Saturday, January 19, 2008

Mencari PWK yang konsisten dan berdaya prediksi

Melanjutkan obrolan soal fondasi dan bangunan ilmu. Sebagai orang yang menekuni suatu ilmu tentunya ingin logika ilmunya berlaku 'konsisten', dan punya 'daya prediksi'. Seperti semua insinyur mengandalkan rumus gravitasi. Yang konsisten berlaku dimana-mana. Dan punya daya prediksi. Kalau durian dilempar dari ketinggian sekian akan jatuh dititik mana dengan kecepatan sekian. (Bukan apelnya Newton lho, karena penemu aslinya ternyata orang kita, tapi keburu wafat karena yang jatuh di kepalanya durian bukan apel). Tanpa formula seperti ini ya kita akan merasa ragu-ragu sendiri.

Dalam perjalanan saya menekuni ilmu perencanaan wilayah dan kota ini, formula-formula yang konsisten itu yang saya coba cari. Karena ilmu planologi ini multi disiplin maka formula yang sangat eksak dan sangat konsisten mungkin tak ada. Maka setidaknya yang mendekatilah.

Yang saya temukan adalah geografi lingkungan, geografi ekonomi sebagai hukum ”fisika”nya; lalu strategic planning sebagai metoda atau enjinering nya. Yang lain-lain adalah untuk penghalusan atau derivat dari apa yang dihasilkan dari formula dan alat tersebut.

Dengan geografi lingkungan saya dapat menganalisis untuk segera memperoleh kelayakan peruntukan, potensi dan suitability nya. Hasilnya bisa diplot dipeta segera.
Dan berikutnya adalah geografi ekonominya, yaitu kegiatan apa yang paling potensial dan telah berkembang di lokasi atau wilayah itu. Bisa segera diplot diatas peta suitability di atas. Teori lokasipun bisa dipakai. Selain itu berikutnya adalah bermain angka-angka proyeksi, perubahan struktur kegiatan ekonomi, dan semacam gap analysis terhadap standar kebutuhan lahan, prasarana, utilitas, dst, dst.
Dan seluruh proses itu menggunakan pendekatan strategic planning yang juga berlaku universal. Tinggal pendekatan penyusunannya bisa konvensional, bisa partisipatif. Dan tiap level punya ketajaman dan kedetailan yang berbeda.

Rasanya dengan dua 'basic sciences' dan satu metode tersebut kok cukup punya pegangan begitu. Ini adalah back-bone dari struktur berfikir kita. Selebihnya adalah dagingnya, warna, modifikasi2, penajaman2. Yang paling penting kita punya pegangan sehingga tidak bingung, eklektik, kesana-kemari.

Setidaknya kalau kita mendatangi suatu kabupaten/kota, dengan pengamatan cepat atau kondisi geografis, kita segera punya gambaran potensi utamanya apa. Dengan verifikasi atas peruntukan lahan, sebaran permukiman dan kondisi jaringan prasarana dan utilitasnya, segera kita bisa melihat prospeknya kan. Tentu saja arahnya tidak selalu untuk pertumbuhan dan pengembangan ya. Untuk wilayah tertentu bisa saja fokus utamanya pelestarian lingkungan, atau mitigasi bencana.

Selebihnya biasanya masalah administrasi atau development management seperti programming dan analisis pembiayaannya serta sumber-sumbernya. Bisalah ini dipelajari dengan learning by doing.

Kalau kemampuan atau pola dasar itu betul-betul kita pegang biar tiap tahun berganti planning style, dari masterplan ganti RIK, ganti RUTR, lalu muncul PJM, PJP dst, itu cuma modifikasi saja. Juga berbagai pendekatan pembangunan, kalau kita percaya, bisa diikuti untuk menajamkan pendekatan.

Saya cenderung memegang pola berpikir tersebut, dan memilih hati-hati dalam menerapkan pendekatan kontemporer yang terlalu spesifik yang dikembangkan kelompok tertentu. Karena sekali pegangan pola berpikir itu goyah maka akan jadi layang-layang putus lah kita.
Kalau bisa belajar lagi saya pikir public policy itu penting, karena sebuah produk rencana haruslah bisa digiring jadi kebijakan publik, melewati proses konsultasi publik, ada risiko konflik dst. Dan pelaksanaannya dikawal oleh perangkat dan alat hukum, oversight dari legislatif, masyarakat dan media.

Saya banyak lihat teman-teman yang menyusun rencana berdasarkan panduan, peraturan semata, tanpa memegang 'basic sciences' dan dan 'basic method' nya , akibatnya ganti peraturan hilang pegangan dia. Lha kalau ganti menteri, ganti policy terus planner ganti ilmu, ya bukan ilmu namanya. Setidaknya, kalau harus kerja untuk berbagai bidang, basic method 'strategic planning' nya, termasuk derivat nya, yang perlu kita pegang.

Sekali lagi, Planning itu ada basic sciences dan basic method nya sebagai back-bone, bukan ilmu eklektik yang cuma mengandalkan doktrin, retorika, atau peraturan.

Dan akhirnya perlu juga disadari bahwa ilmu Planning aslinya adalah memang Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK). Posisinya ada di bawah kebijakan pembangunan dan rencana tingkat nasional. Alat-alat analisisnya valid untuk skala kota dan wilayah. Boleh saja seorang planner merencana skala nasional, sektoral, tapi harus ingat bahwa ilmu dari sekolahnya kan PWK. Jadi kalau bermain diluar PWK itu boleh dibilang tanggung jawab pribadilah, kalau melenceng jangan disalahkan ilmunya. Karena ilmu apapun kan ada batasnya. Bukan mau-mau sendiri. Seorang insinyur mesin ya jangan sok jadi ahli komputer. Boleh saja, tapi kalau ada misjudge itu salah orangnya, bukan salah ilmu teknik mesinnya.

Hal terakhir ini sering menjadi jebakan (atau kutukan) bagi planner. Karena mempelajari aspek sosial-ekonomi-fisik, sok menangani segala aspek kehidupan. Atau sebaliknya banyak orang lain menuntut planner bisa jadi ahli masalah sosial, ekonomi, atau enjineering. Jadinya seperti sasaran kritik saja. Dalam hal ini kita harus tahu diri jika masuk ke "level of incompetence". Kalau harus masuk ya belajar lagi ilmu tambahan tersebut. Sekali lagi, kita perlu menegaskan bahwa PWK itu ada ilmu dasarnya, bukan kumpulan dari wacana yang kiri kanan oke. Karena kalau ngaco-ngaco nanti hilang kepercayaan orang.

Harus dibedakan antara praktek dukun dengan disiplin ilmu kedokteran. Meskipun kadang dukun bisa menyembuhkan, tapi apakah 'konsisten' dan bisa 'diprediksi' ampuh untuk semua pasien? Makin bisa menyembuhkan segala penyakit, makin layak diragukan.

Sdri Melly, semua hal di atas terkait dengan pancingan anda tentang fondasi dan bangunan 'ilmu'. Saya tidak tahu pengalaman anda saat kuliah, tapi saat saya kuliah dulu terus terang bngung sekali, karena tiap hari menerima ilmu yang merupakan kumpulan tulisan macam2, readings tanpa satupun textbook yang utuh, diskusi2, di sela-sela itu ada alat2 (hitung, gambar peta) yang sepertinya eksak tapi ternyata makan diskusi dan beda pendapat lagi. Sehingga penemuan fondasi dan 'back-bone' itu menurut saya sangat diperlukan. Tulisan diatas dan posting sebelumnya adalah upaya atau ijtihad saya, yang jadi pegangan saya selama berprofesi. Tentu anda atau teman planner lain bisa punya kesimpulan lain.

Tapi soal tanggung jawab profesi, mungkin lain lagi. Seorang insinyur mesin bisa saja jadi ahli kebijakan industri, pioneer industri mobil nasional. Itu sudah di luar konteks diskusi soal ilmu tadi.

Memang dalam milist ini diskusi berkembang berdasar latar belakang orang, hobby dan tempat kerjanya. Tapi mesti dibedakan antara diskusi 'fondasi ilmu planning' seperti yang Melly angkat, dengan diskusi bebas antar teman tentang soal macam-macam.

PWK itu sekolahnya cuma 4,5 tahun, seperti sekolah teknik mesin, ekonomi, kedokteran. Janganlah dituntut macam-macam, dan jangan pula merasa bisa semua hal. Kalau anda ketemu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional boleh lah tanya dia segala macam, karena punya deputi dan staf bidang yang banyak. Tapi seorang sarjana Planologi? Masa kegagalan 100 tahun kebangkitan nasional, kok planner yang dimaki...please deh...Planner juga manusia, kata kawan kita.

Kadang saya iri kepada tetangga kantor saya di gedung Bursa Efek Indinesia, para ahli yang kerja di sekuritas, investment banking, dan berbagai lembaga keuangan terkaitnya itu. Teman-teman yang banyak dari matematika dan fisika ITB itu, bekerjanya cuma dengan satu rumus saja, yaitu: F=P(1+r)t , rumus ini saja dibolak balik pakai kalkulator seri HP-Business nya, sambil memantau pola-pola grafik turun-naik, kalau mirip clurit jual, kalau mirip tongkat golf beli. ....Bayangkan cuma satu rumus?!, yang para planner juga biasa pakai untuk memproyeksi penduduk. Kalau mereka kenal rumitnya pikiran kita barangkali akan bilang...Gitu saja kok repot. Dan lebih iri lagi karena tiap Tahun Baru yang buka kantor selalu Presiden sendiri, tidak diwakilkan.[Risfan Munir, planolog alumnus ITB]

No comments: