Benchmarking biasa dilakukan dalam dunia bisnis dan manajemen, yaitu belajar dari pengalaman orang/ perusahaan/ daerah/ negara lain.
Kota Kuala lumpur menarik sebagai benchmark, karena dekat dengan Indonesia, sama-sama di negara yang baru berkembang, Asean, tropis, juga sama-sama mayoritas Melayu, multi etnik (ras) tetapi pendorong ekonominya dari etnis tertentu. Selain itu menyebut nama Kuala Lumpur (KL), atau Malaysia diharapkan bisa menggugah semangat bersaing, ada semacam sybling-rivalry antar dua bangsa serumpun ini.
Setidaknya ada beberapa aspek yang layak di-benchmark dari pembangunan dan manajemen kota atau Bandar Raya KL ini.
Tourism. Sangat informatif, didukung petugas yang profesional, lancar berbahasa English, helpful. Obyek dan atraksi wisata kotanya memang menarik, ditata dan dipaket dengan apik, modern, kompak -artinya semua dapat dikunjungi dalam waktu pendek. Obyek dan atraksi pokoknya sebetulnya tidak terlalu aneh, tapi 'dipermodern' dan 'disederhanakan' sesuai kebutuhan dan keterbatasan (waktu) wisatawan. Secara umum menumbulkan kesan bahwa kota ini dibangun untuk wisatawan. Brosur tujuan wisata tersedia dalam jumlah memadai di banyak tempat, dengan desain dan logo 'Malaysia Visit Year' bergambar kembang sepatu (hibiscus) menunjukkan message yang jelas.
Transportation. Modern, integrated, well managed, itulah kesan umum yang kita rasakan sebagai pengunjung dari Jakarta. Untuk sarana angkutan umum ada monorel, LRT, ERT, bus kota reguler, bus komuter, bus wisata (Hop-on, Hop-off), aneka taxi. Semua moda dan jenis angkutan saling mengisi dan menyambung secara terpadu. Ini ditunjukkan secara jelas di KL Sentral, pada terminal utama ini (seperti Blok-M nya), semua moda angkutan umum bertemu, termasuk yang dari luar kota. Terminal raksasa dua lantai ini dibangun secara modern, dilengkapi panel-panel elektronik menunjukkan jadwal/arah perjalanan tiap moda angkutan. Ada petugas penerangan dan informasi pariwisata dengan banyak brosurnya.
Prasarana jalan raya bebas hambatan yang malang melintang menghubungkan antar kawasan kota tentunya ikut menjamin kelancaran transportasi. Jalan raya terasa dibangun untuk kelancaran pengguna jalan, bukan untuk 'mencari uang.'
Pelayanan publik. Dari pengamatan atas 'wajah permukaan' pada sektor pariwisata (pesiaran), transportasi umum, kebersihan kota, ketertiban, timbul kesan kuat bahwa pelayanan publik dikelola dengan baik.
Outcome berupa kebersihan, ketertiban, kelancaran, informasi menunjukkan performance kerja manajemen yang baik. Juga sikap dan perilaku petugas lapangannya yang profesional, menunjukkan supervisi dan manajemen SDM yang berjalan baik.
Land-use dan Pengelolaan lingkungan. Built-up area yang tidak terlalu padat, luasnya area terbuka hijau, bahkan hutan kota, populasi pohon sepanjang jalan, dari segi land-use menjamin situasi lingkungan yang sehat. Paru-paru kota bisa bekerja baik.
Pembangunan hunian yang diarahkan vertikal, dengan investasi pada rumah-susun mendukung land-use hijau tersebut.
Pembagian fungsi antar bagian wilayah kota juga diterapkan. Sehingga ada bagian wilayah sentra bisnis dan perbelanjaan, yang merupakan kawasan andalan untuk sarana bisnis modern dan global, yang mengakomodasi semua kebutuhan bisnis modern, seperti hotel-hotel berbintang, gedung-gedung perkantoran modern (smart building), termasuk menara kembar Petronas, landmark yang sempat menjadi gedung tertinggi di dunia. Tampak jelas niat untuk menarik perhatian (investor) dunia. Kawasan lain yang dikembangkan sebagai akomodasi bagi competitive indultrial cluster adalah Putrajaya dan Cyberjaya.
People-culture. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat kota lebih manageable adalah jumlah penduduknya yang tidak terlalu besar. Jumlah penduduk kota KL dan negera Malaysia relatif kecil dibanding Indonesia.
Pada aspek sosial-budaya, yang ditawarkan oleh Malaysia adalah tema-tema keanekagaraman ras, bukan etnik. Ada Melayu, China, India, dan 'suku' dayak. Seperti sajian tarian, kerajinan dari aneka ragam ras tersebut.
Dari sisi sosial-ekonomi, kelihatannya dengan jumlah penduduk yang tak terlalu besar, pendapatan nasional relatif tinggi, pendidikan rata-rata relatif tinggi membuat kota KL tidak harus menampung 'masalah' migrasi desa-kota yang tidak siap, pengangguran dan sektor informal. Sehingga tidak ada PKL informal di pusat keramaian sekalipun. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment