Wednesday, November 08, 2006

de Soto (2)

Yang saya tangkap dari diskusi sementara ini masalahnya adalah:

  • Trust. Legalisasi diperlukan karena persoalan trust. Pada komunitas kecil dimana tingkat kepercayaan antar anggotanya terjaga, mungkin legalisasi atau surat2an tidak diperlukan. Tapi begitu ada kebutuhan interaksi dan transaksi dengan pihak di luar kelompok, masalah nya akan lain. Belum tentu fihak luar itu percaya tanpa adanya jaminan. Jaminan bisa surat, bisa dari tokoh yang dipercaya, atau reputasi kelompok. Masalahnya (dalam kasus kredit) uang yang akan dipinjamkan kan milik masyarakat pula. Selama hidup masih di lingkungan komunitas sendiri mungkin legalisasi, sertifikasi bisa tidak diperlukan,
  • Pilihan mau masuk pasar atau tidak. Seperti dalam regional planning, kalau pilihannya "territory closure", mencukupkan diri dengan sumber daya lokal (komunitas) mungkin integrasi dengan sistem ekonomi regional/nasional/global tak diperlukan. Tapi kalau pada level tertentu perlu transaksi dengan "pihak luar", maka perlu berintegrasi ke sistem ekonomi yang melibatkan orang/fihak yang tidak kenal secara pribadi (face to face). Maka soal trust perlu dijamin oleh sesuatu yang legal, entah apakah itu berarti juga formal.

Soal perlunya kehati-hatian, baik untuk de Soto, M Yunus, atau best-practices yang lain tentunya harus disikapi secara wajar. Seperti best-practice umumnya, perlu dilihat prasyarat keberhasilannya. Masing-masing punya keunggulan, tapi juga persyaratan yang mesti disesuaikan dengan tujuan dan kondisi lingkungan setempat. Grameen bank misalnya, hampir 100% penerima kreditnya perempuan, itu karena kepedulian pada perempuan, atau justru itu syarat suksesnya? Trust terbentuk melalui komunitas perempuan itu. Karena di Bogor pernah dicoba diterapkan di beberapa komunitas, yang banyak anggota laki-laki nya kolektibilitasnya lebih rendah, karena pria lebih mobile, banyak yang pindah ke kota (atau juga karena pria lebih suka ngemplang?). Pada komunitas lain barangkali trust dibangun melalui ikatan keagamaan, etnis atau lainnya.

Risiko 'runtuhnya kemandirian' tampaknya ada disemua pilihan. Integrasi ke pasar (bebas) dalam kondisi timpang, bisa membuat capital komunitas tersedot gurita kapitalis. Tapi mengandalkan trust dalam sistem informal juga bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus hubungan informal sangat mengandalkan tokoh pemimpin komunitas, yang kharisma, tapi mudah mengarah kepada retorika "one man show". Sehingga 'kemandirian/ keberdayaan' anggota lalu kelompok menjadi korban juga. Gejala ini bukan hanya pada komunitas tradisional, tapi bisa melanda juga pada Big NGO (yang modern). Kalau ini yang terjadi, maka untuk menjamin "one man, one vote" mungkin tetap diperlukan hubungan intern organisasi, (juga kartu suara) yang formal. Kalau tidak, hilang pemimpin hilang pula trust diantara anggota. Apakah begitu?

Yang ingin saya katakan, menjadi formal atau tetap informal, melegalisir atau tetap extra legal, masuk sistem pasar atau 'territory closure', adalah pilihan atau srategi si warga sendiri.
@@@ (Risfan Munir)

Sunday, November 05, 2006

Geertz: Sejarah Sosial Mojokuto

Untuk merespons pentingnya keseimbangan dalam melihat sejarah kota dan desa, elite dan massa, ada baiknya membuka kembali karya klasik Clifford Geertz tentang Mojokuto (The Social History of an Indonesian Town). Sekaligus untuk mengenang jasa-jasa beliau yang wafat 31 Oktober kemarin.

Ada ungkapan Geeertz yang mengesankan saya: "...orang perlu untuk terus mengejar "kijang" ilmiah melampaui bidang-bidang akademis yang berpagar rapat dimana margasatwa yang diburu kebetulan memasukinya." (CG, pada Agricultural Involution). Ini rasanya pas untuk diterapkan pada urban/rural studies.

Pendekatan mengejar "kijang" itu pula yang diterapkannya dalam mengkaji perubahan sosial/budaya kota Mojokuto (alias Pare, dekat Kediri) tahun 1952-1954.

Menarik, karena sebagai kota kecil tentu mewakili peralihan urban-rural. Dan saat itu Geertz juga sudah menangkap gejala sebelumnya dari dualisme: sektor formal yang diwakili sistem perkebunan, dan sektor informal yang merupakan massa pendatang dari pedesaan yang masuk ke kota, karena tak bertanah,miskin. Di antara keduanya, ada kelompok priyayi birokrat, pedagang Cina, pedagang santri.
Muzaik pengelompkan sosial itu jelas implikasinya dalam ruang geografis kota. Kelompok pengelola kebun enclave di pinggir kota, sekitar kebun dan perkantorannya. Priyayi birokrat di kompleks perumahan (gedung) dan kantornya. Kelompok pedagang Cina, di jalan utama berkelompok dengan toko dan gudangnya. Kaum santri pedagang kecil di kauman (belakang masjid), belakang pasar. Dan perkampungan padat, gubug-gubug bambu berserakan dibelakang dan di antaranya. Pola ini kelihatannya tipical, dan kok sampai sekarang tidak kunjung membaik ya (?).

Alkisah terjadilah dinamika sosial/budaya masyarakat, intra dan antar kelompok, ada upaya kompetisi dan kolaborasi dalam pergulatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tapi yang terjadi justru transisi yang berkepanjangan (sampai kini?). disini Geertz mengenalkan istilah “kota hampa” (hollow town) untuk menggambarkan suatu masyarakat kota yang tidak terintegrasi dan hanya merupakan kombinasi dari komunitas-komunitas kecil. Karena sistem lokal Majokuto itu (seperti daerah umumnya) tak pernah lepas dari pengaruh "dunia luar."

Geertz memberi latar belakang Mojokuto dan hinterland nya dengan sejarah dari mulai tumbuhnya kota yang dimulai dengan eksodus pasca perang Diponegoro (1830) dari Jawa Tengah ke timur. Lalu masa Keemasan Perkebunan (tebu, gula), yang menguntungkan selain Belanda juga pedagang Cina, birokrat daerah (perantara), petani pribumi pemilik lahan, serta buruh tani yang numpang hidup. Selanjutnya masa depresi ekonomi (pra 1930), jatuhnya harga gula di pasar dunia, meruntuhkan sistem ekonomi kebun tebu, dan tak pernah pulih lagi. Lalu masa penyesuaian yang terputus dengan masuknya Jepang, lalu perang kemerdekaan. Era kemerdekaan ditandai dengan kekuasaan yang kian terpusat. Sehingga kota Mojokuto mengalami transisi sepanjang masa, tanpa sempat menata hubungan sosial antar kelompok dan menyelasaikan persoalan ekonomi, sosial, budaya secara lokal.

Karena selalu menjadi "korban" dari ide, nilai-nilai, situasi dan tekanan dari luar. Bagaimana nasib kota-kota kecil seperti Mojokuto di era otonomi daerah? Dalam situasi dimana sistem ekonomi lokal hanya menjadi outlet eknomi global; konflik lokal tidak diselesaikan komunitasnya tapi menjadi konsumsi politik nasional? Akankah hollow-towns itu menjadi solid-town yang kompak dan mandiri? @(Risfan Munir)

Hernando de Soto

Secara kebetulan saya kemarin (3/11/2006) terundang dalam diskusi kecil dengan Hernando de Soto, yang diundang ke Indonesia oleh Danamon dan loran/majalahTempo.
Dalam diskusi kecil itu de Soto menguraikan betapa sektor informal, yang disebutnya extra-legal menyimpan begitu banyak capital. Sayangnya dalam transaksi bisnis umumnya itu masih jadi DEAD CAPITAL, yang tidak dapat dimanfaatkan pemiliknya. Dan itu menguntungkan sektor formal yang mampu menyulapnya menjadi property yang bernilai tinggi.

Banyak sekali capital yang dimiliki sektor informal yang jadi "mati" karena tak ada legal evidence/ certificate, record.

Pada jaman ini transaksi kegiatan ekonomi tidak lagi melihat barangnya, orangnya - itu sudah dipercayakan ke jasa surveyor. Yang berlaku adalah surat, sertifikat, rekomendasi, records. Perbankan sebagai contoh paling obvious, akan menanyakan agunan, jaminan (surat).

Handicap sektor informal selama ini disitu. Potensi banyak, aset (barang/jasa) yang layak diperdagangkan ada, pengalaman ada, pelanggan banyak, pemasok banyak, sayangnya itu hanya bisa diceritakan. Tidak ada pernyataan konsumen, lembaga berwenang, statistik produksi, penjualan, bahkan catatan internal juga tak ada. Punya properti tapi tanpa surat bukti, batas-batas hanya kesepakatan lisan
Bagaimana orang lain percaya, atau dibuat percaya. Padahal transaksi sering melibatkan orang yang baru kenal, datang dari tempat lain.

Dalam situasi ini, datanglah orang-orang "pandai" yang membeli aset-aset tersebut dengan harga "membantu", lalu menyulapnya dengan sedikit packaging. Kalau lahan ya dibuatkan siteplan, diurus ijinnya. Bahkan dengan uang muka kepada pemilik tradisional sedikit saja (dari nilai lahan pertanian yang rendah), bisa menjelma menjadi real-estate yang puluhan kali harganya. Developer pun masih akan "dikadali" bank, yang menjual surat piutang nya kepada developer untuk dijual ke pasar sekunder. Dan surat-surat itu akan berputar terus diantara lembaga keuangan, securities, dst. Sementara pemilik tanah asalnya masih meratap-ratap menunggu pelunasan yang tak kunjung tuntas.

Oleh karena itu, upaya memampukan sektor informal disarankan untuk dimulai dari menanamkan kebiasaan mencatat aset yang dimiliki, mencatat transaksi yang pernah dilakukan, siapa pelanggan, pemasok, dan setahap demi setahap yang bisa dilegalkan, ya dilegalkan.

Ini adalah upaya individual dan kolektif, karena aset dari sektor informal atau tradisional banyak yang sifatnya (masih) kolektif, atau terlalu kecil sehingga lebih efisien kalau diurus secara kolektif.

Bagi perencana/arsitek, mungkin membantu memetakan, men-siteplan-kan, membantu prosedur IMB akan bisa membantu. Untuk sektor informal perkotaan yang harus selalu bergerilya, barangkali "ijin" semi formal, kemingkinan "time-sharing" penggunaan sites tertentu di ruang public untuk berjualan, akan banyak membantu. (Risfan Munir)