Tuesday, January 29, 2008

Concern Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK)

Visit Indonesia Year 2008
Kalau kita baca, pelajari, amati origin dari urban planning memang macam-macam. Tapi mulanya memang dari concern. Di Inggris misalnya, concern terhadap town planning kan karena dampak revolusi industri atas buruknya lingkungan hidup perkotaan. Yang punya inisiatif awal justru para ahli kesehatan masyarakat. Lalu ide 'garden city of tomorrow' yang menjadi ide awal 'greater city' itu adalah utopia dari Ebenezer Howard yang jurnalis. Dari cetusan-cetusan concern dan ide itulah kemudian para arsitek dan insinyur merespons dan memberikan kontribusinya sebagai ahli desain dan konstruksi.

Pada sisi lain, yang tidak terpisahkan adalah perencanaan wilayah (regional planning). Tradisi perencanaan wilayah yang menonjol kemudian adalah dari USA yang punya wilayah luas, dan sejarah pengembangan wilayah dari koloni-koloni nya di pantai timur, tempat orang-orang Eropa mendarat, lalu berangsur ke West. Dipelopori oleh kafilah-kafilah para pioneer yang menjadi tema-tema film western itu. Dalam tradisi ini yang kemudian dipelajari adalah peran sebaran potensi sumber daya alam, sejarah dan karakteristik tumbuhnya kota-kota sebagai pusat pelayanan dan pusat produksi (agroindustri, tambang, manufactur). Juga pengaruh dari meluasnya jaringan transportasi, kereta api, sungai, dan kemudian jalan raya seiring revolusi otomotif. Ini adalah ladang eksplorasi atau riset para ahli geografi ekonomi. Fenomena ini yang diambil polanya, dan dikembangkan sebagai regional planning.

Perkembangan ilmu perencanaan wilayah menemukan bentuknya yang lebih sistematik antara lain setelah USA mengalami great depression, yang sebagai solusinya Franklin D Rosevelt sebagai bagian dari New Deal nya meluncurkan Tennesse Valley Authority, dengan konsep pengembangan wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), yang secara sengaja membangun bedungan serba-guna, lahan-lahan pertanian, jaringan kota-kota sebagai pusat pelayanan dan produksi, jaringan transportasinya. Ini adalah program pengembangan wilayah yang direncanakan sistematis, untuk menciptakan lapangan kerja, mendongkrak produksi.

Dari dua fenomena di atas, masing-masing kita bisa memberi istilah sendiri. Apakah itu perencanaan fisik, ekonomi, atau apa? Tapi itu kan istilah berdasarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah di Indonesia, yang membedakan pas-pal, sos-ek-bud, dan persepsi dominasi di antaranya. Juga insinyur atau sarjana ekonomi. Juga departemen apa yang berhak menangani. Ini adalah nomenklatur dan wacana kita di Indonesia saat ini. Tapi hakekatnya adalah fenomena-fenomena original di atas.

Ini kan seperti dalam agama. Ada yang bertanya Nabi Muhammad saw kok gak pakai gelar haji? Beliau ilmunya apa Fiqih, apa Usuluddin, apa Tasawuf..... ? Ini kan istilah atau nomenklatur kita sekarang, di IAIN, di Indonesia. Pada komunitas Nabi yang original dulu tidak ada pemilahan itu.

Kalau kita lihat di ITB misalnya, sekarang ini banyak jurusan/departemen yang pakai kata 'geo' dan 'physic', sementara orang jurusan fisika sendiri juga belajar subyek 'kebumian', dan orang geologi juga pasti belajar fisika. Deferensiasi dan kombinasi itu masih ditambah ada yang pakai 'teknik', ada yang tidak pakai. Jadi batas-batas itu sulit dipisahkan.

Orang instansi teknik mengatakan SWP dan Sistem Pusat-pusat itu domain penataan ruang. Tapi growth-poles, agglomeration, dst itu semua kan ditemukan oleh ekonom, geografer dan jadi pelajaran sekolah mereka? Kesimpulannya, perencanaan wilayah dan kota itu memang ilmu yang "holistik".

Ya, pokoknya Perencanaan Wilayah dan Kota. Apa itu kota? fisik kah, ekonomi kah, sosial kah? Ya tergantung kacamata yang dipakai. Kata orang jaman sekarang "holistik", "meta-disiplin" .

Kota tumbuh karena potensi dan motif ekonomi, karena orang datang untuk mendapatkan pekerjaan, mondar-mandir melakukan aktivitas kerja. Memilih tinggal disini, atau pindah kesana karena tempat kerjanya. Dan, kemampuan (ekonomi) nya untuk mengoptimalkan tempat yang aksesibel tapi affordable. Bagaimana merencanakan kota dan wilayah kalau tidak mulai dari situ. Kan tidak mungkin merencana kota/wilayah berdasarkan ilham, patok landmark (simbol dewa), terus tarik garis geometris kesana sini, apa radial, apa konsentrik, terus dilingkari pakai ring-road, dikapling-kapling.

Setelah land-suitability analysis dilakukan, kawasan-kawasan non-budidaya dipisahkan, selebihnya adalah pertimbangan ekonomi, sosial-ekonomi, efisiensi, aksesibilitas, dan juga budaya. Semua planner punya keterampilan dasar (otoritas penuh) untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, zonasi kawasan non-budidaya, tetapi untuk menetapkan persyaratan pembangunan/ pelestariannya, perlu mengundang teman dari disiplin enjineering. Dan, untuk merencanakan kawasan budi-daya, mau tak mau juga perlu kerjasama multi-disiplin dengan ahli ekonomi, sosial, budaya. Untuk merencana jaringan prasarana juga perlu mengundang ahli jalan, air bersih, sanitasi, prasarana dan utilitas lainnya.

Karena masing-masing disiplin yang berkontribusi itu, umumnya (atau diasumsikan) bukan spesialis di skope kota/wilayah, maka dari awal dituntut dari planner untuk bisa meng-guide dan memfasilitasi, memberi kerangka, agar setiap disiplin yang terlibat itu betul-betul mengarah ke isyu, visi, tujuan, arah pengembangan kota/wilayah yang sama, terpadu.
Hal terakhir ini yang menjadi dilema, tantangan, 'rahmat sekaligus kutukan' bagi planner. Karena ini tidak mudah, kalau tidak musykil. Ini pula (menurut saya) yang membuat banyak planner memilih mengambil 'spesialisasi' sesuai minat dan kesempatan kerjanya. Ada yang bias ke fisik (spatial), lingkungan hidup, ada yang bias ke ekonomi, belakangan banyak pula yang bias ke sosial. Ya ini wajar-wajar saja, kan semua bidang juga begitu.

Ada kecenderungan spesialisasi, seperti Ekonom, ada yang bias ke makro, mikro, manajemen, akuntansi, kependudukan, dst. Ada juga kecenderungan 'integrated' , bidang satu tapi dikeroyok multi disiplin, seperti bidang Perminyakan misalnya, yang dikeroyok geolog, petroleum engineer, ahli mesin, teknik kimia, instrumen, dst.

Jadi komentar saya ke Pak Hengky, kalau melihat profesi perencanaan wilayah dan kota (PWK) secara utuh, sebaiknya tidak wawancana teman-teman dari "satu-dua sumber dari satu aspek, peran, dan satu era" saja. Sebaiknya lihat juga kurikulum sekolah PWK saat ini dan beberapa masa sebelumnya. Lihat juga apa yang ditangani planner di tingkat kota, kabupaten, propinsi, Bappenas dan beberapa departemen (PU, Perumahan, Depdagri, Transmigrasi, Daerah Tertinggal, Pariwisata, Kelautan). Dari segi akademis di tingkat internasional sekolah perencanaan ada yang dekat dengan arsitektur, ada yang dekat dengan ekonomi. Di dalam negeri, ada yang ala ITB, ITS, ada yang ala UNDIP, UGM yang serupa tapi tak sama. Juga peran sarjana planologi, sebagai perencana, sebagai pelaksana, juga sebagai pengendali. Sehingga ada gambaran utuh. Intinya, Planning bukan cuma profesi "merencana sistem kota-kota" dan site-planning, sedang aspek lainnya dianggap "distorsi".

Peran perencana harus pula dilihat secara proporsional. Tidak bisa kita bilang, rencana yang buruk sebagai penyebab malapetaka. Atau ekstrem sebaliknya, rencana sudah sempurna, pelaksananya saja buruk. Rencana bisa ada bisa tidak, bisa buruk bisa baik. Tapi 'pelaksanaan rencana adalah bidang yang maha luas', mulai dari bagaimana menggoalkannya jadi SK/peraturan, memperjuangkannya dalam proses musrenbang dst, memperjuangkannya di 'kamar panitia anggaran'. Ada konflik antara 'rencana bagus' yang satu (menurut kelompok tertentu) terhadap 'rencana bagus' yang lain. Kalau anggaran sudah tersedia, bagaimana memperjuangkannya dalam pelaksanaan di lapangan. Pembangunan busway mestinya ya bagus untuk jangka menengah, tapi di lapangan harus berhadapan dengan maslah kemacetan lalu lintas saat ini. Menghijaukan kembali RTH bagus, tapi berhadapan dengan tuntutan hunian, tempat kerja, dst.

Masalah klasik, antara supply vs demand, antara tuntutan pembangunan vs ketersediaan sumber daya. Ketidak-efektivan manajemen pembangunan Pemda, sulitnya kerjasama antar lembaga/daerah, dst. Sementara sumbar masalah juga bertambah. Pengangguran dan kegagalan sektor pertanian, pembangunan wilayah belakang membuat banjir masalah ke kota besar. Ditambah soal kontrol terhadap lingkungan hidup yang merusak ekosistem hulu, juga hilir (pantai), menjadi cerita klasik yang hanya berganti episode saja.

Apakah itu semua salah planner? Ah...kok terlalu ge er kayaknya. Apa ya sehebat itu, seolah tumbuh/runtuhnya kota karena 'rencana'. Di rencana atau tidak, kalau 'potensi'nya kuat, 'permintaan' kuat ya tumbuh. Rencana atau perencana, kan hanya upaya untuk memberi pertimbangan, mengingatkan perlunya mengoptimalkan, mengefisienkan, mengefektifkan potensi dan upaya terhadap tuntutan kebutuhan. Dalam lautan masalah pembangunan nasional, wilayah, kota, desa yang saling terkait, dan multi/meta disiplin ini.

Soal disiplin adalah soal ilmu/akademik, namun soal profesi adalah soal panggilan tugas dan 'perjuangan' , soal misi. Kalau penertiban RTH (ruang tebuka hijau) berisiko penggusuran hunian, penghancuran mata-pencaharian rakyat, di saat kehidupan ekonomi kian sulit, krisis pangan. Yang manakah yang akan dipilih Planner, mendukung "penyelamatan RTH" atau "penyelamatan lapangan kerja rakyat"? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2, Perencanaan Wilayah dan Kota ITB]

1 comment:

sakti said...

ha9x...PWK ilmu gado2.