Sunday, August 06, 2006

Arief Budiman dan Teori Ketergantungan

Ada wawancara Kompas, 5/8/06, dengan Arief Budiman. Ditanya soal relevansi teori ketergantungan, dia mengatakan bahwa masalah pembangunan masih terkait dua masalah besar: ada masalah mentalitas, kebudayaan, kultural, tetapi juga faktor eksploitasi kapitalisme global.

Apakah teori ketergantungan dari era 1980an masih relevan? Katanya masih, cuma lebih kompleks masalahnya. Kita juga melawan ketergantungan. Seperti masalah pedagang kecil dan pedagang besar. Pedagang kecil bisa bertarung. Tapi selama mereka tidak memiliki modal yang besar, teknologi, akan dikuasai pedagang besar. Modal dikuasai mereka, pasar juga dikuasai mereka. Misalnya kalau mau ekspor ke negara besar, kita harus melalui calo mereka juga. Kalau kita buka jaringan sendiri sulit.

Apa masalah Indonesia? Dia berpendapat, kita belum sepenuhnya menjadi negara modern. Artinya, profesionalime kerja, modal. Kalau Korea Selatan saja masih susah apalagi kita. Korsel sudah melakukan transformasi yang besar, birokrasinya tambah modern dan profesional.

Adakah korelasinya dengan demokrasi? Betul. Tapi demokrasi sebenarnya produk dari profesionalisme. Jadi profesional dulu baru demokrasi. Korsel sudah modern sebelum dia jadi demokrasi. Bahkan kadang kemodernan itu membutuhkan kepemimpinan 'tangan kuat'. Seperti di China, Singapura. Mungkin kita perlu seorang diktator kayak Lee Kuan Yew yang punya keinginan baik. Seperti Aristoteles bilang, sistem pemerintahan yang paling bagus adalah demokrasi, asal kepala negaranya seorang filsuf. Tetapi lebih bagus lagi otoriter tetapi filsuf. Orang otoriter biasanya lebih eksploitatif dan demokrasi mencegah dia menjadi eksploitator.

Yah itulah kata Arief, yang studinya tentang teori ketergantungan, dan pengamat sospol yang cukup bersuara di masa Orba dan sesudahnya. Rasanya memang relevan itu teori ketergantungan. Tetapi melawan hegemoni penjajah baru yang berkolaborasi dengan aristokrat (baca koruptor) lokal ini memang sulit. Tekanannya sudah masuk ke sistem ekonomi terkecil sekalipun. Di desa terkecil, bahkan terpencil, lebih mudah didapat camilan atau minuman bermerek global daripada yang asli lokal.

Kompas hari yang sama menulis berita: impor produk MBM dari negara maju sangat berisiko. Ketua Asosiasi Masyarakat Veteriner Indonesia mengatakan, risiko paling merugikan bila impor MBM dilakukan, Indonesia akan mendapat penilaian buruk dari dunia internasional terkait dengan pemasukan produk tersebut. Kalangan internasional akan menolak produk ternak dan asal ternak dari Indonesia.

Itu kan bentuk penjajahan. Produk kita sering ditolak dengan alasan-alasan macam-macam diluar kualitas barang, seperti masalah penebangan hutan, pekerja anak, HAM, dst. Yang dilontarkan oleh importir (bukan yang berwenang). Kita dipaksa membuka pasar lebar-lebar tanpa reserve. Padahal mereka sendiri tetap memproteksi petaninya. Setelah kita buka pintu, mereka masukkan produk seperti daging yang tidak bebas penyakit 'sapi gila' itu. Sudah gitu kitanya kok ya nurut aja?!***(risfan munir)