Seolah menanggapi apa yang dipikirkan Pak Wawo tentang hubungan Visit Indonesia Year 2008 dengan arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia, maka Malaysia Airlines bekerja sama dengan Garuda Indonesia Airlines untuk menggarap rute DIY - Kuala Lumpur, pp.
Ini menarik, nampaknya jalur penerbangan ini layak dibuka karena 'dijamin' oleh arus pulang-perginya penumpang TKI dan TKW ke Malaysia. Namun dengan adanya rute penerbangan ini diharapkan oleh pemerintah untuk bisa merangsang meningkat arus wisatawan dari Malaysia ke Yogyakarta. Sekali lagi, TKI dan TKW bukan saja menjamin arus devisa dari remittance (uang kiriman ke kampung), tapi juga telah menopang rute penerbangan dua negara sehingga arus wisatawan bisa dimungkinkan naik.
Harapan itu ditunjukkan oleh Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) yang menganggap ini sebagai tantangan, dan dia optimis dengan kerjasama itu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Yogyakarta akan berkontribusi besar dalam mencapai target Visit Indonesia Year 2008 yang tujuh juta itu.
Penerbangan Malaysia Airlines akan menggunakan pesawat Boeing 737-400. Dengan operasi itu berarti ada 73 penerbangan dengan 25.504 tempat duduk dioperasikan Malaysia Airlines per minggu ke lima kota di Indonesia (Kompas, 12-1-2008).
Bicara soal semboyan, maka kelihatannya "Malaysia Truly Asia" akan bertemu dengan "Jogja, Never Ending Asia". Daya tarik mana yang lebih besar kekuatannya dalam menarik wisatawan dari Kuala Lumpur ke Jogja, atau sebaliknya. Kita tunggu saja berita selanjutnya.
Sesuai hukum gravity potential, besar arus dan arahnya akan ditentukan oleh kekuatan daya tarik antara dua titik (kota) yang berhubungan. Baiklah kita mencoba mengukur kedigdayaan masing-masing. Yogyakarta adalah seperti kumpulan saripati dari berbagai produk dan spirit budaya Asia (ada India, Islam, Budha atau Asia Timur) yang sudah mengendap dan diinterpretasikan sebagai budaya lokal. Wajar kalau Jogja menyebut diri Never Ending Asia.
Sementara Malaysia, yang budayanya tampak lebih muda, karena lokasi geografisnya di persimpangan, dihuni warga multi ras, Melayu, India, China, dst. Yang masing-masing masih hadir sesuai asalnya, belum menyublim menjadi 'budaya lokal'. Maka wajar kalau strategi mereka adalah menonjolkan multi-ras yang disebutnya Truly Asia itu.
Dengan kata lain, kalau soal keorisinilan maka Jogja bisa lebih unggul. Tetapi kalau dari segi kesiapan menyongsong dan melayani tamu dari luar, budaya kontemporer, nampaknya Kuala Lumpur bisa lebih siap. Lebih banyak orang KL yang menguasai bahasa English, India, Mandarin. Namun mereka juga sadar akan ketebatasan sumber budaya itu, sehingga mereka memilih strategi 'meminjam' bahkan 'mengakui' produk budaya tiap ras untuk dipaket dan dijual.
Sementara itu Jogja sangat kaya akan daya tarik dan produk budaya, sebagai atraksi atau obyek wisata. Namun masalahnya adalah produk Never Ending Asia itu kadang sudah menjadi produk lokal. Kebanggaan lokal, yang kadang berlebihan sehingga kurang awas terhadap selera wisatawan mancanegara. Untuk itu maka melalui berbagai upaya promosi, dan prinsip "7-P" (product, price, place, promotion, people, process, physical evidence) harus diupayakan agar lebih familier bagi wisatawan mancanegara.
Kalau kita berfikir lebih jauh lagi, dengan kerendahan hati, terbukanya rute penerbangan Jogja - Kuala Lumpur itu juga bisa dijadikan kerjasama pemasaran ke berbagai negara lain, Jepang, Amerika, Eropa, dengan membuat paket perjalanan Kuala Lumpur - Jogja - Bali, atau Kuala Lumpur - Jogja - Borobudur - Semarang misalnya, melengkapi simbol-simbol Islam (Kesultanan Mataram), Budha atau Asia Timur (Candi Borobudur), Hindu (Candi Prambanan), Katholik (Sendang Sono), ditambah ikon China (China-town, Cheng-ho di Semarang). Pengalaman perjalanan sepanjang koridor ini niscaya bisa diisi dengan wisata agro, mampir ke berbagai pengrajin tembikar, logam, pembatik, pengukir, dan banyak atraksi yang bisa dikembangkan. Untuk itu peranan penataan ruang kawasan juga sangat diperlukan, seperti ditunjukkan oleh kreasi teman-teman yang merancang kawasan Pecinan dan Kolonial di Semarang lama.
Bagaimanapun, tentunya kita berharap agar tiap momentum bisa dimanfaatkan agar bisa mempercepat Jogja dan sekitarnya untuk bangkit kembali pasca gempa yang lalu. [Risfan Munir berdasar pengalaman penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di beberapa daerah di Indonesia]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
1 comment:
Halo, salam kenal. Saya sebagai warga yang tinggal di kota jogja, juga sangat optimis dalam hal peningkatan pengunjung wisatawan mancanegara/domestik. Terutama kota yogyakarta yang memiliki aura budaya yang sangat historis. Untuk itu saya membikin blog yang berisi tentang wisata di kota yogyakarta. Bisa di lihat di http://visityogyakarta.blogspot.com
Terima kasih...
Post a Comment