Sebagaimana dalam mempelajari proses "urbanisasi" (meng-kota) mau tak mau mesti menengok juga aspek budaya (anthropologis) nya. Dulu bacaan yang membantu antara lain kajian antropologi Clifford Geertz, "Agriculture Involution", dan "Peddlers and Princess" , serta "Mojokuto" terbitan MIT. Tiga buku yang mengisahkan terbentuknya sifat urban, dari tekanan hidup perdesaan, dan peran kewirausahaan. Ketiganya adalah bacaan yang menyenangkan, seperti membaca novel.
Mengingat itu, dalam diskusi "pengembangan ekonomi lokal" saya jadi tertarik membaca buku, "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds) karya Stanley Ann Dunham.
Penulis buku ini sangat mengenal seluk-beluk kerja industri kerajinan dan pemasarannya, yang didalaminya selama bekerja dan visits ke berbagai daerah di Indonesia di Jawa, Bali, Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dalam kurun 20 tahun. Dia lakukan sebagai eksekutif di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM), konsultan Bappenas, Dept Perindustrian, Bank Rakyat Indonesia, sebagian besar atas sponsor USAID.
Buku ini merupakan bagian dari disetasinya, tahun 1992, yang memfokuskan kajian pada komunitas industri kerajinan logam, khususnya "pandai besi", dan secara mendalam dengan kasus tiga desa: Kajar, Hadipolo, Kuniran, di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Disini dia menunjukkan pemahamannya tentang dinamika industri kecil selama dua dekade itu, yang membuat pandangannya beda dengan anthropolog terdahulu: JH Boeke (yang memunculkan istilah dualistic economy) maupun Geertz.
Dia mengkritik pendapat Boeke tentang orang desa, "Mereka tidak punya kemampuan organisasi dan disiplin kerja ..." yang sayangnya juga dianut sebagian birokrat kita. Juga perkataan C. Geertz, "Kerajinan dan industri berbasis pedesaan sudah hampir punah, dan sekarang hanya marginal." Sebaliknya Ann Dunham membuktikan bahwa banyak kerajinan di Indonesia yang, seperti judul disertasinya: "Bertahan dan Berkembang Pesat."
Perbedaan dengan kajian pendahulunya yang umumnya di desa berekosistem persawahan di dataran rendah, Ann lebih fokus ke desa yang punya kegiatan non-pertanian.
Dia juga mencatat perkembangan kebijakan pemerintah, sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga masa Orde Baru, dan pengaruhnya kepada perkembangan industri kecil, yang selalu dianggap sebagai (katup) penyerap kelebihan angkatan kerja.
Namun suatu kajian antropologi tentu kelebihannya bukan pada aspek strategi, kebijakan atau analisis statistiknya, tapi pada ketajamannya menyelami dinamika komunitas industri tersebut.
Ann menemukan persamaan bentuk kegiatan "padai besi" (Minang: apa bassi, Toraja: da'po bassi) di seluruh wilayah Nusantara, yaitu adanya unit tungku per-api-an (Jawa: perapen), sepasang ubub (peniup api), lubang api, penandasan (landasan untuk menempa), palung penyepuhan, tempat penyimpan arang, penyimpan besi, tempat pengikiran.
Lokasi dan penyebaran pandai besi umumnya berkelompok, namun beragam dari 5 perapen sampai 300 perapen, atau rata-rata 30an perapen per kelompok. Sebagaimana dalam teori lokasi pengelompokan ini memungkinkan mereka saling tukar pengetahuan, berbagi order, menekan ongkos transportasi, menekan harga input. Karena pada awalnya produksi pandai besi terutama alat pertanian maka populasinya berkorelasi dengan kepadatan penduduk petani.
Dari segi sosio-ekonomis, perapen bukan hanya berarti "tungku api", tapi juga berarti "kelompok kerja." dalam setiap perapen ada: (a) Empu atau kepala kelompok kerja yang mengatur produksi, kuantitas dan kualitasnya, (b) panjak atau tukang pengayun palu (penempa), (c) tukang ubub yaitu pemompa angin ke tungku, (d) tukang kikir yang menghaluskan produk.
Dalam komunitas pandai besi ditemukan pola hubungan atau struktur bisnis yang berjenjang. Terdiri dari: (1) pedagang bahan baku dan produk pandai, disebut juga "empu pedagang", (2) pemilik perapen indepeden, (3) pemilik perapen dependen, dan (4) pekerja upahan.
Mengenali pola hubungan keempat aktor ini penting, karena disitu lah perkembangan dan keberlangsungan industri kecil pandai besi ini ditentukan. Setiap desa atau komunitas bisa merupakan kasus yang berbeda.
Empu pedagang punya kekuatan dari modal dan kemampuan nya berhubungan dengan pasar dan pemasok bahan baku di kota, punya kendaraan (mini truk), gudang. Dia tidak terlebat produksi perapen, tapi peranannya menentukan bagi pemilik perapen dependen. Sumber keuntungannya dari margin harga pasokan dan margin harga jual produk.
Pemilik perapen independen berperan sebagai produsen, tapi juga harus mencari bahan baku sendiri, dan mengurus pemasaran juga. Ini tentu membutuhkan keahlian lebih, juga modal.
Pemilik perapen dependen menggantungkan usahanya kepada empu pedagang. Tampaknya ini menyedihkan, tapi pada umumnya hubungan itu atas inisiatif si pemilik perapen dependen, berdasarkan perhitungan rasional. Biasanya alasannya adalah kebutuhan modal, economic of scale usahanya, dan manajemen risiko. Dengan bermitra dengan empu pedagang, mereka bisa konsentrasi di produksi.
Keputusan untuk bermitra di antara mereka menjadi bahan diskusi di warung kopi di antara para pandai besi. Mereka menghitung untung ruginya di atas kertas seadanya. Tapi itu rasional. Jadi menepis pendapat Boeke bahwa masyarakat desa (pribumi) tidak bisa berfikir rasional layaknya dalam bisnis.
Hasil kajian anthropologi ini merupakan salah satu referensi yang penting untuk lebih mengenal pola dan dinamika ekonomi industri kecil, juga pola hubungan antar aktor. Sehingga bisa jadi masukan bagi penentu kebijakan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pemerintah justru menggunakan "empu pedagang" untuk menyalurkan berbagai bantuan bagi usaha mikro, sehingga empu pedagang (saja) yang menikmatinya. Mereka seperti mendapat modal tambahan secara gratis.
Banyak kalangan birokrat masih seperti Boeke, memandang ”industri kecil” hanya sebagai katup penyerap lapangan kerja, bukan sebagai sektor produksi yang sesungguhnya. Namun statistik saat ini menunjukkan bahwa kontribusi industri kecil sebagai penyumbang devisa non-migas besar. Dari pengalaman saya dalam pendampingan ”klaster pengrajin logam” di Cisaat (Cibadak, Jawa barat) semasa PERFORM Project terbukti bahwa pengrajin logam disitu sudah memasok spare-part ke Astra (sepeda motor), Sanyo, peralatan rumah sakit, dst, di luar alat-alat pertanian. Di Kota Pematang Siantar, stakeholders UMKM yang difasilitasi program LGSP juga termasuk kelompok produsen (logam) alat pertanian. Sekali lagi, ini membuktikan kebenaran thesis Ann Dunham.
Selama membaca buku ini, saya sebagai penggiat Pengembangan Ekonomi Lokal diliputi rasa haru. Merasakan dedikasi dan kegairahan Ann Dunham meneliti dan menaruh optimisme pada industri kecil di Indonesia. Beliau telah meninggal pada tahun 1995, tanpa sempat menyaksikan putranya, Barrack Obama, dilantik sebagai Presiden USA tanggal 20 Januari 2009 yl. [Risfan Munir]
Data Buku:
Dunham, Stanley Ann. "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds). Penerbit Mizan Kronik Zaman Baru. Edisi terjemahan terbit November 2008.
Mengingat itu, dalam diskusi "pengembangan ekonomi lokal" saya jadi tertarik membaca buku, "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds) karya Stanley Ann Dunham.
Penulis buku ini sangat mengenal seluk-beluk kerja industri kerajinan dan pemasarannya, yang didalaminya selama bekerja dan visits ke berbagai daerah di Indonesia di Jawa, Bali, Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dalam kurun 20 tahun. Dia lakukan sebagai eksekutif di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM), konsultan Bappenas, Dept Perindustrian, Bank Rakyat Indonesia, sebagian besar atas sponsor USAID.
Buku ini merupakan bagian dari disetasinya, tahun 1992, yang memfokuskan kajian pada komunitas industri kerajinan logam, khususnya "pandai besi", dan secara mendalam dengan kasus tiga desa: Kajar, Hadipolo, Kuniran, di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Disini dia menunjukkan pemahamannya tentang dinamika industri kecil selama dua dekade itu, yang membuat pandangannya beda dengan anthropolog terdahulu: JH Boeke (yang memunculkan istilah dualistic economy) maupun Geertz.
Dia mengkritik pendapat Boeke tentang orang desa, "Mereka tidak punya kemampuan organisasi dan disiplin kerja ..." yang sayangnya juga dianut sebagian birokrat kita. Juga perkataan C. Geertz, "Kerajinan dan industri berbasis pedesaan sudah hampir punah, dan sekarang hanya marginal." Sebaliknya Ann Dunham membuktikan bahwa banyak kerajinan di Indonesia yang, seperti judul disertasinya: "Bertahan dan Berkembang Pesat."
Perbedaan dengan kajian pendahulunya yang umumnya di desa berekosistem persawahan di dataran rendah, Ann lebih fokus ke desa yang punya kegiatan non-pertanian.
Dia juga mencatat perkembangan kebijakan pemerintah, sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga masa Orde Baru, dan pengaruhnya kepada perkembangan industri kecil, yang selalu dianggap sebagai (katup) penyerap kelebihan angkatan kerja.
Namun suatu kajian antropologi tentu kelebihannya bukan pada aspek strategi, kebijakan atau analisis statistiknya, tapi pada ketajamannya menyelami dinamika komunitas industri tersebut.
Ann menemukan persamaan bentuk kegiatan "padai besi" (Minang: apa bassi, Toraja: da'po bassi) di seluruh wilayah Nusantara, yaitu adanya unit tungku per-api-an (Jawa: perapen), sepasang ubub (peniup api), lubang api, penandasan (landasan untuk menempa), palung penyepuhan, tempat penyimpan arang, penyimpan besi, tempat pengikiran.
Lokasi dan penyebaran pandai besi umumnya berkelompok, namun beragam dari 5 perapen sampai 300 perapen, atau rata-rata 30an perapen per kelompok. Sebagaimana dalam teori lokasi pengelompokan ini memungkinkan mereka saling tukar pengetahuan, berbagi order, menekan ongkos transportasi, menekan harga input. Karena pada awalnya produksi pandai besi terutama alat pertanian maka populasinya berkorelasi dengan kepadatan penduduk petani.
Dari segi sosio-ekonomis, perapen bukan hanya berarti "tungku api", tapi juga berarti "kelompok kerja." dalam setiap perapen ada: (a) Empu atau kepala kelompok kerja yang mengatur produksi, kuantitas dan kualitasnya, (b) panjak atau tukang pengayun palu (penempa), (c) tukang ubub yaitu pemompa angin ke tungku, (d) tukang kikir yang menghaluskan produk.
