Friday, February 26, 2010

Situasi Medan Perencanaan

Begitulah realita medan kerja perencanaan saat ini. Bukan hal baru, tapi di era "dana melimpah, belum desentralisasi, situasi "governance" daerah kurang dibahas, karena dengan glontoran proyek nasional maka pembangunan kota/daerah tampak oke-oke saja. Tapi setelah otonomi daerah, dan loan tidak leluasa (beban cicilan utang mencekik) maka suasana berubah. Dan, situasi "governance" daerah jadi perhatian.

Soal peran enterpreneurship daerah saya kira presentasi Prof Tommy Firman cukup jelas. Bahwa nasib regional development era otonomi daerah sangat ditentukan kualitas leadership KDH.
Soal nasib organisasi sangat ditentukan siapa pimpinannya, saya kira di hampir semua organisasi, kecuali mungkin militer. Kenapa Lee Iacoca, Jack Welch, Cacuk, Fadel, Michael Ruslim etc terkenal karena kualitas leader memang sangat menentukan policy, gaya dan pasang/surut organisasi. Bayangkan kalau Cacuk (alm), Fadel cuma harus mengikuti pemimpin sebelumnya saja. Sehingga itu menjadi realita yang perlu diperhitungkan juga dalam advokasi rencana.

Seperti judul bukunya Mintzberg, "Rise & Fall of Strategic Planning", barangkali memang ada pasang surut antara berfikir skala luas (PJP, PJM) dan skala implementasi praktis (service management). Untuk Service delivery management banyak good-practice seperti layanan OSS (misal Solo), RSUD (Jogja), SIMPUS (Ngawi) yang disebut sebelumnya. Itu sudah mulai banyak direplikasi. Mungkin ada juga layanan cepat n tepat dalam pelayanan (advis) tata ruang yang layak diangkat dan direplikasi.

Sudah waktunya juga bagi dunia tata ruang banyak membahas aspek "pemanfaatan & pengendalian". Setelah 45 tahun berfokus pada aspek "merencana" mungkin waktunya peduli aspek pemanfaatan & pengendalian, yang tentunya mencakup manajemen pelayanan, operasional, capacity building aparat dst. [Risfan Munir, penulis buku "Penegmbangan Ekonomi Lokal Partisipatif, LGSP]

Kebutuhan Scenario Planning

Mungkin kalau pakai Scenario Planning dalam pengertian formal sebagai model rencana (Pak Aunur) akan menimbulkan prosedur tersendiri. Biasanya "nama" itu penting bagi birokrat, kalau SK nya Strategic Planning, ya takut/mempertanyakan yang namanya lain.

Bisa juga skenario dalam pengertian terbatas, sebagai "alat" dalam memperkirakan masa depan. Skenario adalah alat untuk memperkirakan apa-apa yang tidak bisa diforcast karena adanya beberapa faktor yang memang sulit diramal, misalnya: siapa, partai apa yang menang nanti? sehingga dibuat skenario kalau yang menang orang/partai yang berhaluan A, implikasinya ...; kalau yang menang B implikasi kebijakannya bisa ....

Ada pengertian lain dari skenario adalah tentang bagaimana "pola rangkaian kejadian" masa mendatang (baca: Peter Schewart, "The Art of Long View"). Misalnya: Skenario linier, mengandaikan trend ke depan akan seperti saat ini. Kalau trend sekarang parah, ya makin parah saja. Skenario cyclical, seperti roda, (ekonom: conjuctur) secara periodik naik, hingga titik tertentu lalu turun, lalu naik lagi, dst.
Skenario challenge-response - didasari keyakinan tiap kejadian tentu direspons, perlu direspons, sehingga ada harapan perbaikan. Skenario "Rambo", skenario yang PD banget, sehingga apapun yang terjadi tak diperdulikan.

Mengenai skenario-skenario ini saya tulis satu bab "Merangkai Skenario Menang", dalam buku "Jurus Menang ala Samurai Sejati" (Gramedia). [Risfan Munir]

Relevansi Scenario Planning

Saya pikir intinya perencanaan jangka panjang/menengah prinsipnya kan ya strategic planning. Scenario planning kan salah satu style dan pendekatannya. Penyusunan skenario sendiri kan bisa dengan simple tapi partisipatif, bisa juga lebih teknokratis dengan alat system dynamic dsb. Dikaitkan dengan waktu penyusunan-pengesyahan bagi KDH yang cuma 3-6 bulan (RPJMD) tentu pendekatan optimalnya mesti dicari.

Namun lebih dari itu, terhadap perencanaan jangka panjang/menengah sendiri sebagian orang juga antara "percaya/tidak" mengingat di era sekarang ini perubahan di semua aspek sos-ek-bud-pol-tek-lingk hampir tak ada ramalan/ prediksi/ forecast yang tepat. Maka tak berlebihan kalau John Friedman berpendapat "planning as a learning process." Kata orang, ahli ekonometri paling hebat pun sekarang ini daya ramalnya tak lebih dari Mbah Bejo. Sehingga barangkali pendekatan yang lebih sederhana (toh yang rumit juga meleset) tapi bisa difahami banyak pemangku kepentingan lebih tepat, terutama yang membuat mereka juga belajar memahami situasi.

Pak Djarot, pada era 80an, waktu saya masih bekerja di konsultannya sang begawan, saya sering mengikuti pemikiran beberapa profesor ekonomi. Secara konsisten mereka bisa memprediksi situasi ekonomi dari cuaca yang mempengaruhi musim tanam dan panen. Karena dari ramalan panen berarti ramalan akan supply dan demand (daya beli masyarakat). Di luar itu adalah ramalan tentang harga minyak. Juga cuaca/musim dingin di negara maju jadi dasar perkiraan permintaan akan minyak dunia, dan implikasi ke harga minyak dan harga lainnya. Di luar itu perkecualiannya adalah tensi konflik yang memicu perang. Situasi politik nasional waktu itu terbilang stabil. Sehingga soal skenario barangkali waktu itu kurang mendesak, karena banyak hal bisa diforcast.

Kisah Schwartz dalam "the art of long view" (Pak Djarot pasti suka ini) tentang scenario builder diilustrasikan dengan peramal Mesir yang bisa tahu situasi bangsa itu hanya dengan melihat warna air sungai Nil pada bulan tertentu. Kita di jaman sekarang bisa menebak, karena kekeruhan itu mencerminkan curah hujan, atau kekeringan, dan lagi-lagi nasib tanaman, yang mana nasib bangsa itu bergantung. Selanjutnya kesulitan ekonomi akan berimplikasi pada "keresahan" masyarakat, dst. Sehingga raja/menteri bisa dinasehati kapan dan berapa banyak lumbung makanan mesti dibuka. Mungkin sekarang ya program subsidi kali.

Jadi (Pak Djarot), siapkah fenomenologi dijadikan alat menyusun skenario masa
depan?
Karena di beberapa daerah pengusaha jual/beli motor saja bisa jadi peramal "ekonomi daerah". Kalau satu kabupaten panen mereka datang jual motor. Kalau daerah itu petaninya mau tanam, berarti butuh cash, mereka datang untuk membeli motor. Juga rombongan "sirkus atau pasar malam lokal", mereka tahu kabupaten mana layak dikunjungi karena akan panen. Waktu sering ke daerah-daerah dulu, saya juga memperhatikan "warna padi di sawah" daerah yang kita kunjungi, karena "keceriaan" audiens sangat dipengaruhi nasib panen. Wah, jadi sedih karena banyak sawah poso karena banjir. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif, LGSP]

Wednesday, February 17, 2010

Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif

Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif (PELP) bisa dikatakan sebagai jenis pendekatan yang unik, karena PELP melibatkan ilmu ekonomi, sos-bud, administrasi kelembagaan, serta community development.
[Risfan Munir]