Sunday, January 25, 2009

Proses Produksi dan Model Pengembangan Wilayah

Sedikit tambahan untuk posting sebelumnya. Dinamika lokasi-alokasi, pendekatan supply-chain dalam proses produksi yang berskala antar wilayah, antar negara seperti sekarang ini layak menjadi perhatian pemerhati regional planning (RP) juga.
Contoh kecil saja, 'klaster' industri kecil bordir di sekitar Bukittinggi (Agam, Padang Panjang, Tanah Datar), mereka mengandalkan keunggulan talent, tradisi, kerajinan. Agak menyimpang dari teori lokasi, karena bahan diperoleh dari Jawa Barat (Bandung, Banjaran), benang juga dari Bekasi, aksesori dari Tanah Abang. Lalu produknya sebagian dijual di Tanah Abang, atau ekspor ke Malaysia, Singapore, Brunai. Andalan dari sistem pemasok (hulu) dan jaringan pedagang (hilir) adalah diaspora perantau Minangkabau, baik yang sekolah (di Jawa) atau kerabat yang bekerja di daerah/negara lain. Saya tidak tahu PKN di Sumatera Barat, tapi tampaknya Kota Padang tidak mereka lewati.

Contoh lain, industri kecil tenun ikat. Daerah NTB, NTT, atau Timor Timur punya nama, tapi tenun ikat itu (yang dijual di Bali) banyak yang dibuat di desa Troso Jepara.

Produk-produk garmen (kompeksi) yang di Sukowati Bali sebagai pusat penjualannya, hampir semua diproduksi di Jawa Timur, Jawa Tengah, yang punya pengrajin dan pekerja dalam jumlah besar dengan ongkos relatif murah. Juga produk furnitur dan interior, talent, tradisi dan pekerja dalam skala ekonomi tertentu ada di desa-desa di Jawa Tengah, Jawa Timur. Bali telah menjadi outlet regional, dan mereka kian pandai dalam branding (label Bali, tapi dibuat di daerah anu).

Kasus lain adalah jejaring budi daya dan perdagangan "tanaman hias" di pulau Jawa. Ternyata mereka itu membentuk jaringan yang timbal-balik. Artinya kalau ada pameran atau bursa di Lapangan Banteng, maka semua simpul-simpul di Jawa Barat, Tengah, Timur (Batu) bisa memasok. Sebaliknya kalau ada pamer/bursa di Temanggung (Jateng) atau Batu, yang dari Bogor, Puncak juga bisa memasok, sesuai keunggulan jenis tanaman masing-masing. Mereka tidak mengandalkan satu "pusat" tertentu.

Pada kasus industri kretek, pabrik rokok di Kudus (Jarum) misalnya bisa dipasok tembakau dari daerah mana saja, seperti juga pabrik rokok di Kediri (Gudang Garam), Surabaya Jisamsu), bisa punya kebun atau pemasok tembakau di Jawa Tengah. Bahkan sebagian mereka juga membuat rokoknya bukan di pabrik utama tapi di desa-desa dimana buruh/petani tinggal.

Bebepa waktu yang lalu, secara tak sengaja saya juga jadi penghubung antara kelompok pengusaha dan Pemda dari Enrekang, Wajo dengan Tasik, Sleman, Kediri, saya tidak ikut detail selanjutnya. Tapi kabarnya telah terjadi transaksi saling kirim produk masing-masing secara periodik.

Realita-realita itu bisa saja dipandang kecil. Tapi mungkin merupakan "grains" yang bisa jadi "drains." Dan bisa mempengaruhi cara pandang terhadap sistem pusat-pusat, perwilayahan dan pola hubungan antar wilayah. Yang jelas pola hubungan jaringan mata rantai produksi itu kok anomali terhadap sistem dan orde-orde hirarkhi permukiman.

Asumsi pusat-pusat utama disiapkan untuk mengundang investor manufaktur asing (FDI). Kenyataannya keputusan investasi itu kok tergantung korporat ybs dan situasi ekonomi dunia. Di luar kontrol siapapun, termasuk pemerintah. Bicara mobil misalnya, sekarang hanya tinggal beberapa merek dan jenis saja yang diasembling di Indonesia. Mungkin tinggal jenis/kelas Kijang, Avanza/ Xenia, Rush/ Terrios yang diasembling disini, kelas Vios saja diasembling di negara lain.

Faktanya, 99 pesen perusahaan dan 98 pekerja di Indonesia adalah di sektor UMKM. Apakah "klaster-klaster" UMKM diatas harus dipindahkan ke kawasan industri, PIK, LIK di pusat-pusat, kota-kota? Ini yang kadang pikiran pemerintah dalam pembinaan dan "menata-ruang".
Padahal kekuatan mereka justru ada dikomunitas-komunitas dimana mereka berada, telah mentradisi, social capitalnya sudah berkembang. Kalau mereka dicabut dari "akar komunitas" nya, maka bubarlah social capital itu, dan kemampuan produksi mereka merosot. Kalau kebetulan lewat Koto Baru antara Padang Panjang ke Bukittinggi akan tampak kompleks ruko kosong, sebagai bukti bahwa relokasi komunitas produsen/pedagang itu tidak mudah.

Ini sebetulnya masalah klasik. Lokasi industri punya dinamika sendiri. Yang besar, yang umumnya terkait jaringan proses manufaktur skala transnasional. Dulu industri substitusi impor memang tumbuh di kota inti, tapi sekarang kok malah dipindah (bukan ke Makassar) di Thailand, Vietnam.
Sementara industri kelas UMKM melekat pada lokasi komunitas-komunitas yang menumbuhkannya.
Di sisi lain permukiman di Indonesia mengikuti pusat-pusat kekuasaan, traffic-junction, lokasi perdagangan.
Kenyataannya, sistem permukiman dan sebaran lokasi industri bisa merupakan hal yang berbeda. Ini memang tidak bisa dijawab dengan sekedar berpihak atau adu perundangan. Tapi perlu kajian yang didasari riset yang memadai.
Yang pasti para pelaku ekonomi (industri) punya logika dan pemahaman realistisnya sendiri sehingga mampu tumbuh dan survive. Ada perencana spatial yang merencana "taman" berdasarkan "jejak kaki mereka yang biasa lewat", ada yang merencana berdasarkan "lurus lengkung penggarisnya" sendiri. Perencanaan sistem pusat-pusat sudah berumur 20 tahun, berapa persen sarannya yang jalan, yang pola tumbuhnya sesuai rencana, kenapa sesuai? Yang lambat atau menyimpang kenapa? Adakah pusat lain yang di luar rencana tapi tumbuh, apa yang mendorongnya? Bagaimana implikasi otonomi daerah atas perubahan pola sistem ruang/pusat itu? Dst. [Risfan Munir]

No comments: