Friday, October 27, 2006

Sepenggal Sejarah Kota

Jika memperhatikan beberapa kota yang punya peninggalan sites yang bagus, seperti bagian utara kota Bandung, kota Bogor, Semarang, Malang, timbul pertanyaan: sejak kapankah kota-kota itu menjadi "amburadul?" Apakah faktor-faktor penyebabnya? Atau bagaimana proses perubahan fisik tersebut terjadi?

Sebagian dari pertanyaan tersebut akan dapat dijawab oleh buku: "Kota Lama, Kota Baru; Sejarah kota-kota di Indonesia". Buku ini diterbitkan Penerbit Ombak, dengan sponsor Netherlands Institute for War Documentation dan Jurusan Sejarah UNAIR, Desember 20050 (ombak_community@yahoo.com)

Namun cakupan buku ini jauh lebih luas dari sekedar nama-nama kota di atas, yaitu mulai dari Bukittinggi di belahan barat, hingga kota pulau Buton dan Manado di belahan timur. Sejarah yang hendak diungkap adalah perubahan sebagai dampak dekolonisasi yang meliputi kurun 1930-1970.

Yang menarik, situasi uncertain seperti yang dialami pasca reformasi politik 198 dan desentralisasi saat ini repanya juga dalam intensitas yang lebih "revolusioner" pada era dekolonisasi tersebut.

Tercatat bahwa semangat merencana kota (abad 20) sebetulnya merupakan respons dari "undang-undang desentralisasi" tahun 1903, yang memberikan kesempatan kotapraja untuk merancang pembangunan kotanya, yang baru berimplikasi pada sekitar tahun 1921, antara lain dengan diterimanya proposal Thomas Karsten "Indian Town Planning".

Tercatat bahwa Karsten merencana kota lebih berdasarkan kelas sosial daripada segregsi rasial (sebelumnya selalu ada pemisahan antara warga Eropa, Cina, Arab, dan probumi). Dia juga menyediakan ruang bagi kelompok tak mampu, dengan model perkampungan.

Selama dan setelah perang kemerdekaan, tentu kota-kota telah berubah lebih cepat lagi, dengan migrasi penduduk dari wilayah pergolakan ke kota. Sehingga secara soaial, ekonomi, spasial mengalami konsekuensi perubahan tersebut. Perkampungan warga kian padat, melampaui kapasitas prasarana dan sarana yang mendukungnya.

Masa berikutnya, Orde Baru, mengenalkan dan menguatkan kecenderungan melihat ruang berdasar nilai ekonominya. Terjadilah kompetisi perolehan lahan sesuai kemampuan daya beli. Maka terjadilah pergeseran ruang-ruang publik, sarana pelayanan publik, juga perumahan yang tergusur oleh kegiatan komersial yang saling bersaing menarik minat konsumen yang itu-itu juga. Sebagian kawasan menjadi "modern", sebagian kian "deteriorate".

Pada saat ini kota-kota kita umumnya dicirikan dengan landmark yang berupa supermal, hypermart – symbol kuasa ekonomi (konsumerisme). Apakah ini pertanda sejarah baru? Kolonialisasi baru (globalisasi)? Simbol-simbol budaya lokal (alun-alun, monumen) , ekonomi lokal (pasar tradisional, dst) telah terpinggirkan. Kemana kota-kota kita setelah ini? (Risfan Munir)***

No comments: