Saturday, January 31, 2009

Local Economic Development: Learning from Obama's Mother


Sebagaimana dalam mempelajari proses "urbanisasi" (meng-kota) mau tak mau mesti menengok juga aspek budaya (anthropologis) nya. Dulu bacaan yang membantu antara lain kajian antropologi Clifford Geertz, "Agriculture Involution", dan "Peddlers and Princess" , serta "Mojokuto" terbitan MIT. Tiga buku yang mengisahkan terbentuknya sifat urban, dari tekanan hidup perdesaan, dan peran kewirausahaan. Ketiganya adalah bacaan yang menyenangkan, seperti membaca novel.

Mengingat itu, dalam diskusi "pengembangan ekonomi lokal" saya jadi tertarik membaca buku, "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds) karya Stanley Ann Dunham.

Penulis buku ini sangat mengenal seluk-beluk kerja industri kerajinan dan pemasarannya, yang didalaminya selama bekerja dan visits ke berbagai daerah di Indonesia di Jawa, Bali, Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dalam kurun 20 tahun. Dia lakukan sebagai eksekutif di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM), konsultan Bappenas, Dept Perindustrian, Bank Rakyat Indonesia, sebagian besar atas sponsor USAID.

Buku ini merupakan bagian dari disetasinya, tahun 1992, yang memfokuskan kajian pada komunitas industri kerajinan logam, khususnya "pandai besi", dan secara mendalam dengan kasus tiga desa: Kajar, Hadipolo, Kuniran, di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Disini dia menunjukkan pemahamannya tentang dinamika industri kecil selama dua dekade itu, yang membuat pandangannya beda dengan anthropolog terdahulu: JH Boeke (yang memunculkan istilah dualistic economy) maupun Geertz.

Dia mengkritik pendapat Boeke tentang orang desa, "Mereka tidak punya kemampuan organisasi dan disiplin kerja ..." yang sayangnya juga dianut sebagian birokrat kita. Juga perkataan C. Geertz, "Kerajinan dan industri berbasis pedesaan sudah hampir punah, dan sekarang hanya marginal." Sebaliknya Ann Dunham membuktikan bahwa banyak kerajinan di Indonesia yang, seperti judul disertasinya: "Bertahan dan Berkembang Pesat."

Perbedaan dengan kajian pendahulunya yang umumnya di desa berekosistem persawahan di dataran rendah, Ann lebih fokus ke desa yang punya kegiatan non-pertanian.

Dia juga mencatat perkembangan kebijakan pemerintah, sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga masa Orde Baru, dan pengaruhnya kepada perkembangan industri kecil, yang selalu dianggap sebagai (katup) penyerap kelebihan angkatan kerja.

Namun suatu kajian antropologi tentu kelebihannya bukan pada aspek strategi, kebijakan atau analisis statistiknya, tapi pada ketajamannya menyelami dinamika komunitas industri tersebut.

Ann menemukan persamaan bentuk kegiatan "padai besi" (Minang: apa bassi, Toraja: da'po bassi) di seluruh wilayah Nusantara, yaitu adanya unit tungku per-api-an (Jawa: perapen), sepasang ubub (peniup api), lubang api, penandasan (landasan untuk menempa), palung penyepuhan, tempat penyimpan arang, penyimpan besi, tempat pengikiran.

Lokasi dan penyebaran pandai besi umumnya berkelompok, namun beragam dari 5 perapen sampai 300 perapen, atau rata-rata 30an perapen per kelompok. Sebagaimana dalam teori lokasi pengelompokan ini memungkinkan mereka saling tukar pengetahuan, berbagi order, menekan ongkos transportasi, menekan harga input. Karena pada awalnya produksi pandai besi terutama alat pertanian maka populasinya berkorelasi dengan kepadatan penduduk petani.

Dari segi sosio-ekonomis, perapen bukan hanya berarti "tungku api", tapi juga berarti "kelompok kerja." dalam setiap perapen ada: (a) Empu atau kepala kelompok kerja yang mengatur produksi, kuantitas dan kualitasnya, (b) panjak atau tukang pengayun palu (penempa), (c) tukang ubub yaitu pemompa angin ke tungku, (d) tukang kikir yang menghaluskan produk.

Dalam komunitas pandai besi ditemukan pola hubungan atau struktur bisnis yang berjenjang. Terdiri dari: (1) pedagang bahan baku dan produk pandai, disebut juga "empu pedagang", (2) pemilik perapen indepeden, (3) pemilik perapen dependen, dan (4) pekerja upahan.

Mengenali pola hubungan keempat aktor ini penting, karena disitu lah perkembangan dan keberlangsungan industri kecil pandai besi ini ditentukan. Setiap desa atau komunitas bisa merupakan kasus yang berbeda.

Empu pedagang punya kekuatan dari modal dan kemampuan nya berhubungan dengan pasar dan pemasok bahan baku di kota, punya kendaraan (mini truk), gudang. Dia tidak terlebat produksi perapen, tapi peranannya menentukan bagi pemilik perapen dependen. Sumber keuntungannya dari margin harga pasokan dan margin harga jual produk.

Pemilik perapen independen berperan sebagai produsen, tapi juga harus mencari bahan baku sendiri, dan mengurus pemasaran juga. Ini tentu membutuhkan keahlian lebih, juga modal.

Pemilik perapen dependen menggantungkan usahanya kepada empu pedagang. Tampaknya ini menyedihkan, tapi pada umumnya hubungan itu atas inisiatif si pemilik perapen dependen, berdasarkan perhitungan rasional. Biasanya alasannya adalah kebutuhan modal, economic of scale usahanya, dan manajemen risiko. Dengan bermitra dengan empu pedagang, mereka bisa konsentrasi di produksi.

Keputusan untuk bermitra di antara mereka menjadi bahan diskusi di warung kopi di antara para pandai besi. Mereka menghitung untung ruginya di atas kertas seadanya. Tapi itu rasional. Jadi menepis pendapat Boeke bahwa masyarakat desa (pribumi) tidak bisa berfikir rasional layaknya dalam bisnis.

Hasil kajian anthropologi ini merupakan salah satu referensi yang penting untuk lebih mengenal pola dan dinamika ekonomi industri kecil, juga pola hubungan antar aktor. Sehingga bisa jadi masukan bagi penentu kebijakan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pemerintah justru menggunakan "empu pedagang" untuk menyalurkan berbagai bantuan bagi usaha mikro, sehingga empu pedagang (saja) yang menikmatinya. Mereka seperti mendapat modal tambahan secara gratis.

Banyak kalangan birokrat masih seperti Boeke, memandang ”industri kecil” hanya sebagai katup penyerap lapangan kerja, bukan sebagai sektor produksi yang sesungguhnya. Namun statistik saat ini menunjukkan bahwa kontribusi industri kecil sebagai penyumbang devisa non-migas besar. Dari pengalaman saya dalam pendampingan ”klaster pengrajin logam” di Cisaat (Cibadak, Jawa barat) semasa PERFORM Project terbukti bahwa pengrajin logam disitu sudah memasok spare-part ke Astra (sepeda motor), Sanyo, peralatan rumah sakit, dst, di luar alat-alat pertanian. Di Kota Pematang Siantar, stakeholders UMKM yang difasilitasi program LGSP juga termasuk kelompok produsen (logam) alat pertanian. Sekali lagi, ini membuktikan kebenaran thesis Ann Dunham.

Selama membaca buku ini, saya sebagai penggiat Pengembangan Ekonomi Lokal diliputi rasa haru. Merasakan dedikasi dan kegairahan Ann Dunham meneliti dan menaruh optimisme pada industri kecil di Indonesia. Beliau telah meninggal pada tahun 1995, tanpa sempat menyaksikan putranya, Barrack Obama, dilantik sebagai Presiden USA tanggal 20 Januari 2009 yl. [Risfan Munir]

Data Buku:
Dunham, Stanley Ann. "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds). Penerbit Mizan Kronik Zaman Baru. Edisi terjemahan terbit November 2008.

[Reviewer: Risfan Munir, penggiat Local Economic Development]

Sunday, January 25, 2009

Proses Produksi dan Model Pengembangan Wilayah

Sedikit tambahan untuk posting sebelumnya. Dinamika lokasi-alokasi, pendekatan supply-chain dalam proses produksi yang berskala antar wilayah, antar negara seperti sekarang ini layak menjadi perhatian pemerhati regional planning (RP) juga.
Contoh kecil saja, 'klaster' industri kecil bordir di sekitar Bukittinggi (Agam, Padang Panjang, Tanah Datar), mereka mengandalkan keunggulan talent, tradisi, kerajinan. Agak menyimpang dari teori lokasi, karena bahan diperoleh dari Jawa Barat (Bandung, Banjaran), benang juga dari Bekasi, aksesori dari Tanah Abang. Lalu produknya sebagian dijual di Tanah Abang, atau ekspor ke Malaysia, Singapore, Brunai. Andalan dari sistem pemasok (hulu) dan jaringan pedagang (hilir) adalah diaspora perantau Minangkabau, baik yang sekolah (di Jawa) atau kerabat yang bekerja di daerah/negara lain. Saya tidak tahu PKN di Sumatera Barat, tapi tampaknya Kota Padang tidak mereka lewati.

Contoh lain, industri kecil tenun ikat. Daerah NTB, NTT, atau Timor Timur punya nama, tapi tenun ikat itu (yang dijual di Bali) banyak yang dibuat di desa Troso Jepara.

Produk-produk garmen (kompeksi) yang di Sukowati Bali sebagai pusat penjualannya, hampir semua diproduksi di Jawa Timur, Jawa Tengah, yang punya pengrajin dan pekerja dalam jumlah besar dengan ongkos relatif murah. Juga produk furnitur dan interior, talent, tradisi dan pekerja dalam skala ekonomi tertentu ada di desa-desa di Jawa Tengah, Jawa Timur. Bali telah menjadi outlet regional, dan mereka kian pandai dalam branding (label Bali, tapi dibuat di daerah anu).

Kasus lain adalah jejaring budi daya dan perdagangan "tanaman hias" di pulau Jawa. Ternyata mereka itu membentuk jaringan yang timbal-balik. Artinya kalau ada pameran atau bursa di Lapangan Banteng, maka semua simpul-simpul di Jawa Barat, Tengah, Timur (Batu) bisa memasok. Sebaliknya kalau ada pamer/bursa di Temanggung (Jateng) atau Batu, yang dari Bogor, Puncak juga bisa memasok, sesuai keunggulan jenis tanaman masing-masing. Mereka tidak mengandalkan satu "pusat" tertentu.

Pada kasus industri kretek, pabrik rokok di Kudus (Jarum) misalnya bisa dipasok tembakau dari daerah mana saja, seperti juga pabrik rokok di Kediri (Gudang Garam), Surabaya Jisamsu), bisa punya kebun atau pemasok tembakau di Jawa Tengah. Bahkan sebagian mereka juga membuat rokoknya bukan di pabrik utama tapi di desa-desa dimana buruh/petani tinggal.

Bebepa waktu yang lalu, secara tak sengaja saya juga jadi penghubung antara kelompok pengusaha dan Pemda dari Enrekang, Wajo dengan Tasik, Sleman, Kediri, saya tidak ikut detail selanjutnya. Tapi kabarnya telah terjadi transaksi saling kirim produk masing-masing secara periodik.

Realita-realita itu bisa saja dipandang kecil. Tapi mungkin merupakan "grains" yang bisa jadi "drains." Dan bisa mempengaruhi cara pandang terhadap sistem pusat-pusat, perwilayahan dan pola hubungan antar wilayah. Yang jelas pola hubungan jaringan mata rantai produksi itu kok anomali terhadap sistem dan orde-orde hirarkhi permukiman.

Asumsi pusat-pusat utama disiapkan untuk mengundang investor manufaktur asing (FDI). Kenyataannya keputusan investasi itu kok tergantung korporat ybs dan situasi ekonomi dunia. Di luar kontrol siapapun, termasuk pemerintah. Bicara mobil misalnya, sekarang hanya tinggal beberapa merek dan jenis saja yang diasembling di Indonesia. Mungkin tinggal jenis/kelas Kijang, Avanza/ Xenia, Rush/ Terrios yang diasembling disini, kelas Vios saja diasembling di negara lain.

Faktanya, 99 pesen perusahaan dan 98 pekerja di Indonesia adalah di sektor UMKM. Apakah "klaster-klaster" UMKM diatas harus dipindahkan ke kawasan industri, PIK, LIK di pusat-pusat, kota-kota? Ini yang kadang pikiran pemerintah dalam pembinaan dan "menata-ruang".
Padahal kekuatan mereka justru ada dikomunitas-komunitas dimana mereka berada, telah mentradisi, social capitalnya sudah berkembang. Kalau mereka dicabut dari "akar komunitas" nya, maka bubarlah social capital itu, dan kemampuan produksi mereka merosot. Kalau kebetulan lewat Koto Baru antara Padang Panjang ke Bukittinggi akan tampak kompleks ruko kosong, sebagai bukti bahwa relokasi komunitas produsen/pedagang itu tidak mudah.

Ini sebetulnya masalah klasik. Lokasi industri punya dinamika sendiri. Yang besar, yang umumnya terkait jaringan proses manufaktur skala transnasional. Dulu industri substitusi impor memang tumbuh di kota inti, tapi sekarang kok malah dipindah (bukan ke Makassar) di Thailand, Vietnam.
Sementara industri kelas UMKM melekat pada lokasi komunitas-komunitas yang menumbuhkannya.
Di sisi lain permukiman di Indonesia mengikuti pusat-pusat kekuasaan, traffic-junction, lokasi perdagangan.
Kenyataannya, sistem permukiman dan sebaran lokasi industri bisa merupakan hal yang berbeda. Ini memang tidak bisa dijawab dengan sekedar berpihak atau adu perundangan. Tapi perlu kajian yang didasari riset yang memadai.
Yang pasti para pelaku ekonomi (industri) punya logika dan pemahaman realistisnya sendiri sehingga mampu tumbuh dan survive. Ada perencana spatial yang merencana "taman" berdasarkan "jejak kaki mereka yang biasa lewat", ada yang merencana berdasarkan "lurus lengkung penggarisnya" sendiri. Perencanaan sistem pusat-pusat sudah berumur 20 tahun, berapa persen sarannya yang jalan, yang pola tumbuhnya sesuai rencana, kenapa sesuai? Yang lambat atau menyimpang kenapa? Adakah pusat lain yang di luar rencana tapi tumbuh, apa yang mendorongnya? Bagaimana implikasi otonomi daerah atas perubahan pola sistem ruang/pusat itu? Dst. [Risfan Munir]

Saturday, January 24, 2009

Pembelajaran Regional Planning

Dari diskusi belakangan rasanya saya dapat banyak pelajaran.

Pertama, lebih memahami idiom John Friedman (bapak regional planning), "planning as a learning process" dari stakeholders wilayah. Dalam pengembangan wilayah secara partisipatif, a.l. melalui "kemitraan klaster". Dari pengalaman memfasilitasi proses kemitraan tersebut banyak terungkap kekayaan "tacit knowledge", kearifan komunitas (atau apa namanya) yang seharusnya menjadi explicit knowledge yang potensial bagi pengembangan industri yang lebih formal. Ini yang sering "tercuri" pihak luar tanpa disadari. Orang luar lebih menghargai (dan mengomersialkan) nya dari bangsa sendiri.

Kedua, mainstream pemikiran regional planning (RP) kita umumnya masih "dari pusat untuk daerah", belum "oleh dan untuk daerah". Seperti diskusi menyemai manufaktur di timur. Masih didominasi sudut pandang Pusat. Sehingga kalau sulit, ditunjuk jadi sentra (PKN) alot, ya ditinggal saja. Ini tentu beda dengan sudut pandang si "daerah", kalau planner kerja di daerah akan mencari cara terus agar daerahnya ekonominya maju, mau jadi Orde berapa tak jadi soal, pokoknya maju terus untuk memberi lapangan kerja penduduknya yang tumbuh pesat. Sepertinya "otonomi daerah" masih belum jadi betul-betul diterima penuh.

Ketiga, dua hal di atas itu yang menurut saya membuat kecenderungan selalu agregatif, tidak peka atas "grains" peluang-peluang yang terbuka di tiap daerah yang seringkali spesifik. Pola pendekatan juga masih cenderung "deduktif" bukan "induktif" yang lebih berempati pada karakter lokal. Beda dengan sejarah regional planning di negara asalnya, yang dari perencanaan2 lokal menjadi perencanaan wilayah skala nasional, di negara sedang berkembang sudah jadi paket konsep yang masuk dari skala nasional, dengan daerah sebagai sub-wilayahnya.

Keempat, kalau kita ingat AO Hirshman, dan strategi pengembangan ekonominya. Dia sebut ada dua instrumen: social overhead capital (SOC) dan direct productive activity (DPA). Sejarah masuknya RP di negara kita dari bidang prasarana dan permukiman, sehingga umumnya bias ke SOC. Diharapkan dengan sistem pusat-pusat dan jaringan prasarananya maka kegiatan industri akan terpanggil. Sementara mengenai pengembangan DPA, seperti di luar wacana RP. Sehingga konsep pengembangan klaster industri, menjadi kurang dipertimbangkan sebagai instrumen RP.

Kita tidak sedang debat "ship follow the trip" atau sebaliknya. Prasarana dulu baru industri atau sebaliknya. Tapi dinamika lokasi-alokasi, pendekatan supply-chain management industri yang berskala antar wilayah, antar negara seperti sekarang ini layak menjadi perhatian pemerhati RP juga. Sekarang ini layanan pelanggan via telpon di USA ternyata penjawabnya di India. Kita juga sudah tidak tahu merek apa dibuat dimana oleh siapa, pemegang sahamnya dari mana. Inikah geografi ekonomi baru itu? Borderless?

Sekali lagi sebagai proses pembelajaran banyak hal menarik. Perubahan otonomi (alokasi kewenangan dan dana ke daerah), demokratisasi, sistem manufaktur terjadi sangat dinamis, fenomena industri kreatif yang melekat pada kekhasan dinamika komunitas. Mungkin perlu pendekatan yang lebih appreciative terhadap kondisi yang ada, daripada analisis persoalan berkepanjangan yang berhenti dengan ditemukannya si "kambing hitam."

Dengan dinamika situasi lingkungan itu, mungkin perlu dipikirkan juga "kepastian" sebuah rencana jangka panjang dalam situasi yang "tidak pasti", dimana asumsi, variabel2, driving forcesnya sulit diprediksi. Dalam skala nasional ataupun wilayah. Apalagi kalau itu jadi produk hukum yang mengikat.

Mungkin para ahli RP juga perlu barbagi tugas, tidak harus homogen. Ada yang fokus ke isyu lingkungan hidup: climate change, deforestation, banjir, dst. Ada yang fokus ke isyu pengembangan ekonomi wilayah, dinamika kegiatan ekonomi (mikro) dst. Ada yang fokus pada aspek-aspek kelembagaan, hubungan antar kewenangan, corporate social responsibility, social capital, dan isyu sosial-ekonomi terkait. Pertimbangan perlu selalu komprehesif, tapi ....

Kata Peter Drucker "masalahnya bukan sulitnya menerima hal baru, tapi meninggalkan yang lama." Ini tentu tantangan bagi semua.
[Risfan Munir]

Wednesday, January 21, 2009

Menyemai Klaster Industri Perahu di KTI (3)

Pengembangan cluster industri ini merupakan pertemuan antara "kajian pengembangan industri" dengan "kajian kewilayahan". Dalam bukunya Competitive Advantage of the Nation, Michael Porter mengutarakan kasus-kasus populer keunggulan klaster di satu wilayah/negara yang membentuk keunggulan daya saing daerah/negara, seperti klaster industri kulit di Italia, klaster anggur di Perancis, California, dan tentu juga Silicon Valley dan tiruan suksesnya di India, Hollywood, Bollywood.

Industri perahu di Sulawesi Selatan cukup layak, karena:
(1) PASARnya ada saat ini seluruh KTI bahkan internasional.
(2) STRUKTUR industri, ada kerjasama dan persaingan yang telah terbentuk. Yang sudah dibuat bukan hanya jenis pinisi, tapi juga perahu untuk transportasi, nelayan, untuk berbagai ukuran, yang terbuat dari kayu ataupun fiber.
(3) FAKTOR keunggulan ada, terutama tradisi (keterampilan, bakat) yang sudah dikuasai secara turun temurun dalam populasi yang cukupbesar. Tradisi Bugis-Makasar dalam kemaritiman telah terbukti dalamsejarah, di seluruh perairan dalam Indonesia hingga Malaysia.
Serta adanya (4) DUKUNGAN dari berbagai pihak, lembaga, termasukpeneliti-penelii tentang perperahuan internasional. Jadi syarat yang dibutuhkan untuk berkembangnya "klaster unggulan" daerah lebih dari cukup.

Mengenai persaingan dalam pemasaran, itu hal biasa dalam ekonomi.Kalau kemitraan klaster sudah terbentuk, untuk pemasaran merekadapat difasilitasi untuk mngembangkan strategi. Saat ini karena yangtradisional harus berhadapan dengan produk perusahaan besar yakalah. Tapi dalam pemasaran kan ada strategi SEGMENTASI, TARGETING,POSITIONING.
Segmen mana di wilayah mana saja yang di bidik, apakahuntuk transportasi, nelayan, pesiar dll. Apa dan siapa yangdijadikan target. Dan, bagaimana klaster perahu (misal dariwilayah: "Bulukumba-Makassar-Pinrang") memposisikan produknya. Memang tidak harus menguasai seluruh pasar, bisa mulai dengan segmentertentu, sehingga "tipe, ukuran, desain, harga" tertentu yangdijadikan unggulan. Bisa saja mereka melakukan diversifikasi: ada kelompok untuk kapal pesiar dan pesanan khusus (mahal); ada untuk angkutan massal; adauntuk nelayan dari ukuran kecil dan sedang. Bagaimana mengambil celah ditengah persaingan.

Secara internasional perahu dari Sulawesi Selatan sudah terkenal,pesanan mengalir terus. Pada segmen ini nampaknya industri perahuBugis-Makassar sudah menjadi industri kreatif, karena keunggulan desain dan sofistikasi penggarapannya yang diunggulkan.
Sedangkan untuk segmen perahu transpor dan nelayan, intinya mungkinadalah "skala produksi" untuk bisa menekan ongkos (tenaga, bahanbaku), sehingga harga bisa bersaing.[Risfan Munir]

Menyemai Klaster Industri Perahu di KTI (2)

Komunitas pembuat perahu ini di KTI, khususnya di Sulawesi sudah menjadi tradisi, sudah punya nama. Jejaring industri ini bisa jadi embrio pembentukan klaster kegiatan ekonomi, yang akan menjadi motor penggerak pengembangan wilayah setempat. Kalau menggunakan pendekatan yang konvensional dari Porter misalnya (Competitive Advantage of the Nation/Region), saya kira syarat-syarat komunitas industri kapal di, misal kawasan "Bulukumba-Makassar-Pinrang" (BMP) sangat potensial. Dalam frame Porter ada:
(1) Firm Structure & Rivalry - ini sudah berkembang, ada yang dari kayu, ada fiber, ada yang besar, kecil, saling kerjasama, saling bersaing;
(2) Demand Condition - sudah berumur ratusan tahun, tentu hidup terus karena ada pasar;
(3) Related Supporting Industries -sudah berkembang, di kawasan tersebut didukung Pemda, Litbang,bahkan dukungan dari luar negeri, dan industri pemasok, asesories, dst;
(4) Factor condition - beda dengn istilah faktor produksi yang statik, ini bisa diciptakan, dan sudah berkembang, walau kendala juga masih banyak. Soal branding sudah melegenda dengan perahu Pinisi.

Peran pemerintah dalam pendekatan Porter sebagai katalis yang menjalin hubungan antar pelaku, penyediaan infrastruktur, dukungan kebijakan, dst. Rasanya kalau digarap lebih serius, fokus, maka klaster industri perahu ini bisa betul-betul jadi andalan kawasan BMP tersebut. Perlu diingat bahwa Kabupaten Jeneponto dan tetangganya termasuk kabupaten miskin karena lahannya kurang subur, sehingga industri perahu yang memang sudah berkembang itu kalau didukung bisa jadi andalan daya saing daerah dan penyerapan lapangan kerja. [Risfan Munir]

Tuesday, January 20, 2009

Menyemai industri perahu di KTI (1)

Dalam rangka menyemai industri manufaktur di Kawasan Timur Indonesia (KTI), industri perahu/kapal tradisional dapat jadi alternatif.

Untuk itu beberapa langkah bisa dilakukan. Misalkan yang jadi kasus industri perahu di wilayah "Bulukumba-Makassar-Pinrang". Populasi mereka cukup banyak dan punya nama secara internasional. Yang diperlukan adalah langkah-langkah revitalisasi sebagai berikut:
Identifikasi populasinya, lalu buat kontak antar mereka. Tentu sebagian sudah saling kenal, kerjasama, berorganisasi
Ajar mereka buat pertemuan, bisa per kabupaten dulu. Fasilitasi mereka agar hubungan 'cair'. Intinya membentuk kemitraan stakeholder
Mulai bahas potensi masing-masing dan ajak memikirkan tujuan bersama untuk "revitalisasi" diri. Potensi bisa kapasitas produksi, teknologi dan kualitas, pasar, dst. Fasilitasi untuk bicara visi, harapan-harapan ke depan, langkah-langkah utama,
Bahas kendala yang perlu diatasi atau diterobos. Biasanya soal klasik akses ke faktor-faktor produksi 6M (man, money, machine, methode, material, management) + marketing. Disamping kendala iklim berusaha (prasarana, birokrasi, pungli)
Fasilitasi untuk merumuskan langkah-langkah awal yang bisa dilakukan sendiri, tanpa tergantung pihak lain.

Secara umum itu beberapa langkah dasar untuk membentuk kemitraan stakeholder. Selanjutnya dalam pertemuan yang kian melembaga akan dibahas agenda, mulai dari langkah awal yang dilakukan.

Akan menarik kalau dimulai dari potensi dan harapan (appreciative inquiry) dari pada analisis persoalan yang bisa mengarah kepada apatisme masa lalu, cari kambing hitam dst.

Pemasaran biasanya jadi tantangan yang menarik. Harapannya untuk memasarkan dalam skala yang luas, nasional, internasional. Tapi sebetulnya bisa dimulai secara internal daerah dulu, yang kecil melayani yang besar, melayani permintaan nelayan atau tansportasi lokal.

Secara bertahap kemitraan stakeholder dalam klaster industri perahu daerah ini dapat diperluas. Tidak hanya melibatkan kelompok pembuat perahu, tapi juga lembaga pendukungnya, termasuk perbankan, pendidikan & penelitian, bimbingan manajemen, dst.[Risfan Munir]

Opsi Stimulus Fiskal

Jeda sebentar dari bahasan kisah sukses China, kita bicara soal stimulus fiskal. Setelah krisis keuangan global ini, banyak yang bicara tentang perlunya stimulus, untuk mendobrak kebuntuan pengeluaran karena dalam krisis semua pihak memilih sikap berjaga-jaga. Keynesian yang mendorong intervensi pemerintah mulai disebut lagi.

Tapi ini perlu dilakukan secara selektif, tepat sasaran. Karena stimulus fiskal, yang biasanya dari sumber pinjaman/utang. Ini bisa membebani masa depan kalau hasilnya tidak memicu pendapatan nasional.

