Sejarah pendekatan untuk pemerataan pembangunan, menurunkan indeks primacy, cukup panjang.
Tadinya para ahli optimis seiiring meningkatnya pembangunan, akan terjadi pemerataan antar lapisan, antar daerah. Nyatanya tidak.
Kemudian muncul pendekatan-pendekatan untuk pemerataan, dengan spektrum mulai yang konservatif (pertumbuhan & pemerataan) s/d yang radikal ke-kiri-kirian.
Kalau diadopsi dalam pengembangan wilayah, tadinya orang percaya "perwilayahan & sistem orde kota-kota", tapi kemudian realita menunjukkan sistem itu lebih menyedot surplus daerah ke pusat-pusat wilayah, nasional, dunia. Maka yang radikal mengusulkan community development, bahkan "ketertutupan wilayah" (terrutory closure). Termasuk John Friedman yang awalnya mempromosikan national regional planning (sistem perwilayahan) akhirnya mengevaluasi pendekatannya, bahkan memperkenalkan pendekatan ala "Mao" untuk fokus pembangunan pada desa-desa.
Para pendukung "dependency theory" percaya bahwa negara-negara kapitalis pinggiran (a.l. Indonesia) hanya akan menyedot surplus desa-desanya, untuk dialirkan ke kota kecil, sedang, besar, lalu ke pusat-pusat kapitalis dunia.
Mau satu kota primate, dua, tiga dalam sistem yang kapitalistik tetap saja fungsinya menyedot surplus dari sistem wilayah di bawahnya.
Proses pembangunan di Indonesia tak lepas dari permasalahan itu. Tuntutan dari pembela komunitas, desa, daerah sudah berlangsung sejak 50an. Semua diadopsi saja oleh Pemerintah, dengan "trilogi pembangunan". Ya sistem perwilayahan dan orde kota-kota, juga pembangunan pedesaan, juga yang berbasis "kebutuhan dasar" ala PNPM, BLT saat ini. Tapi pada masa orde baru, semuanya pengambil keputusannya masih terpusat.
Baru setelah reformasi 1998, terjadi lompatan pemberian otonomi pada daerah. Diikuti alokasi dananya. Ini tentu energi baru, peluang besar bagi regional planning. Tanpa harus lompat pada pilihan radikal yang kekiri-kirian.
Dialektika terjadi, dari kekagetan, eforia, lalu sebagian mulai bisa mengisi arti otonomi itu. Ada juga revisi dari UU22/1999 ke UU32/2004 yang memberi peran pada provinsi.
UUPR juga mengadopsi semua itu.
Jadi masa ini adalah peluang besar untuk menguatkan daerah, baik dalam pembangunan ekonomi, maupun penataan ruang. Karena ini termasuk urusan-urusan yang menjadi mandat daerah.
Tinggal tugas para (regional) planner, bagaimana ikut meningkatkan kapasitas daerah dalam memafaatkan otonomi. Bagaimana mendorong kerjasama antar daerah.
Apakah regional planner di tingkat pusat perlu? Tentu tetap perlu. Terutama dalam tur-bin-was, menyusun dan mengawal standar (teknis, pelayanan) mendorong kerjasama antar daerah. Perencanaan ruang nasional tetap prlu, tapi basisnya adalah prinsip "sistem ruang yang tedesentralisasi".
Juga, mnndorong sharing inovasi antar daerah. Antara lain dengan promosi inovasi daerah. PU sendiri termasuk yang maju dengan mengadakan PU Award, sebagai dorongan kompetisi antar daerah.
Mainstream ini seolah menantang kepada para regional planner. Di masa lalu menuntut, sekarang tiap region punya otonomi. Ilmu regional /city planning mu bisa kau terapkan disitu. Silahkan garap itu. Ingat di negaramu ada 33 provinsi, 472 kabupaten/kota yang menurut UU punya otonomi.
Wacana lain seiring reformasi juga perhatian pada wawasan maritim, kualitas lingkungan dan kebencanaan. Itu juga perlu manjadi agenda pengembangan wilayah.(Risfan Munir,
Regional & Urban Planner)
[Risfan Munir]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment