknya, kita tahu bagaimana sih kekuatan SKPD tiap daerah? Ada yang sub-dinas, ada yang sub-subdinas dengan personil 2-3 orang saja kompeten dalam penataan ruang. Jadi bagaimana membekali Pemda dengan perangkat bagi capacity building aparat (dan stakeholders) penataan ruang. Dan, seterusnya.

Sekali lagi, yang penting adalah membiasakan untuk melihat penataan ruang bukan cuma aspek Perencanaan nya saja, tapi sebagai bagian dari Manajemen Pelayanan Publik, khususnya urusan penataan ruang. [Risfan Munir]

Tuesday, March 17, 2009

Difussion of Technology dan Manajemen Pelayanan Publik

Saya teringat buku yang yang berjudul: "Tiga Pilar
Pengembangan Wilayah: SDM, SDA dan Teknologi" terbitan BPPT. Inovasi dan difusi teknologi yang tak bisa dilupakan.

Kebetulan program pengembangan ekonomi lokal yang saya tangani, sedikit bersinggungan dengan kegiatan Menristek tentang pengembangan jaringan BTC (business technology centers). Ini adalah jaringan pembelajaran keterampilan teknologi madya. Ada simpul-simpul antar universitas, tapi sasarannya tingkat SMK (sekolah menengah kejuruan). Jejaringnya online ini berskala internasional, sehingga skill/ teknologi apa yang dibutuhkan di tingkat lokal bisa dicarikan sumbernya di belahan bumi lain. Sementara dari Jerman, sebagai sponsornya saat ini. Kita tahu Swiss-German, juga Jepang telah lama membantu SMK-SMK kita.

Kedua, hal lain yang perlu dijawab ialah soal manajemen pelayanan publik terkait delivery management dari berbagai pelayanan (contohk distribusi tabung dan kompor gas). Tapi masalah service delivery ini terjadi juga pada hampir semua pelayanan, misalnya BLT (yang sekarang sedang akan turun), beras bagi Gakin, pupuk bersubsidi.

Planner umumnya belajar tentang sistem distribusi dan koleksi (koldip). Memang dulu konsepnya antar hirarkhi pelayanan (kota). Tapi dengan revolusi transportasi model hirarkhi tersebut sudah mesti dirubah dengan pendekatan supply chain management, atau manajemen logistik yang lebih praktis.

Sekali lagi di literatur pengembangan wilayah atau regional science itu sudah dikembangkan, tinggal bagaimana kita mengadopsi dan mengaplikasikannya.



[Risfan Munir]

Pengembangan Ekonomi Lokal Kota Bekasi

Kota Bekasi genap berusia 12th. Tapi yang ulang tahun tentu Pemdanya ya. Kalau kota/ wilayahnya kan sudah tua ya. Setidaknya waktu Chairil Anwar nulis sajaknya Bekasi juga sudah jadi permukiman yang relatif berkembang.

Kota Bekasi juga tidak tumbuh pesat karena "ditunjuk" sebagai kota satelit. Ya alamiah saja kan, Jakarta meluas hingga Jabodetabek. Lalu dipicu dengan terbangunnya jalan tol Jakarta - Bekasi, dan kemudian Cikampek hingga Bandung.

Permasalahan Kota Bekasi menurut saya ciri khas "urban fringe", pinggiran metropolitan dunia ketiga yang amburadul umumnya. Lahan terasa menyempit karena kepadatan kian tinggi. Di luar itu ada Kabupaten Bekasi yang lahannya relatif luas, yang juga sedang bergeser dari pertanian ke industri. Ini mengundang penduduk, yang kegiatan sosial dan belanjanya ke Kota Bekasi.

Untuk kota sepadat Bekasi ini mungkin ruang untuk industri sudah sulit, yang mungkin adalah untuk pembangunan sektor jasa: pertokoan, perkantoran, hotel, rumah sakit, sekolah. Untuk ruang terbuka hijau, harus ada niat (dan tekanan dari masyarakat) agar setidaknya RTH yang tersisa dipertahankan.
Soal lapangan kerja, menurut saya banyak pembukaan kesempatan kerja baru. Tapi penduduk pendatang juga tinggi pertumbuhannya. Ada juga masalah terdesaknya pekerjaan tradisional pertanian ke sektor perkotaan. Repotnya pekerja pertanian itu 'penduduk lama' (untuk tidak bilang asli), sementara yang mengisi sektor perkotaan banyak pendatang. Setidaknya itu yang saya amati selama dua dekade ini.

Selain padat, dari segi lingkungan juga ada banyak kawasan rawan banjir (genangan), karena banyaknya rawa, penampung air yang diurug jadi perumahan.

Pemkot dengan kondisinya memang akan dituntut untuk lebih fokus ke pemeliharaan, pembangunan sosial (pendidikan, kesehatan, keamanan, ketertiban). Masalahnya uangnya dari mana. Bagi hasil untuk kota biasanya tak sebanyak pemilik SDA.
Peluang yang nyata ya "pajak pembangunan-1" (hiburan, rumah makan) yang langsung diterima Pemkot. Maka dibukalah izin-izin mal dan sarana hiburan.

Bagaiman kota Bekasi ke depan? Ya oke-oke saja kali ya.
Tapi mungkin selain pemeliharaan prasarana, sarana, pendidikan dan kesehatan.
Pengembangan ekonomi lokal, khusunya yang mikro dan informal (keakyatan) perlu
diprioritaskan, karena angka pengangguran yang tinggi bisa menimbulkan kerawanan sosial.

Selamat ulang tahun Pemkot Bekasi. [Risfan Munir]

Monday, March 16, 2009

Manajemen Pelayanan Publik bagi Pengembangan Ekonomi Lokal

Posting Risfan Munir:

Soal blue collar worker, atau TKI, TKW adalah kenyataan yang sudah terjadi. Jumlahnya juga sudah jutaan. Pemerintah secara statistik, angka, juga mengakui kalau sumber devisa terbesar setelah Migas dan eksplorasi SDA (tambang? hasil hutan?) adalah remittance dari TKI. Tapi di luar statistik, memang seperti yang dikatakan Efha, masih "merendahkan" orangnya. Malu mengakui kalau mereka adalah warga yang berprofesi resmi. Budaya priyayi masih dominan di negeri kita. Celakanya juga terjadi bukan cuma di Pemda, tapi juga di kedutaan di luar negeri, yang harusnya melindungi TKI/W.

Sikap priyayi itu juga ditujukan terhadap pengusaha swasta. Sikap umumnya menganggap bahwa swasta layak dicurigai, serakah, tidak patriot. Walau katanya ingin undang investor. Walau personal oknumnya lebih suka 'kerjasama diam-diam'. Banyak usaha swasta yang menciptakan lapangan kerja untuk ribuan orang dalam satu pabrik. Tapi alih-alih dihargai, mereka dicurigai, lalu dirong-rong.

Kembali ke soal devisa, kalau urutan penghasil devisa seperti itu, artinya bangsa kita masih kategori penjual "hasil bumi, hasil hutan dan keringat". Artinya memang masih mentahan.

Kebangkitan kesadaran untuk mengembangkan industri pengolahan, untuk membeli produk jadi dari negeri sendiri seperti Jepang pada masa kebangkitannya harus dihidupkan. Pasca krisis, banyak negara melakukan 'proteksionisme' selektif (fortifikasi) adalah momentum yang harus dimanfaatkan.

Menyangkut pelayanan publik bagi pengembangan ekonomi, dari banyak diskusi yang saya ikuti di Bappenas, dengan asosiasi produsen, banyak keluhan bahwa Pemerintah terkesan lebih memberi fasilitas kepada import barang jadi daripada, bahan baku. Sebaliknya lebih memberi kelonggaran mengekspor bahan mentah daripada barang jadi. Baik untuk produk garmen, kayu/furnitur, kulit, logam. Ini sering karena kekurang fahaman perumus kebijakan, atau desakan dari luar.

Hal-hal yang seperti ini yang secara konkrit mesti diperbaiki. Masalahnya sudah jelas, konsep pengembangan ekonomi juga sudah banyak dibahas. Bukan retorika yang diperlukan, tapi mengerjakan perbaikan dalam kebijakan operasional dan pelaksanannya. Apa bukan begitu? Damai di bumi, [Risfan Munir]

Reply dari Aunur Rofiq:

Memang benar kita masih merendahkan sektor swasta dan TKI kita, cerita bung fajar sering saya temui. Banyak Bupati dan birokrat daerah yang enggan mengembangkan pusat pelatihan tenaga kerja....untuk dirty job. Sedangkan untuk sektor swasta saya pernah mempunyai program pengembangan ekonomi lokal (PEL) yang tujuannya agar para pengusaha lokal mampu mengembangkan bisnisnya terutama untuk menangkap peluang dalam rantai nilai suatu komoditi yang sudah mereka geluti (misalnya industri pengolahan hasil pertanian dll). Ternyata kepercayaan para birokrat terhadap kemampuan entreprenuer lokal sangat rendah.....mereka sepertinya tidak rela jika bisa membesarkan para pengusaha lokal tersebut.... .inilah cara pandang yang harus berubah dari birokrat kita. Meskipun pada daerah terpencil mereka tetap mengharapkan ada investor asing yang mau menanamkan modalnya disana...keinginan mereka tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal disitu sudah terdapat bibit wirausahawan- wirausahawan yang hanya memerlukan informasi tentang kredit, pasar dan teknologi saja mereka akan mampu berkembang dan mengembangkan daerah

Salam, Aunur Rofiq

Re-reply Risfan Munir:

Khusus menyangkut Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) kebetulan saya cukup lama terlibat. Memang banyak PR yang masih perlu kita kerjakan untuk meluruskan persepsi.

Masalah investasi dan penciptaan lapangan kerja, seperti pribahasa "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak."

Investor selalu dibayangkan dari luar, pekerjaan selalu dibayangkan adanya pabrik yang pekerjanya banyak. Tapi kita mesti introspeksi juga, karena teman-teman profesional, pejabat Pusat ngajarinya sering juga masih begitu.

Dalam soal pengembangan ekonomi lokal (PEL) misalnya. Sering kalau di level kabupaten data statistik tidak memadai, karena tentu ISIC tidak mencakup klasifikasi produk (dalam mata rantai produksi yang rekan Aunur sebut). Saya selalu sarankan kenapa tidak kita undang wakil pelakunya, yang besar, sedang, kecil. Kita minta mereka saling cerita input dari mana, output dijual kemana? Dengan begitu tergambar mata rantai nilai. Lalu dalam pertemuan dibahas potensi dan masalahnya. Biasanya setelah disadarkan mereka mau, dan pertemuan antar "rantai nilai" (value chain) produk sejenis itu selanjutnya otomatis jalan sendiri.

Kedua, menyangkut pelayanan publik, khususnya soal diklat untuk TKI/W. Sebagai info untuk membesarkan hati, di beberapa kabupaten/kota di Jateng, Jatim sudah banyak berdiri. Walau lagi-lagi ya usaha swasta, bukan Pemda.

Sedangkan untuk transfer of remittance, bahkan bank BUMN yang dipercaya TKW sempat meremehkan volume remitan itu. Banyak surat pembaca komplain. Baru setelah BCA terlibat mereka kaget dan bangkit, tapi sudah telat kali ya. Damai, [Risfan Munir]

Tuesday, March 10, 2009

Wisata Kota Bandung dan Creative Industry?

Saya kebetulan melewatkan libur kemarin ke Bandung. Tujuan awalnya mau melihat-lihat DiesEmas ITB, tapi karena situasi, bukannya nongkrong di kampus tapi malah lebih banyak nonton macetnya jalan Dago karena padatnya pengunjung

Dengan mengistirahatkan judgment 'spatial planning' sebentar, yang tampak adalah geliat ekonomi kota. FO masih tetap jadi magnet utama. Mudah-mudahan yang dijual memang lebih banyak produk lokal.

Kalau melihat Elizabeth (produk tas), Edward Forrer (sepatu n kulit lokal), Kartika Sari, Evita klapper tart (kue-kue lokal) makin memperbesar dan memformalkan outletnya di Dago, mungkin indikasi bahwa dagangan mereka kian moncer.

Makan siang di Bukit Dago Pakar Timur, sambil melihat panorama Bandung di kejauhan. (Kali ini keprihatinan spatial planning tak dapat dibendung, prihatin melihat bukit-bukit gundul. Tapi bisa apa ya?). Makin banyak saja retoran (Sierra, Neo Calista, berbagai warung kopi termasuk Selasar Sunaryo), dan beberapa hotel (Horizon, Marbella).

Kalau mlihat nomor mobilnya, bisa ditebak, mayoritas leter B. Namun ada trend baru, yaitu makin banyaknya wisatawan mancanegara dari Malaysia. Dengan adanya penerbangan langsung Bandung-Kuala Lumpur, dan jalan tol Cipularang, nampaknya memberikan daya tarik bagi wisatawan negeri jiran itu. Dan, mereka relatif royal dalam berbelanja dan memenuhi hotel.

Bandung, bagaimanapun nampaknya akan tetap mengundang wisatawan. Karena banyak kampus berarti banyak alumni, banyak reuni, nostalgia. Jarakpun sepertinya selalu ditingkatkan aksesnya ke Jakarta, ke Kuala Lumpur dan kota utama lainnya. Namun bagaimana daya dukung lingkungannya? [Risfan Munir]

Thursday, March 05, 2009

Pelayanan Publik: Masalah Distribusi Pupuk


Salah satu masalah manajemen pelayanan publik terkait dengan ekonomi lokal ialah masalah distribusi pupuk. Hampir tiap hari beberapa bulan terakhir ini di media massa dibahas berita mengenai keluhan dan protes masyarakat, khususnya petani karena mereka tidak memperoleh pupuk bersubsidi yang "dijanjikan" oleh pemerintah dan Bulog.

Untuk memperjelas perkaranya agar nanti bisa diketahui "dimana" letak persoalannya, maka service delivery flow diagram yang telah dibahas pada posting sebelumnya bisa digunakan. Dengan mengetahui letak persoalannya, dilanjutkan dengan analisis "apa-apa" yang menjadi sebab, maka bisa difokuskan penangannya. Setidaknya diskusi untuk itu juga menjadi terfokus, tidak kesana-kemari. Silahkan mengamati diagram tersebut. [Risfan Munir]

Wednesday, March 04, 2009

Alur Pelayanan Publik (Case - Penyaluran Bantuan Langsung Tunai/BLT)



Tujuan manajemen pelayanan umumnya adalah untuk meningkatkan kinerja penyiapan, penyaluran dan penyajian pelayanan public agar dapat diterima oleh seluruh kelompok sasaran (target group) dengan mudah, lancar, adil, terjangkau.

Namun sebagaimana diketahui banyak sekali kasus yang terjadi dalam manajemen penyaluran pelayanan public ini. Contoh yang paling actual adalah pada kasus Manajemen penyaluran BLT.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Analisis Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow) akan sangat bermanfaat. Dengan menggunakan alat analisis ini, maka akan dengan mudah diidentifikasi pada proses mana persoalan penyediaan pelayanan ini ada. Sehingga selanjutnya dapat di atasi secara efektif dan tepat sasaran.

Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow)
1. Siapa Kelompok Sasarannya?
Apakah ada definisi yang mudah dimengerti siapa kelompok sasarannya?
Apakah (di lapangan) bisa diidentifikasi dengan jelas nama, alamat mereka?
Dalam kasus BLT, inilah salah satu sumber persoalannya. Data dari BPS tahun 2005, banyak yang belum di-update

2. Apa kebutuhan mereka?
Apa yang sesungguhnya dibutuhkan 'kelompok sasaran'?
Pada kasus BLT: Apakah uang tunai Rp 100 ribu cukup?

3. Bagaimana rancangan (paket) pelayanannya?
Bagaimana paket pelayanan (bantuan) itu dirancang?
Dalam kasus BLT: uang tunai sebesar Rp 100 ribu/bulan, dibayarkan per 3 bulan, dan seterusnya.
Siapa yang merancang? Kerjasama, koordinasi, dan konsultasi dengan siapa saja?

4. Bagaimana mobilisasi (sumber daya) nya dilakukan?
Dari mana (saja) sumber dananya (APBN, APBD, lainnya)?
Bagaimana kalau Pemda dan dunia usaha ingin (atau diajak) kontribusi?
Bagaimana cara pengadaan atau pengerahannya? Prosedur administrasinya?

5. Bagaimana penyalurannya?
Bagaimana pelayanan itu disalurkan? Dari 'sumber'nya lewat dinas, lalu UPT, lalu titik pelayanan pembantu atau keliling, atau bagaimana?
Untuk kasus BLT, apakah memang dari Pusat langsung ke kantor Pos?
Perlu juga ditanyakan soal waktu dan kondisinya. Misal: BLT mulai Mei pada 10 kota.
Pada kasus bantuan 'beras Gakin' (keluarga miskin), beberapa Pemda sempat menolak, karena beras datang sering tidak jelas kapan. Tahu-tahu tengah malam datang. Kondisi berasnya jelek.

6. Bagaimana manajemen 'titik pelayanan'nya?
Ini sering jadi titik kritis, karena penyedia atau petugas bertatap muka langsung dengan 'pengguna jasa pelayanan' atau masyarakat kelompok sasaran
Apakah jumlah petugas memadai dibanding jumlah yang membutuhkan? Bagaimana kemampuannya, keterampilannya, sikapnya?
Bagaimana sarana, prasarana, peralatan dan perlengkapannya?
Lokasinya apakah mudah terjangkau? Perlu ongkos transpor besar?
Pada kasus BLT: di Kantor Pos, padahaliasanya Pak/Bu Pos pekerjaannya mencap perangko dan mencatat.

7. Bagaimana dia menjangkau kelompok sasaran?
Adakah layanan pembantu atau keliling? Supaya lebih merata pelayanannya hingga pelosok
Dengan pihak mana saja bekerja-sama? Apakah dengan kantor kecamatan, kelurahan, dusun? Dengan pesantren?

8. Bagaimana kelompok sasaran itu diorganisir?
Kalau memang harus mendatangi, tentu memberikan pelayanan tak bisa dari 'pintu ke pintu', harus dalam kelompok.
Siapa yang mengorganisirnya? RT/RW, LSM atau siapa? Bagaimana cara dan teknisnya?
Pada kasus BLT banyak kepala desa, RT/RW yang menolak. Karena tanpa dilengkapi data, panduan, kewenangan tertentu mereka jadi sasaran 'protes' masyarakat. [Risfan Munir, Public Service Management Specialist]

Tuesday, March 03, 2009

Peningkatan Kinerja Manajemen Pelayanan Publik


Manajemen Pelayanan Publik dapat difahami sebagai segala kegiatan dalam rangka peningkatan kinerja dalam pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik.

A. Mengapa Pelayanan Publik?

Manajemen Pelayanan Publik adalah tanggung-jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pada era desentralisasi dan semakin kuatnya demokratisasi saat ini, maka tuntutan akan tanggung-jawab pelayanan publik dan peningkatan kinerja manajemen pelayanan publik tersebut juga semakin kuat dan terbuka.

Pada saat ini kinerja manajemen pelayanan publik ini sudah menjadi ukuran kinerja pemerintah daerah, terutama kepala daerahnya. Dalam berbagai kesempatan ketidak-puasan masyarakat atas kinerja manajemen pelayanan publik ini kian banyak diungkapkan oleh masyarakat secara terbuka. Masyarakat menuntut penyelenggaraan manajemen pelayanan lebih responsif atas kebutuhan masyarakat dan penyelenggaraan manajemen pelayanan public yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

Amanat Presiden:
Mulai hari ini saya mengajak lembaga negara dan swasta, baik di pusat maupun daerah, untuk menggunakan moto: “permudahlah semua urusan”. Jangan dihidupkan lagi seloroh atau cemooh di masa lalu yang mengatakan, “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.” Itu harus dihentikan. (Presiden SB Yudhoyono, Semarang, 8 Maret 2006).

B. Manajemen Pelayanan Publik

Untuk merespons tantangan dan permasalahan tersebut maka dalam rangka mendukung peningkatan pelayanan akan difokuskan upaya kepada pengembangan kapasitas (capacity building) manajemen pelayanan publik yang menyangkut aspek-aspek:
a Peningkatan efektivitas pengorganisasian pelayanan
b Pengembangan prosedur pelayanan yang mudah, cepat dan transparan
c Peningkatan kualitas dan kapabilitas personil penyelenggara pelayanan
d Pengembangan kebijakan yang mendukung

C. Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (STPP)

Untuk menjawab tantangan permasalahan pelayanan publik tersebut, maka dikembangkan pendekatan peningkatan kinerja pelayanan melalui Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (STPP).

Tujuan. Kata kunci dalam pelayanan publik adalah: aksesibilitas. Oleh karena itu tujuan dari penyusunan STPP ini adalah merancang rangkaian (paket) kegiatan guna meningkatkan aksesibilitas kepada pelayanan publik. Bagaimana agar pelayanan memadai (cukup) dan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Terjangkau dalam arti lokasinya mudah dicapai, tapi juga harganya terjangkau, serta mudah prosedur dan persyaratannya.

Prinsip. Permasalahan umum pelayanan publik antara lain terkait dengan penerapan prinsip-prinsip good-governance yang masih lemah. Masih terbatasnya partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau penyelenggaraan pelayanan, maupun evaluasinya. Untuk itu maka pendekatan STPP ini mempromosikan penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam proses peningkatan pelayanan tersebut.

Kriteria penyelenggaraan pelayanan publik. Kriteria penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, sesuai Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, antara lain meliputi:
a Kesederhanaan
b Kejelasan
c Kepastian dan ketepatan waktu
d Akurasi
e Tidak diskriminatif
f Bertanggung-jawab
g Kelengkapan sarana dan prasarana
h Kemudahan akses
i Kejujuran
j Kecermatan
k Kedisiplinan, kesopanan, keramahan
l Keamanan, kenyamanan. [Risfan Munir, ex Public Service Management Specialist, Local Governance Support Program, LGSP-USAID]

Saturday, February 28, 2009

Pengembangan Wilayah di ASEAN

Pada posting sebelumnya (Perencanaan Wilayah Perbatasan), mengenai pengembangan wilayah perbatasan, muncul pertanyaan: apakah orientasi pengembangan perbatasan masih "defence minded" atau "kerja sama (ekonomi)" antar negara yang berbatasan. Berita di bawah ini merupakan jawabannya.

Dari Hua Hin, Harian Kompas (1-3-2009) mengabarkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan ingin mendorong perkembangan kawasan pertumbuhan di ASEAN yang mencakup Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pihak swasta juga diajak berpartisipasi. Seiring dengan itu, Indonesia, Malaysia, dan Thailand sepakat untuk semakin mendorong pembangunan kawasan segitiga pertumbuhan, Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-Growth Triangle), melalui pengembangan lima koridor infrastruktur di kawasan tersebut. Untuk itu, para pemimpin ketiga negara akan menyiapkan fasilitas bagi pemerintah daerah dan pelaku bisnis setempat.

Presiden SBY memimpin dua pertemuan para kepala negara subregional ASEAN, yakni IMT-GT dan Brunei-Indonesia-Malaysia- Philippine East-ASEAN Growth Triangle (BIMP-EAGA), di Hua Hin, Thailand, Sabtu (28/2).

IMT-GT

IMT-GT merupakan kerja sama subregional dengan fokus peningkatan investasi, terutama bidang agroindustri dan industri berbasis sumber daya alam di Thailand selatan, Malaysia utara, serta Pulau Sumatera.
Lima koridor yang akan dikembangkan di IMT-GT bertujuan menghubungkan Songklah-Penang- Medan, Selat Malaka, Banda Aceh-Dumai-Palembang, Malaka-Dumai, serta Ranong-Phukket-Aceh. Koridor ini antara lain berupa prasarana jalan, pelabuhan, dan layanan angkutan laut serta penerbangan murah yang menghubungkan daerah-daerah dalam kawasan subregional tersebut.

Sekarang tengah dibahas bagaimana cara untuk lebih memudahkan perdagangan lintas batas. Hal yang terbaik adalah meningkatkan investasi, perdagangan, turisme, dan kemakmuran ekonomi. Tadi memang diusulkan adanya mekanisme dan bagaimana agar kerja sama ini dapat dibahas secara lebih menyeluruh,” papar juru bicara kepresidenan, Dino Pati Djalal.

BIMP-EAGA

Sejajar dengan itu, kerja sama BIMP-EAGA difokuskan pada sejumlah provinsi di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku sebagai bagian dari kawasan subregional dengan Brunei, Filipina, dan Malaysia. Kerja sama subregional ini antara lain untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi, terutama di kawasan perbatasan, meningkatkan perdagangan, pariwisata, dan investasi mela- lui fasilitas pergerakan masyarakat.

Saya ingin betul mendorong swasta daerah dan pemerintah provinsi-provinsi untuk melibatkan kabupaten dan kota untuk lebih aktif lagi mencari peluang. Meskipun kerangka dan kebijakannya bagus, kalau pemerintah daerah dan pelaku usaha di daerah tidak proaktif, saya kira peluang yang kita dapatkan tidak banyak,” ujar Presiden SBY.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintah dan pelaku usaha di daerah juga harus mengidentifikasi proyek-proyek yang bisa menjadi fokus kerja sama subregional, sementara pemerintah pusat mencoba mengatasi kendala infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan subregional tersebut. ”Misalnya di Sulawesi dan Filipina itu kerja sama bisa fokus pada perikanan,” ujar Mari.

Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Haruhiko Kuroda juga menghadiri pertemuan IMT-GT dan BIMP-EAGA. Kuroda telah menyampaikan komitmen untuk turut membantu akselerasi pengembangan kawasan segitiga pertumbuhan itu.

Pertemuan para kepala negara di kawasan subregional ini juga dihadiri Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. ”Untuk delapan wilayah di Indonesia yang masuk segitiga pertumbuhan ini (IMT-GT) telah disiapkan Rp 12 triliun,” kata Dino.

Kutipan berita di atas mengundang pemikiran, agar perkembangan dalam kerjasama pengembangan wilayah ASEAN di atas tentunya perlu segera ditindak lanjuti dengan pengembangan inisiatif di tingkat daerah yang termasuk di dalamnya. Dukungan kebijakan sudah ada, janji dukungan investasi prasarana antar negara, juga janji bantuan pinjaman dari ADB. Tinggal daerah mengembangkan perencanaan wilayahnya selaras dengan peluang-peluang tersebut. Ini layak menjadi topik diskusi selanjutnya. [Risfan Munir]

Sunday, February 22, 2009

Solusi Perencanaan Wilayah dan Kota

Menanggapi luasnya ragam permasalahan pembangunan, pengangguran, kemiskinan, lingkungan hidup, pantai dan pulau kecil, pemanasan global, bencana alam, dst. Menurut saya pelu lebih banyak ragam pilihan solusi dan saran dari profesi Planologi.Ini saya sampaikan karena ada kesan kok - untuk masalah pembangunan apapun, solusi yang ditawarkan ya: sistem kota-kota dan land-use. Apa tidak ada alternatif solusi lain?

Saya pernah baca buku, misalnya, "Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: SDA, SDM, Teknologi." buku yang diterbitkan oleh BPPT, (seingat saya kata pengantar ditulis oleh Aunur Rofiq). Buku alternatif seperti ini tentu menawarkan alternatif lain: yaitu saran strategi/ program pengembangan SDM, pendaya-gunaan SDA daerah, dan strategi penerapan/pemilihan / transfer teknologi.Ini sekedar contoh agar dalam pencarian solusi, seperti dalam kasus pengembangan wilayah perbatasan atau tertinggal, ada perspektif lain.

Urbanisasi adalah transformasi dari sifat desa ke sifat kota, dari peramu/petani ke kegiatan perkotaan. Bukan menggiring orang pindah (resttlement) ke kota. Jadi aspek pengembangan SDM,SDA, teknologi itu sangat penting.Dalam dunia perencanaan, sekarang ada berapa wacana setidaknya:(1) perencanaan tata ruang; (2) perencanaan pembangunan daerah; (3) pengembangan wilayah sektoral: pariwisata, industri, pertanian; (4) community development planning, dst.

Perencanaan pembangunan daerah misalnya, dengan format populernya RPJMD. Ini merupakan mandatori dari Otnomi Daerah bagi kepala daerah terpilih. Metodenya terutama strategic planning, plus aspek programming dan budgeting, serta kelembagaan.

Perencanaan wilayah sektoral, misal: Rencana Induk Pengembangan Pariwisata; Rencana Induk Pembangunan Perumahan; RP Daerah Aliran Sungai; RP Kawasan Industri. Yang kuat muatan teknis sektoralnya, tapi metodenya gabungan perencanaan spatial dan strategic planning.Keempat, community development planning. Ini lebih informal, banyak diterapkan dalam program pembangunan masyarakat desa, PNPM, PPK, P2KP, CSR perusahaan besar. Content nya mengarah ke pengembangan SDM, SDA, teknologi, juga kelembagaanBeberapa aspek itu bisa jadi wacana Solusi Planologi, more than just "sistem kota-kota dan land-use plan". Semuanya masih dalam lingkup "core competence" planner, yaitu planning & management wilayah atau daerah. [Risfan Munir]

Perencanaan Wilayah Perbatasan (2)

Memang wilayah perbatasan banyak ragamnya. Dari perbandingan kemakmuran misalnya: pada perbatasan dengan Singapore, Malaysia, Brunei umumnya wilayah perbatasan kita penduduknya lebih miskin dibanding seberangnya. Tapi wilayah perbatasan dengan PNG, Timor Leste nampaknya di wilayah itu penduduk kita kondisi ekonominya lebih baik.Berpikir mengenai wilayah perbatasan (bukan wilayah tertinggal) mungkin ada baiknya melihatnya juga dalam konteks "regional" ASEAN dan West Pacific. Dimana posisi wilayah-wilayah perbatasan kita dalam konteks kerjasama antar negara/bangsa dalam region tersebut.

Apa yang bisa dimanfaatkan dalam situasi dan kondisi region itu bagi "wilayah-wilayah perbatasan" kita.Dalam kasus wilayah perbatasan dengan Malaysia dan Brunei, wilayah kita kaya akan SDA yang masih perawan, jumlah penduduk sedikit. Sementara ini pemerintah kita menelantarkannya, dan hanya menaruh perhatian kalau ada kasus-kasus saja.

Kenapa pemerintah menaruh prioritas rendah, mungkin karena terhadap pusat Orde-1 Jakarta, wilayah perbatasan itu hirarkhinya "di ujung kelingking kaki". Padahal kalau kita berfikir geo1konomi, geo-politik antar negara di ASEN, West Pacific posisinya terdepan.Mengapa Menteri Malaysia peduli? Tentu karena pertimbangan kerjasama regional. Ada keuntungan yang diperoleh secara ekonomi, misalnya banyaknya pengusaha HPH terkait dengan Malaysia. Tetapi ada alasan lain seperti potensi "gangguan keamanan" misalnya.

Menurut saya, sekali lagi, dengan mempertimbangkan potensi SDA, daya tarik bagi tetangga, serta kondisi ketidak-mampuan pembiayaan dari pemerintah untuk membangun prasarana. Alternatif yang layak dipertimbangkan ialah mengundang investor dengan memberi konsesi seluas-luasnya (dalam koridor hukum dan kelayakan) untuk mengembangkan kawasan-kawasan yang layak dan potensial di wilayah perbatasan dengan Malaysia dan Brunei, dengan kewajiban membangun prasarana, khususnya transportasi.

Sekali lagi, wilayah perbatasan adalah "beranda depan" dalam konteks kerjasama/persainga n antar bangsa di region ASEAN dan West Pacific.

Dalam kamus perencanaan kita sebaiknya dimuat juga IMT-GT, BIMP-EAGA, dst. Karena bagi warga wilayah perbatasan, mungkin pusat pelayanan kota Utama/ Orde-1 bukanlah Jakarta. TKI asal pulau Jawa, Madura, NTB, NTT saja kalau ber"urbanisasi" ke Kuala Lumpur, Jahor, Singapore. Warga perbatasan, apalagi.Mungkin akan bermanfaat kalau kunjungan Manteri Malaysia itu ditindak-lanjuti dengan kerja sama antar Sekolah Perencanaan, asosiasi profesi perencana (IAP) se ASEAN, West Pacific yang berbatasan, untuk tukan pandang, tukar konsep tentang pengembangan wilayah perbatasan.[Risfan Munir]

Perencanaan Wilayah Perbatasan (1)

Sistem kota-kota bukanlah soal menempatkan penduduk dengan satuan permukiman, tapi apa kegiatan ekonomi yang membuatnya layak tinggal disitu.Mata rantai koleksi-distribusi? Apa yang dikoleksi dan distribusi? Kalau fasos bisalah pemerintah membangun. Tapi kalau kegiatan ekonomi, kan dunia usaha atau masyarakat sendiri.Apa yang khas, jadi keunggulan geografis wilayah perbatasa? Mungkin per"beda"an sana dan sini yang dicari. Apa yang disini murah tapi disana mahal, disini ada tapi disana tak ada, yang disana dilarang tapi disini masih boleh.

Border zone antara USA dengan Mexico, misalnya. Di sisi Mexico buruh murah, land rent rendah, aturan longgar. Sehingga banyak manufacture dibangun di sisi Mexico, dengan pasar untuk USA.Dulu orang Indonesia senang kalau ke Batam bisa belanja barang ex Singapore. Sekarang banyak orang Singapore yang belanja garment di Batam, karena harganya relatif murah. Beda nilai mata uang a.l. yang bisa menguntungkan sisi Indonesia.Sepanjang borderline Indonesia - Malaysia di sisi kita mayoritas adalah wilayah yang tak terurus, nilainya tidak kita perhatikan. Sementara di sisi seberang relitif dinilai tinggi oleh Malaysia, Brunai. Mestinya perijinan pembukaan kawasan untuk investasi skala besar lebih murah dilakukan di wilayah Indonesia.

Beri investor konsesi dan kemudahan yang luas, berbagai pengecualian. Tapi minta mereka membangun prasarana, terutama transportasi.Tak tertutup bagi investor dari Malaysia, Brunei, Singapore atau lainnya, termasuk dari Indonesia.

Sekali lagi, memanfaatkan potensi SDA dan lokasinya yang strategis menjangkau berbagai negara.Beberapa waktu yang lalu saya ketemu rekan yang Deputi di Kementerian Daerah Tertinggal. Saat bicara topik ekonomi lokal/wilayah, beliau bilang pendekatannya juga diarahkan ke pembangunan skala besar, berbasis usaha. Bukan sistem permukiman kecil-menengah, yang belum jelas kegiatan ekonominya. [Risfan Munir]

Thursday, February 19, 2009

Perencanaan Pengembangan Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia

Diskusi di milist “referensi” sepertinya yang dibahas menjurus ke daerah perbatasan dengan Malaysia, Brunei sementara ada perbatasan dengan Singapore, Papua New Guinea, Timor Leste juga batas laut dengan Filipina yang situasinya berbeda.

Kalau fokus perbatasan dengan Malaysia (Kalimantan), beberapa ide bagus, tapi kok masih seperti perencanaan permukiman transmigrasi, yang begitu-begitu saja. Sulit dibayangkan akan mencegah 'brain-drain' . Apalagi dana pembangunan prasarana tak ada. Mungkin Indonesia perlu berfikir jauh lebih maju.

Masalahnya kita menganggap perbatasan itu "kawasan belakang", sehingga tertinggal terus dalam prioritas. Kalau memang serius maka perlu paradigma beda. Anggap kawasan perbatasan sebagai "kawasan terdepan" dalam persaingan dan kerjasama antar negara. Bangun perbatasan bukan sebagai "kawasan/pusat desa" dengan hirarkhi terendah.Undang pengusaha besar, beri mereka untuk mengembangkan plantation skala besar, kawasan industri tertentu, kawasan eksklusif. Karena keterbatasannya adalah tak ada prasarana, jauh dari permukiman, butuh investasi besar. Maka kompensasinya, beri mereka konsesi yang lebih banyak soal tax dan kemudahan, karena tujuannya adalah pioneering.

Kaji industri, agriculture atau kegiatan ekonomi apa yang cocok untuk geografi dan lokasi antar negara, jauh dari permukiman seperti itu. Kembangkan konsep perencanaan pengembangan wilayah perbatasan yang memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah perbatasan kita, dibanding tetangga. Misalnya, buruh relatih lebih murah, SDA melimpah, ditambah kemudahan-kemudahan lainnya.

Diskusi juga dengan Arifin Panigoro, MS Hidayat, Siswono, Ciputra, LIPPO dan pengusaha besar lain yang pengalaman mengembangkan kawasan jadi modern. Intinya, perlu melihat kawasan perbatasan sebagai wilayah terdepan dalam pesaingan/persahabatan antar negara, bukan wilayah belakang. [Risfan Munir]

Monday, February 16, 2009

Pengembangan Wilayah Papua

Pilihan Papua pada "people driven development strategy" (seperti disampaikan Nuzul Achjar) merupakan suatu kewajaran. Setelah bertahun-tahun "corporate driven" yang diandalkan pemerintah ternyata "lokomotif"nya maju sendiri, sementara sebagian besar "gerbong"nya atau masyarakatnya tertinggal. Yang ini sebetulnya berlaku juga di pulau Jawa sekalipun.

Mengenai keanekaragaman kondisi antar daerah/sub-wilayah di sana, sudah jelas. Dan, metode pengembangan wilayah memang biasanya diawali dengan identifikasi wilayah, lalu perwilayahan berdasarkan "kesamaan karakter" dan hubungan "keterkaitan dan ketertarikan" antar subwilayah.

Lebih fokus tentang pengembangan UMKM sebagai salah satu fokus pengembangan, terutama terkait dengan produk kayu, kita tahu bahwa potensi SDA kayu disana besar. Tiap hari masyarakat menyaksikan log-log diekspor tanpa mereka sempat menikmati added-value nya.
Kalau bicara potensi SDM, dalam kerajinan, ada tradisi suku Asmat antara lain yang kerajinannya sudah terkenal. Pokoknya tradisi keterampilan itu ada, pada beberapa komunitas, tinggal dikembangkan. Pengembangannya bisa dengan pelatihan, magang ke Jepara, Klaten, Pasuruan, dst. Disamping juga bisa "mengundang" pengrajin asal sentra-sentra yang maju tersebut untuk menularkan keterampilannya ke sentra-sentra kerajinan sejenis di Papua.
Dalam hal transfer knowledge & skill ini banyak lembaga nasional seperti BPPT, Menristek, Deperin, Men KUKM, lembaga-lembaga donor yang bisa diajak membantu.

Bicara UMKM permasalahannya biasanya seputar 6M (man, money, meterial, method, market, management). MATERIAL yaitu potensi raw material yang melimpah. Money - katanya ada alokasi dari Provinsi dan sumber lain. MANusia - menyangkut keterampilan di atas. METHOD - ini terkait teknologi produksi, yang perlu diintrodusir tentang "appropriate technology". Jaman sekarang ada Onno Purbo yang membuat ITC menjadi barang murah dengan teknologi ala "parabola dari wajan". Ada Tri Mumpuni yang membuat kali-kali jadi sumber energi mikrohidro yang ada dimana-mana, tak perlu jaringan tegangan tinggi, kalau memang belum sampai.

MARKET - pada masa kini (new economic geography?) sistem manufaktur banyak yang menganut deassembling, yaitu proses produksi yang dipecah-pecah. Di Pasuruan, mebel yang dibuat mayoritas "setengah jadi", yang dibawa ke kota-kota lain untuk di"furnish". Di China banyak produk diproduksi begitu, bahkan lintas negara (Korea, Taiwan, Vietnam). Jadi secara bertahap para pengrajin di Papua di desa-desa kerajinan/industri kecil dapat membuat komponen-komponen yang sudah bisa mereka buat. Produk tersebut ditampung oleh sentra-sentra yang lebih besar, untuk prosessing selanjutnya. Finishing di situ atau di propinsi lain.

PRASARANA - ini adalah faktor penunjang utama, karena berpengaruh besar dalam supply-chain produksi. Jangka pendek bisa mengandalkan desa-desa pantai yang transportasinya lebih mudah, tak terkendala jaringan jalan yang terbatas. Selama ini DJPR/PU juga punya konsep-konsep "pengembangan Agropolitan" dengan perencanaan jaringan prasarananya. Konsep urban-rural linkage kan masih diterapkan juga dia banyak bidang dan daerah. Bisa dikaitkan dengan program-program dibawah payung PNPM yang punya komponen prasarana desa juga.

Meyakinkan hal seperti ini ke semua pihak, pelaku dan "penonton", memang sulit. Untuk itu perlu lokasi-lokasi yang kondisinya relatif lebih siap untuk dijadikan "percontohan". Sehingga ada contoh sukses untuk bisa direplikasi. [Risfan Munir]

Sunday, February 15, 2009

Mazhab dalam Pengembangan Wilayah (2)

Rekan Aunur Rofiq menyarankan agar melihat juga aspek kelembagaan. Terima kasih atas masukannya. Memang betul aspek "kelembagaan" dalam pembangunan adalah hal yang mendasar.

Dulu anggapan yang dominan adalah seolah kata "pembangunan" itu milik pemerintah semata. Tapi belakangan kian berkembang kesadaran kerjasama dengan "swasta". Pembangunan banyak diarahkan untuk memfasilitasi peran swasta.

Yang masih terbatas pengakuannya adalah peran "masyarakat" . Padahal kalau melihat pelayanan pendidikan, kesehatan, sangat banyak sekolah dan rumah sakit, poliklinik yang dibangun oleh organisasi masyarakat seperti yang berafiliasi keagamaan. Begitu pula dalam pengelolaan sumber daya, banyak oraganisasi kelompok petani, nelayan, buruh. Mereka tidak hanya peduli eksploitasi, tapi juga pelestariannya. Namun dalam proses kebijakan publik kok belum dilibatkan secara proporsional.

Sederhananya, kalau kita pakai "mata burung elang" (bukan iklan partai lho) dari atas sebuah kota besar, melihat bangunan yang ada. Berapa persen sih yang dibangun pemerintah, berapa swasta, berapa yang swadaya masyarakat?

Namun demikian, masing-masing individu/pihak tetap akan punya keyakinan untuk bias ke pemerintah, swasta, swadaya masyarakat, atau hibrida di antaranya. Untuk itu selalu perlu dilakukan mapping pandangan, analisis stakeholders yang memetakan paham, kepentingan, peran dan potensi masing-masing aktor yang terlibat dan terkena dampak dari kebijakan yang sedang disusun dan diputuskan. Ini berlaku untuk kebijakan kelautan & perikanan, maupun penataan ruang, pemberdayaan KUKM, dan kebijakan publik lainnya. [Risfan Munir]

Mazhab Pengembangan Wilayah (1)

Dalam diskusi perencanaan pengembangan wilayah sering muncul perdebatan, fokus dsri kota atau dari desa, bottom-up atau top-down, dan seterusnya. Oleh karena itu, ada baiknya faham-faham, mazhab-mazhab dalam pembangunan dikenali. Ini setidaknya supaya kita tahu seseorang bicara dari sisi mana. Semacam peta dari mazhab: asumsi, pendekatan, rekomendasi khasnya, bias dan kelemahan-kelemahan nya. Sederhananya, biasanya ada dua ekstrem: pro-kapital vs pro-rakyat, dengan berbagai ekspresi seperti "conservative vs labour", "neoclassic vs lawannya". Dan, tentu ada varian di antaranya, ditambah pada kepedulian pada environment, gender, human right, pro-local, dst.

Setiap implementasi rencana pembangunan, suka tak suka dihadapkan pada pilihan "mulai dari mana". Yang konservatif, biasanya mulai lokomotif, stimulus diberikan pada perusahaan (besar), pemodal. Dengan harapan kegiatan lain akan ikutan (trickle down effect). Yang sebaliknya, tidak percaya itu, karena dalam kasus negara berkembang, trickle down effect itu kecil sekali, sebaliknya back-wash effectnya yang mengeleminir usaha kecil, lokal yang lebih dominan. Maka pendekatan sebaliknya, yang mulai dari "bawah", yang memberi stimulus pada kegiatan mikro/kecil, padat karya, lokal yang diyakini lebih tepat.

Pandangan dan pendekatan yang sudah menjadi "keyakinan" masing-masing itu tidak bisa diremahkan. Pemerintah biasanya menghindari perdebatan yang polaristis, tapi pakai "bahasa" apapun adanya faham-faham itu di tiap kebijakan tidak bisa dihindari. Ada yang menganggap faham-faham itu "produk impor", tapi tanpa pakai teori sekalipun kita juga tahu mana kebijakan yang "pro pemodal" dan "pro rakyat."Ini bukan soal "nelayan tidak boleh kaya dan sekolah tinggi", tapi pendekatan pembangunan. Seseorang bisa saja kaya dan sekolah di FE-UI tapi rekomendasinya "pro rakyat" bukan "pro modal".

Mana yang lebih benar? Data empiris lah mungkin jawabannya. Tapi kelihatannya "debat pembangunan" ini bisa jalan sepanjang masa. Ini karena masing-masing tak pernah menemui kondisi "ideal" untuk menuntaskan implementasi kebijakan atau rencananya.Yang konservatif menghadapi realita masyarakat negara sedang berkembang dan perilaku kapitalis yang menggurita, kawin dengan kultur KKN birokrasi. Sedang yang "pro-rakyat" umumnya kurang fokus, kebanyakan isu yang diusung, dan suka ribut sendiri.

Kesimpulannya, tidak ada salahnya mengenali peta pandangan, faham atau mazhab tersebut, supaya bisa mengantisipasi implikasi dari setiap pendekatan atau pilihan kebijakan. Sebagai exercise setidaknya kita bisa tahu dinamika "tesis vs anti-tesis, untuk mendapatkan sintesis", sperti pada kasus UU27/2007 ini sebagai dinamika pemelajaran analisis kebijakan. [Risfan Munir]

Thursday, February 12, 2009

Kawasan Ekonomi Khusus (Free Trade Zone)

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), atau perpaduan Free Trade Zone (FTZ) dan Export Processing Zone, yang diusulkan oleh pemerintah dalam rangka mengundang investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rupaya banyak diminati daerah.

Meskipun masih berupa RUU tapi daerah yang mengajukan sudah banyak. Entah apa yang sesungguhnya membuat mereka begitu berminat, mungkin pertimbanan oportunis saja untuk memanfaatkan peluang apapun. Kalau alasan rasional, wajarnya menyangku: (1) peluang mengundang investor terutama dari luar (FDI) untuk mendaya gunakan sumber daya setempat; (2) untuk membuka pintu gerbang bagi ekspor produksi daerah; dan lainnya.

Sebagaimana diberitakan Harian Kompas, fasilitas dan insentif fiskal itu di antaranya fasilitas pajak penghasilan, tambahan fasilitas pajak penghasilan sesuai karakteristik zona, fasilitas pajak bumi dan bangunan, tidak dipungut PPN dan PPnBM, bebas PPh impor, dan sejumlah kemudahan fiskal lainnya. Sedangkan untuk insentif non-fiskal di antaranya pengurusan pertanahan, pengurusan ijin usaha, keimigrasian, dan sejumlah kemudahan lainnya.

Berita yang sama juga menyebutkan Sekretaris Tim Nasional Pelaksana KEK Indonesia Bambang Susantono mengatakan, dari 18 yang mengajukan, 15 provinsi yang siap untuk diproses adalah Sumatera Utara,Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

Semoga daerah yang mengajukan minat cukup menyadari, bisa dan punya kemampuan serta potensi dalam memanfaatkannya. Ini mengingat bahwa KEK membebaskan dan memberikan keringanan kepada investornya dalam hal pajak dan retribusi, kemudahan-kemudahan urusan. Karena kalau tidak pandai memanfaatkan kehadiran investor untuk tujuan yang lebih luas dari sekedar menarik retribusi, maka daerah justru akan "tekor." Bukan untung tapi malah buntung.

Keutungan yang bisa diharapkan antara lain, dengan aktivitas investor dan pekerjanya, maka akan banyak kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya jasa pelayanan, restoran, hotel, jasa medis, pedagang dan kegiatan ikutannya akan ikut menikmati. Kalau berhasil menjadi gerbang bagi ekspor produk daerah, maka multiplier effects dari ekonomi ekspor itu akan membesar. Menyerap angkatan kerja setempat dan kabupaten/kota sekitar. Bagaimana memperoleh keuntungan dan manfaat ini harus diperhitungkan betul, bukan hanya mengandalkan asumsi atau kepentingan membangun prasarananya saja.

Harus diperhitungkan pula biaya pembangunan kawasan tersebut. Sumber dananya darimana, pembebanannya (pembayaran cicilan hutang dan bunganya) ke masa depan bagaimana?

Sebuah opini yang ditulis oleh Edy Burmansyah pada harian Kompas (10-2-2009), mengingatkan kita akan beberapa kerugian dan risiko terkait pengembangan KEK, yaitu antara lain: (1) pembangunan infrastuktur KEK membutuhkan investasi yang besar, yang kalau tidak hati-hati akan menjerumuskan daerah dalam hutang. (2) pembangunan KEK di sejumlah daerah seperti membuka pintu bagi penyelundupan. Pernah insentif fasilitas dimanfaatkan untuk mengganti label produk tekstil China menjadi seolah dibuat di Indonesia lalu diekspor ke USA. Akibatnya, kuota ekspor Indonesia terambil. Ini adalah sebagian dari risiko yang harus dihadapi.

Pada saat posting ini ditulis RUU tentang KEK belum disetujui oleh DPR, dan sebagaimana diketahui pada saat ini siding-sidang DPR sudah banyak tidak quorum-nya, karena mereka sudah mulai menyiapkan kampanye untuk Pemilihan Umum di bulan April 2009. [Risfan Munir]

Spatial Economy - Urban Informal Sector

Semakin mantap kalau sudah ada cantolan dari UUPR. Dan kalau difokuskan masalah sektor informal perkotaan terkait aspek spatialnya, bisa dilakukan klasifikasi.

Secara sederhana antara lain bisa dikenali sektor informal (SI) berdasarkan kekritisan gangguannya, sehingga penataan ruangnya perlu diprioritaskan. Paling urgen, misalnya, yang telah menimbulkan gangguan lalu-lintas, keamanan, seperti di sekitar pasar, di perempatan tertentu. Selanjutnya di sekitar taman, di lingkungan perkantoran, di sekitar perumahan, dan seterusnya. Besarnya jumlah pelaku sektor informal ini membutuhkan prioritas penanganan.

Sebagian bisa diberi lokasi ”formal” seperti dilokalisir, tetapi tentu tidak semua mengingat jumlahnya. Sehingga ukuran kuantitatif x% seperti ruang terbuka hijau (RTH) tidak bisa diterapkan. Dan, lokalisasi itu tidak bisa mencegah hadirnya SI ditempat lain.

Kedua, yang munculnya menurut waktu, seperti ”pasar pagi/subuh”, ”pasar senggol” baik untuk pedagang sayur atau makanan. Yang ini sifatnya bisa ”time share”, yang penting setelah selesai harus betul-betul bersih.

Ketiga, yang sporadis, muncul satu dua di mana-mana.
Keempat, yang mobile, pedagang keliling, tukang sol sepatu, tukang bunga. Mereka ini kadang pada jam-jam tertentu juga berhenti, berkerumun di tempat tertentu.

Kelima, yang berusaha di rumah-rumah. Memang ini tisak termasuk SI dalam definisi lama. Tetapi dengan makin “galaknya” inspeksi tata ruang atas fungsi rangkap perumahan, mereka menjadi sulit. Padahal kalau orang kena PHK atau pensiun, paling gampang ya wirausaha di rumah sendiri.

Dalam menghadapi fenomena dan kategori SI di atas, ada intervensi yang sifat ”perencanaan”, tapi sebagian (kategori 2, 3, 4) menyangkut ”manajemen ruang” (satu aspek dari ”pemanfaat dan pengendalian” tata ruang). Sehingga selain peta tata ruang yang sifatnya “fixed”, mungkin perlu juga peta “lokasi yang boleh untuk SI dengan persyaratan tertentu” yang berlaku untuk jangka waktu tertentu pula.

Yang terakhir ini untuk menjawab situasi ”buah simalakama” pengelolaan ruang terkait SI. Karena kalau diijinkan penuh akan mengundang ekses ”kawan-kawannya berdatangan” tapi kalau dilarang 100% juga percuma.

Aspek lain adalah menyangkut partisipasi dan ”ijin” komunitas setempat. Kepada komunitas ini juga perlu disadarkan bahwa ”mengusir terus” tidak bisa, tapi membiarkannya tidak teratur dan menimbulkan gangguan juga tidak. Kesimpulannya, disamping aspek ”perencanaan ruang” juga perlu ”manajemen pemanfaatan ruang”. Begitukah? [Risfan Munir]

Wednesday, February 11, 2009

Spatial Economy - Sektor Informal di Perkotaan

Mereka yang buka usaha harus punya tempat (resmi), milik sendiri atau sewa. Benarkah demikian?

Ada jutaan warga tidak punya rumah. Mereka menumpang di sana-sini. Ada jutaan warga yang bukan karyawan. Mereka berusaha membuka usaha mikro ala kadarnya. Boro-boro sewa tempat, modal kerja saja harian, atau jual jasa saja.
Apakah negara ini akan terus melarang dan memburu mereka? Padahal jumlah mereka jutaan, juga jasa dan produknya dikonsumsi, alias dibutuhkan?

Karena mereka tidak mampu beli/sewa ruang, jadi mereka (nekad) memanfaatkan ruang-ruang "publik" sebagai tempat usaha. Padahal "ruang publik" itu menurut rencana tata ruang memang untuk publik (dikosongkan). Maka kehadiran pedagang atau penghuni itu dianggap "liar".

Fenomena ini dipertajam dengan kenyataan bahwa bagi pengusaha informal itu juga berlaku teori lokasi. Artinya dagangan atau jasanya memerlukan lokasi strategis untuk menarik pembeli/ pelanggan. Maka yang terjadi adalah struggle, dan persaingan dalam memperebutkan lokasi strategis itu. Yang repotnya, itu di perempatan, di sekitar pusat perbelanjaan, perkantoran yang ramai, padat lalu lintas. Atau di taman yang harusnya jadi unsur keindahan kota.

Dalam menangani fenomena ini, barangkali yang pertama-tama dilakukan ialah menyadari bahwa kehadiran mereka tak dapat dihindari. Kota akan ramai, tapi memang realita negara kita punya jutaan warga yang tak bisa beli/sewa tempat formal. Dan, negara juga tidak bisa menyerap mereka sebagai karyawan swasta atau PNS. Pemerintah selalu berharap kalau economic growth naik sekian persen, akan menyerap sekian ribu pekerja. Tapi kenyataan 64 tahun merdeka backlog masih besar. Mungkin 36 tahun lagi juga belum tentu ngejar. Jadi itu realita kota-kota kita, kan rencana mesti berbasis fakta juga.

Tata ruang di negara seperti Indonesia, apakah memang disusun hanya untuk mereka yang mampu menyewa atau punya lahan/ruang.

Pada umumnya Pemkot (masalahnya kebanyakan di kota ya) bersikap mendua. Maunya melarang, tapi bagaimana wong jumlah usaha informal itu begitu besar. Di usir sebentar juga datang lagi. Mau ngasih tempat, juga kalau ada cuma di pinggiran kota yang sepi. Para usahawan mikro akan berdatangan lagi ke tempat ramai. Maka yang terjadi ialah "perang gerilya". Diusir, digusur, lalu didiamkan, lalu diusir lagi. Mungkin karena gejala ini, di banyak tempat mereka "dibolehkan" tapi harus "beroda" supaya mobile. Sewaktu-waktu, karena sebab tertentu, bisa diminta pergi. Atau ini strategi si pengusaha informal itu sendiri untuk seolah temporer. Jadi seperti "tidak menempati ruang" secara tetap.

Masalahnya sebetulnya adalah dampak "gangguan" yang ditimbulkan. Apakah itu kemacetan, kebersihan, keamanan, keindahan, dst. Bagaimana mengurangi risiko "gangguan" ini? Jadi kalau toh tak mungkin menolak kehadirannya, setidaknya mengurangi risiko "gangguannya."

Dari kota ke kota, sebetulnya sudah banyak "kiat dan strategi" yang diterapkan. Mulai dari yang betul-betul memindahkan dan memberi tempat yang dari segi bisnis. Yang meminta pusat perdagangan modern memberi tempat. Yang memindahkan ke pinggir kota yang sepi (ini banyak gagalnya). Yang menertibkan (bukan mengusir) dengan menyeragamkan gerobaknya. Yang menerapkan "time share" yaitu boleh pada jam tertentu di zona atau jalan tertentu.
Itu dari segi penanganan fisiknya. Sedang dari segi kelembagaan dan pendekatan sebagai kelompok usaha yang perlu difasilitasi juga ada bervariasi pendekatan. Dari yang berupaya memberdayakan atau "memanusiakan" mereka, mendekati lewat kelompok, hingga yang main mengandal kan pasukan tibum saja.

Pendekatan penataan ruang sementara ini bersifat rigid, kaku. Membuat rencana lalu mencoba menegakkan lewat mekanisme perijinan, atau pembangunan prasarana. Mungkin perlu ditambah pendekatan yang lebih "dinamis" atau pendekatan "manajemen ruang" (spatial management). Terutama flexibilitas dalam mengelola "ruang-ruang publik" untuk memberi peluang kepada "pengusaha" sektor informal dengan sistem ala "time share."

Melakukan pendekatan kelompok (community development) untuk memberdayakan usahanya, agar kalau nasib baik berubah jadi "formal." Menyediakan ruang atau membangun tempat di pinggiran kota bisa dilakukan asal dalam kelompok, sehingga bisa dicapai economic of scale untuk menarik pengunjung ke situ.

Klasifikasi atau tipologi dari pengusaha informal di satu kota perlu dilakukan. Serta bagaimana pola relasinya atas ruang. Ada pedagang bunga, tukang sayur, tukang baso, tukang sate, tukang loak barang bekas, penambal ban, dst. Ada yang menetap, ada yang keliling, ada yang musiman, ada yang jam-jaman.
Pola relasi di antara mereka. Ada yang betul-betul mandiri, ada yang berkelompok berdasarkan lokasi usaha, daerah asal, dst. Ini akan menentukan pola pemberdayaannya.

Soal pembinaan atau pemberdayaan sektor informal perkotaan ini selalu dilematis. Mengundang kontroversi. "Pelanggar aturan" kok dibantu. Tapi kalau pengelola kota, penata ruang melihat statistik tenaga kerja nasional, sejarnya dari masa ke masa. Nampaknya itulah corak realita urban area di Indonesia, disuka atau tidak.

Meminjam kata M Yunus, founder Grameen Bank, "mereka bukan miskin, hanya punya sedikit."

Sekali lagi, kalau urban planner atau regional planner bilang "urbanisasi", dalam situasi deindustrialisasi, maka itu berarti "pseudo-urbanization" alias membengkaknya jumlah sektor informal. [Risfan Munir]