Opsi pertama, insentif keringanan pajak atau peningkatan belanja barang publik. Yang disebut terakhir lebih baik karena keringanan pajak hanya dinikmati orang kaya, tapi efeknya ke belanja mereka tak besar. Karena usaha besar dan orang kaya pola belanjanya tak begitu terpengah keringanan pajak. Sementara dengan stimulus untuk pembangunan prasarana efeknya secara langsung menciptakan lapangan kerja lapisan bawah, memberikan proyek bagi swasta kontraktor, tentu meningkatkan daya beli rakyat. Selanjutnya belanja rakyat meningkat atau pulih, dan sektor produksi bergerak lagi.

Terkait itu, Senin, 19-1-2009, kolom ekonomi Kompas menampilkan kolom "Opsi Kebijakan dan Prioritas Stimmulus", yang ditulis M Ikhsan Mojo dari Universital Airlangga. Intinya dia memperingatkan agar stimulus itu betul-betul tepat sasaran, tidak menguntungkan kelompok yang sudah enak saja. Sebaliknya, agar menimbulkan efek berganda bagi penciptaan lapangan kerja dan mendorong gerak sektor swasta.

Tiga sektor yang disarankan untuk diprioritaskan, yaitu: energi, pangan dan prasarana. Energi diprioritaskan karena kondisi kelangkaan energi (listrik) sudah mengganggu produksi secara nasional, dan mengganggu produktivitas dan kenyamanan masyarakat.

Pangan dan pertanian pada umumnya, karena ketahanan dan swasembada pangan harus dipulihkan lagi. Sarana dan faktor produksi: benih, pupuk, aliran air, angkutan, sistem pengolahan agro-industri dan sistem pemasarannya. Saat ini distribusi pupuk saja tersendat-sendat terus.

Ketiga, sistem prasarana seperti: jaringan jalan, sistem irigasi, telekomunikasi, pelabuhan.

Dalam sistem ekonomi sekarang, meskipun namanya stimulus ekonomi tidak berarti semuanya dari investasi pemerintah. Lebih tepat kalau insentif itu untuk mendongkrak (leverage) kegiatan sektor swasta dan masyarakat.

Saran saya, jangan sektor formal atau besar saja yang mendapat insentif. Mengingat 95 persen lebih usaha dan tenaga kerja di UMKM dan sektor informal, mereka juga harus menjadi prioritas. Pola pikir akan terjadinya trickle-down effect tidak bisa diterapkan lagi. Terakhir, bantuan model BLT juga penting, tapi itu tidak memberi "kail", lebih baik membantu usaha mikro dengan memberikan kemudahan memperoleh input, faktor produksi dan menghubungkannya dengan pasar, atau usaha besar yang menyerap produk mereka.

Pemerintah daerah juga harus mendukung dengan memberi kemudahan, membantu pembebasan lahan, menghilangkan berbagai pungutan resmi dan liar.[Risfan Munir]

Saturday, January 17, 2009

Visi (3) - China Belajar ke Singapore

Visi 3

Ketika Deng Xiaoping baru memerintah China, dia sadar China harus dimodernisir, namun hampir tak seorang pun pemimpin negara itu yang pernah melihat kota modern. Oleh karena itu Deng pergi ke Singapore pada November 1973.

Deng bertemu Lee Kuan Yew, tinggal tiga hari dan melihat kemajuan pembangunan di lapangan. "Perjalanan tersebut telah membuka matanya", kata Lee. Satu titik balik telah terjadi.

Formula Singapore: pemerintahan yang stabil, berpartai tunggal, perencanaan ekonomi yang sungguh-sungguh, pembangunan infrastruktur modern, dan menarik. Kebijakan2 probisnis menjadikan pusat ekspor dan peningkatan kesejahteraan secara cepat. Itu dianggap sesuai untuk diadopsi pada kawasan tertentu China.

Sebagai kelanjutannya, Deng secara bertahap mengirimkan ratusan delegasi. Terdiri dari para walikota, pengurus partai dan lainnya - supaya mereka punya visi dan membayangkan kota modern itu seperti apa.

China, setelah memulai pembangunan sebelumnya dengan reformasi pertanian, lalu masuk ke reformasi industri. Belajar dari Singapore, dia kembangkan "zona-zona ekonomi khusus." Ini adalah kawasan2 terbatas dimana undang-undang China yang tidak probisnis tidak diberlakukan, pajak dibuat rendah, aturan dipermudah bagi industri yang berorientasi ekspor. Tampaknya Deng realistis terhadap kebutuhan industri, juga realistis bahwa merubah aturan untuk seluruh negeri tidaklah mungkin dilakukan dengan cepat.

Zona-zona ekonomi khusus yang awal di Provinsi Fujian, di seberang selat dari Taiwan, dan di Provinsi Guangdong, dekat Hong Kong. Di situlah para kapitalis dari Taiwan dan Hong Kong bertemu dengan buruh China yang berupah rendah.

Dari buruh tani miskin (setengah menganggur) menjadi buruh pabrik tentu menarik. Maka model ini menggoda bagi investor dan bagi buruh, serta pemerintah yang kredibilitasnya diukur dari kemampuan mencarikan pekerjaan. Awalnya hanya investor diaspora China (Hong Kong, Taiwan, Singapore) yang tertarik, keberhasilan mereka menarik juga bagi investor Amerika, Jepang, Korea, Eropa. Berikunya berkembang zona-zona sejenis di provinsi lain.

Untuk mendorong tumbuh kembangnya zona-zona industri tersebut, China menawarkan keringanan pajak dan insentif lainnya, membangun jaringan infrastruktur jalan, listrik, ICT. Pemerintah juga menetapkan promosi jabatan bagi aparat berdasarkan jumlah pekerjaan yang diciptakan.

Yang luar biasa dari proses transformasi dari komunis ke ekonomi pasar ini adalah dilakukan dengan tanpa revolusi yang "merobohkan tembok." melainkan revolusi yang hening, mungkin raungan dibalik dinding kedap suara. Tantangannya meningkatkan kesejahteraan bagi satu milyar orang. Misi mereka jelas: memodernisasi China, dan menyejahterakan semilyar lebih warganya. Lain-lain bisa menyusul, mungkin begitu.

Deng Xiaoping menggunakan teknik perencanaan terpusat lima tahunan (Repelita) sesuai warisan Mao, namun mengombinasikannya dengan pendekatan pembangunan Singapore, mulai dengan komponen2 dasar infrastruktur.
China berencana meningkatkan sumber energinya dua kali lipat hingga th 2020, a.l. dengan membangun pembangkit energi nuklir. [Risfan Munir]

(Sumber: Robyn Meredith,"The Elepant and the Dragon," 2008)

Visi Pemimpin & Peran Planner (2)

Kerjasama antara Pemimpin dengan konsultan perencana penting dalam menerjemahkan visi pembangunan kota/negara. Contohnya adalah Lee Kuan Yew dengan Winsemius dalam fase awal pembangunan seperti kisah di bawah ini.

Tantangan pertama bagi Singapura yang baru berdiri adalah pembangunan ekonomi. Tingkat pengangguran mulai meresahkan, sementara belas tahu industri yang akan dikembangkan.

Ide pertama, usulan sebuah pabrik minuman untuk mengembangkan pariwisata, maka dibentuklah Singapore Tourist Promotion Board. Yang diminta memimpin Runme Shaw dari Shaw Brothers. Ini menunjukkan bahwa sejak awal Singapura bekerja sama dengan swasta.

Insentif diberikan kepada industriawan lokal, pembuat kosmetik, krim rambut, minyak goreng, dan sejenisnya. Lalu produsen Hong Kong, Taiwan diundang untuk memindahkan industri mainan, tekstil dan garmen ke Singapura dengan insentif tertentu.

Kendala yang nyata ialah wilayah sempit, cadangan air terbatas, sehingga kurang menarik. Kawasan industri Jurong dibangun dengan dana besar tapi tetap sepi.

Langkah lain ialah mendata dan mengelola aset properti peninggalan Inggris. Ini dilakukandengan membentuk Bases Economic Conversion Department. Beberapa yang strategis: Dok kapal di Sembawang digarap, selanjutnya disewa pemrintah AS untuk perbaikan kapal; bekas markas Gurkha jadi resor wisata pulau Sentosa. Bekas pangkalan AU Inggris di Changi jadi Bandara Internasional Singapura. Tangsi militer Pasir Panjang jadi Universitas Nasional Singapura.

Terobosan besar terjadi pada akhir 1968 dengan masuknya Texas Instrument, disusul HP, yang membuka industri asembling semi-konduktor. Tahun 1970 GE masuk dan membangun pabrik asembling. Investasi ini segera menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Sekaligus menjadikan Singapura sebagai pengekspor utama barang elektronik.

Tahun 90an Singapura menjadi pengolah minyak terbesar ketiga setelah Houston dan Rotterdam (?). Dan, pusat perdagangan minyak terbesar ketiga setelah New York dan London.

Ketajaman analisis dan usulan rencana Winsemius yang lain ialah agar Singapura mengambil peran sebagai salah satu pusat pasar uang dunia. Idenya, pasar uang dunia mulai di Zurich pukul 0900, diikuti Frankfurt, lalu London. Saat Eropa sore tutup, New York mulai buka, dan ketika New York sore tutup San Fransisco. Nah saat San Fransisco tutup pasar uang dunia berhenti, ada jeda waktu sebelum Zurich buka. Inilah peluang Singapura. Kini volume transaksi di Singapura keempat terbesar, setelah London, New York, dan Tokyo.(Risfan Munir)

(Sumber: Lee Kuan Yew - Membangun Gardu Menjadi Negeri Kelas Satu, dalam "Reaching for the Best", edisi khusus Majalah Intisari, 2005)

Visi Pemimpin & Peran Planner

Perkembangan kota bahkan negara tak terlepas dari Visi, kapasitas dan konsistensi Pemimpin kota atau negara ybs, tentu saja.

Dalam mengembangkan dan mengurai visinya biasanya Pemimpin dibantu konsultan/ perencana yang mumpuni dan selaras visinya.

Ambil contoh Jakarta setelah Indonesia merdeka. Kawasan intinya sangat dipengaruhi oleh visi Bung Karno yang menentukan desain kawasan Monas sampai Senayan. Beliau didukung oleh perencana/ seniman seperti Hank Ngantung, Silaban, dan lainnya. Jejak mereka sangat kentara, baik pada landskap, pola jalan utama (juga jembatan Semanggi), maupun gedung-gedung (masjid Istiqlal, BI, HI, gelora Senayan, DPR/MPR, dll), juga elemen-elemen patung (Tugu Monas, Selamat Datang, Pembebasan, dst). Semuanya monumental, sesuai visi dan semangat revolusi ketika itu.

Pembangunan Jakarta kemudian dilanjutkan pada kepemimpinan Ali Sadikin yang membangun prasarana utama kota (jaringan jalan, air bersih), pusat-pusat pedagangan dan pelayanan (Blok M, Jatinegara, Senin) dimasing-masing ada terminal, pasar, pertokoan, sarana olah raga dan hiburan. Dibangun pula kawasan-kawasan baru perumahan, industri, pariwisata (Ancol).
Bang Ali tak hanya membangun fisik dan bertujuan ekonomi semata. Dia mendorong pembangunan sarana-saran budaya seperti TIM, beberapa gelanggang remaja, pusat hiburan dan lainnya.
Dalam mengelaborasi visinya Bang Ali didukung oleh tim Tata Kota nya, serta developer seperti Ciputra di bawah Perusda Pembangunan Jaya.

Di negara tetangga Lee Kuan Yew membangun Singapura dari "gardu menjadi negeri kelas satu."
Tahun 1963 Singapura bergabung dengan Malaysia sebagai negara bagian. Tapi ada gerakan ekstrem dalam partai UMNO yang menghendaki Federasi Malaysia hanya bagi suku Melayu. Singapura yang 75,4 persen warganya etnis Cina harus berpisah, dan menyatakan merdeka 9 Agustus 1965"

Di awal proses pembangunan Singapura, Lee Kuan Yew bertemu Dr. Albert Winsemius, perencana ekonomi UNDP asal Belanda. Lee minta saran dalam mengawali industrialisasi negerinya. Ada dua syarat yang diajukan Dr. Winsemius: menghapus komunisme, dan jangan mengusik patung Raffles.

Patung Raffles dianggap simbol diterimanya warisan Inggris, dan itu berdampak positif. Bersambung.[Risfan Munir]

Friday, January 16, 2009

Ekonomi Lokal Mengharapkan Obama

Globalisasi, berbeda dengan yang dikuatirkan LSM, bahwa keuntungan ekonomi mengalir satu arah ke negara maju, dan negara berkembang hanya kena dampak negatifnya. Yang terjadi, ialah bangkitnya China yang telah membanjiri dunia termasuk USA dan Eropa denga produk murahnya. Dan India yang mengalihkan banyak pekerjaan jasa online dari negara maju ke negerinya. Yang terjadi dengan glabalisasi adalah gelombang pengangguran yang dialami negara seperti USA. Berikut ini cuplikan yang menggambarkan tipikal daerah yang mengalami tekanan ekonomi. Mereka berharap agar presiden terpilih Obama dapat memberikan solusi bagi perbaikan ekonomi lokal.

"Utahns hoping Obama plan helps local economy"
January 8th, 2009 @ 6:51pm
By John Daley http://www.ksl.com/?nid=148&sid=5267488

... Unemployment is at a 26-year high, and Utah isn't isolated from the problem. Today we talked to some people here who are hoping it will: those without jobs.
Claims for unemployment benefits in Utah this past quarter are up 150 percent compared to the same time last year. At Workforce Services today, there was no shortage of folks coming in to file for unemployment benefits or for extensions.
Utah's unemployment rate is 3.7 percent, which is about half of the national number, but many worry things are getting worse.

Job seeker Michael Dupreuy told us, "The last three weeks, I've probably been on 30 different interviews. But right now, people they're just not hardly hiring any place."
Dupreuy says he recently arrived in Utah from Bellingham, Wash. He was working on a crab boat; a well-paying, but seasonal job. When that ended, there were no jobs there, so he came back here where he'd worked a few years ago.
"I really hope Obama helps this economy, because we're really in desperate need right now. We have people who are homeless on the streets, and these people are not homeless by choice. They want work, they just can't find it. People are losing their houses every single day. The economy is just so terrible. Something drastic is going to have to happen real quick to change this economy," Dupreuy said.

Nampaknya tantangan pengembangan ekonomi lokal juga dialami oleh negara maju, dengan situasi yang begitu menekan, karena pengangguran yang tinggi telah terjadi. Formula-formula solusinya tentu spesifik lokal pula. [Risfan Munir]

Thursday, January 15, 2009

Sri Mulyani

Newsweek edisi Jan 19, 2009, mengangkat topik "Davos: Recession Winner". Di bagian Southeast Asia yang ditampilkan Sri Mulyani, sebagai sang Srikandi. James Castle, konsultan bisnis memujinya dengan mengatakan, "She could be the finance minister anywhere in the world."

Di bawah ini beberapa potong kutipan dri artikel tersebut.

Indonesia is managing the global recession better than most, thanks to its tough finance minister...

Indeed, Indonesia is one of just three major emerging economies forecast to grow faster than 4 percent in 2009. The other two—China and India—have decelerated more rapidly in recent months and face tougher policy challenges. Mulyani says Indonesia could expand by as much as 5.5 percent this year, which is barely slower than the 6 percent it clocked in 2008, and perhaps enough to pip one of its two Asian counterparts in this year's growth race. Not bad, considering that the country's economy collapsed in 1998, shrinking 18 percent in a single year. Wolfgang Fengler, a senior economist at the World Bank, says Jakarta's macroeconomic management is now "as good as it gets."

Yet by raising pay for bureaucrats, and not demonizing those who previously took payoffs to make ends meet, she has raised standards and steeled a reputation as an incorruptible reformer. Her message to her staff is simple and positive: "I only have one goal: I want the Indonesian people to trust us, this department, because this country will go nowhere if the people don't start to trust their own government." Though nobody would yet describe Indonesia as a model of transparency, the changes in its taxation and customs administrations have been profound, and in turn have enhanced Indonesia's growth potential to the point that "the world needs to update the way it thinks about the country," wrote Nicholas Cashmore, CLSA investment bank's Indonesia analyst, in mid-2008, declaring: "Southeast Asia's largest economy is in great shape." And thanks to Mulyani, Indonesia is garnering more respect by the day.

Dari beberapa potong kutipan di atas rasanya kok ada harapan bagi masa depan negeri ini. Adalah leader yang relatif muda yang smart dan berani tegas, tidak korup di negeri ini. Semoga mengaspirasi yang lain.[Risfan Munir]

Monday, January 12, 2009

Geografi Ekonomi

Akhirnya terbaca juga tanggapan Bang Nuzul Achjar atas WB Report: "Reshaping Economic Geography," di TEMPO (18-1-09). Selamat!

Kalau boleh mengapresiasi, dan mencoba mengunyahnya, ada beberapa yang saya tangkap.
Pertama, mengutip Isard, "the world is not flat", ada yang menambahi "there are mountains". Nyatanya landscapenya begitu. Yang penting "inclusive" kesimpulan WB.

Tentu tidak boleh nrimo begitu saja. Inilah tugas regional planning. Mengimbangi side effect dari kebijakan ekonomi makro yang abai terhadap pemerataan antar wilayah.

Diapresiasi juga bahwa pemerintah Indonesia sejak Pelita III (orba) telah mengadopsi kebijakan pengembangan wilayah, berturut-turut dengan berbagai variasi dan versi. Catatan Bang Nuzul tentang kelemahan pendekatan pemerintah selama ini: (1) terlalu supply driven, tanpa memperhatikan skala ekonomis. (RM: artinya kurang melihat demand, pasarnya siapa). (2) dalam penetapan pusat dan perwilayahan, pemerintah kurang mempertimbangkan keunggulan geografis, lebih banyak berdasar bargain politik.

Yang paling menarik bagi saya, Bang Nuzul pengangkat pendapat-pendapat yang menyarankan pentingnya: pengembangan institusi, good-governance, social capital, dan peran kepemimpinan daerah yang punya visi dan INOVASI untuk menerobos kebuntuan penyediaan pelayanan dan infrastuktur dasar.

Baru-baru ini saya baca buku "The Elephant and the Dragon", yang mengisahkan kebangkitan raksasa ekonomi India dan China. Akhirnya devision of labor antar wilayah/negara terjadi. Negara kaya (lama) seperti USA, Eropa Barat jadi pasar, China yang memproduksi barang, India melakukan pekejaan jasa (online, menjawab telpon, ICT lainnya). Itu yang akhirnya mengalihkan banyak pekerjaan ke kedua rksasa baru. Orang di negara maju kalau bukan investor kaya, ya kebagian jadi tukang pipa, tukang potong rambut, tukang taman, yang sifatnya lokal, tak bisa dialihkan ke India atau diproduksi di China. Distance bukan kendala kalau economic of scale bisa nutup ongkos transpor. Bisakah pada skala dalam negeri, daerah-daerah kita mengambil alih berbagai kegiatan ekonomi dari Jakarta atau P. Jawa? Artinya menciptakan skala ekonomi, yang basisnya adalah regional advantage, good-governance, social capital (trust), dan innovative leader seperti catatan Bang Nuzul di atas? Kalau ingat bahwa era otonomi ini juga memunculkan model Fadel, 10 tokoh Tempo itu, dst. Rasanya harapan pemerataan tidaklah berlebihan.
Sekali lagi selamat untuk Bang Nuzul!
[Risfan Munir]

Wednesday, January 07, 2009

Menengok Ide Pemerataan Pembangunan

Sejarah pendekatan untuk pemerataan pembangunan, menurunkan indeks primacy, cukup panjang.
Tadinya para ahli optimis seiiring meningkatnya pembangunan, akan terjadi pemerataan antar lapisan, antar daerah. Nyatanya tidak.

Kemudian muncul pendekatan-pendekatan untuk pemerataan, dengan spektrum mulai yang konservatif (pertumbuhan & pemerataan) s/d yang radikal ke-kiri-kirian.

Kalau diadopsi dalam pengembangan wilayah, tadinya orang percaya "perwilayahan & sistem orde kota-kota", tapi kemudian realita menunjukkan sistem itu lebih menyedot surplus daerah ke pusat-pusat wilayah, nasional, dunia. Maka yang radikal mengusulkan community development, bahkan "ketertutupan wilayah" (terrutory closure). Termasuk John Friedman yang awalnya mempromosikan national regional planning (sistem perwilayahan) akhirnya mengevaluasi pendekatannya, bahkan memperkenalkan pendekatan ala "Mao" untuk fokus pembangunan pada desa-desa.

Para pendukung "dependency theory" percaya bahwa negara-negara kapitalis pinggiran (a.l. Indonesia) hanya akan menyedot surplus desa-desanya, untuk dialirkan ke kota kecil, sedang, besar, lalu ke pusat-pusat kapitalis dunia.
Mau satu kota primate, dua, tiga dalam sistem yang kapitalistik tetap saja fungsinya menyedot surplus dari sistem wilayah di bawahnya.

Proses pembangunan di Indonesia tak lepas dari permasalahan itu. Tuntutan dari pembela komunitas, desa, daerah sudah berlangsung sejak 50an. Semua diadopsi saja oleh Pemerintah, dengan "trilogi pembangunan". Ya sistem perwilayahan dan orde kota-kota, juga pembangunan pedesaan, juga yang berbasis "kebutuhan dasar" ala PNPM, BLT saat ini. Tapi pada masa orde baru, semuanya pengambil keputusannya masih terpusat.

Baru setelah reformasi 1998, terjadi lompatan pemberian otonomi pada daerah. Diikuti alokasi dananya. Ini tentu energi baru, peluang besar bagi regional planning. Tanpa harus lompat pada pilihan radikal yang kekiri-kirian.

Dialektika terjadi, dari kekagetan, eforia, lalu sebagian mulai bisa mengisi arti otonomi itu. Ada juga revisi dari UU22/1999 ke UU32/2004 yang memberi peran pada provinsi.
UUPR juga mengadopsi semua itu.

Jadi masa ini adalah peluang besar untuk menguatkan daerah, baik dalam pembangunan ekonomi, maupun penataan ruang. Karena ini termasuk urusan-urusan yang menjadi mandat daerah.

Tinggal tugas para (regional) planner, bagaimana ikut meningkatkan kapasitas daerah dalam memafaatkan otonomi. Bagaimana mendorong kerjasama antar daerah.

Apakah regional planner di tingkat pusat perlu? Tentu tetap perlu. Terutama dalam tur-bin-was, menyusun dan mengawal standar (teknis, pelayanan) mendorong kerjasama antar daerah. Perencanaan ruang nasional tetap prlu, tapi basisnya adalah prinsip "sistem ruang yang tedesentralisasi".

Juga, mnndorong sharing inovasi antar daerah. Antara lain dengan promosi inovasi daerah. PU sendiri termasuk yang maju dengan mengadakan PU Award, sebagai dorongan kompetisi antar daerah.

Mainstream ini seolah menantang kepada para regional planner. Di masa lalu menuntut, sekarang tiap region punya otonomi. Ilmu regional /city planning mu bisa kau terapkan disitu. Silahkan garap itu. Ingat di negaramu ada 33 provinsi, 472 kabupaten/kota yang menurut UU punya otonomi.

Wacana lain seiring reformasi juga perhatian pada wawasan maritim, kualitas lingkungan dan kebencanaan. Itu juga perlu manjadi agenda pengembangan wilayah.(Risfan Munir,
Regional & Urban Planner)






[Risfan Munir]

Sunday, January 04, 2009

Fast Cities

Ekonomi kreatif, atau ekonomi yang ditopang oleh industri kreatif memerlukan persyaratan lingkungan sebagai media yang mengembangkannya. Maka muncullah istilah "fast city", ini adalah sebutan untuk kota yang berkembang cepat karena terkonsentrasinya para genius. Ini istilah yang diciptakan majalah Fast Company, edisi Juli/Agustus 2007, sebagaimana dikutip Bre Redana yang membahas kota yang kondusif bagi ekonomi kreatif (Kompas, 4-1-2009).

Ciri-cirinya antara lain: beraglomerasinya orang-orang berbakat (kreatif), lingkungan yang stimulatif, aman, bebas dari gangguan dan kecemasan. Selain punya faktor-faktor konkrit seperti tersedianya lembaga pendidikan yang memadai, dan elemen tangible lain, juga elemen intangible seperti sistem nilai, gaya hidup, dan bagaimana individu mengidentifikasikan diri dengan kotanya. Pada intinya, individu-individu kreatif itu berada pada lingkungan (massa kritis) yang pikirannya terbuka, bisa menerima ulah para insan kreatif yang sering kali penampilan dan kelakuannya aneh-aneh.

Secara longgar untuk Indonesia Bre Redana menilai Bandung dan Bali yang relatif memenuhi prasyarat tersebut. Apakah memang begitu? Bagaimana dengan Yogya? [Risfan Munir]

Thursday, January 01, 2009

Pro-Kontra Menaikkan Upah Minimum

Apakah menaikkan UMK/P memang kebijakan yang tepat? Dengan menaikkan UMK/P kepala daerah menyenangkan buruh, tetapi membuat pengusaha mengerutkan dahi. Persoalannya tepatkah waktunya. Ada kala dimana pengusaha untung lebih, karena prestasi karyawan baik dan kondisi industri serta ekonomi mendukung, sehingga sudah seharusnya karyawan juga ikut menikmatinya.

Namun dalam kasus belakangan, tuntutan kenaikan UMK/P itu lebih didorong oleh meningkatnya biaya hidup, atau inflasi, karena berbagai masalah yang mendera kondisi industri dan ekonomi nasional. Ini yang repot, karena pada saat karyawan kesulitan karena daya beli merosot, perusahaan juga mengalami kesulitan akibat permintaan menurun, sementara biaya-biaya naik.

Dalam situasi seperti ini pemerintah daerah dihadapkan pada pilihan, untuk memenuhi tuntutan buruh, atau mempertimbangkan situasi dunia usaha. Kebijakan yang sekedar populis akan berusaha menyenangkan buruh (pemilih), tetapi bisa menyulitkan pengusaha, dan kalau terdesak mereka akan memindahkan (relokasi) usahanya ke daerah lain atau negara lain.

Untuk diskusi ini, layak disimak pendapat Faisal Basri yang mengingatkan “secara keseluruhan, upah minimum naik itu baik, tetapi perprovinsi itu sulit. Industri di Banten pindah ke Sukabumi yang upah minimumnya lebih rendah, Buruh pabrik itu yang kemudian menjadi korban karena mereka jadi pengangguran” (Kompas, 31-12-2008).

Dalam hal ini sebaiknya Pemda tidak mengeluarkan kebijakan sepihak saja. Kalau toh harus memenuhi tuntutan buruh untuk menaikkan UMK/P, maka sebaiknya diimbangi dengan memberikan kemudahan kepada pengusaha untuk meringankan biaya produksi. Banyak keluhan pengusaha tentang adanya macam-macam pungutan yang resmi dan tak resmi, itu mesti dikurangi. Bisa juga mengambil langkah yang meingankan biaya hidup buruh, seperti menyediakan lahan untuk tempat tinggal buruh, sehingga biaya hidup buruh lebih ringan. Di kota Tengerang, misalnya, pada era 1990 an dahulu, ada kerjasama antara “perusahaan – Pemda – masyarakat” dalam menyediakan ‘pemondokan’ bagi karyawan. Pemda memfasilitasi, masyarakat (mampu) menyewakan lahan, perusahaan yang membiayai pembangunannya. Pemilik tanah menerima uang sewa (murah) dan memiliki bangunannya setelah masa kerjasama berakhir nanti. [Risfan Munir, Local Economic Governance Specialist]