Bicara Visit Indonesia 2008, apalagi sudah masuk tahunnya, berarti bicara perencanaan operational, bukan PJM atau PJP Pariwisata. Visit Indonesia Year 2008 (VIY-2008) tentu penting untuk menaikkan devisa. Semakin banyak bencana, makin banyak butuh dana, jadi semakin butuh kehadiran wisatawan. Apalagi kalau tourism dianggap sebagai frontline untuk memasarkan Indonesia ke dunia international.
Hal yang paling penting tentang pariwisata adalah pemasaran, promosi. Prinsip dasar paling umum adalah AMBAK (apa manfaat bagi ku/wisatawan).
Pariwisata: Bisnis Hiburan sebagai sumber devisa
Pariwisata adalah soal bisnis, jualan. Apa yang layak dijual, diminati wisatawan ya jual saja, dengan cara yang menarik bagi wisatawan. Apa yang menarik bagi wisatawan? Ya tanya ke mereka. Lakukan survey.
Selama ini kita banyak GR nya. Merasa punya banyak daya tarik, merasa diri menarik. Tetapi kurang pemasarannya. Asumsi kita orang luar negeri tahu 'kekayaan wisata' kita. Nyatanya kan tidak. Kita lupa bahwa mereka tidak pernah belajah Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia seperti anak SD/SMP kita. Coba kalau ada kesempatan jalan ke Singapore, Malaysia tanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia? Jawabannya umumnya minim. Kaum terpelajarnya saja banyak yang tidak tahu peta wilayah Indonesia, apa lagi multi-etnik dan daya tarik budaya dan alamnya. Yang mereka tahu paling cuma Jakarta, Bali, Batam dan sekitarnya.
Masalahnya, umumnya kita kalau membahas pariwisata selalu condong bicara dari sudut pandang kita sendiri (inward looking), bukan dari sudut pandang wisatawan. Kita sering rancu antara misi pariwisata dengan misi 'kebanggaan budaya' dan harga diri bangsa. Kurang mau melihat dari sisi wisatawan.
Bahwa banyak daerah kebanjiran, ada korban Lapindo, saya kira tidak soal, karena sebagian besar wisatawan perlunya cuma ke daerah tujuan wisata (DTW) tertentu saja. Mereka tidak tahu apa itu Indonesia, Jawa, Sumatra, Sulawesi, itu apa, dimana. Yang mereka tahu Bali, Jogya, Tana Toraja, mungkin Bukittinggi dan sekitarnya, juga Bunaken. Kalimantan atau Borneo sudah jelas lebih dikenal sebagai hinterland-nya Malaysia, yang lebih menghargai dan lebih banyak memasarkannya. Untuk pulau Bintan saya dengar banyak tour operator yang samar saja menyebutnya sebagai bagian dariIndonesia, mungkin supaya wisatawan tidak takut.
Yang paling penting adalah bagaimana DTW-DTW yang sudah dikenal itu dipaketi sedemikian rupa sehingga lebih informatif dan menarik.
Segmenting, Targeting, Positioning
Baiklah kita bicara pasar dulu.Bicara strategi pemasaran, berarti bicara – segmenting, targeting, positioning. Segmenting artinya mesti diperjelas dulu segmen pasar mana yang akan dituju. Melihat trend belakangan, apalagi pasca 9/11/2001 dan bom Bali, maka mungkin presentase terbesar yang diharapkan adalah dari Asia Timur, dari pada Eropah dan USA. Selain itu Australia, walaupun mereka takut-takut, tapi Bali dekat dan murah, mereka juga sudah kenal, bahkan mungkin punya mitra usaha disitu. Asumsi itu tentu perlu dikonfirmasi dengan data. Tentunya market yang lain juga tetap harus digarapwalaupun bukan prioritas.
Setelah tahu segmen, berapa besarnya, bagaimana karakternya, kelompok usia, length of stay, spending behaviour, maka selanjutnya bisa dilakukan targeting, yaitu lebih memfakuskan lagi dari segmen itu siapa yang dituju, paket dan karakter atraksi wisata apa yang mereka gemari. Berapa dan bagaimana target kita canangkan.
Selanjutnya, proses positioning. Bagaimana kita, Indonesia, dengan Visit Indonesia, bagaimana positioning kita terhadap para pesaing. Kita akan mengunggulkan diri di sebelah mana?
Pada masa sekarang ini, bisa menahan wisatawan hingga 7 hari saja barangkali sudah berat. Dengan demikian maka obyek dan atraksi yang akan disajikan juga harus dengan batasan 7 hari dikurangi waktu perjalanan. Mengingat sebaran DTW yang luas, maka sepertinya kita tidak bisa ambisius membawa wisatawan ke banyak lokasi sekaligus. Sehingga kalau ke Bali, yang dengan sekitarnya saja. Kalau ke Jogya, ya ke Borobudur dan sekitarnya saja, begitu pula ke Tator, atau ke Bukittinggi. Atau bisa ke dua DTW tapi waktunya lebih singkat, lebih banyak di perjalanan. Berarti belanjanya jadi kurang.
7-P
Selanjutnya, lebih operasional, sebagai bisnis jasa marketing pariwisata menggunakan doktrin marketing mix 7-P (bukan cuma 4-P), yaitu: Product, Price, Place, Promotion, Process, People, Physical evidence. Artinya, tidak seperti barang yang disajikan produknya, diberi harga yang pas, diletakkan di tempat yang pas, dan dipromosikan. Tapi menyangkut pariwisata perlu ditambahi pengalaman wisatawan menikmatinya, apakah enjoy, dan people atau tour-operator, penduduk yang ditemui itu mendukung suasana, serta ada bukti fisik di lapangan yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan. Ini yang kompleks, karena sering harus integrated antar kegiatan pariwisata, serta dengan kegiatan, sarana, dan prasarana pendukungnya.
Baru-baru ini Menteri Jero Wacik dengan Garuda Indonesia mencanangkan dukungan maskapai ini terhadap VIY-2008 dengan menambah operasi ke Jepang. Acara yang juga didukung oleh semua asosiasi operator biro perjalanan dan perhotelan itu difokuskan ke Jepang. Bahkan untuk promosi sengaja akan mengundang Sadao Watanabe, sang bintang Jak Jazz itu.ini membuktikan bahwa fokus kita terutama Asia Timur.
Memang jumlah dan frekuensi kunjungan wisman dari Asia Timur ini harusnya diantisipasi dari dulu. Kalau di Bali, kehadiran mereka memang sudah direspons dari dulu, ini bisa kita lihat dengan banyaknya brosur macam-macam di Airport Ngurah Rai dalam huruf kanji. Saya tidak tahu di Bitung, tetapi di Jawa Tengah yang juga banyak dikunjungi mereka nampaknya belum merespons. Padahal seharusnya Jawa Tengah mempelajari kenapa banyak sekali orang Jepang, juga Taiwan, Korea, atau komunitas Budhist itu kesana, bukan Cuma sebagai wisatawan tapi juga mensponsori pemugaran candi-candi (terutama Borobudur, Prambanan) tapi kok tidak ada brosur dalam hurut kanji, yang ada nama-nama jalan ditulis dalam huruf ’honocoroko.’ Counters information center juga kurang sekali, kalau ada tidak informatif.
Kalau asumsi saya benar, bahwa orang luar negeri itu tidak kenal Indonesia, maka adalah kesalahan kita sendiri kalau dunia internasional tidak mengenal kekayaan daya tarik wisata di negara kita. Mestinya kan bisa menahan wisman 7 hari di Jawa Tengah, lalu tahun depan diharap mereka 7 hari lagi ke Bali, 7 hari masa liburan lain ke Sumatera Barat, dst.
Masalah klasik lain adalah soal petugas yang tidak profesional, sedikit yang menguasai bahasa asing. English saja terbatas, apalagi Jepang, Mandarin dst.
Kalau mau benchmarking, bisa kita jadikan Visit Malaysia 2007 sebagai acuan. Dengan kepala dingin harus diakui bahwa kalau bicara persaingan global, maka konkritnya adalah besaing dengan Malaysia. Yang kayaknya sebanding, dan beatable begitu. Bagaimana dia memasarkan, memaketi dan mempromosikan potensi wisatanya yang terbatas itu dengan baik sehingga begitu 'friendly' bagi wisatawan mancanegara (wisman).
Kalau dibandingkan dengan Malaysia, katakanlah Kuala Lumpur saat menerapkan Visit Malaysia 2007 yang lalu . Kesan penerapan 7-P tersebut sungguh jelas terasa.mulai dari KL International Airport, spanduk brosur-brosur, pin petugas, poster di mobil-mobil di hotel sungguh terasa. Dengan logo ’bunga sepatu’ (hibiscus) yang konsisten digunakan dimana-mana memberi kesan serius menyambut tamu.
Dan yang lebih penting lagi, paket-paket, seperti ditunjukkan oleh brosur-brosur yang desainnya senada itu menunjukkan ’pengemasan’ atraksi dan obyek yang jelas temanya. Agak berbeda dengan disini yang kesannya tiap operator berlomba paket untuk lokasi dan atraksi yang kurang lebih sama, dengan cara promosi dan brosur yang saling bersaing juga. Ini jelas membingungkan wisatawan, yang bukan rombingan (kalau rombongan sudah tidak perlu informasi?). Kesimpulannya kalau di Malaysia jejak Visit Malaysia 2007 sebagai ’program bersama’ itu tampak menonjol, mudal dilihat dan dirasakan wisatawan. Kalau di Indonesia untuk VIY-2008 ini bagaimana?
Malaysia juga tampak sangat serius dalam mengidentifikasi, merevitalisasi, mengemas produk-produk budayanya. Bahkan sampai-sampai yang kontroversial seperti mengakui lagu Rasa Sayange, Reog, Batik sebagai miliknya. Dari sisi mereka itu menunjukkan keseriusannya untuk merevitalisasi kekayaan budaya yang (sebetulnya) terbatas itu. Terutama soal batik Malaysia mereka sangat serius kelihatannya. Sementara kita, setelah kaget ’milik’nya diakui bangsa lain, sampai sekarang juga terbatas ’ngomel’ saja. Nyatanya no action. Tidak ada misalnya dari Departemen Kehakiman mempromosikan kemudahan mengurus hak cipta, paten, dan bentuk HAKI lainnya, atau bantuan pelayanan bagi UKM atau maestro tertentu sebagai ’aksi.’
Yang hilang dari kita saat ini adalah kejayaan Bandara Sukarno-Hatta yang pernah kita banggakan itu. Sementara KL International Airport pada tahun 2005-2006 meraih predikat sebagai the World’s Best Airport, untuk kelas 15-25 juta penumpang/tahun, maka Bandara Sukarno-Hatta kian terpuruk pamornya dengan jalan raya (tol) yang sering terendam air, dan makin macet karena makin banyak pintu keluar/masuk yang dibuka. Ini menunjukkan bahwa di kita ”tidak ada prioritas, tidak ada keterpaduan”. Semua jalan sendiri-sendiri, saling cari untung sendiri, saling jegal. Dalam dunia pariwisata pengalaman ’first impression’ dan ’last impression’ itu sangat menentukan. Kalau keluar dari airport saja sudah macet lebih dari sejam, maka moodnya sudah kacau, pulangnya juga membawa kenangan kemacetan yang sama. Maka agak nekad kalau kita terus mengharap mereka kembali, atau akan menceritakan ’kenangan manis’ kepada tetangga, keluarga dan rekan kerjanya untuk ke Indonesia. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment