Tuesday, January 29, 2008

City Competitiveness: The Sinking Giant

Visit Indonesia Year 2008
Kalau ditanya soal city competitiveness, wah ....? Kalau saya bekerja untuk/di Kota Tangerang, Medan, Makassar, Batam....maka artikel di Jakarta Pos itu akan saya pajang di mana-mana, agar investor tidak ke Jakarta, tapi ke kota-kota tersebut.

Bagi Jakarta sendiri, saya kira berat karena masalahnya (internal, kiriman) makin akut, sedang resources dan kemampuan manajemen pembangunan ada batasnya. Dalam kondisi tersebut tentunya akan selalu dilematis, apakah akan memperbaiki kondisi Jakarta seluruhnya, atau mengembangkan "etalase" saja. Membangun sesungguhnya atau citra semata. Prioritas pada perbaikan kondisi fisik, atau sosial ekonomi.

Kelihatannya policy DKI ingin galak terhadap pendatang (urbanisan) yang tidak siap dari daerah, pada sisi lain mengundang tamu (wisatawan, investor). Maka melanjutkan kebijakan gubernur sebelumnya dengan 'membersihkan' RTH. Prioritas pada aspek fisik ini membawa risiko tergusurnya banyak 'penghuni' pertamanan tersebut. Pada kasus taman Barito 400an pedagang kena dampak, ini kabarnya membuat 2000an pekerja kehilangan pekerjaannya. Pembebasan RTH yang lain, yang meliputi 55.540m2 mengakibatkan 16 komunitas kehilangan tempat tinggal. Pilihan ini mulai mengundang banyak kritik. Tergantung DKI bagaimana memilih dan melaksanakan prioritasnya, dan bagaimana memenangkan opini publik. Akankah gubernur sekarang setegas pendahulunya, apalagi tahun depan lagi pemilu nasional? Mungkin dia berusaha mengejar waktu.

Dari segi prasarana yang tidak bisa ditunda adalah bagaimana mengatasi banjir ditambah naiknya air laut, dan transportasi kota. Kedua masalah ini menuntut kerjasama baik dengan daerah sekitar, dengan departemen, instansi, maupun dengn masyarakat, karena masalahnya begitu luas. Kepandaian DKI untuk menarik perhatian Pemerintah (Pusat) juga sangat diperlukan, karenanya dalam banyak hal kewenangan ditangan Pemerintah.

Kemarin di 'pita berita' TV terbaca adanya policy pengurangan subsidi pendidikan (dasar-menengah) untuk dialihkan kepada percepatan pembangunan jalur busway koridor sekian, sekian. Ini tentunya juga bisa mengundang reaksi masyarakat.

Keterpaduan antar pihak adalah hal yang sulit, dialog antar daerah, antar lembaga, selalu sulit. Mungkin karena tidak ada trust, takut diserobot duluan. Selain antar daerah, dalam kasus Jalan Tol Pluit-Bandara, yang boleh dikata sebagai "pintu gerbang" ibu kota dari manca negara, kenapa tidak bisa 'dikhususkan' untuk ke Bandara pp saja. Pendapatan jalan tol kan bisa dikompensasi dari jalur lain, seperti mengatasi jalan sepi. Saya tidak tahu karena Jasa Marga gak mau rugi, atau Pemda DKI dan Tangerang yang minta dibuka pintu begitu banyak. Kesimpulannya: Tidak ada prioroitas, atau tidak ada kerjasama.

Masalahnya begitu besar, sumbernya juga banyak yang di luar kuasa DKI, itu semua instansi, daerah, jalan sendiri-sendiri. Solusi yang ditempuh nasional tampaknya bukannya mempromosikan Batam, Medan, Makasar, tapi pembangunan jembatan Jawa - Sumatera, yang kemungkinan besar justru memperbesar arus ke Jakarta.

Sekali lagi peluang bagi, ini peluang bagi pemerintah daerah Medan, Batam, Makasar, Tarakan untuk memanfaatkan artikel "Jakarta: The Sinking Giant" itu. Termasuk New Town seperti Karawaci, sebaiknya invest membangun jalan tol langsung ke Bandara, minta dukungan Pemprov Banten.

Sebagai anak bangsa tentu kita lebih rela kalau tamu dan investor ke kota-kota tersebut daripada mereka lari ke Kuala Lumpur, Ho Chi Minth City dst.

Tapi investor itu siapa sih. Apa perlunya investor datang kesini, yang datang kan uangnya dan eksekutifnya. Pemodal perlunya kan pokoknya RoI nya bagus. Yang penting kan infrastruktur memadai, buruh tidak mogok, peraturan tidak macam2. Dan saat ini kebanyakan investor yang datang adalah yang melihat Indonesia sebagai 'pasar raksasa', dan sumber alam yang masih banyak. Bukan yang melihat potensi SDM, baik skill nya atau murah nya. Mungkin mereka juga kurang peduli seperti apa Jakarta, asal ongkos produksi, logistik, buruh murah, aturan tidak macam-macam. [Risfan Munir, alumnus Teknik Planologi, ITB]

No comments: