Wednesday, March 07, 2007

Dashboard planning 4

Perumpamaan membuat baju ada benarnya. Karena masih banyak yang beranggapan planner sebagai perencana fisik. Dalam hal ini memang terjadi kemuskilan, bisakah kota-kota yang tumbuh, dengan variasi kegiatan di dalamnya, dengan kemampuan warga dan kapasitas pengaturnya ”diramalkan”? Tapi sering juga seperti membuat ”rumah siput,” yaitu merangcang ”ruang” yang seolah fixed, untuk organisme kota yang sangat dinamis.

Ini menarik, karena seorang arsitek atau ahli bangunan, walaupun harus mendesain bangunan secanggih apapun, batasan site (kapling) nya jelas, resources (isi kantong ownernya) jelas, sekali kontrak disepakati, selebihnya hanya soal teknis desain dan manajemen konstruksi saja. Disainer yang lain (desainer kapal, mobil) situasinya sama. Sedikit lebih luas perencana site, real-estate, pelabuhan, perkebunan, yang lahan dan pemiliknya (owner nya) jelas, semua sesuai ”batasan kontrak.”

Tapi planner, merancang sesuatu yang hidup, tumbuh, dinamis, ya warganya, ya kegiatan ekonomi nya, yang policy (kelompok interestnya), ya kapasitas Pemdanya, belum lagi faktor eksternal (ekonomi, politik, sistem pemerintahan, lingkungan, teknologi) pada skala regional atau nasional. Kontrak menyusun rencana ada, tapi pelaksanaan rencana, sudah diluar kendali langsung dari planner. Kalau arsitek, ya merencana, ya jadi mandor pelaksanaan juga (walau kontrak bisa terpisah), kalau perlu ikut mengawasi dari proses belanja material nya. Lha kalau planner, habis merencana, menyerahkan pekerjaan, ya sudah. Dilaksanakan atau tidak ya tanggung-jawab Pemda. Evaluasi baik tidaknya pekerjaan planner, ya dari valid tidaknya proses dan metodologi yang dipakai.

Tapi itu baru kerja konsultan perencana, secara profesi selanjutnya planner yang ada di birokrasi bertugas mengawal dan mengendalikan (police power/law enforcement), dan intervensi langsung melalui pembangunan pasarana, sarana yang ”mengarahkan” (eminent domain), serta lewat mekanisme insentive/dis-insentive. Evaluasi baik/tidaknya adalah seberapa jauh birokrat planner ini dapat mengawal pelaksanaan dan pengendalian.

Jadi kalau perencana sudah melaksanakan proses dan metodologi yang benar, ya sudah bagus. Kalau planner birokrat sudah mengawal dengan tiga instrumen tersebut, ya bagus. Kalau Pemda ternyata tidak bisa mengarahkan, mengawal, mengendalikan dinamika pembangunan fisik sesuai rencana, police power (law enforcement) tidak bisa ditegakkan , ya salah Pemda. Kalau pembangunan prasarana & sarana (sistem jaringan jalan, listrik, air, drainase) tidak bisa dilakukan, ya salah Pemda. Kalau mereka yang mematuhi dan yang melanggar diperlakukan sama, ya salah Pemda. Gitu saja kok repot!

Namun pandangan tersebut ada batasannya: Pertama, itu semua kalau asumsi, analisis dan prediksi yang digunakan sebagai dasar mendesain dan merencana adalah tepat. Ini sangat mungkin untuk kabupaten/kota yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan dinamika penduduknya predictable. Sedang bagi daerah yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan penduduknya berubah cepat, rentan terhadap perubahan situasi eksternal, nampaknya ”model perencanaannya” mesti dicari yang tepat. Kalau urusannya pembangunan fisik, ini tidak saja seperti ”baju”, tapi seperti ”rumah siput” yang sudah jadi, sulit dirubah.

Kedua, kalau sudah tahu kondisi dan kapasitas manajemen Pemda (selalu) terbatas, kenapa planner (sebagai profesi) memilih model perencanaan yang ”seperti arsitek bangunan” itu; kenapa membiarkan Pemda jalan sendiri, tidak mensupport dengan capacity building; kenapa tidak meng-advokasi masyarakat agar menjadi ”spatial watch.”

Dalam draft UUPR yang baru PEMANFAATAN RUANG (pasal 1 butir 14) diartikan sebagai ”upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biayanya.” Yang terakhir ini menyiratkan seolah pemanfaatan ruang adalah OLEH PEMERINTAH, mungkin maksudnya adalah instrumen intervensi langsung. Tapi yang memanfaatkan ruang mestinya adalah masyarakat (termasuk swasta) dan pemerintah (sektoral).

Kalau kemampuan (anggaran) Pemda untuk intervensi terbatas, kapasitas pengawasan dan pengendaliannya juga terbatas (seperti yang ditulis rekan Fajar), dan mekanisme insentif/disinsentif masih belum jelas (setahu saya penetapan tarif PBB masih belum mau mengakomodir insentif bagi pelestari/penghijau halaman/RTH). Lalu bagaimana? Apakah pelibatan stakeholders termasuk masyarakat, organisasi profesi (termasuk IAP mestinya), pembangun, dst. Bukan suatu keharusan sebagai mitra pemerintah dalam ”pengendalian tata ruang”? Sesuai pasal 57 (1) ”Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.” sesuai asas”...keterbukaan, kebersamaan...,” (pasal 2).

Saya membayangkan, kalau rencana disusun bersama masyarakat, dialog dengan warga,dialog dengan developer, (calon) investor, pencari kerja,pergruan tinggi secara terbuka dari awal (tidak sekedar konsultasi publik). Sehingga terjadi optimalisasi, prioritisasi, bahkan mungkin prasarana dan sarana utama dibangun oleh (kelompok) developer, anggaran Pemda bisa untuk fasilitas publik lainnya. Dan tidak terjadi kaget-kagetan, tekanan membangun ini dan itu, lalu permisif, sulit mengendalikan, dan investasi sebelumnya mubazir.

Tampaknya sudah waktunya menggeser wacana dari aspek (teknik, proses) PERENCANAAN T.R, kapada aspek PEMANFAATAN yang lebih dinamis dan multi-dimensi, walau keduanya memang sulit dipisahkan. Disinilah cara pandang ”dashboard planning” diperlukan. (Risfan Munir, Ikatan Ahli Perencanaan)

Dashboard planning (3)

Sebagai planner saya merasa bersyukur bisa memandang lingkungan sekitar secara (menurut saya) komprehensif. Dengan memposisikan diri seolah (seringkali secara harfiah) di belakang dashboard melakukan pengamatan cepat terhadap suatu kota/daerah untuk bisa menganalisis cepat, sehingga dengan asumsi tertentu bisa memberi beberapa arah atau saran (hipotetis) kepada Pemda tentang arah pengembangan ekonomi dan tata ruang. Tentu saja nantinya perlu ditindak lanjuti dengan analisis lengkap.

Tapi pandangan awal itu terbukti penting, karena situasi saat ini banyak Bappeda atau dinas terkait yang dijejali berbagai bentuk dan prosedur perencanaan, yang menurut saya lebih berorientasi pada proses formalistis, mengisi kolom, menghitung bobot, mendebatkan visi dulu atau misi dulu, awalan me atau di atau ter, , dst, dst. Ada rencana daerah, rencana tata ruang, ada rencana bupati/walikota terpilih, Belum lagi dominasi orang-orang keuangan daerah (dampak UU17) yang sering memberlakukan "ukuran kinerja" secara klerikal. Membuat proses merencana kehilangan sentuhan pada substansi, visi daerah yang sebenarnya.

Sebetulnya teman-teman di daerah punya visi, tahu masalah, punya motivasi berinovasi. Ini tentang rekan perencana dan birokrat tekun ya, (bukan aktor di koran), tapi menjadi sulit menyampaikan pikiran praktisnya karena panduan rencana yang berlaku selalu ganti "format dan istilah" terus.

Sehingga perlu dibawa kepada common sense, diajak melihat daerah secara sederhana. Misalnya melihat pola kawasan terbangun (stadia perkembangan), komposisi land-use, kondisi kawasan non budi-daya, mata pencarian utama, kondisi panen atau pemasaran produk, plus situasi lingkungan hidupnya. Dengan pengamatan cepat ini teman-teman di daerah bisa diajak merumuskan isyu strategis daerah, potensi dan peluang, sehingga fasilitasi visi dan misi daerah bisa lebih hidup.

Apakah itu terlalu sederhana? Tidak juga. Saya masih ingat, Prof Dr Sudradjat Djiwandono, mantan gubernur BI itu dulu kalau menulis prediksi ekonomi (bertahun-tahun) selalu diawali dengan situasi iklim, prakiraan hasil panen, lalu situasi pasar dunia, kemudian baru sebagai dampak panen dan permintaan itu berbagai analisis dan skenario diperkirakan. (Risfan Munir)

Dashboard planning (2)

Masih tentang dashboard planning, saya pikir karena masih banyak dari kita yang berfikir ala "blue-print planning," sehingga timbul kecewa tatkala cetak birunya tidak dilaksanakan.
Dengan banyak terlibat dengan teman-teman yang memainkan "governance" (pola hubungan pemda - masyarakat), saya jadi belajar bahwa "rencana" setelah lepas dari garapan teknis planner, bertransformasi dari “produk akademis” menjadi "dokumen publik", dengan kata lain "dokumen politik." Sehingga nasibnya menjadi "bola" yang dimainkan oleh para aktor, stakeholders, atau kelompok-kelompok kepentingan. Sampai menjadi suatu "produk hukum" setelah disyahkan sebagai peraturan daerah.

Planner tentu bisa dan bertanggung-jawab untuk "mengawal," atau mengadvokasi, tapi perannya hanyalah sebagai nara sumber, atau dengan kelompok profesi sebagai salah satu stakeholder. Pemahaman ini saya pikir penting, disinilah zona kritis perbedaan antara perancang "rumah pribadi" dengan perencana kota/wilayah (publik).

Sebagai perencana yang menerima kontrak, tugas selesai saat rencana disetujui bowheer, namun sebagai planner (intelektual?) maka misi profesinya untuk mengawal, mengadvokasi amanat "rencana" jalan terus. Mungkin ini makna "pemanfaatan, pengendalian" dalam UUPR.

Tentunya planner bukan cuma konsultan, sebagian besar planner adalah birokrat, sesuai posisinya (di Bappeda, Tata Kota, Dinas Cipta Karya) berperan resmi dalam "pemanfaatan, pengendalian" tersebut.

Namun demikian, terlepas dari dimana mereka bekerja tentu bisa membawa misi planning menciptakan lingkungan yang habitable, dan mengurangi kesenjangan dalam akses kepada pelayanan publik.

Disinilah sekali lagi perlunya "dashboard planning," sebagai exercise si planner untuk senantiasa memantau perkembangan, membaca trend, untuk bisa mengantisipasi dan memberi masukan kepada pemerintah (daerah) dan masyarakat, mengusulkan langkah pengendalian, memberikan peringatan (early warning) supaya tahu risiko kegiatan pembangunan kota/wilayah yang melenceng. Mengkomunikasikan via media massa, ke kelompok profesi lain, kelompok masyarakat yang kena dampak, pembuat masalah, dst, dan tentu saja kepada legislatif.

Sekali lagi, dengan RUTR sebagai pedoman, sebagai roadmap. Lalu analisis dan pertimbangan situasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi serta perkembangan lingkungan hidup sebagai faktor yang dipantau, dideteksi, diantisipasi untuk mengisi/menyarankan arah tata-ruang yang dinamis pada level lebih detail.

Sebagai misal, mempertimbangkan masalah ekonomi, pengangguran, kemiskinan yang tinggi, bagaimana saran planner terhadap peralihan land-use dari perumahan ke perdagangan (perbelanjaan) di kawasan Cihampelas, Dago dan jalan Riau di Bandung? Ada konflik antara kepentingan sosial ekonomi vs konservasi lingkungan bersejarah. Apalagi dengan lancarnya jalan Cipularang, sesuai hukum (T=P1xP2/d) maka arus pelancong belanja dari Jakarta kian besar. Memanfaatkan momentum untuk meraih manfaat ekonomi, atau konservasi? Ada pilihan kepentingan, tapi ada juga pertimbangan kelayakan untuk dilaksanakan. Melawan arus, atau memanfaatkan arus tapi secara smart. Termasuk proyeksi atau skenario seberapa sustainable trend "factory outlet" itu berlangsung. Lalu, Apa saran planner? (Risfan Munir)

Dashboard planning

Cara pandang "blue-print" planning, yang menganggap asumsi-asumsi konstan telah menempatkan planner jadi "menyalahkan" diri sendiri. Sebagaimana ungkapan "tiga kegagalan" planning yang dikatakan pembahas terdahulu.

"Blue-print" plan, atau rencana detail ruang yang pasti (deterministic) tentu perlu bagi kawasan baru (new town, transmigrasi). Namun bagi intensifikasi dan pengendalian kota yang tumbuh pesat, itu hampir mustahil. Bisa, kalau law enforcement nya sangat kurat. Tapi apakah efektif dari segi tujuan warganya. Karena kebutuhan hidup warga juga dinamis. Mem"preserve" lingkungan Condet, Menteng, persawahan pinggir kota, demi keindahan dan kehijauan kota tanpa bisa mengkompensasi "opportunity cost" warganya, bisa melanggar HAM. Atau memberi ladang pungli kepada petugas perijinan.

Jangan lupa bahwa terjadinya aglomerasi dan konsentrasi adalah juga akibat kebijakan ekonomi dan politik yang berada diluar kendali planner. Dan justru lingkungan fisik yang baik akan mengundang semakin besarnya arus migrasi ke kota besar (Jabodetabek). Makin 'tertekan' lah para "blue-print" planner. Akhirnya kalau tidak menyalahkan pemda, profesi sendiri, atau escape.

Dengan pola pikir "dash-board" planning, kerangka RUTR diperlukan sebagai road-map tentang arah kemana kemudi diarahkan. Namun di dash-board harus dilihat terus indikator-indikator yang berubah. Perubahan kependudukan (cohort), ekonomi (pertumbuhan, pergeseran), keuangan daerah, tren investasi swasta, politik, bahkan iklim yang ternyata kini mudah berubah, Baik internal maupun eksternal. Dengan demikian rencana detail bukan lagi harga mati. Yang penting norma, prinsip, kriteria perencanaan (lingkungan habitable) tetap dipegang.

Dengan demikian planning bisa menjadi study yang bisa didiskusikan setiap saat, seperti bidang lingkungan, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Planner tidak harus stressful dalam pola pikir "to be or not" yang kalau (pasti) gagal dilaksanakan terus 'mutung', ngambek dan escape. Hanya Tuhan yang bisa bilang 'kun faya kun', jadilah maka jadi seketika.
Sehingga planner juga bisa jadi analis, scenario analis. Seperti ekonom, kalau ada krisis bukan menghujat diri (walau jelas andilnya dalam masalah), tapi menganalisis, berskenario, memberi solusi (sedikit). Masyarakat jadi tahu anatomi masalahnya, lalu diajak berpikir mencari solusinya, lalu bersikap dan bertindak sesuai proporsinya. Tidak seperti sekarang, masing-masing orang melanggar jalur hijau, menyumpal drainase, membuang sampah sembarangan, tapi kalau ada masalah menyalahkan pemerintah daerah.(Risfan Munir, IAP)