Dalam komunitas pandai besi ditemukan pola hubungan atau struktur bisnis yang berjenjang. Terdiri dari: (1) pedagang bahan baku dan produk pandai, disebut juga "empu pedagang", (2) pemilik perapen indepeden, (3) pemilik perapen dependen, dan (4) pekerja upahan.
Mengenali pola hubungan keempat aktor ini penting, karena disitu lah perkembangan dan keberlangsungan industri kecil pandai besi ini ditentukan. Setiap desa atau komunitas bisa merupakan kasus yang berbeda.
Empu pedagang punya kekuatan dari modal dan kemampuan nya berhubungan dengan pasar dan pemasok bahan baku di kota, punya kendaraan (mini truk), gudang. Dia tidak terlebat produksi perapen, tapi peranannya menentukan bagi pemilik perapen dependen. Sumber keuntungannya dari margin harga pasokan dan margin harga jual produk.
Pemilik perapen independen berperan sebagai produsen, tapi juga harus mencari bahan baku sendiri, dan mengurus pemasaran juga. Ini tentu membutuhkan keahlian lebih, juga modal.
Pemilik perapen dependen menggantungkan usahanya kepada empu pedagang. Tampaknya ini menyedihkan, tapi pada umumnya hubungan itu atas inisiatif si pemilik perapen dependen, berdasarkan perhitungan rasional. Biasanya alasannya adalah kebutuhan modal, economic of scale usahanya, dan manajemen risiko. Dengan bermitra dengan empu pedagang, mereka bisa konsentrasi di produksi.
Keputusan untuk bermitra di antara mereka menjadi bahan diskusi di warung kopi di antara para pandai besi. Mereka menghitung untung ruginya di atas kertas seadanya. Tapi itu rasional. Jadi menepis pendapat Boeke bahwa masyarakat desa (pribumi) tidak bisa berfikir rasional layaknya dalam bisnis.
Hasil kajian anthropologi ini merupakan salah satu referensi yang penting untuk lebih mengenal pola dan dinamika ekonomi industri kecil, juga pola hubungan antar aktor. Sehingga bisa jadi masukan bagi penentu kebijakan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pemerintah justru menggunakan "empu pedagang" untuk menyalurkan berbagai bantuan bagi usaha mikro, sehingga empu pedagang (saja) yang menikmatinya. Mereka seperti mendapat modal tambahan secara gratis.
Banyak kalangan birokrat masih seperti Boeke, memandang ”industri kecil” hanya sebagai katup penyerap lapangan kerja, bukan sebagai sektor produksi yang sesungguhnya. Namun statistik saat ini menunjukkan bahwa kontribusi industri kecil sebagai penyumbang devisa non-migas besar. Dari pengalaman saya dalam pendampingan ”klaster pengrajin logam” di Cisaat (Cibadak, Jawa barat) semasa PERFORM Project terbukti bahwa pengrajin logam disitu sudah memasok spare-part ke Astra (sepeda motor), Sanyo, peralatan rumah sakit, dst, di luar alat-alat pertanian. Di Kota Pematang Siantar, stakeholders UMKM yang difasilitasi program LGSP juga termasuk kelompok produsen (logam) alat pertanian. Sekali lagi, ini membuktikan kebenaran thesis Ann Dunham.
Selama membaca buku ini, saya sebagai penggiat Pengembangan Ekonomi Lokal diliputi rasa haru. Merasakan dedikasi dan kegairahan Ann Dunham meneliti dan menaruh optimisme pada industri kecil di Indonesia. Beliau telah meninggal pada tahun 1995, tanpa sempat menyaksikan putranya, Barrack Obama, dilantik sebagai Presiden USA tanggal 20 Januari 2009 yl. [Risfan Munir]
Data Buku:
Dunham, Stanley Ann. "Pendekar-pendekar Besi Nusantara" (Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds). Penerbit Mizan Kronik Zaman Baru. Edisi terjemahan terbit November 2008.
[Reviewer: Risfan Munir, penggiat Local Economic Development]