Saturday, January 24, 2009

Pembelajaran Regional Planning

Dari diskusi belakangan rasanya saya dapat banyak pelajaran.

Pertama, lebih memahami idiom John Friedman (bapak regional planning), "planning as a learning process" dari stakeholders wilayah. Dalam pengembangan wilayah secara partisipatif, a.l. melalui "kemitraan klaster". Dari pengalaman memfasilitasi proses kemitraan tersebut banyak terungkap kekayaan "tacit knowledge", kearifan komunitas (atau apa namanya) yang seharusnya menjadi explicit knowledge yang potensial bagi pengembangan industri yang lebih formal. Ini yang sering "tercuri" pihak luar tanpa disadari. Orang luar lebih menghargai (dan mengomersialkan) nya dari bangsa sendiri.

Kedua, mainstream pemikiran regional planning (RP) kita umumnya masih "dari pusat untuk daerah", belum "oleh dan untuk daerah". Seperti diskusi menyemai manufaktur di timur. Masih didominasi sudut pandang Pusat. Sehingga kalau sulit, ditunjuk jadi sentra (PKN) alot, ya ditinggal saja. Ini tentu beda dengan sudut pandang si "daerah", kalau planner kerja di daerah akan mencari cara terus agar daerahnya ekonominya maju, mau jadi Orde berapa tak jadi soal, pokoknya maju terus untuk memberi lapangan kerja penduduknya yang tumbuh pesat. Sepertinya "otonomi daerah" masih belum jadi betul-betul diterima penuh.

Ketiga, dua hal di atas itu yang menurut saya membuat kecenderungan selalu agregatif, tidak peka atas "grains" peluang-peluang yang terbuka di tiap daerah yang seringkali spesifik. Pola pendekatan juga masih cenderung "deduktif" bukan "induktif" yang lebih berempati pada karakter lokal. Beda dengan sejarah regional planning di negara asalnya, yang dari perencanaan2 lokal menjadi perencanaan wilayah skala nasional, di negara sedang berkembang sudah jadi paket konsep yang masuk dari skala nasional, dengan daerah sebagai sub-wilayahnya.

Keempat, kalau kita ingat AO Hirshman, dan strategi pengembangan ekonominya. Dia sebut ada dua instrumen: social overhead capital (SOC) dan direct productive activity (DPA). Sejarah masuknya RP di negara kita dari bidang prasarana dan permukiman, sehingga umumnya bias ke SOC. Diharapkan dengan sistem pusat-pusat dan jaringan prasarananya maka kegiatan industri akan terpanggil. Sementara mengenai pengembangan DPA, seperti di luar wacana RP. Sehingga konsep pengembangan klaster industri, menjadi kurang dipertimbangkan sebagai instrumen RP.

Kita tidak sedang debat "ship follow the trip" atau sebaliknya. Prasarana dulu baru industri atau sebaliknya. Tapi dinamika lokasi-alokasi, pendekatan supply-chain management industri yang berskala antar wilayah, antar negara seperti sekarang ini layak menjadi perhatian pemerhati RP juga. Sekarang ini layanan pelanggan via telpon di USA ternyata penjawabnya di India. Kita juga sudah tidak tahu merek apa dibuat dimana oleh siapa, pemegang sahamnya dari mana. Inikah geografi ekonomi baru itu? Borderless?

Sekali lagi sebagai proses pembelajaran banyak hal menarik. Perubahan otonomi (alokasi kewenangan dan dana ke daerah), demokratisasi, sistem manufaktur terjadi sangat dinamis, fenomena industri kreatif yang melekat pada kekhasan dinamika komunitas. Mungkin perlu pendekatan yang lebih appreciative terhadap kondisi yang ada, daripada analisis persoalan berkepanjangan yang berhenti dengan ditemukannya si "kambing hitam."

Dengan dinamika situasi lingkungan itu, mungkin perlu dipikirkan juga "kepastian" sebuah rencana jangka panjang dalam situasi yang "tidak pasti", dimana asumsi, variabel2, driving forcesnya sulit diprediksi. Dalam skala nasional ataupun wilayah. Apalagi kalau itu jadi produk hukum yang mengikat.

Mungkin para ahli RP juga perlu barbagi tugas, tidak harus homogen. Ada yang fokus ke isyu lingkungan hidup: climate change, deforestation, banjir, dst. Ada yang fokus ke isyu pengembangan ekonomi wilayah, dinamika kegiatan ekonomi (mikro) dst. Ada yang fokus pada aspek-aspek kelembagaan, hubungan antar kewenangan, corporate social responsibility, social capital, dan isyu sosial-ekonomi terkait. Pertimbangan perlu selalu komprehesif, tapi ....

Kata Peter Drucker "masalahnya bukan sulitnya menerima hal baru, tapi meninggalkan yang lama." Ini tentu tantangan bagi semua.
[Risfan Munir]

No comments: