Friday, June 15, 2007

Prima Taste

Sebuah restoran di Dago atas, Bandung, dengan menu masakan ala Singapura. Bisa ditebak, ia mengusung misi multiras nya. China, India, Melayu. Dengan menu favorit laksa, dan Hainan chicken rice.

Dengan arsitektur dan interior gaya simplicity, ada kolam di depan, diiring musik lembut dari berbagai genre. Terasa seperti oasis di antara hiruk-pikuk aneka factory outlet sepanjang Dago.

Ini bukti kalau kita bisa mencipta sesuatu yang tetap berarti dan khas, di tengah kegalauan lingkungan makro yang mengganggu di sekitar. (RM)

Asumsi Desentralisasi

Kegiatan LGS pada awalnya didasari asumsi, daerah tahu kebutuhannya, dan sebetulnya mereka punya potensi. Yang mereka kurang adalah skill, metode untuk mengaktualisasikan potensi mereka.
Oleh karenanya pendekatan yang dilakukan sifatnya adalah 'demand driven', dimulai dengan asesmen kebutuhan masyarakat, diagnostik kemampuan kelembagaan Pemda dalam menyelenggarakan pelayanan.

Namun dalam perkembangan, nampaknya terjadi wacana sangat kuat bahwa daerah, Pemda jadi banyak melanggar rambu otonomi. Atau kebablasan. Hanya berorientasi peningkatan PAD. Daerah dianggap tidak mampu melaksanakan misi pelayanan publik. Sehingga akhirnya kita ikut-ikutan instansi pemerintah pusat dengan memberondong daerah dengan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh daerah. Tanpa upaya kritis terhadap kebijakan-kebijakan pusat tersebut. Dengan kata lain, upaya pemberdayaan daerah semakin ditinggalkan.

Kita memang tidak pada posisi mengkritisi kebijakan pusat. Tetapi apakah ini berarti meneruskan saja untuk 'memaksa' daerah melaksanakan nya?
Dalam hal ini pendekatan kita mesti persuasif. Antara lain dengan mengangkat good practice bisa ditunjukkan bahwa daerah 'punya kemampuan' untuk menentukan nasibnya sendiri, melayani masyarakat secara inovatif.

Cities System and Development Debate

Membaca tulisan BTS saya terkesan, karena seingat saya dulu BTS termasuk yang aktif di NUDS. Sementara saya waktu itu hanya sempat terlibat dalam rangka penulisan tesis S-2 yang (dalam rangka memanfaatkan resources) juga menulis judul yang kurang lebih sama. Hanya untungnya, karena sekolah ya bisa melihat secara 'berjarak', dan mengkaitkannya dengan pergeseran atau pertarungan "development theory" (debate?).

Antara para regional geographer & regional growth (economist) vs development theorist, dari awal memang melihat fenomena dan strategi pengembangan sistem kota-kota secara berbeda. Para planner tampaknya juga tidak satu suara dalam merespons/menindak lanjutinya. Ada yang percaya NUDS, yang langsung mengadopsi sistem kota-kota sebagai hierarkhi "growth poles/centers". Ada yang lebih bias ke development issues, melihat sistem kota-kota sebagai sistem (gurita) kapitalisme yang hanya menyedot kemakmuran wilayah perdesaan, untuk disalurkan ke pusat-pusat lebih tinggi, lalu disetorkan ke pusat-pusat ekonomi dunia (dependency theory).
Bagi mereka yang bias ke perencanaan fisik, tentunya model pertama yang favorit, karena berarti pengerahan sumber daya untuk pembangunan pasarana & sarana ke pada seluruh pusat-pusat sesuai hierarki yang rank-size rule (dengan berbagai variasi tentunya). Keterbatasan pendekatan ini dalam praktek adalah sumber dananya yang sebagian besar dari hutang. Begitu DSCR negara mencekik, maka habislah bensinnya (untuk suatu acara di ITB saya pernah menulis makalah berjudul "Merencana di tengah Jerat Hutang".)

Pendapat BTS tentang keterbatasan kemampuan fiskal daerah jelas valid. Pada waktu bekerja untuk Regional Development Account (RDA), yaitu account untuk menampung repayment pinjaman daerah, saya amati bahwa selain "kemampuan", juga "kemauan" daerah dalam mengembalikan pinjaman daerahnya memang rendah. Alasan klasiknya, itu dulu disuruh pinjam oleh pusat, atau itu warisan rezim lama, sekarang tidak mampu dst. Tapi yang jelas kemampuan fiskal daerah tidak sama, terutama kota-kota(madya) kecil yang terbatas sumber pendapatannya, juga daerah tertinggal.

Berikutnya, pertanyaan BTS tentang SIAPA yang akan disuruh membangun? Ini secara filosofis dapat difahami juga sebagai pertanyaan bagi para planner, yang selama ini jarang membicarakan soal SIAPA nya. Pusat itu siapa, daerah itu siapa. Ini menyangkut Potensi (sumber daya), Posisi (kewenangan), dan Peran (kontribusi, motivasi). Siapa yang masih peduli membangun daerah, kota-kota menengah, daerah tertinggal. Yang pasti adalah DAERAH nya sendiri, mau tidak mau, mampu tidak mampu. Sedangkan dari Pusat, concern yang masih bisa diharapkan dari beberapa instansi/direktorat yang berlabel "regional/daerah/tata-ruang" atau "program pengentasan kemiskinan", namun semua resources-nya sudah serba terbatas, kecuali yang berkaitan dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran pula jika BTS terkesan sangat pesimis dengan "national system of cities" atau "national regional development" umumnya.

Tapi perkembangan belakangan menunjukkan bahwa sebetulnya "daerah" itu kian menunjukkan "keberdayaannya" tanpa "bantuan/binaan" pusat juga. Terbukti dengan Gorontalo yang banyak dibahas sebelumnya. Dengan dorongan seorang putra daerah yang pulang kampung, pemda yang sama, masyarakat yang sama bisa digerakkan untuk membangun daerahnya. Tentu saja sesuai dengan kemampuan dan "kebutuhan" daerahnya. Bukan "kebutuhan" yang didiktekan oleh pusat. Mereka tidak perlu naik kelas dalam urutan rank-size, yang penting tumbuh dan berkembang sesuai kemampuan sumber daya dan kebutuhan masyarakatnya untuk hidup layak, atau "habitable" menurut istilah planner.

Dengan satu Fadel (dan BSP) yang pulang kampung, semangat dan arah pembangunan daerah bisa direvitalisasi. Bagaimana kalau banyak planner yang kembali membangun daerahnya, akan banyak gorontalo-gorontalo yang lain.

Ihwal kota besar, sebetulnya sesuai potensi mereka juga menggeliat mengembangkan dirinya dari dalam, dengan kemampuan pemerintah dan swasta, misalnya Makasar. Kalau kita melihat Makasar saat ini segera saja kita lihat peran SWASTA yang menonjol. Semenanjung Global Trade Center yang menjorok ke laut (menyambung pulau?) itu, jelas dibangun oleh swasta Lippo group (yang biasanya berafiliasi dengan Li Ka Sing, investor properti dan infrastruktur terbesar di Asia). Kota itu juga hometown Eka Tjipta Wijaya, yang jejak BII dan Duta Anggada groupnya menonjol di mal dan berbagai landmark kota. Ada Haji Kala group, Bosowa, Poleko, Maranu dst. mereka juga yang membangun jalan tol di sana. Bahwa Makasar sebagai growth pole kinerjanya tetap segitu, bukanlah soal membangun sarana dan prasarana kota saja mungkin, karena secara administratif di toh hanya ibukota propinsi. Sementara di wilayah timur masih ada Bitung, Sorong yang menjadi pelabuhan ekspor yang kian significat juga. Ini bedanya dengan Jakarta, yang selain historis secara geografis adalah pintu ekspor utama Jawa, dan tentu saja ibukota negara.

Jadi dengan kemampuan fiskal pemerintah yang terbatas pun kota-kota dan daerah bisa membangun sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Tentunya dalam jangka panjang akan terjadi pola optimalnya. Dan pada gilirannya akan sampai kembali pada pertanyaan: pemerintah (pusat) perlu intervensi dimana? Apakah tetap percaya pada trickle-down effect atau basic need (HDI, MDG)?

Lalu pertanyaan BTS: "membantu daerah tertinggal" atau "masyarakat tertinggal"? Pertanyaan ini muncul saya kira karena desperate nya peran "national urban/regional development" yang sebetulnya "kewenangan"nya terbatas, karena yang menentukan national spatial pattern nyatanya adalah fenomena geografis dan kebijakan ekonomi. Tentu saja pemerintah nasional akan lebih peduli dengan "pertumbuhan ekonomi", menurunnya angka "kemiskinan dan pengangguran". Sedangkan permasalahan spatial (tata ruang) sekarang sudah di"sektor"kan menjadi satu ditjen di PU, satu direktur di Bappenas dan di Bangda/DDN.

Pilihan bagi planner, secara profesi bisa memilih "kembali ke khittah" sebagai "perencana wilayah dan kota". Bermain di skala daerah/kota, tetapi komprehensif (bukan cuma di sektor tata ruang nya saja). Uraian pengalaman BSP bisa jadi acuan bagi peran planner di daerah yang komprehensif. Teman-teman di instansi pusat juga lebih realistis, dengan jadi fasilitator "pembangunan oleh daerah", dengan menyusun dan mensupervise melalui panduan-panduan untuk mendorong pembangunan daerah/kawasan sesuai potensi dan masalahnya. Bias untuk membantu daerah tertinggal tentu penting karena secara politis negara bertanggung-jawab atas masalah dan ekses "regional-inequalities." Risfan Munir, IAP.

Wednesday, March 07, 2007

Dashboard planning 4

Perumpamaan membuat baju ada benarnya. Karena masih banyak yang beranggapan planner sebagai perencana fisik. Dalam hal ini memang terjadi kemuskilan, bisakah kota-kota yang tumbuh, dengan variasi kegiatan di dalamnya, dengan kemampuan warga dan kapasitas pengaturnya ”diramalkan”? Tapi sering juga seperti membuat ”rumah siput,” yaitu merangcang ”ruang” yang seolah fixed, untuk organisme kota yang sangat dinamis.

Ini menarik, karena seorang arsitek atau ahli bangunan, walaupun harus mendesain bangunan secanggih apapun, batasan site (kapling) nya jelas, resources (isi kantong ownernya) jelas, sekali kontrak disepakati, selebihnya hanya soal teknis desain dan manajemen konstruksi saja. Disainer yang lain (desainer kapal, mobil) situasinya sama. Sedikit lebih luas perencana site, real-estate, pelabuhan, perkebunan, yang lahan dan pemiliknya (owner nya) jelas, semua sesuai ”batasan kontrak.”

Tapi planner, merancang sesuatu yang hidup, tumbuh, dinamis, ya warganya, ya kegiatan ekonomi nya, yang policy (kelompok interestnya), ya kapasitas Pemdanya, belum lagi faktor eksternal (ekonomi, politik, sistem pemerintahan, lingkungan, teknologi) pada skala regional atau nasional. Kontrak menyusun rencana ada, tapi pelaksanaan rencana, sudah diluar kendali langsung dari planner. Kalau arsitek, ya merencana, ya jadi mandor pelaksanaan juga (walau kontrak bisa terpisah), kalau perlu ikut mengawasi dari proses belanja material nya. Lha kalau planner, habis merencana, menyerahkan pekerjaan, ya sudah. Dilaksanakan atau tidak ya tanggung-jawab Pemda. Evaluasi baik tidaknya pekerjaan planner, ya dari valid tidaknya proses dan metodologi yang dipakai.

Tapi itu baru kerja konsultan perencana, secara profesi selanjutnya planner yang ada di birokrasi bertugas mengawal dan mengendalikan (police power/law enforcement), dan intervensi langsung melalui pembangunan pasarana, sarana yang ”mengarahkan” (eminent domain), serta lewat mekanisme insentive/dis-insentive. Evaluasi baik/tidaknya adalah seberapa jauh birokrat planner ini dapat mengawal pelaksanaan dan pengendalian.

Jadi kalau perencana sudah melaksanakan proses dan metodologi yang benar, ya sudah bagus. Kalau planner birokrat sudah mengawal dengan tiga instrumen tersebut, ya bagus. Kalau Pemda ternyata tidak bisa mengarahkan, mengawal, mengendalikan dinamika pembangunan fisik sesuai rencana, police power (law enforcement) tidak bisa ditegakkan , ya salah Pemda. Kalau pembangunan prasarana & sarana (sistem jaringan jalan, listrik, air, drainase) tidak bisa dilakukan, ya salah Pemda. Kalau mereka yang mematuhi dan yang melanggar diperlakukan sama, ya salah Pemda. Gitu saja kok repot!

Namun pandangan tersebut ada batasannya: Pertama, itu semua kalau asumsi, analisis dan prediksi yang digunakan sebagai dasar mendesain dan merencana adalah tepat. Ini sangat mungkin untuk kabupaten/kota yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan dinamika penduduknya predictable. Sedang bagi daerah yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan penduduknya berubah cepat, rentan terhadap perubahan situasi eksternal, nampaknya ”model perencanaannya” mesti dicari yang tepat. Kalau urusannya pembangunan fisik, ini tidak saja seperti ”baju”, tapi seperti ”rumah siput” yang sudah jadi, sulit dirubah.

Kedua, kalau sudah tahu kondisi dan kapasitas manajemen Pemda (selalu) terbatas, kenapa planner (sebagai profesi) memilih model perencanaan yang ”seperti arsitek bangunan” itu; kenapa membiarkan Pemda jalan sendiri, tidak mensupport dengan capacity building; kenapa tidak meng-advokasi masyarakat agar menjadi ”spatial watch.”

Dalam draft UUPR yang baru PEMANFAATAN RUANG (pasal 1 butir 14) diartikan sebagai ”upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biayanya.” Yang terakhir ini menyiratkan seolah pemanfaatan ruang adalah OLEH PEMERINTAH, mungkin maksudnya adalah instrumen intervensi langsung. Tapi yang memanfaatkan ruang mestinya adalah masyarakat (termasuk swasta) dan pemerintah (sektoral).

Kalau kemampuan (anggaran) Pemda untuk intervensi terbatas, kapasitas pengawasan dan pengendaliannya juga terbatas (seperti yang ditulis rekan Fajar), dan mekanisme insentif/disinsentif masih belum jelas (setahu saya penetapan tarif PBB masih belum mau mengakomodir insentif bagi pelestari/penghijau halaman/RTH). Lalu bagaimana? Apakah pelibatan stakeholders termasuk masyarakat, organisasi profesi (termasuk IAP mestinya), pembangun, dst. Bukan suatu keharusan sebagai mitra pemerintah dalam ”pengendalian tata ruang”? Sesuai pasal 57 (1) ”Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.” sesuai asas”...keterbukaan, kebersamaan...,” (pasal 2).

Saya membayangkan, kalau rencana disusun bersama masyarakat, dialog dengan warga,dialog dengan developer, (calon) investor, pencari kerja,pergruan tinggi secara terbuka dari awal (tidak sekedar konsultasi publik). Sehingga terjadi optimalisasi, prioritisasi, bahkan mungkin prasarana dan sarana utama dibangun oleh (kelompok) developer, anggaran Pemda bisa untuk fasilitas publik lainnya. Dan tidak terjadi kaget-kagetan, tekanan membangun ini dan itu, lalu permisif, sulit mengendalikan, dan investasi sebelumnya mubazir.

Tampaknya sudah waktunya menggeser wacana dari aspek (teknik, proses) PERENCANAAN T.R, kapada aspek PEMANFAATAN yang lebih dinamis dan multi-dimensi, walau keduanya memang sulit dipisahkan. Disinilah cara pandang ”dashboard planning” diperlukan. (Risfan Munir, Ikatan Ahli Perencanaan)

Dashboard planning (3)

Sebagai planner saya merasa bersyukur bisa memandang lingkungan sekitar secara (menurut saya) komprehensif. Dengan memposisikan diri seolah (seringkali secara harfiah) di belakang dashboard melakukan pengamatan cepat terhadap suatu kota/daerah untuk bisa menganalisis cepat, sehingga dengan asumsi tertentu bisa memberi beberapa arah atau saran (hipotetis) kepada Pemda tentang arah pengembangan ekonomi dan tata ruang. Tentu saja nantinya perlu ditindak lanjuti dengan analisis lengkap.

Tapi pandangan awal itu terbukti penting, karena situasi saat ini banyak Bappeda atau dinas terkait yang dijejali berbagai bentuk dan prosedur perencanaan, yang menurut saya lebih berorientasi pada proses formalistis, mengisi kolom, menghitung bobot, mendebatkan visi dulu atau misi dulu, awalan me atau di atau ter, , dst, dst. Ada rencana daerah, rencana tata ruang, ada rencana bupati/walikota terpilih, Belum lagi dominasi orang-orang keuangan daerah (dampak UU17) yang sering memberlakukan "ukuran kinerja" secara klerikal. Membuat proses merencana kehilangan sentuhan pada substansi, visi daerah yang sebenarnya.

Sebetulnya teman-teman di daerah punya visi, tahu masalah, punya motivasi berinovasi. Ini tentang rekan perencana dan birokrat tekun ya, (bukan aktor di koran), tapi menjadi sulit menyampaikan pikiran praktisnya karena panduan rencana yang berlaku selalu ganti "format dan istilah" terus.

Sehingga perlu dibawa kepada common sense, diajak melihat daerah secara sederhana. Misalnya melihat pola kawasan terbangun (stadia perkembangan), komposisi land-use, kondisi kawasan non budi-daya, mata pencarian utama, kondisi panen atau pemasaran produk, plus situasi lingkungan hidupnya. Dengan pengamatan cepat ini teman-teman di daerah bisa diajak merumuskan isyu strategis daerah, potensi dan peluang, sehingga fasilitasi visi dan misi daerah bisa lebih hidup.

Apakah itu terlalu sederhana? Tidak juga. Saya masih ingat, Prof Dr Sudradjat Djiwandono, mantan gubernur BI itu dulu kalau menulis prediksi ekonomi (bertahun-tahun) selalu diawali dengan situasi iklim, prakiraan hasil panen, lalu situasi pasar dunia, kemudian baru sebagai dampak panen dan permintaan itu berbagai analisis dan skenario diperkirakan. (Risfan Munir)

Dashboard planning (2)

Masih tentang dashboard planning, saya pikir karena masih banyak dari kita yang berfikir ala "blue-print planning," sehingga timbul kecewa tatkala cetak birunya tidak dilaksanakan.
Dengan banyak terlibat dengan teman-teman yang memainkan "governance" (pola hubungan pemda - masyarakat), saya jadi belajar bahwa "rencana" setelah lepas dari garapan teknis planner, bertransformasi dari “produk akademis” menjadi "dokumen publik", dengan kata lain "dokumen politik." Sehingga nasibnya menjadi "bola" yang dimainkan oleh para aktor, stakeholders, atau kelompok-kelompok kepentingan. Sampai menjadi suatu "produk hukum" setelah disyahkan sebagai peraturan daerah.

Planner tentu bisa dan bertanggung-jawab untuk "mengawal," atau mengadvokasi, tapi perannya hanyalah sebagai nara sumber, atau dengan kelompok profesi sebagai salah satu stakeholder. Pemahaman ini saya pikir penting, disinilah zona kritis perbedaan antara perancang "rumah pribadi" dengan perencana kota/wilayah (publik).

Sebagai perencana yang menerima kontrak, tugas selesai saat rencana disetujui bowheer, namun sebagai planner (intelektual?) maka misi profesinya untuk mengawal, mengadvokasi amanat "rencana" jalan terus. Mungkin ini makna "pemanfaatan, pengendalian" dalam UUPR.

Tentunya planner bukan cuma konsultan, sebagian besar planner adalah birokrat, sesuai posisinya (di Bappeda, Tata Kota, Dinas Cipta Karya) berperan resmi dalam "pemanfaatan, pengendalian" tersebut.

Namun demikian, terlepas dari dimana mereka bekerja tentu bisa membawa misi planning menciptakan lingkungan yang habitable, dan mengurangi kesenjangan dalam akses kepada pelayanan publik.

Disinilah sekali lagi perlunya "dashboard planning," sebagai exercise si planner untuk senantiasa memantau perkembangan, membaca trend, untuk bisa mengantisipasi dan memberi masukan kepada pemerintah (daerah) dan masyarakat, mengusulkan langkah pengendalian, memberikan peringatan (early warning) supaya tahu risiko kegiatan pembangunan kota/wilayah yang melenceng. Mengkomunikasikan via media massa, ke kelompok profesi lain, kelompok masyarakat yang kena dampak, pembuat masalah, dst, dan tentu saja kepada legislatif.

Sekali lagi, dengan RUTR sebagai pedoman, sebagai roadmap. Lalu analisis dan pertimbangan situasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi serta perkembangan lingkungan hidup sebagai faktor yang dipantau, dideteksi, diantisipasi untuk mengisi/menyarankan arah tata-ruang yang dinamis pada level lebih detail.

Sebagai misal, mempertimbangkan masalah ekonomi, pengangguran, kemiskinan yang tinggi, bagaimana saran planner terhadap peralihan land-use dari perumahan ke perdagangan (perbelanjaan) di kawasan Cihampelas, Dago dan jalan Riau di Bandung? Ada konflik antara kepentingan sosial ekonomi vs konservasi lingkungan bersejarah. Apalagi dengan lancarnya jalan Cipularang, sesuai hukum (T=P1xP2/d) maka arus pelancong belanja dari Jakarta kian besar. Memanfaatkan momentum untuk meraih manfaat ekonomi, atau konservasi? Ada pilihan kepentingan, tapi ada juga pertimbangan kelayakan untuk dilaksanakan. Melawan arus, atau memanfaatkan arus tapi secara smart. Termasuk proyeksi atau skenario seberapa sustainable trend "factory outlet" itu berlangsung. Lalu, Apa saran planner? (Risfan Munir)

Dashboard planning

Cara pandang "blue-print" planning, yang menganggap asumsi-asumsi konstan telah menempatkan planner jadi "menyalahkan" diri sendiri. Sebagaimana ungkapan "tiga kegagalan" planning yang dikatakan pembahas terdahulu.

"Blue-print" plan, atau rencana detail ruang yang pasti (deterministic) tentu perlu bagi kawasan baru (new town, transmigrasi). Namun bagi intensifikasi dan pengendalian kota yang tumbuh pesat, itu hampir mustahil. Bisa, kalau law enforcement nya sangat kurat. Tapi apakah efektif dari segi tujuan warganya. Karena kebutuhan hidup warga juga dinamis. Mem"preserve" lingkungan Condet, Menteng, persawahan pinggir kota, demi keindahan dan kehijauan kota tanpa bisa mengkompensasi "opportunity cost" warganya, bisa melanggar HAM. Atau memberi ladang pungli kepada petugas perijinan.

Jangan lupa bahwa terjadinya aglomerasi dan konsentrasi adalah juga akibat kebijakan ekonomi dan politik yang berada diluar kendali planner. Dan justru lingkungan fisik yang baik akan mengundang semakin besarnya arus migrasi ke kota besar (Jabodetabek). Makin 'tertekan' lah para "blue-print" planner. Akhirnya kalau tidak menyalahkan pemda, profesi sendiri, atau escape.

Dengan pola pikir "dash-board" planning, kerangka RUTR diperlukan sebagai road-map tentang arah kemana kemudi diarahkan. Namun di dash-board harus dilihat terus indikator-indikator yang berubah. Perubahan kependudukan (cohort), ekonomi (pertumbuhan, pergeseran), keuangan daerah, tren investasi swasta, politik, bahkan iklim yang ternyata kini mudah berubah, Baik internal maupun eksternal. Dengan demikian rencana detail bukan lagi harga mati. Yang penting norma, prinsip, kriteria perencanaan (lingkungan habitable) tetap dipegang.

Dengan demikian planning bisa menjadi study yang bisa didiskusikan setiap saat, seperti bidang lingkungan, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Planner tidak harus stressful dalam pola pikir "to be or not" yang kalau (pasti) gagal dilaksanakan terus 'mutung', ngambek dan escape. Hanya Tuhan yang bisa bilang 'kun faya kun', jadilah maka jadi seketika.
Sehingga planner juga bisa jadi analis, scenario analis. Seperti ekonom, kalau ada krisis bukan menghujat diri (walau jelas andilnya dalam masalah), tapi menganalisis, berskenario, memberi solusi (sedikit). Masyarakat jadi tahu anatomi masalahnya, lalu diajak berpikir mencari solusinya, lalu bersikap dan bertindak sesuai proporsinya. Tidak seperti sekarang, masing-masing orang melanggar jalur hijau, menyumpal drainase, membuang sampah sembarangan, tapi kalau ada masalah menyalahkan pemerintah daerah.(Risfan Munir, IAP)

Tuesday, February 20, 2007

Hujan musiman atau Banjir musiman?

"Banjir lima tahunan," kalau pernyataan itu dilontarkan orang awam wajar, untuk menenteramkan diri. Tapi kalau diucapkan kepala daerah, nekad namanya. Sejauh kita belajar hidrologi dulu, yang ada adalah hujan 5, 10, 25, 50, 100 tahunan, karena itu sistem drainase dirancang ukurannya untuk menampung sesuai ancaman debit air yang melonjak. Kalau dibilang "banjir 5 tahunan" berarti kan Pemda do nothing meghadapi ancaman yang predictable itu.

Di Kompas (20/2/2007) rekan Suryono Herlambang (Untar) menyatakan pentingnya peran serta masyarakat. Ini relevan karena solusi yang dilontarkan pemerintah begitu klasik, project oriented: banjir kanal, rumah susun, lalu megapolitan. Jelas itu penting, tapi "hari gini" masih beraksi sebagai pemain tunggal kok kurang realistis. Seolah penyebabnya adalah semata warga Bogor, Depok yang menghabiskan lahan terbuka hijau, dan warga kampung-kampung sekitar dataran rendah (bukan cuma bantaran kali). Sementara banyak kasus warga mengeluh karena sebelum dibangunnya real-estat A, apartemen B, dulu lingkungannya tidak pernah banjir.

Saran rekan Herlambang relevan, karena yang terjadi juga banyaknya kasus genangan. Banyak lokasi di Jabotabek yang cukup tinggi elevasinya, tidak kena banjir, tapi kena "genangan" hingga 50cm, karena sistem drainase yang buntu, semua warga rame-rame menyemen atau mengaspal halaman rumahnya, dan semua menganggap jalan sebagai saluran buangan. Membuat bak sampah pas diatas riol/got, sehingga selalu luber ke got itu, belum lagi yang memang sengaja membuang sampah ke saluran air itu.

Jadi selain mega proyek banjir kanal, rusun, megacity yang aji mumpung "make use" banjir untuk meng-gol-kan budget nya, perlu juga momentum masyarakat yang masih trauma banjir itu diajak untuk "mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dari saat ini" membuat lubang resapan, diajak kumpul di RT/RW membahas solusi "lokal" soal penyumbatan saluran, dst. Lalu stimulan Pemda diturunkan. Sebar leaflet cara membuat lubang resapan, menghindari bangunan yang membuat saluran sulit dibersihkan dst beberapa tahun lalu saya ikut proyek social marketing tentang pemeliharaan drainase lingkungan, saya kira di PU masih tersedia bahan-bahan yang bisa dibagikan atau cetak ulang.

Sebagai good-practice, babarapa media mengangkat kawasan yang warganya secara kolektif memecahkan masalah periodik ini dan berhasil selamat di musim hujan kali ini. Sebagai contoh Dewan Kelurahan Pluit yang berhasil mengamankan kawasannya dari banjir kali ini karena sebelumnya telah mengantisipasi dengan swadaya membangun rumah pompa air, dan meninggikan bagian rawan, sementara DPRD sibuk protes revisi PP37.

Introspeksi bagi kita semua planner, arsitek, insinyur, pembangun, pejabat (pemda satunya, pemda lainnya), konsultan yang sebetulnya saling kenal, satu guru satu asosiasi, apa tidak bisa kumpul merekonsiliasi peta masing-masing supaya tidak saling bersikap NIMBY (not in my backyard), yang satu meninggikan, membendung, yang lain kebanjiran/tergenang. Risfan Munir, planner.

Wednesday, January 10, 2007

Balada Metropolitan

Metropolitan adalah sinar petromaks yang mengundang rama-rama membakar diri jadi abu; pemimpi-pemimpi mengisap candu; perawan-perawan jadi perayu; pemuda-pemuda perkasa jadi kuli-kuli berpenyakit paru-paru; gadis-gadis ayu jadi pelacur-pelacur sayu. Bahkan kiai, pendeta dan biksu disulap jadi penjual jamu.

Metropolitan adalah sinar petromaks yang menyinari penyanyi ndangdut memutar pusar, menggoyang pinggul; remang-remang lampu merah tempat para wakil rakyat melepas lelah membujuk penyoblos dengan menyoblos, seraya hambur limpahan tunjangan.

Metropolitan adalah gurita yang menghisap uang-uang menjadi hutang-hutang daerah; kemakmuran desa menjadi angka-angka agregat semu pelipur lara; penghias rapor good-boys, good-girls dimata kreditor.

Metropolitan adalah habitat para pemimpi, yang warganya hidup bersendi mimpi, menikmati mimpi, mendagangkan mimpi, menyebar mimpi lewat tivi, majalah, koran, cerita saat lebaran, natal, tahun baru, valentin day. Dan mengalirlah masuk para pemimpi, meringsek, memadati.

Metropolitan adalah raksasa yang meludahkan lumpur lapindo, sampah-sampah; menyemburkan api membakar hutan-hutan; mengundang banjir-banjir di berbagai penjuru. Hentakannya menenggelamkan kapal; melengser kereta dari rel; menyulap hilang pesawat terbang; mengusir petani dari ladang-ladangnya; tanah-tanah subur menghijau jadi gurun kering merekah-rekah.

Dan datanglah musim....

Manakala metropolitan menjadi gerbang bagi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong bermuatan uang, emas, timah, balok-balok kayu menuju tanah idaman setengah ada setengah semu, melalui Jakarta, Singapura, Hongkong, Tokyo, Los Angeles, New York, London, kembali ke Singapura, Hongkong, dst....kian juah ditelan awan....

Kemudian pawangnya akan berkata, "My dear...awan akan menjelma jadi hujan investasi, asal anak-anak bertindak baik, kondusif, kompetitif tapi patuh, demokratis tapi tidak neko-neko; rajin duduk di depan tivi, nonton acara yang disarankan, sambil makan yang diiklankan, minum yang diiklankan, pakai piyama yang diiklankan; agar kalau sakit sesuai yang distatistikan, dan minum obat yang diiklankan.”

Metropolitan adalah gerbang menyambut datangnya kontainer-kontainer yang hingar-bingar, bergemuruh membawa mobil mewah/murah, motor mewah/murah, elektronika mewah/murah, garment mewah/rejected, boytoys, girltoys, momytoys, branded goods, branded foods, branded drinks, beras penyangga, buah penyangga, pupuk penyangga...sampah B-3 penyanggah. Untuk terus ke kota besar, kota sedang, kota kecil, desa makmur, desa miskin, desa terisolir, desa tanpa nama. Gelombang demi gelombang.

Dan datanglah kemarau ....

Manakala berbaris-baris bus, microbus, truk, pick-up, gerobak ditarik kuda, ditarik sapi, ditarik manusia, sepeda motor, sepeda..masuk metropolitan dari arah matahari datang, dari arah matahari pergi, dari arah gunung, dari arah laut. Membawa laki-laki, perempuan-perempuan, gadis-gadis, anak-anak, bayi-bayi....masuk metropolitan. Yang segera menempati taman-taman, lapang-lapang, trotoar-trotoar, emper-emper. Yang segera melompati pagar-pagar, pintu-pintu. Yang kala diberi aba-aba segera mencopet, menggarong, merampok, memerkosa, ...... Gelombang demi gelombang.

Sampai di senja kala.......
Metropolitan menjadi raksasa yang kegemukan, kesesakan, gerah, lelah dan bosan, saat melepas cangkang bersalin baju longgar bernama megapolitan. (Risfan Munir)

Wednesday, January 03, 2007

Mendorong Pemda Berjiwa Bisnis

Ada buku menarik yang ditulis Sussongko Suhardjo, Pembangunan Daerah: Mendorong Pemda Berjiwa Bisnis, Penerbit PantaRei, Jakarta , 2006.

Buku ini bermaksud menyadarkan para kepala daerah akan penting nya memikirkan dan mengembangkan daerahnya sebagai layaknya pengusaha. Bervisi bisnis.

Ini didorong kesadaran akan realita keterbatasan sumber daya: tantangan globalisasi, tantangan dana yang terbatas, sumber daya alam yang kian terkuras, sementara SDM yang potensial sifatnya mobile atau mudah migrasi ke daerah yang lebih memberi peluang. Sehingga mau tak mau Pemda harus mengembangkan competitive advantages dari pada sekedar comparative advantages seperti selama ini.

Diawali dengan menguraikan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi (makro, mikro) dalam konteks daerah. Kebijakan dan program pengembangan ekonomi, yang mengarahkan bagaimana mengembangkan multiplier effect dari basis ekonominya.
Evolusi dari kebijakan Pemda di berbagai negara dirngkas menjadi tiga kategori:
Menarik perusahaan dari daerah lain;
Mempertahankan dan memperluas perusahaan yang ada
Mendorong pendirian perusahaan baru.
Sedangkan untuk menjelaskan metode pengembangan ekonomi daerah Sussongko mengidentifikasi setidaknya ada sebelas (a to k) kategori kiat yang diterapkan di berbagai negara.

Salah satu kasus menarik yang dicontohkan dalam menanagni masalah perburuhan, dikaitkan dengan tujuan: "mempertahankan dan memperluas kegiatan ekonomi yang ada." Seperti kita ketahui masalah buruh ini dilematis. Di satu sisi pemda perlu "mengundang dan mempertahankan investasi", di pihak lain ada tuntutan perbaikan "kesejahteraan buruh", yang di negara kita dsederhanakan dengan menaikkan UMR.
Ketentuan naiknya UMR itu seperti "mengadu-domba" pengusaha yang sedang kesulitan karena kondisi ekonomi melemah, dengan buruh yang biaya hidupnya meningkat karena inflasi (naiknya harga BBM). Kebijakan gampangan ini seperti "mengadu domba" sopir bus kota yang dikejar setoran, dengan siswa yang diberi discount separuh harga.

Kiat yang dicontohkan adalah yang dilakukan Gubernur Texas, 1993, kepada GM yang berencana menutup pabriknya di Ypsilanti dan Arlington, TX, yang berisiko 21.000 orang kehilangan pekerjaan belum termasuk multipliernya. Paket konsesi yang diberikan begitu meyakinkan, sekaligus memperbaiki hubungan perusahaan dengan buruh yang lebih kondusif (hlm 55). Di beberapa negara memberikan keringanan pajak, agar dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan atau meningkatkan keterampilan buruh sehingga gaji naik karena kompetensinya meningkat (hlm 59).
Contoh kerjasama dengan LSM untuk mengatasi masalah perburuhan ini juga ditunjukkan dengan contoh inisiatif Quest (jaringan 60 organisasi swadaya, swasta, pendidikan) yang melatih untuk peningkatan kompetensi karyawan sehingga mereka memperoleh pendapatan lebih baik (hlm 101).

Pada intinya masalah perburuhan bukan sekedar UMR. Sektor swasta tak bisa hanya ditodong untuk menaikkan UMR, apalagi saat kondisi sulit, tanpa dukungan kebijakan lain, misalnya dalam peningkatan keterampilan, pengadaan rumah pemondokan murah, yang merupakan pengeluaran buruh yang cukup besar.
Pemda yang berjiwa bisnis tentunya tidak membebani atau memungut "retribusi" di segala bidang, lalu menaikkan UMR. Karena lucu klau gembar-gembor mengundang investor dari luar (FDI), tapi yang sudah ada tidak dipelihara. Seperti "mengharap burung di awan, merpati di tangan dilepaskan."
Tentu saja bukan hanya kiat perburuhan yang dibahas di buku ini, dan bukan hanya dari negara maju. Metode, kiat-kiat, siasat dan good-practices yang pernah dilakukan oleh berbagai daerah di beberapa negara (Filipina, India, Kenya, Columbia, dst) juga ditampilkan untuk jadi inspirasi. Inilah nampaknya kekuatan buku ini yaitu variasi contoh-contoh inovasi yang dilaksanakan oleh banyak daerah.

Barangkali kalau disebut kekurangannya adalah hampir tidak adanya contoh good-practices yang dilakukan oleh beberapa (kepala) daerah di nusantara, seperti Gubernur Gorontalo, Gubernur DIY, Walikota Tarakan, dst. Dan daerah-daerah yang peringkatnya tertinggi dalam mengembangkan daya-saing versi KPPOD.

Saya kira ini Buku ini juga mengingatkan para perencana agar tidak hanya terpaku pada masalah perencanaan tata ruang, tetapi sisi pelaksanaan pembangunan daerah dalam kondisi sumber daya terbatas nampaknya juga perlu menjadi agenda utama. Banyak RPJMD yang masih utopis dalam visi, misi nya, karena tanpa dilengkapi dengan antisipasi sumber daya yang dipunyai atau akan dikembangkan (Risfan Munir).

Kota tanpa Warga

Kota tanpa warga

Melanjutkan obrolan sejarah, ada berita bagus, minggu lalu di Gramed saya nemu buku baru Jo Santoso, (Menyiasati) Kota tanpa warga, terbitan Gramed (KPG) dan Centropolis Untar.

Sejarah kota Surabaya sebagai satu kasus diulas cukup lengkap (Bab 5 dari 6 bab). Dari perluasan built-up-area sejak era Majapahit hingga kini, peristiwa2 politik, masuknya pengaruh teknologi transportasi (mobil, trem) yang tentunya cukup revolusioner untuk masa sesudahnya. Asyik karena dilengkapi denah,dan foto2 terutama dari era kolonial, heroism kota pahlawaUnsur, termasuk icon Sukarno yang pernah di HBS dan nyantrik di rumah HOS Cokroaminoto.

Rasanya kalau dibaca mundur dari bab terakhir ke depan ini seperti buku sejarah kota2, mulai dari pra sejarahselain Surabaya ada Banten. Dari kampung atau desa yang "utuh", menuju prahara metropolis yang disebut kota "tanpa warga" itu.

Namun kalau dibaca dari depan alurnya seperti cerita Agatha Christy, banyak pertanyaan2 muncul di kepala kita. Dan clue dari apa itu "kota tanpa warga" baru terbuka dari halaman 215 (dari 239 halaman).

Proses mengkota (urbanisasi) nampaknya memang perjalanan abadi. Upaya menata ruang yang liveable, yang memungkinkan warganya bersosialiasi baru berhasil sebagian di tingkat kuarter (kampung), belum pada tingkat kota. Di banyak kampung, lingkungan, warga (kota) sudah mulai guyub, sebagian karena sejarah kampung-kampung kita tumbuh karena ikatan etnis, asal daerah. Di tingkat kota, disaggregasi masih jadi masalah. Perkelahian antar kampung masih kambuhan, juga sentimen etnis masih latent.

Salah satu sebab yang diulas, karena minimnya ruang publik di perkotaan. Sementara ruang publik yang ada, didoninasi oleh kepentingan bisnis dan penguasa. Belum lagi mengkota, prahara globalisasi dengan segala kekuatannya sudah menimpa kota tanpa warga itu.

Tapi bukan perencana namanya kalau tidak mencoba memberi solusi. Ada tiga strategi yang ditawarkan menyongsong pengembangan kota yang berkelanjutan.

Membaca buku ini rasanya mengajak napak tilas perjalanan kita sebagai perencana/arsitek, yang katanya punya misi mengembangkan liveability, habitability, yang kadang optimis, kadang kecewa, kadang setia, kadang berdalih (Risfan Munir)