Ada "kekuatan", atau diperlukan "kekuatan" ekstra untuk membangun "kota yang indah". Pada jaman peradaban kuno, kekuatan itu adalah kepercayaan akan "kekuatan yang di luar kuasa manusia", kosmos – sehingga pola kota, permukiman mengacu pada unsur alam (batu, gunung, pohon besar, mata air dst). Pada prinsipnya kekuatan magis, dewa, atau unsure alam yang dianggap mewakilinya. Ada juga yang mengacu kepada "makam" leluhur, yang terkait dengan kepercayaan. Struktur fisik yang dibentuk jelas cukup jelas pola dan orientasinya.
Selanjutnya adalah "kekuatan" dari kuasa raja. Dan ini universal terjadi di semua benua dan sejarah masa lalu. Pokoknya bukan kuasa "rakyat". Hanya karena rakyat menganggap raja adalah "wakil tuhan" maka dianggap wajar. Struktur fisik yang dibentuk juga jelas pula pola dan orientasinya. Yaitu terpusat pada lokasi sang penguasa. Tantang cara membangunnya, bisa diperkirakan kebanyakan mengikuti cara membangun Piramid, jaman firaun Tembok Besar China, Jalan Deandels, menggunakan tenaga, keringat, darah rakyat dan modal cemeti.
Lalu, pola kota yang diajarkan di sekolah, yaitu kota-kota negara 'bekas penjajah' dan 'negara maju' yang teratur, indah dan cantik. Ini pola mengikuti aspirasi raja/bangsawan, borjuis, kapitalis, atau rakyat? Jawabannya bisa rupa-rupa, tergantung dari sejarah negaranya. Tapi pada umumnya di Eropa abad 19-20, negara memang cukup kaya, menganut Welfare State. Ini yang membuat negara bisa membangun berbagai prasarana dan sarana kota, yang baik dan indah untuk warganya. Kreativitas arsitek kota dan planner dapat dimanjakan di sana. Beban pajak kepada rakyat tidak sampai mencekik, karena ada sumber dana, yaitu dari tanah-tanah kolonial, daerah jajahan. Tentu saja adalah arsitek/planner kolonial yang cukup tajam panggilan sosialnya seperti Thomas Karsten, tapi pembiayaan memang dari surplus usaha kolonial.
Dari level pengembangan wilayah, pada masa modern (abad 19-20) itu juga semakin kentara, bahwa hampir TIDAK ADA KOTA DI DUNIA INI YANG TUMBUH PESAT, YANG BUKAN LANTARAN POTENSI EKONOMI LOKASI (ini kata dosen saya dulu). Dapat dikata "kekuatan" penentu pola perkembangan kota bergeser ke "kekuatan ekonomi". Di sana-sini negara mencoba membangun kota/permukiman, tapi logika (hukum) ekonomi-lah yang akhirnya yang menentukan keberlanjutannya.
Pada jaman Globalisasi ini "kekuatan ekonomi" tersebut nampaknya makin ekstrem. Dan menyakikan hati, karena kekuatan modal "dari luar" yang menentukan. Ya itu karena sistem ekonominya demikian. Tapi ini melanda semua negara, yang maju dan yang berkembang. China boleh membanggakan ekonominya, tapi secara fisik/budaya simbol kota-kotanya sudah berganti merk-merk dagang dari Barat. Di Amerika pun demikian, hypermart yang jadi simbul kedigdayaan ekonominya dipenuhi produk-produk China. Landmark buildings nya dimiliki oleh pemodal dari Asia Timur atau Midde East. Inilah konteks yang dialami kota-kota kita.
Nampaknya, perencanaan dan perancangan kota yang kita anut berbasis pada asumsi Welfare State, mengandaikan negara mampu mensejahterakan warganya dengan berbagai prasarana, sarana yang dibutuhkan, dengan penataan dan desain yang indah dan nyaman pula. Dan, ada penegakan hukum, law enforcement yang kuat. Kekecewaan timbul karena nyatanya (dari jaman awal) pemerintah tidak sampai kepada kemampuan seperti iu. Sempat makmur sebentar, lalu tergerus korupsi. Lalu datang era gonjang-ganjing reformasi. Tapi yang pasti kondisi ekonomi nasional tak kunjung baik, sehingga melahirkan 'lautan sektor' informal, yang dominan sekali mempengaruhi pola fisik kota.
Mungkin saatnya mempertanyakan kembali asumsi Welfare State itu. Hal ini mulia secara cita-cita, tetapi sangat jauh realitanya. Nyatanya pola fisik kota terbentuk oleh "kuasa modal" di satu sisi dan "kuasa massa miskin" di sisi lain. Pemodal makin berkuasa karena keuangan pemerintah kota kian terbatas, sementara jumlah warga miskin yang juga kian banyak yang berbondong ke kota (karena kerja di Malaysia juga kian sulit). Keduanya sulit dikendalikan oleh pemerintah (pengelola kota).
Bisa saja para intelektual ahli perkotaan 'menggerutu atau memaki', tapi pemerintah kota kita justru memerlukan dukungan perencana tentang bagaimana menjinakkan dua kekuatan dahsyat "modal" dan "massa miskin" tersebut. Contoh yang baik adalah Kota Solo, setidaknya dalam kasus dia bisa 'merelokasi' para pedagang kaki lima secara manusiawi. Membangun "mal" rakyat yang bersih dan teratur.
Itu mungkin yang optimal, karena bergerak di area advokasi (seperti "pejuang lingkungan hidup") nampaknya hal tabu bagi dunia perencanaan kota.
Namun kalau seorang planner mau murni sebagai 'perencana fisik' (tidak mau berurusan dengan aspek kebijakan publik), sebaiknya ya bekerja pada developer swasta saja, yang selama ini memang bisa merancang kota yang 'indah dan nyaman' sesuai kaidah-kaidah merencana kota. [Risfan Munir]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment