Tuesday, January 29, 2008

Jakarta Banjir Lagi

Visit Indonesia Year 2008
Selain Valentine Day, rupanya event langganan bulan February untuk Jakarta adalah banjir musiman. Kemarin, 2-2-2008, Jakarta lumpuh. Kepala Negara dan istananya kebanjiran. Menurut Koran Tempo ada 140 titik banjir, dengan variasi kedalaman air 20 - 100 cm. Sedang jalan terendam di 64 titik, termasuk di jalan protokol Thamrin dan sekitar Taman Merdeka Monas, istana presiden dan wakil presiden.

Dampaknya banyak warga yang rumahnya tergenang. Dampak pada transpostasi, seperti biasa kemacetan lalu lintas merata hingga seluruh Jabodetabek. Beberapa koridor busway ditutup. Angkutan kereta api metro Jakarta - Tangerang terganggu karena ada longsoran.
Yang lebih dramatis, landasan Bandara Soekarno-Hatta tergenang pada dua landas pacu, mengakibatkan bandara ditutup selama hampir lima jam, sehingga 237 penerbangan terganggu jadwalnya. Banyak penerbangan tujuan Jakarta yang selain ke Halim terpaksa mendarat di Palembang, Semarang, Surabaya, Singapura. Lalu lintas Bandara ke Jakarta pp, macet total karena beberapa ruas jalan tol tergenang.

Hujan yang turun dengan durasi satu hari lebih itu telah membuat ibukota hampir lumpuh. Padahal kelihatannya hujan kali ini hanya di wilayah Jakarta, tidak di wilayah hulu (Bogor).

Mengapa kondisi fatal ini bisa terjadi?
Kalau hanya hujan lokal, berarti ini karena sistem drainase yang tidak berfungsi.
Mengapa sistem drainase tidak berfungsi? Setidaknya ada tiga sebab: (1) karena saluran mampet, (2) karena kapasitas tampung saluran tidak memadai, (3) karena permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air.

Pertama. Mengapa (1) saluran mampet? Karena lubang outlet dipenuhi sampah dan tahah, saluran penuh sampah, pendangkalan karena kotoran, bahkan terurug bangunan, jalan.
Mengapa bisa terjadi? Karena tidak ada manajemen pemeliharaan yang memadai. Karena kebiasaan masyarakat buang sampah sembarangan.
So, mengapa tidak dilakukan perbaikan manajemen pemeliharaan?
Tidak ada pengorganisasian yang jelas? Tidak ada SOP? Tidak ada pelatihan personil? Tidak ada kebijakan antar instansi yang jelas, terpadu?

Kedua. Mengapa (2) kapasitas tampung saluran tidak memadai? Karena pendangkalan makro. Karena sistem saluran dimensi dan cakupannya sudah tidak mengejar peluasan kawasan terbangun. Kata Kasi Pemeliharaan dan Pengendalian Air DPU Jakarta, 200 pompa pengendali air sudah dikerahkan tapi tak banyak berarti
Mengapa sistem tidak memadai? Karena tidak ada antisipasi dan perencanaan yang baik? Karena budget tak cukup. Katanya diperlukan sedikitnya Rp 1,1 trilliun untuk pengerukan saluran makro, sementara tahun ini anggaran cuma Rp 50 miliar.

Ketiga. Mengapa (3) permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air. Karena rencana tata ruang tidak terkoordinasi dengan rencana tata air. Karena ijin-ijin membuka lahan, membangun real-estat, mendirikan bangunan tidak dikontrol soal dampaknya pada ketinggian dan peil banjir. Pembangun berikutnya selalu lebih tinggi. D.p.l menimpakan risiko banjir ke lingkungan yang terbangun sebelumnya. Bahkan munkin tiap lingkungan baru tak jelas drainasenya disalurkan ke sistem sekunder, primer yang mana, berapa kapasitasnya.
So, perlu pemotretan lokasi-lokasi langganan banjir dan genangan. Lalu, dievaluasi ketinggian permukaannya. Mana-mana lingkungan yang jadi sebab genangan. Juga, dipetakan saluran drainase yang melayaninya. Lalu dipertajam analisis permasalahan sistem drainase tersebut.

Juga sebab makro lain, yaitu meningginya permukaan air laut. Dan, intrusi air laut ke dalam tanah, sehingga menahan aliran bawah tanah. Kelihatannya kok DKI tidak berupaya mengefektifkan antisipasi naiknya tinggi air laut, justru meningkatkan pembangunan fisik pantai.

So, mana yang mau diprioritaskan dari dua masalah besar - pengendalian banjir, pengendalian transportasi? Kejadian kemarin menunjukkan keduanya tidak bisa dipisahkan. Walau lalu-lintas terjadi harian, sedang banjir musiman. Tapi momentum Presiden dan Wakil nya yang kebanjiran itu bisa segera jadi momentum untuk meng-goal-kan kembali proposal penanggulangan banjir ibukota. Tapi kalau untuk merampungkan koridor busway saja harus memakai dana subsidi pendidikan das-men, maka untuk normalisasi darinase, juga pembangunan kanal banjir dari mana ya? Kita percaya Bang Foke tahu jawabannya.

Manajemen kinerja pemerintah DKI, atau Bang Foke, bisa dilihat dari berapa besar dampak banjir dibanding Feb 2007, lalu beberapa bulan lagi bagaimana kalau datang bencana yang sama. Bagaimana perbaikan sistem antisipasi, pencegahan dan penanggulangannya. Bagaimana prosesnya, bagaimana output dan outcome nya. Adakah perubahan, adakah tanda-tanda kesungguhan dalam menangani masalahnya? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2 Perencanaan Wilayah dan kota, ITB]

Agropolitan dan Kota Industri China

Visit Indonesia Year 2008

Bang Aunur. Wah, ber-GongXi Fatchai masih disana? Gimana sih kalau orang China asli memperingati itu? Oleh-oleh sementara ini bagi saya menguatkan kesadaran bahwa antara pembangunan ekonomi (wilayah) dan trend tumbuhnya kota-kota tidak bisa dipisahkan. Sulit bilang perencanaan wilayah/kota itu ilmu spatial/fisik atau ekonomi, atau .....ya pokoknya "wilayah" itulah dengan berbagai dimensinya.

Kalau boleh ambil pelajaran yang lain, pilihan model pengembangan wilayah itu bukanlah doktrin, tetapi pilihan berdasarkan diagnostik, sesuai kondisi potensi, fase pertumbuhan, dan masalah yang dihadapi suatu wilayah (sub-nasional) yang spesifik. Bukan satu model template, all-size, yang diterapkan seragam di seluruh negeri.
Pada masa optimis dulu, di negara kita juga diterapkan konsep transformasi struktural dari "pertanian - ke manufaktur - ke jasa", dalam sekuen Repelita I, II, dan III, sebagaimana modelnya WW Rostow. Hasilnya, swasembada pangan sempat, tapi saat ke industri? We don't know what went wrong? Or we know? Tahu-tahu kota-kota sudah jadi pusat-pusat jasa perdagangan, tapi yang dijual produk import, yang justru memukul industri lokal.

Selamat 'belajar sampai negeri China', ditunggu oleh-oleh lainnya. [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2 Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB]

Concern Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK)

Visit Indonesia Year 2008
Kalau kita baca, pelajari, amati origin dari urban planning memang macam-macam. Tapi mulanya memang dari concern. Di Inggris misalnya, concern terhadap town planning kan karena dampak revolusi industri atas buruknya lingkungan hidup perkotaan. Yang punya inisiatif awal justru para ahli kesehatan masyarakat. Lalu ide 'garden city of tomorrow' yang menjadi ide awal 'greater city' itu adalah utopia dari Ebenezer Howard yang jurnalis. Dari cetusan-cetusan concern dan ide itulah kemudian para arsitek dan insinyur merespons dan memberikan kontribusinya sebagai ahli desain dan konstruksi.

Pada sisi lain, yang tidak terpisahkan adalah perencanaan wilayah (regional planning). Tradisi perencanaan wilayah yang menonjol kemudian adalah dari USA yang punya wilayah luas, dan sejarah pengembangan wilayah dari koloni-koloni nya di pantai timur, tempat orang-orang Eropa mendarat, lalu berangsur ke West. Dipelopori oleh kafilah-kafilah para pioneer yang menjadi tema-tema film western itu. Dalam tradisi ini yang kemudian dipelajari adalah peran sebaran potensi sumber daya alam, sejarah dan karakteristik tumbuhnya kota-kota sebagai pusat pelayanan dan pusat produksi (agroindustri, tambang, manufactur). Juga pengaruh dari meluasnya jaringan transportasi, kereta api, sungai, dan kemudian jalan raya seiring revolusi otomotif. Ini adalah ladang eksplorasi atau riset para ahli geografi ekonomi. Fenomena ini yang diambil polanya, dan dikembangkan sebagai regional planning.

Perkembangan ilmu perencanaan wilayah menemukan bentuknya yang lebih sistematik antara lain setelah USA mengalami great depression, yang sebagai solusinya Franklin D Rosevelt sebagai bagian dari New Deal nya meluncurkan Tennesse Valley Authority, dengan konsep pengembangan wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), yang secara sengaja membangun bedungan serba-guna, lahan-lahan pertanian, jaringan kota-kota sebagai pusat pelayanan dan produksi, jaringan transportasinya. Ini adalah program pengembangan wilayah yang direncanakan sistematis, untuk menciptakan lapangan kerja, mendongkrak produksi.

Dari dua fenomena di atas, masing-masing kita bisa memberi istilah sendiri. Apakah itu perencanaan fisik, ekonomi, atau apa? Tapi itu kan istilah berdasarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah di Indonesia, yang membedakan pas-pal, sos-ek-bud, dan persepsi dominasi di antaranya. Juga insinyur atau sarjana ekonomi. Juga departemen apa yang berhak menangani. Ini adalah nomenklatur dan wacana kita di Indonesia saat ini. Tapi hakekatnya adalah fenomena-fenomena original di atas.

Ini kan seperti dalam agama. Ada yang bertanya Nabi Muhammad saw kok gak pakai gelar haji? Beliau ilmunya apa Fiqih, apa Usuluddin, apa Tasawuf..... ? Ini kan istilah atau nomenklatur kita sekarang, di IAIN, di Indonesia. Pada komunitas Nabi yang original dulu tidak ada pemilahan itu.

Kalau kita lihat di ITB misalnya, sekarang ini banyak jurusan/departemen yang pakai kata 'geo' dan 'physic', sementara orang jurusan fisika sendiri juga belajar subyek 'kebumian', dan orang geologi juga pasti belajar fisika. Deferensiasi dan kombinasi itu masih ditambah ada yang pakai 'teknik', ada yang tidak pakai. Jadi batas-batas itu sulit dipisahkan.

Orang instansi teknik mengatakan SWP dan Sistem Pusat-pusat itu domain penataan ruang. Tapi growth-poles, agglomeration, dst itu semua kan ditemukan oleh ekonom, geografer dan jadi pelajaran sekolah mereka? Kesimpulannya, perencanaan wilayah dan kota itu memang ilmu yang "holistik".

Ya, pokoknya Perencanaan Wilayah dan Kota. Apa itu kota? fisik kah, ekonomi kah, sosial kah? Ya tergantung kacamata yang dipakai. Kata orang jaman sekarang "holistik", "meta-disiplin" .

Kota tumbuh karena potensi dan motif ekonomi, karena orang datang untuk mendapatkan pekerjaan, mondar-mandir melakukan aktivitas kerja. Memilih tinggal disini, atau pindah kesana karena tempat kerjanya. Dan, kemampuan (ekonomi) nya untuk mengoptimalkan tempat yang aksesibel tapi affordable. Bagaimana merencanakan kota dan wilayah kalau tidak mulai dari situ. Kan tidak mungkin merencana kota/wilayah berdasarkan ilham, patok landmark (simbol dewa), terus tarik garis geometris kesana sini, apa radial, apa konsentrik, terus dilingkari pakai ring-road, dikapling-kapling.

Setelah land-suitability analysis dilakukan, kawasan-kawasan non-budidaya dipisahkan, selebihnya adalah pertimbangan ekonomi, sosial-ekonomi, efisiensi, aksesibilitas, dan juga budaya. Semua planner punya keterampilan dasar (otoritas penuh) untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, zonasi kawasan non-budidaya, tetapi untuk menetapkan persyaratan pembangunan/ pelestariannya, perlu mengundang teman dari disiplin enjineering. Dan, untuk merencanakan kawasan budi-daya, mau tak mau juga perlu kerjasama multi-disiplin dengan ahli ekonomi, sosial, budaya. Untuk merencana jaringan prasarana juga perlu mengundang ahli jalan, air bersih, sanitasi, prasarana dan utilitas lainnya.

Karena masing-masing disiplin yang berkontribusi itu, umumnya (atau diasumsikan) bukan spesialis di skope kota/wilayah, maka dari awal dituntut dari planner untuk bisa meng-guide dan memfasilitasi, memberi kerangka, agar setiap disiplin yang terlibat itu betul-betul mengarah ke isyu, visi, tujuan, arah pengembangan kota/wilayah yang sama, terpadu.
Hal terakhir ini yang menjadi dilema, tantangan, 'rahmat sekaligus kutukan' bagi planner. Karena ini tidak mudah, kalau tidak musykil. Ini pula (menurut saya) yang membuat banyak planner memilih mengambil 'spesialisasi' sesuai minat dan kesempatan kerjanya. Ada yang bias ke fisik (spatial), lingkungan hidup, ada yang bias ke ekonomi, belakangan banyak pula yang bias ke sosial. Ya ini wajar-wajar saja, kan semua bidang juga begitu.

Ada kecenderungan spesialisasi, seperti Ekonom, ada yang bias ke makro, mikro, manajemen, akuntansi, kependudukan, dst. Ada juga kecenderungan 'integrated' , bidang satu tapi dikeroyok multi disiplin, seperti bidang Perminyakan misalnya, yang dikeroyok geolog, petroleum engineer, ahli mesin, teknik kimia, instrumen, dst.

Jadi komentar saya ke Pak Hengky, kalau melihat profesi perencanaan wilayah dan kota (PWK) secara utuh, sebaiknya tidak wawancana teman-teman dari "satu-dua sumber dari satu aspek, peran, dan satu era" saja. Sebaiknya lihat juga kurikulum sekolah PWK saat ini dan beberapa masa sebelumnya. Lihat juga apa yang ditangani planner di tingkat kota, kabupaten, propinsi, Bappenas dan beberapa departemen (PU, Perumahan, Depdagri, Transmigrasi, Daerah Tertinggal, Pariwisata, Kelautan). Dari segi akademis di tingkat internasional sekolah perencanaan ada yang dekat dengan arsitektur, ada yang dekat dengan ekonomi. Di dalam negeri, ada yang ala ITB, ITS, ada yang ala UNDIP, UGM yang serupa tapi tak sama. Juga peran sarjana planologi, sebagai perencana, sebagai pelaksana, juga sebagai pengendali. Sehingga ada gambaran utuh. Intinya, Planning bukan cuma profesi "merencana sistem kota-kota" dan site-planning, sedang aspek lainnya dianggap "distorsi".

Peran perencana harus pula dilihat secara proporsional. Tidak bisa kita bilang, rencana yang buruk sebagai penyebab malapetaka. Atau ekstrem sebaliknya, rencana sudah sempurna, pelaksananya saja buruk. Rencana bisa ada bisa tidak, bisa buruk bisa baik. Tapi 'pelaksanaan rencana adalah bidang yang maha luas', mulai dari bagaimana menggoalkannya jadi SK/peraturan, memperjuangkannya dalam proses musrenbang dst, memperjuangkannya di 'kamar panitia anggaran'. Ada konflik antara 'rencana bagus' yang satu (menurut kelompok tertentu) terhadap 'rencana bagus' yang lain. Kalau anggaran sudah tersedia, bagaimana memperjuangkannya dalam pelaksanaan di lapangan. Pembangunan busway mestinya ya bagus untuk jangka menengah, tapi di lapangan harus berhadapan dengan maslah kemacetan lalu lintas saat ini. Menghijaukan kembali RTH bagus, tapi berhadapan dengan tuntutan hunian, tempat kerja, dst.

Masalah klasik, antara supply vs demand, antara tuntutan pembangunan vs ketersediaan sumber daya. Ketidak-efektivan manajemen pembangunan Pemda, sulitnya kerjasama antar lembaga/daerah, dst. Sementara sumbar masalah juga bertambah. Pengangguran dan kegagalan sektor pertanian, pembangunan wilayah belakang membuat banjir masalah ke kota besar. Ditambah soal kontrol terhadap lingkungan hidup yang merusak ekosistem hulu, juga hilir (pantai), menjadi cerita klasik yang hanya berganti episode saja.

Apakah itu semua salah planner? Ah...kok terlalu ge er kayaknya. Apa ya sehebat itu, seolah tumbuh/runtuhnya kota karena 'rencana'. Di rencana atau tidak, kalau 'potensi'nya kuat, 'permintaan' kuat ya tumbuh. Rencana atau perencana, kan hanya upaya untuk memberi pertimbangan, mengingatkan perlunya mengoptimalkan, mengefisienkan, mengefektifkan potensi dan upaya terhadap tuntutan kebutuhan. Dalam lautan masalah pembangunan nasional, wilayah, kota, desa yang saling terkait, dan multi/meta disiplin ini.

Soal disiplin adalah soal ilmu/akademik, namun soal profesi adalah soal panggilan tugas dan 'perjuangan' , soal misi. Kalau penertiban RTH (ruang tebuka hijau) berisiko penggusuran hunian, penghancuran mata-pencaharian rakyat, di saat kehidupan ekonomi kian sulit, krisis pangan. Yang manakah yang akan dipilih Planner, mendukung "penyelamatan RTH" atau "penyelamatan lapangan kerja rakyat"? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2, Perencanaan Wilayah dan Kota ITB]

City Competitiveness: The Sinking Giant

Visit Indonesia Year 2008
Kalau ditanya soal city competitiveness, wah ....? Kalau saya bekerja untuk/di Kota Tangerang, Medan, Makassar, Batam....maka artikel di Jakarta Pos itu akan saya pajang di mana-mana, agar investor tidak ke Jakarta, tapi ke kota-kota tersebut.

Bagi Jakarta sendiri, saya kira berat karena masalahnya (internal, kiriman) makin akut, sedang resources dan kemampuan manajemen pembangunan ada batasnya. Dalam kondisi tersebut tentunya akan selalu dilematis, apakah akan memperbaiki kondisi Jakarta seluruhnya, atau mengembangkan "etalase" saja. Membangun sesungguhnya atau citra semata. Prioritas pada perbaikan kondisi fisik, atau sosial ekonomi.

Kelihatannya policy DKI ingin galak terhadap pendatang (urbanisan) yang tidak siap dari daerah, pada sisi lain mengundang tamu (wisatawan, investor). Maka melanjutkan kebijakan gubernur sebelumnya dengan 'membersihkan' RTH. Prioritas pada aspek fisik ini membawa risiko tergusurnya banyak 'penghuni' pertamanan tersebut. Pada kasus taman Barito 400an pedagang kena dampak, ini kabarnya membuat 2000an pekerja kehilangan pekerjaannya. Pembebasan RTH yang lain, yang meliputi 55.540m2 mengakibatkan 16 komunitas kehilangan tempat tinggal. Pilihan ini mulai mengundang banyak kritik. Tergantung DKI bagaimana memilih dan melaksanakan prioritasnya, dan bagaimana memenangkan opini publik. Akankah gubernur sekarang setegas pendahulunya, apalagi tahun depan lagi pemilu nasional? Mungkin dia berusaha mengejar waktu.

Dari segi prasarana yang tidak bisa ditunda adalah bagaimana mengatasi banjir ditambah naiknya air laut, dan transportasi kota. Kedua masalah ini menuntut kerjasama baik dengan daerah sekitar, dengan departemen, instansi, maupun dengn masyarakat, karena masalahnya begitu luas. Kepandaian DKI untuk menarik perhatian Pemerintah (Pusat) juga sangat diperlukan, karenanya dalam banyak hal kewenangan ditangan Pemerintah.

Kemarin di 'pita berita' TV terbaca adanya policy pengurangan subsidi pendidikan (dasar-menengah) untuk dialihkan kepada percepatan pembangunan jalur busway koridor sekian, sekian. Ini tentunya juga bisa mengundang reaksi masyarakat.

Keterpaduan antar pihak adalah hal yang sulit, dialog antar daerah, antar lembaga, selalu sulit. Mungkin karena tidak ada trust, takut diserobot duluan. Selain antar daerah, dalam kasus Jalan Tol Pluit-Bandara, yang boleh dikata sebagai "pintu gerbang" ibu kota dari manca negara, kenapa tidak bisa 'dikhususkan' untuk ke Bandara pp saja. Pendapatan jalan tol kan bisa dikompensasi dari jalur lain, seperti mengatasi jalan sepi. Saya tidak tahu karena Jasa Marga gak mau rugi, atau Pemda DKI dan Tangerang yang minta dibuka pintu begitu banyak. Kesimpulannya: Tidak ada prioroitas, atau tidak ada kerjasama.

Masalahnya begitu besar, sumbernya juga banyak yang di luar kuasa DKI, itu semua instansi, daerah, jalan sendiri-sendiri. Solusi yang ditempuh nasional tampaknya bukannya mempromosikan Batam, Medan, Makasar, tapi pembangunan jembatan Jawa - Sumatera, yang kemungkinan besar justru memperbesar arus ke Jakarta.

Sekali lagi peluang bagi, ini peluang bagi pemerintah daerah Medan, Batam, Makasar, Tarakan untuk memanfaatkan artikel "Jakarta: The Sinking Giant" itu. Termasuk New Town seperti Karawaci, sebaiknya invest membangun jalan tol langsung ke Bandara, minta dukungan Pemprov Banten.

Sebagai anak bangsa tentu kita lebih rela kalau tamu dan investor ke kota-kota tersebut daripada mereka lari ke Kuala Lumpur, Ho Chi Minth City dst.

Tapi investor itu siapa sih. Apa perlunya investor datang kesini, yang datang kan uangnya dan eksekutifnya. Pemodal perlunya kan pokoknya RoI nya bagus. Yang penting kan infrastruktur memadai, buruh tidak mogok, peraturan tidak macam2. Dan saat ini kebanyakan investor yang datang adalah yang melihat Indonesia sebagai 'pasar raksasa', dan sumber alam yang masih banyak. Bukan yang melihat potensi SDM, baik skill nya atau murah nya. Mungkin mereka juga kurang peduli seperti apa Jakarta, asal ongkos produksi, logistik, buruh murah, aturan tidak macam-macam. [Risfan Munir, alumnus Teknik Planologi, ITB]

Saturday, January 19, 2008

Mencari PWK yang konsisten dan berdaya prediksi

Melanjutkan obrolan soal fondasi dan bangunan ilmu. Sebagai orang yang menekuni suatu ilmu tentunya ingin logika ilmunya berlaku 'konsisten', dan punya 'daya prediksi'. Seperti semua insinyur mengandalkan rumus gravitasi. Yang konsisten berlaku dimana-mana. Dan punya daya prediksi. Kalau durian dilempar dari ketinggian sekian akan jatuh dititik mana dengan kecepatan sekian. (Bukan apelnya Newton lho, karena penemu aslinya ternyata orang kita, tapi keburu wafat karena yang jatuh di kepalanya durian bukan apel). Tanpa formula seperti ini ya kita akan merasa ragu-ragu sendiri.

Dalam perjalanan saya menekuni ilmu perencanaan wilayah dan kota ini, formula-formula yang konsisten itu yang saya coba cari. Karena ilmu planologi ini multi disiplin maka formula yang sangat eksak dan sangat konsisten mungkin tak ada. Maka setidaknya yang mendekatilah.

Yang saya temukan adalah geografi lingkungan, geografi ekonomi sebagai hukum ”fisika”nya; lalu strategic planning sebagai metoda atau enjinering nya. Yang lain-lain adalah untuk penghalusan atau derivat dari apa yang dihasilkan dari formula dan alat tersebut.

Dengan geografi lingkungan saya dapat menganalisis untuk segera memperoleh kelayakan peruntukan, potensi dan suitability nya. Hasilnya bisa diplot dipeta segera.
Dan berikutnya adalah geografi ekonominya, yaitu kegiatan apa yang paling potensial dan telah berkembang di lokasi atau wilayah itu. Bisa segera diplot diatas peta suitability di atas. Teori lokasipun bisa dipakai. Selain itu berikutnya adalah bermain angka-angka proyeksi, perubahan struktur kegiatan ekonomi, dan semacam gap analysis terhadap standar kebutuhan lahan, prasarana, utilitas, dst, dst.
Dan seluruh proses itu menggunakan pendekatan strategic planning yang juga berlaku universal. Tinggal pendekatan penyusunannya bisa konvensional, bisa partisipatif. Dan tiap level punya ketajaman dan kedetailan yang berbeda.

Rasanya dengan dua 'basic sciences' dan satu metode tersebut kok cukup punya pegangan begitu. Ini adalah back-bone dari struktur berfikir kita. Selebihnya adalah dagingnya, warna, modifikasi2, penajaman2. Yang paling penting kita punya pegangan sehingga tidak bingung, eklektik, kesana-kemari.

Setidaknya kalau kita mendatangi suatu kabupaten/kota, dengan pengamatan cepat atau kondisi geografis, kita segera punya gambaran potensi utamanya apa. Dengan verifikasi atas peruntukan lahan, sebaran permukiman dan kondisi jaringan prasarana dan utilitasnya, segera kita bisa melihat prospeknya kan. Tentu saja arahnya tidak selalu untuk pertumbuhan dan pengembangan ya. Untuk wilayah tertentu bisa saja fokus utamanya pelestarian lingkungan, atau mitigasi bencana.

Selebihnya biasanya masalah administrasi atau development management seperti programming dan analisis pembiayaannya serta sumber-sumbernya. Bisalah ini dipelajari dengan learning by doing.

Kalau kemampuan atau pola dasar itu betul-betul kita pegang biar tiap tahun berganti planning style, dari masterplan ganti RIK, ganti RUTR, lalu muncul PJM, PJP dst, itu cuma modifikasi saja. Juga berbagai pendekatan pembangunan, kalau kita percaya, bisa diikuti untuk menajamkan pendekatan.

Saya cenderung memegang pola berpikir tersebut, dan memilih hati-hati dalam menerapkan pendekatan kontemporer yang terlalu spesifik yang dikembangkan kelompok tertentu. Karena sekali pegangan pola berpikir itu goyah maka akan jadi layang-layang putus lah kita.
Kalau bisa belajar lagi saya pikir public policy itu penting, karena sebuah produk rencana haruslah bisa digiring jadi kebijakan publik, melewati proses konsultasi publik, ada risiko konflik dst. Dan pelaksanaannya dikawal oleh perangkat dan alat hukum, oversight dari legislatif, masyarakat dan media.

Saya banyak lihat teman-teman yang menyusun rencana berdasarkan panduan, peraturan semata, tanpa memegang 'basic sciences' dan dan 'basic method' nya , akibatnya ganti peraturan hilang pegangan dia. Lha kalau ganti menteri, ganti policy terus planner ganti ilmu, ya bukan ilmu namanya. Setidaknya, kalau harus kerja untuk berbagai bidang, basic method 'strategic planning' nya, termasuk derivat nya, yang perlu kita pegang.

Sekali lagi, Planning itu ada basic sciences dan basic method nya sebagai back-bone, bukan ilmu eklektik yang cuma mengandalkan doktrin, retorika, atau peraturan.

Dan akhirnya perlu juga disadari bahwa ilmu Planning aslinya adalah memang Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK). Posisinya ada di bawah kebijakan pembangunan dan rencana tingkat nasional. Alat-alat analisisnya valid untuk skala kota dan wilayah. Boleh saja seorang planner merencana skala nasional, sektoral, tapi harus ingat bahwa ilmu dari sekolahnya kan PWK. Jadi kalau bermain diluar PWK itu boleh dibilang tanggung jawab pribadilah, kalau melenceng jangan disalahkan ilmunya. Karena ilmu apapun kan ada batasnya. Bukan mau-mau sendiri. Seorang insinyur mesin ya jangan sok jadi ahli komputer. Boleh saja, tapi kalau ada misjudge itu salah orangnya, bukan salah ilmu teknik mesinnya.

Hal terakhir ini sering menjadi jebakan (atau kutukan) bagi planner. Karena mempelajari aspek sosial-ekonomi-fisik, sok menangani segala aspek kehidupan. Atau sebaliknya banyak orang lain menuntut planner bisa jadi ahli masalah sosial, ekonomi, atau enjineering. Jadinya seperti sasaran kritik saja. Dalam hal ini kita harus tahu diri jika masuk ke "level of incompetence". Kalau harus masuk ya belajar lagi ilmu tambahan tersebut. Sekali lagi, kita perlu menegaskan bahwa PWK itu ada ilmu dasarnya, bukan kumpulan dari wacana yang kiri kanan oke. Karena kalau ngaco-ngaco nanti hilang kepercayaan orang.

Harus dibedakan antara praktek dukun dengan disiplin ilmu kedokteran. Meskipun kadang dukun bisa menyembuhkan, tapi apakah 'konsisten' dan bisa 'diprediksi' ampuh untuk semua pasien? Makin bisa menyembuhkan segala penyakit, makin layak diragukan.

Sdri Melly, semua hal di atas terkait dengan pancingan anda tentang fondasi dan bangunan 'ilmu'. Saya tidak tahu pengalaman anda saat kuliah, tapi saat saya kuliah dulu terus terang bngung sekali, karena tiap hari menerima ilmu yang merupakan kumpulan tulisan macam2, readings tanpa satupun textbook yang utuh, diskusi2, di sela-sela itu ada alat2 (hitung, gambar peta) yang sepertinya eksak tapi ternyata makan diskusi dan beda pendapat lagi. Sehingga penemuan fondasi dan 'back-bone' itu menurut saya sangat diperlukan. Tulisan diatas dan posting sebelumnya adalah upaya atau ijtihad saya, yang jadi pegangan saya selama berprofesi. Tentu anda atau teman planner lain bisa punya kesimpulan lain.

Tapi soal tanggung jawab profesi, mungkin lain lagi. Seorang insinyur mesin bisa saja jadi ahli kebijakan industri, pioneer industri mobil nasional. Itu sudah di luar konteks diskusi soal ilmu tadi.

Memang dalam milist ini diskusi berkembang berdasar latar belakang orang, hobby dan tempat kerjanya. Tapi mesti dibedakan antara diskusi 'fondasi ilmu planning' seperti yang Melly angkat, dengan diskusi bebas antar teman tentang soal macam-macam.

PWK itu sekolahnya cuma 4,5 tahun, seperti sekolah teknik mesin, ekonomi, kedokteran. Janganlah dituntut macam-macam, dan jangan pula merasa bisa semua hal. Kalau anda ketemu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional boleh lah tanya dia segala macam, karena punya deputi dan staf bidang yang banyak. Tapi seorang sarjana Planologi? Masa kegagalan 100 tahun kebangkitan nasional, kok planner yang dimaki...please deh...Planner juga manusia, kata kawan kita.

Kadang saya iri kepada tetangga kantor saya di gedung Bursa Efek Indinesia, para ahli yang kerja di sekuritas, investment banking, dan berbagai lembaga keuangan terkaitnya itu. Teman-teman yang banyak dari matematika dan fisika ITB itu, bekerjanya cuma dengan satu rumus saja, yaitu: F=P(1+r)t , rumus ini saja dibolak balik pakai kalkulator seri HP-Business nya, sambil memantau pola-pola grafik turun-naik, kalau mirip clurit jual, kalau mirip tongkat golf beli. ....Bayangkan cuma satu rumus?!, yang para planner juga biasa pakai untuk memproyeksi penduduk. Kalau mereka kenal rumitnya pikiran kita barangkali akan bilang...Gitu saja kok repot. Dan lebih iri lagi karena tiap Tahun Baru yang buka kantor selalu Presiden sendiri, tidak diwakilkan.[Risfan Munir, planolog alumnus ITB]

Membaca buku "1000 Hari di Bali Barat"

Bicara mengenai landasaan ilmu perencanaan pengembangan wilayah dan kota, saya masih percaya pada buku yang disodorkan pada mahasiswa baru Planologi hingga era 70an, yang menawarkan tiga aspek "Folk-Place-Work". Saya kira ini pula yang digunakan Chapin. Juga Ir. Sutami waktu memperkenalkan Ilmu Wilayah di lingkungan Departeman PU yang dipimpinnya waktu itu, yang kemudian mendorong lahirnya Lembaga Bantuan Teknologi, sebagai cikal bakal banyak LSM bidang teknologi.

Terkait dengan ajakan Sdri. Melly untuk juga mengembangkan praksis perencanaan wilayah dan kota, referensi di bawah ini mungkin menarik.

Baru-baru ini saya baca buku yang ditulis oleh planolog tamatan ITB, Ria Fitriana. "1000 Hari di Bali Barat, sebuah Catatan Proses Belajar Bersama Masyarakat". WWF Indonesia. Nov 2007.

Buku ini mengisahkan pengalaman Ria dalam pendampingan untuk pengelolaan sumber daya alam pesisir, pengembangan ekonomi rakyat, dan pengorganisasian masyarakat di kawasan Bali Barat. Walau tujuan utamanya adalah terkait upaya peletarian Taman Nasional Bali Barat, tapi aspek yang digarap, dan solusi yang dirumuskan komunitas terkait pengembangan ekonomi rakyat dan aspek penguatan kerja sama antar anggota komunitas, dan lintas kelompok dengan pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP). Membaca buku ini seolah menyegarkan ingatan pada doktrin Geddes "Folk-Place-Work".

Buku yang merupakan catatan dan refleksi pengalaman ini dimulai dengan upaya memahami apa yang terjadi, sebagai pendahuluan untuk mengantarkan pembaca pada situasi yang memprihatinkan bagi lingkungan dan kelangsungan hidup, antara lain akibat penggunaan 'potas' untuk menangkap ikan. Dampaknya mengancam kelestarian ikan dan terumbu karang, dan nantinya kehidupan komunitas nelayan sendiri. Jelasnya ada konflik kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Pembahasan selanjutnya mengikuti alur berturut-turut: Memahami Kawasan Bali Barat, Merumuskan Strategi Bersama, mewujudkan tindakan, mengerahkan dan mengembangkan kemampuan, isu keberlanjutan, serta memantau proses dan mengkaji manfaat.

Dibaca sepintas lalu seperti sistematika dokumen penyusunan strategic/ action plan, namun seperti pada judulnya, ini merupakan rekaman proses belajar bersama masyarakat. Ini mengingatkan pada apa yang disebut John Friedman sebagai 'planning as a learning process'.

Pemahaman dan pengumpulan informasi diperoleh melalui kunjungan dan serangkaian diskusi informal bersama masyarakat, bersama kelompok pengaruh dan tentu dengan pengumpulan data sekunder pendukung.

Proses pemetaan masalah dan rencana pengentasan, potensi dan harapan, dan penentuan kelompok sasaran juga dilakukan bersama masyarakat, yang diarahkan untuk mendorong tindakan nyata. Yang terakhir ini bedanya dengan planning umumnya yang berakhir dengan penganggaran pemerintah.

Dalam implementasi action plan itu dilakukan pengerahan dan pengembangan kemampuan masyarakat, sehingga mereka lebih berdaya secara ekonomi, sosial, dan kesadaran akan pelestarian lingkungan.

Yang menarik dari buku ini, karena bahasanya menggunakan bahasa cerita realita dan proses yang terjadi di tingkat komunitas. Penulis juga menggunakan kata saya, sehingga kesannya bercerita. Maka menjadi bahasa yang hidup, bebas dari sekat bahasa teknis ekonomi, sosial, tata ruang. Folk-Place-Work digarap sebagai satu kesatuan utuh, tidak dipisah-pisah. Tidak juga anti ekonomi, anti sosial, atau anti fisik.

Apakah buku ini mewakili genre baru dari planning sebagaimana diantisipasi oleh Friedman sebagai 'planning as a learning process' itu? Entahlah. Tapi seperti ajakan untuk mengembangkan praxis Planning, maka buku sejenis ini adalah tepat sebagai acuan. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]

Argumentasi ekonomi dalam Perencanaan Wilayah dan Kota

Saya setuju dengan ajakan mengembangkan praksis yang anda ajukan. Saya kira harusnya memang begitu. Ada konsep, diterapkan, lakukan refleksi, ada pengembangan/ modifikasi/ pendalaman konsep, dst. Saya hanya mengingatkan, dalam diskusi atau praktek mesti disadari kita sedang main di level mana. Kalau lagi praktis, ya praktis. Kalau lagi kontemplasi, mereview yang praktis, ngecharge ke basis theory, bahkan lebih dalam (atau lebih tinggi) ke basis filsafat, ya kesana.

Menurut saya seperti kita belajar ilmu fisika, ada rumus yang diyakini tapi disederhanakan untuk level SMA, level S-1 (praktisi), lalu ada level S-3 yang meriset ulang, menggugat teori atau konsep yang ada. Namun saat aplikasi di pabrik ya yang praktis saja. Kalau rumusnya Newton, atau rumus menghitung diameter kabel itu diperdebatkan di depan teknisi ya kacau. Menurut saya itu salahnya para pemikir agama (ahli filsafat agama) yang memperdebatkan filsafat tuhan dan keimanan di publik awam, yang seharusnya jadi subject seminar S-3 saja. Ya, ini pemisalan yang saya ekstrem-kan. Tapi pada orang/kelompok yang sama pun mesti ada kejelasan saat ini kita bicara di level mana. Saat di lapangan saya kadang ketemu aktivis LSM yang bicara retorika landasan negara, atau sosialisme di kelompok petani, menutut saya kok ya aneh, orang sedang ngomong pentingnya gotong-royong meluruskan parit kok diajak menyerang ideologi ekonomi negara.

Eh, kejuahan ya nglanturnya..... Anyway, saya setuju dengan anda untuk mengembangkan praksis perencanaan tata ruang atau yang lebih netral perencanaan pengembangan wilayah dan kota.

Kedua, soal term 'spatial capital'. Istilah ini saya kira tidak ada di kamus planning. Tapi diskusi itu diawali dengan istilah 'social capital'. Memang social capital sendiri ada yang mengkritik sebagai ekonomisasi dari aspek sosial. Yang seharusnya masing-masing aspek punya tujuannya sendiri. Sehingga 'spatial capital', tentu saja sulit menghindar dari persepsi ekonomi. Konotasinya tentu mengarah ke 'land-value', 'land-price'. Sebagaimana bicara lingkungan, kalau suatu hamparan kita sebut 'lingkungan hidup' atau habitat, konotasinya ke pelestarian lingkungan dst. Tapi kalau hamparan itu disebut sumber daya alam, ya konotasinya langsung ke ekonomi.

Tapi apakah term ekonomi itu sendiri buruk? apakah term sosial itu lebih mulia? lalu spatial lebih gagah, macho? Sehingga ada statement bahwa 'ekonomi' itu produk import, sedang yang asli Indonesia adalah yang “mulia-mulia” (?). Apa bangsa ini tidak butuh makan? Saya kok punya pendapat salah satu sebab bangsa kita korup adalah tradisi feodal kita mengharamkan bicara ekonomi. Ekonomi atau dana dibutuhkan oleh para feodal, tapi dianggap ‘urusan belakang’, tidak layak dibicarakan. Sehingga yang terjadi para istri berupaya sana-sini cari dana, dagang atau pungut ini-itu, untuk kemuliaan kedudukan suaminya di masyarakat (sorry pendapat pribadi).

Eh, nglantur lagi ya….

Mesti disadari juga, bahwa Planning, kalau toh bukan ilmu adalah teori atau konsep yang ada tujuan, lingkup, komponen, struktur dan prosesnya. Planning bukan konsep yang bisa "ngarang sendiri" atau "eklektika" alias gado-gado. Konsistensi dan daya prediksi tentu dituntut oleh public. Lha kalau tidak konsisten, tidak punya daya prediksi, kalau diterapkan tidak ada jaminan (deduktif, induktif) akan menghasilkan suatu tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat, ya konsep "rencana suka-suka" namanya itu. Kalau itu untuk merencana kebun sendiri OK saja. Tapi kalau untuk publik, ya jangan bereksperimen dengan publik sebagai korban.

Untuk itu menemukan ‘konsistensi’ dan ‘daya prediksi’ itu, mulai dari saat sebagai mahasiswa, pengajar, konsultan, fasilitator, penulis, saya selalu mencoba menggali argumentasi atau penjelasan yang kurang lebih mendekati ‘konsistensi’ dan punya ‘daya prediksi’ itu. Kalau merekomendasikan tindakan ini, outputnya itu, outcome nya itu, dan impactnya nanti kesana. Sejauh yang bisa saya pikir, yang bisa saya tulis dan praktekkan, rasanya ‘argumentasi ekonomi’ kok lebih kena bagi saya. Dan rasanya misi penciptaan lapangan kerja, meningkatkan keunggulan daerah, pengentasan kemiskinan, itu misi yang valid.

Memang kalau menekuni planning ini kan ada yang bias ke aspek-aspek visual. Tapi aspek visual buat saya pribadi tidak kuat. Selain soal artis design yang subyektif, menjelaskan manfaatnya ke publik sangat sulit. Mendesign site kan tidak seperti mendesain patung atau taman. Kecuali bisa meyakinkan Gubernur/Walikota/Bupati, DPRD, dst.

Pendekatan anthropologis, kebetulan bagi saya juga sulit, karena harus empiris, spesifik. Tidak selalu kita punya resources untuk mendampingi komunitas. Tapi kalau resourcenya mendukung, sebetulnya ini ideal, karena ujungnya kan memberdayakan, membuat masyarakat menemukan potensi dan solusi nya sendiri, bisa mengurangi ketergantungan.

Argumentasi spatial, yang murni fisik, menurut saya ampuh untuk merencana ”kawasan non-budi daya”, juga zonasi berbasis daya dukung lahan, buffer-zone, bantaran sungai. Dengan mengandalkan analisis geologi teknik, jenis tanah, topografi, vegetasi, curah hujan, faktor iklim dan faktor fisik lokal lainnya. Saya kira semua planner menguasai tekniknya, apalagi setelah ada aplikasi2 GIS untuk memetakan land-suitability.
Tapi kalau sudah menyangkut merencanakan ”kawasan budi-daya”, kawasan terbangun, lingkungan kota, ini pertimbangan dan argumentasinya sudah bukan fisik lagi. Karena secara fisik syarat untuk perumahan dan perdagangan kan sama (misalnya). Argumentasinya menjadi serba relatif, tergantung kepentingan. Dan lagi-lagi disini argumentasi ekonomi (bagi yang pro vs yang kontra, yang diuntungkan (+) vs dirugikan (-)) oleh RUTR akan menjadi bahasa yang lebih common. Aksesibilitas adalah bahasa teori lokasi (ekonomi), juga trade-off, opportunity cost, land value, apalagi land price.

Juga sistem kota-kota, lepas dari setuju atau tidak, dasarnya adalah teori lokasi (ekonomi) dan geografi ekonomi. Losch, Chritaller, Brian Berry semua argumentasinya geografi ekonomi. Juga Pak Poernomosidhi, argumentasi SWP dan sistem kota-kota nya juga pada fungsi (ekonomi) kota dan sistem jaringan koleksi/distribusi barang. Lalu derivat nya seperti NUDS, P3KT jelas argumentasinya juga mempromosikan kota-kota sebagai simpul-simpul koleksi/distribusi, pusat-pusat pertumbuhan (ekonomi). Juga pengembangan transmigrasi, basisnya adalah penyediaan lapangan kerja (Nakertrans), pemerataan penduduk dan optmalisasi pendaya-gunaan sumber daya alam nasional. Konsepnya juga (dari bawah) pengembangan SP (satuan permukiman) yang self-subsistence, lalu penguatan basis produksi SKP (satuan kawasan permukiman), untuk berlanjut ke integrasi dengan SKP lainnya membentuk satuan wilayah lebih luas, ya daerah itu sendiri. Back-bone nya ekonomi, yang lain mengikutinya.

Argumentasi ekonomi itu untungnya sudah jadi common language. Kalau kita mau menggoalkan program kan mesti pakai bahasa yang dipahami umum. Kecuali soal bencana alam, misalnya. Kalau argumentasi lingkungan hidup dan sosial-budaya, biasanya akan perlu diucapkan oleh pakar atau tokoh karismatis, atau dengan ”pressure” lewat media atau massa di lapangan. Sedang otoritas pejabat biasanya lemah kalau atasannya beda pendapat, apalagi di era saat ini antar instansi sering beda pendapat.

Saya menyadari argumentasi ekonomi memang tidak ideal. Karena itu saya salut dengan planner seperti Ria Fitriani, misalnya, yang menerapkan pendekatan ”utuh” (sosial-fisik-ekonomi) dalam kerja pendampingan di lapangan untuk pelastarian kawasan pesisir Bali Barat, sebagaimana ditulis dalam bukunya ”1000 hari di Bali Barat”. Kesan saya, saya tuliskan pada posting berikutnya. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif."]

Monday, January 07, 2008

Visit Indonesia Year 2008 Rute Yogyakarta Kuala Lumpur

Seolah menanggapi apa yang dipikirkan Pak Wawo tentang hubungan Visit Indonesia Year 2008 dengan arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia, maka Malaysia Airlines bekerja sama dengan Garuda Indonesia Airlines untuk menggarap rute DIY - Kuala Lumpur, pp.

Ini menarik, nampaknya jalur penerbangan ini layak dibuka karena 'dijamin' oleh arus pulang-perginya penumpang TKI dan TKW ke Malaysia. Namun dengan adanya rute penerbangan ini diharapkan oleh pemerintah untuk bisa merangsang meningkat arus wisatawan dari Malaysia ke Yogyakarta. Sekali lagi, TKI dan TKW bukan saja menjamin arus devisa dari remittance (uang kiriman ke kampung), tapi juga telah menopang rute penerbangan dua negara sehingga arus wisatawan bisa dimungkinkan naik.

Harapan itu ditunjukkan oleh Kepala Badan Pariwisata Daerah (Baparda) yang menganggap ini sebagai tantangan, dan dia optimis dengan kerjasama itu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Yogyakarta akan berkontribusi besar dalam mencapai target Visit Indonesia Year 2008 yang tujuh juta itu.

Penerbangan Malaysia Airlines akan menggunakan pesawat Boeing 737-400. Dengan operasi itu berarti ada 73 penerbangan dengan 25.504 tempat duduk dioperasikan Malaysia Airlines per minggu ke lima kota di Indonesia (Kompas, 12-1-2008).

Bicara soal semboyan, maka kelihatannya "Malaysia Truly Asia" akan bertemu dengan "Jogja, Never Ending Asia". Daya tarik mana yang lebih besar kekuatannya dalam menarik wisatawan dari Kuala Lumpur ke Jogja, atau sebaliknya. Kita tunggu saja berita selanjutnya.

Sesuai hukum gravity potential, besar arus dan arahnya akan ditentukan oleh kekuatan daya tarik antara dua titik (kota) yang berhubungan. Baiklah kita mencoba mengukur kedigdayaan masing-masing. Yogyakarta adalah seperti kumpulan saripati dari berbagai produk dan spirit budaya Asia (ada India, Islam, Budha atau Asia Timur) yang sudah mengendap dan diinterpretasikan sebagai budaya lokal. Wajar kalau Jogja menyebut diri Never Ending Asia.

Sementara Malaysia, yang budayanya tampak lebih muda, karena lokasi geografisnya di persimpangan, dihuni warga multi ras, Melayu, India, China, dst. Yang masing-masing masih hadir sesuai asalnya, belum menyublim menjadi 'budaya lokal'. Maka wajar kalau strategi mereka adalah menonjolkan multi-ras yang disebutnya Truly Asia itu.

Dengan kata lain, kalau soal keorisinilan maka Jogja bisa lebih unggul. Tetapi kalau dari segi kesiapan menyongsong dan melayani tamu dari luar, budaya kontemporer, nampaknya Kuala Lumpur bisa lebih siap. Lebih banyak orang KL yang menguasai bahasa English, India, Mandarin. Namun mereka juga sadar akan ketebatasan sumber budaya itu, sehingga mereka memilih strategi 'meminjam' bahkan 'mengakui' produk budaya tiap ras untuk dipaket dan dijual.

Sementara itu Jogja sangat kaya akan daya tarik dan produk budaya, sebagai atraksi atau obyek wisata. Namun masalahnya adalah produk Never Ending Asia itu kadang sudah menjadi produk lokal. Kebanggaan lokal, yang kadang berlebihan sehingga kurang awas terhadap selera wisatawan mancanegara. Untuk itu maka melalui berbagai upaya promosi, dan prinsip "7-P" (product, price, place, promotion, people, process, physical evidence) harus diupayakan agar lebih familier bagi wisatawan mancanegara.

Kalau kita berfikir lebih jauh lagi, dengan kerendahan hati, terbukanya rute penerbangan Jogja - Kuala Lumpur itu juga bisa dijadikan kerjasama pemasaran ke berbagai negara lain, Jepang, Amerika, Eropa, dengan membuat paket perjalanan Kuala Lumpur - Jogja - Bali, atau Kuala Lumpur - Jogja - Borobudur - Semarang misalnya, melengkapi simbol-simbol Islam (Kesultanan Mataram), Budha atau Asia Timur (Candi Borobudur), Hindu (Candi Prambanan), Katholik (Sendang Sono), ditambah ikon China (China-town, Cheng-ho di Semarang). Pengalaman perjalanan sepanjang koridor ini niscaya bisa diisi dengan wisata agro, mampir ke berbagai pengrajin tembikar, logam, pembatik, pengukir, dan banyak atraksi yang bisa dikembangkan. Untuk itu peranan penataan ruang kawasan juga sangat diperlukan, seperti ditunjukkan oleh kreasi teman-teman yang merancang kawasan Pecinan dan Kolonial di Semarang lama.

Bagaimanapun, tentunya kita berharap agar tiap momentum bisa dimanfaatkan agar bisa mempercepat Jogja dan sekitarnya untuk bangkit kembali pasca gempa yang lalu. [Risfan Munir berdasar pengalaman penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di beberapa daerah di Indonesia]

Visit Indonesia Year 2008 dan Desa Wisata

Visit Indonesia Year 2008 perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin, untuk meningkatkan perolehan devisa, untuk mengembalikan citra Indonesia di dunia internasional (pasca bom Bali), setidaknya sebagai greget untuk tetap 'memanaskan mesin' bidang pariwisata. Pada sisi lain momentum Visit Indonesia Year 2008 juga dapat dimanfaatkan untuk penyadaran akan pentingnya menghargai kekayaan budaya, menumbuhkan ekonomi lokal, dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

Berbicara mengenai manfaat yang terakhir itu ada inovasi yang layak dicatat, yaitu tentang pengembangan desa wisata. Sebagai salah satu contoh ialah pengembangan Desa Wisata Candirejo. Berkaitan dengan Visit Indonesia Year 2008 ini ada gunanya meninjau konsep pengembangan alternatif di desa yang tak jauh dari Candi Borobudur ini.

Pengembangan Desa Wisata Candirejo ini sebetulnya motif dasarnya adalah dalam rangka konservasi sumber daya air di kawasan sekitar. Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam kelompok pecinta alam Patrapala dari Yogyakarta disponsori oleh donor dari Jepang untuk melakukan kajian konservasi air, melalui pelestarian peruntukan lahan perdesaan, agar tidak jadi korban ekspansi pertumbuhan fisik sehubungan kegiatan pariwisata sekitar Candi Borobudur. Kajian ini berkembang dengan mengaitkan misi lingkungan dengan pengembangan ekonomi lokal. Ini mengingat akan mustahil mengonservasi kawasan tanpa memberikan manfaat ekonomi warga setempat.

Melalui proses pendampingan yang partisipatif, melibatkan warga dan stakeholders, secara bertahap terbentuklah konsep Pengembangan Desa Wisata Candirejo itu. Inti dari konsep desa wisata ini adalah menawarkan kehidupan perdesaan asli desa setempat (Jawa Tengah). Rumah-rumah desainnya dipertahankan apa adanya. Rumah desa Jawa, yang kadang ada pendopo kecil, bale-bale tempat duduk di depan rumah, dengan pelataran yang diteduhi pohon rambutan dan liainnya. Di bagian belakang rumah ada kandang ternak, atau tempat penyimpan kayu bakar dan lainnya.

Hubungan antar rumah juga dibiarkan apa adanya, hanya jalan-jalan kecil yang ada dirapihkan diperkeras. Ada halaman yang cukup luas milik desa dijadikan arena penyelenggaraan pertunjukan tarian setempat dan sajian hiburan lainnya. Biasanya pertunjukn malam menggunakan penerangan obor.

Atraksi wisata yang ditawarkan adalah pengalaman 'hidup' di desa khas Jawa Tengah itu, sehingga wisatawan dipersilahkan tinggal menginap di rumah-rumah penduduk. Tentu saja untuk akomodasi ini, rumah-rumah yang kamarnya dianggap layak menerima wisatawan diberi bantuan untuk sedikit merenovasi, membuat sumur, kamar mandi dan mendapat penerangan listrik. Ada puluhan rumah yang berfungsi sebagai semi homestay ini.

Untuk menghidupkan suasana dan membuat wisatawan betah tinggal beberapa hari, pengelola yang sesungguhnya warga dengan fasilitator dari Patrapala itu mengadakan berbagai acara. Agenda acara yang dikembangkan, antara lain perjalanan ke sekitar kawasan, mulai dari mendaki bukit, menikmati pemandangan matahari terbit, atau terbenam, menyaksikan pagelaran kesenian, tarian sebagai tontonan dan yang interaktif dengan pengunjung, upacara-upacara adat disesuaikan dengan kalender setempat, misalnya memperingati tahun baru Jawa, upacara menyongsong panen, penikahan, khitanan, dst.

Saya sendiri ke Candirejo beberapa tahun lalu dalam rangka menjadi pembicara suatu seminar yang diselenggarakan di ruang depan satu rumah yang tidak besar, berdinding bilik bambu. Sejuk tanpa AC (sehingga aman bagi ozon), karena dari jendela dan pintunya berembus angin dari halaman sekitar yang diteduhi pohon rambutan dan sawo itu.

Lokasi tujuan wilasata alternatif ini setahu saya berkembang juga di beberapa daerah, melengkapi obyek dan atraksi wisata yang konvensional.

Sekali lagi momentum Visi Indonesia Year 2008 ini layak untuk dimanfaatkan. Suksesnya penyelenggaraan Global Climate Change Summit yang disponsori UNDP di Bali menjelang akhir tahun 2007 kemarin tentunya berdampak positip bagi 'kepercayaan' wisatawan dunia ke Bali dan daerah tujuan wisata (DTW) lainnya di nusantara. [Risfan Munir pernah menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata untuk beberapa propinsi dan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia, lihat juga blog Urbanis nya]

Penataan Ruang Pariwisata

Pengembangan pariwisata membutuhkan penataan ruang. Sebaliknya pariwisata membuat penataan ruang lebih menarik bagi Pemda dan masyarakat. Sebagian orang menganggap pelestarian (kawasan non-budidaya) sebagai hal yang tidak menarik, di tengah derap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Tapi pariwisata menunjukkan manfaat dari pelestarian (lingkungan, budaya) bagi kepentingan ekonomi tersebut. Seringkali sulit memenangkan tujuan pelestarian dibanding keuntungan ekonomi dari menebang hutan, mengeruk tanah, tetapi dengan tujuan pengembangan pariwisata setidaknya Pemda bisa disodori alternatif lain. Membangun ekonomi dengan pelestarian.

Seperti disinggung pada posting sebelumnya, prinsip pemasaran dan pengembangan pariwisata menggunakan prinsip marketing mix '7-P' (product, price, place, promotion, people, process, physical evidence). Semua itu tentunya terjadi dalam seatu kawasan atau Daerah Tujuan Wisata (DTW), serta pengalaman selama perjalanan dari 'gerbang masuk' hingga lokasi obyek utama.

Tata Ruang Koridor Wisata

Secara agak ekstrem, bagaimana wisatawan dari airport di Makasar menuju Tana Toraja yang memakan waktu 8-10 jam itu tanpa merasa bosan. Apa saja yang bisa disajikan selama perjalanan itu? Sebuah biro perjalanan menyatakan akan membawa lebih banyak wisatawan kalu di sepanjang koridor Makasar, Maros, Barru, Parepare, Pinrang hingga Tator itu bisa dihadirkan kegiatan pembuatan perahu, me,buat jala, menenun sutera, menanam, memanen, menangkap ikan dan berbagai atraksi khas daerah yang menarik. Atraksi dan obyek itu sementara ini memang sudah ada, termasuk taman wisata penangkaran kupu-kupu Bantimurung yang terkenal itu, tetapi lokasinya umumnya masih jauh dari jalan dan belum ditata secara menarik.

Dengan adanya pembangunan/ peningkatan jalan raya Makasar-Parepare dan lapangan terbang baru tentunya waktu tempuh bisa diperpendek, namun penataan ruang sangat dibutuhkan untuk mengarahkan pengembangan atraksi-atraksi di sepanjang koridor itu, penataan dan pelestarian lokasi-lokasi tertentu untuk mencegah kelongsoran dan banjir yang sering terjadi di musim hujan di jalan menuju Tator, juga pasang air laut di sekitar Barru ke Parepare.

Tata Ruang Cluster DTW

Penataan ruang juga dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang integrated antara obyek utama dan satelit-satelitnya. Misalnya Borobudur dengan obyek-obyek sekitar Kabupaten Magelang. Juga kota Bukittinggi dengan obyek-obyek di Kabupaten Agam. Keterkaitan dalam mendukung satu tema yang sama atau konsisten. Hubungan antar titik itu harus dipertegas dengan prasarana jalan dan sarana transpor yang mendukung, dan bukti-bukti fisik yang konsisten, seperti desain bangunan pelayanan wisata, rumah makan dan lainnya.

Untuk Jawa Tengah saya pernah menyarankan agar ditegaskan tema-tema seperti ikatan budaya, misalnya: Hindu-Budha dengan memanfaatkan daya tarik candi-candi, China dengan jejak muhibah Cheng-ho, dan wisata Walisongo dengan makam dan masjid-masjidnya. Tema terkait kegiatan ekonomi tradisional, seperti batik, kretek, jamu, agro-wisata kebun teh, sawah, kebun bunga dan hortikultura lainnya.

Untuk menegaskan dan mendukung kekuatan daya tarik tema-tema tersebut tata-ruang koridor dan clusters DTW nya perlu disiapkan. Promosi bersama dilakukan sehingga saling menguatkan tema-tema tersebut. Bisa jadi antara tema budaya/agama dengan kegiatan dan kesenian dipadukan, saling melengkapi, agar wisatawan kegiatannya lebih padat dan bervariasi dalam waktu singkat.
Upaya promosi bersama bisa dilakukan di antara Pemda provinsi, antar kabupaten/kota, dengan perusahaan batik Keris, Danarhadi, Semar, teh Sosro, jamu Jago, Air Mancur, Sido Muncul, asosiasi biro perjalanan Asita, PHRI, Angkasapura, Garuda, Asia Air, Lion Air, Merpati dan lainnya.

Itu adalah contoh bagaimana penataan ruang diarahkan untuk mendukung tujuan pariwisata, dengan membuat wisatawan betah tinggal lebih lama, dan kebutuhan yang tercermin dalam '7-P' nya terpenuhi secara optimal. [Risfan Munir dari pengalaman penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di beberapa daerah di Indonesia, lihat juga blog Urbanis nya]

Benchmarking Kuala Lumpur

Benchmarking biasa dilakukan dalam dunia bisnis dan manajemen, yaitu belajar dari pengalaman orang/ perusahaan/ daerah/ negara lain.
Kota Kuala lumpur menarik sebagai benchmark, karena dekat dengan Indonesia, sama-sama di negara yang baru berkembang, Asean, tropis, juga sama-sama mayoritas Melayu, multi etnik (ras) tetapi pendorong ekonominya dari etnis tertentu. Selain itu menyebut nama Kuala Lumpur (KL), atau Malaysia diharapkan bisa menggugah semangat bersaing, ada semacam sybling-rivalry antar dua bangsa serumpun ini.

Setidaknya ada beberapa aspek yang layak di-benchmark dari pembangunan dan manajemen kota atau Bandar Raya KL ini.

Tourism. Sangat informatif, didukung petugas yang profesional, lancar berbahasa English, helpful. Obyek dan atraksi wisata kotanya memang menarik, ditata dan dipaket dengan apik, modern, kompak -artinya semua dapat dikunjungi dalam waktu pendek. Obyek dan atraksi pokoknya sebetulnya tidak terlalu aneh, tapi 'dipermodern' dan 'disederhanakan' sesuai kebutuhan dan keterbatasan (waktu) wisatawan. Secara umum menumbulkan kesan bahwa kota ini dibangun untuk wisatawan. Brosur tujuan wisata tersedia dalam jumlah memadai di banyak tempat, dengan desain dan logo 'Malaysia Visit Year' bergambar kembang sepatu (hibiscus) menunjukkan message yang jelas.

Transportation. Modern, integrated, well managed, itulah kesan umum yang kita rasakan sebagai pengunjung dari Jakarta. Untuk sarana angkutan umum ada monorel, LRT, ERT, bus kota reguler, bus komuter, bus wisata (Hop-on, Hop-off), aneka taxi. Semua moda dan jenis angkutan saling mengisi dan menyambung secara terpadu. Ini ditunjukkan secara jelas di KL Sentral, pada terminal utama ini (seperti Blok-M nya), semua moda angkutan umum bertemu, termasuk yang dari luar kota. Terminal raksasa dua lantai ini dibangun secara modern, dilengkapi panel-panel elektronik menunjukkan jadwal/arah perjalanan tiap moda angkutan. Ada petugas penerangan dan informasi pariwisata dengan banyak brosurnya.

Prasarana jalan raya bebas hambatan yang malang melintang menghubungkan antar kawasan kota tentunya ikut menjamin kelancaran transportasi. Jalan raya terasa dibangun untuk kelancaran pengguna jalan, bukan untuk 'mencari uang.'

Pelayanan publik. Dari pengamatan atas 'wajah permukaan' pada sektor pariwisata (pesiaran), transportasi umum, kebersihan kota, ketertiban, timbul kesan kuat bahwa pelayanan publik dikelola dengan baik.
Outcome berupa kebersihan, ketertiban, kelancaran, informasi menunjukkan performance kerja manajemen yang baik. Juga sikap dan perilaku petugas lapangannya yang profesional, menunjukkan supervisi dan manajemen SDM yang berjalan baik.

Land-use dan Pengelolaan lingkungan. Built-up area yang tidak terlalu padat, luasnya area terbuka hijau, bahkan hutan kota, populasi pohon sepanjang jalan, dari segi land-use menjamin situasi lingkungan yang sehat. Paru-paru kota bisa bekerja baik.
Pembangunan hunian yang diarahkan vertikal, dengan investasi pada rumah-susun mendukung land-use hijau tersebut.
Pembagian fungsi antar bagian wilayah kota juga diterapkan. Sehingga ada bagian wilayah sentra bisnis dan perbelanjaan, yang merupakan kawasan andalan untuk sarana bisnis modern dan global, yang mengakomodasi semua kebutuhan bisnis modern, seperti hotel-hotel berbintang, gedung-gedung perkantoran modern (smart building), termasuk menara kembar Petronas, landmark yang sempat menjadi gedung tertinggi di dunia. Tampak jelas niat untuk menarik perhatian (investor) dunia. Kawasan lain yang dikembangkan sebagai akomodasi bagi competitive indultrial cluster adalah Putrajaya dan Cyberjaya.

People-culture. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat kota lebih manageable adalah jumlah penduduknya yang tidak terlalu besar. Jumlah penduduk kota KL dan negera Malaysia relatif kecil dibanding Indonesia.

Pada aspek sosial-budaya, yang ditawarkan oleh Malaysia adalah tema-tema keanekagaraman ras, bukan etnik. Ada Melayu, China, India, dan 'suku' dayak. Seperti sajian tarian, kerajinan dari aneka ragam ras tersebut.

Dari sisi sosial-ekonomi, kelihatannya dengan jumlah penduduk yang tak terlalu besar, pendapatan nasional relatif tinggi, pendidikan rata-rata relatif tinggi membuat kota KL tidak harus menampung 'masalah' migrasi desa-kota yang tidak siap, pengangguran dan sektor informal. Sehingga tidak ada PKL informal di pusat keramaian sekalipun. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]

Visit Indonesia 2008

Bicara Visit Indonesia 2008, apalagi sudah masuk tahunnya, berarti bicara perencanaan operational, bukan PJM atau PJP Pariwisata. Visit Indonesia Year 2008 (VIY-2008) tentu penting untuk menaikkan devisa. Semakin banyak bencana, makin banyak butuh dana, jadi semakin butuh kehadiran wisatawan. Apalagi kalau tourism dianggap sebagai frontline untuk memasarkan Indonesia ke dunia international.

Hal yang paling penting tentang pariwisata adalah pemasaran, promosi. Prinsip dasar paling umum adalah AMBAK (apa manfaat bagi ku/wisatawan).

Pariwisata: Bisnis Hiburan sebagai sumber devisa

Pariwisata adalah soal bisnis, jualan. Apa yang layak dijual, diminati wisatawan ya jual saja, dengan cara yang menarik bagi wisatawan. Apa yang menarik bagi wisatawan? Ya tanya ke mereka. Lakukan survey.

Selama ini kita banyak GR nya. Merasa punya banyak daya tarik, merasa diri menarik. Tetapi kurang pemasarannya. Asumsi kita orang luar negeri tahu 'kekayaan wisata' kita. Nyatanya kan tidak. Kita lupa bahwa mereka tidak pernah belajah Ilmu Bumi dan Sejarah Indonesia seperti anak SD/SMP kita. Coba kalau ada kesempatan jalan ke Singapore, Malaysia tanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia? Jawabannya umumnya minim. Kaum terpelajarnya saja banyak yang tidak tahu peta wilayah Indonesia, apa lagi multi-etnik dan daya tarik budaya dan alamnya. Yang mereka tahu paling cuma Jakarta, Bali, Batam dan sekitarnya.

Masalahnya, umumnya kita kalau membahas pariwisata selalu condong bicara dari sudut pandang kita sendiri (inward looking), bukan dari sudut pandang wisatawan. Kita sering rancu antara misi pariwisata dengan misi 'kebanggaan budaya' dan harga diri bangsa. Kurang mau melihat dari sisi wisatawan.

Bahwa banyak daerah kebanjiran, ada korban Lapindo, saya kira tidak soal, karena sebagian besar wisatawan perlunya cuma ke daerah tujuan wisata (DTW) tertentu saja. Mereka tidak tahu apa itu Indonesia, Jawa, Sumatra, Sulawesi, itu apa, dimana. Yang mereka tahu Bali, Jogya, Tana Toraja, mungkin Bukittinggi dan sekitarnya, juga Bunaken. Kalimantan atau Borneo sudah jelas lebih dikenal sebagai hinterland-nya Malaysia, yang lebih menghargai dan lebih banyak memasarkannya. Untuk pulau Bintan saya dengar banyak tour operator yang samar saja menyebutnya sebagai bagian dariIndonesia, mungkin supaya wisatawan tidak takut.

Yang paling penting adalah bagaimana DTW-DTW yang sudah dikenal itu dipaketi sedemikian rupa sehingga lebih informatif dan menarik.

Segmenting, Targeting, Positioning

Baiklah kita bicara pasar dulu.Bicara strategi pemasaran, berarti bicara – segmenting, targeting, positioning. Segmenting artinya mesti diperjelas dulu segmen pasar mana yang akan dituju. Melihat trend belakangan, apalagi pasca 9/11/2001 dan bom Bali, maka mungkin presentase terbesar yang diharapkan adalah dari Asia Timur, dari pada Eropah dan USA. Selain itu Australia, walaupun mereka takut-takut, tapi Bali dekat dan murah, mereka juga sudah kenal, bahkan mungkin punya mitra usaha disitu. Asumsi itu tentu perlu dikonfirmasi dengan data. Tentunya market yang lain juga tetap harus digarapwalaupun bukan prioritas.

Setelah tahu segmen, berapa besarnya, bagaimana karakternya, kelompok usia, length of stay, spending behaviour, maka selanjutnya bisa dilakukan targeting, yaitu lebih memfakuskan lagi dari segmen itu siapa yang dituju, paket dan karakter atraksi wisata apa yang mereka gemari. Berapa dan bagaimana target kita canangkan.
Selanjutnya, proses positioning. Bagaimana kita, Indonesia, dengan Visit Indonesia, bagaimana positioning kita terhadap para pesaing. Kita akan mengunggulkan diri di sebelah mana?

Pada masa sekarang ini, bisa menahan wisatawan hingga 7 hari saja barangkali sudah berat. Dengan demikian maka obyek dan atraksi yang akan disajikan juga harus dengan batasan 7 hari dikurangi waktu perjalanan. Mengingat sebaran DTW yang luas, maka sepertinya kita tidak bisa ambisius membawa wisatawan ke banyak lokasi sekaligus. Sehingga kalau ke Bali, yang dengan sekitarnya saja. Kalau ke Jogya, ya ke Borobudur dan sekitarnya saja, begitu pula ke Tator, atau ke Bukittinggi. Atau bisa ke dua DTW tapi waktunya lebih singkat, lebih banyak di perjalanan. Berarti belanjanya jadi kurang.

7-P

Selanjutnya, lebih operasional, sebagai bisnis jasa marketing pariwisata menggunakan doktrin marketing mix 7-P (bukan cuma 4-P), yaitu: Product, Price, Place, Promotion, Process, People, Physical evidence. Artinya, tidak seperti barang yang disajikan produknya, diberi harga yang pas, diletakkan di tempat yang pas, dan dipromosikan. Tapi menyangkut pariwisata perlu ditambahi pengalaman wisatawan menikmatinya, apakah enjoy, dan people atau tour-operator, penduduk yang ditemui itu mendukung suasana, serta ada bukti fisik di lapangan yang bisa disaksikan, didengar dan dirasakan. Ini yang kompleks, karena sering harus integrated antar kegiatan pariwisata, serta dengan kegiatan, sarana, dan prasarana pendukungnya.

Baru-baru ini Menteri Jero Wacik dengan Garuda Indonesia mencanangkan dukungan maskapai ini terhadap VIY-2008 dengan menambah operasi ke Jepang. Acara yang juga didukung oleh semua asosiasi operator biro perjalanan dan perhotelan itu difokuskan ke Jepang. Bahkan untuk promosi sengaja akan mengundang Sadao Watanabe, sang bintang Jak Jazz itu.ini membuktikan bahwa fokus kita terutama Asia Timur.

Memang jumlah dan frekuensi kunjungan wisman dari Asia Timur ini harusnya diantisipasi dari dulu. Kalau di Bali, kehadiran mereka memang sudah direspons dari dulu, ini bisa kita lihat dengan banyaknya brosur macam-macam di Airport Ngurah Rai dalam huruf kanji. Saya tidak tahu di Bitung, tetapi di Jawa Tengah yang juga banyak dikunjungi mereka nampaknya belum merespons. Padahal seharusnya Jawa Tengah mempelajari kenapa banyak sekali orang Jepang, juga Taiwan, Korea, atau komunitas Budhist itu kesana, bukan Cuma sebagai wisatawan tapi juga mensponsori pemugaran candi-candi (terutama Borobudur, Prambanan) tapi kok tidak ada brosur dalam hurut kanji, yang ada nama-nama jalan ditulis dalam huruf ’honocoroko.’ Counters information center juga kurang sekali, kalau ada tidak informatif.

Kalau asumsi saya benar, bahwa orang luar negeri itu tidak kenal Indonesia, maka adalah kesalahan kita sendiri kalau dunia internasional tidak mengenal kekayaan daya tarik wisata di negara kita. Mestinya kan bisa menahan wisman 7 hari di Jawa Tengah, lalu tahun depan diharap mereka 7 hari lagi ke Bali, 7 hari masa liburan lain ke Sumatera Barat, dst.

Masalah klasik lain adalah soal petugas yang tidak profesional, sedikit yang menguasai bahasa asing. English saja terbatas, apalagi Jepang, Mandarin dst.

Kalau mau benchmarking, bisa kita jadikan Visit Malaysia 2007 sebagai acuan. Dengan kepala dingin harus diakui bahwa kalau bicara persaingan global, maka konkritnya adalah besaing dengan Malaysia. Yang kayaknya sebanding, dan beatable begitu. Bagaimana dia memasarkan, memaketi dan mempromosikan potensi wisatanya yang terbatas itu dengan baik sehingga begitu 'friendly' bagi wisatawan mancanegara (wisman).

Kalau dibandingkan dengan Malaysia, katakanlah Kuala Lumpur saat menerapkan Visit Malaysia 2007 yang lalu . Kesan penerapan 7-P tersebut sungguh jelas terasa.mulai dari KL International Airport, spanduk brosur-brosur, pin petugas, poster di mobil-mobil di hotel sungguh terasa. Dengan logo ’bunga sepatu’ (hibiscus) yang konsisten digunakan dimana-mana memberi kesan serius menyambut tamu.

Dan yang lebih penting lagi, paket-paket, seperti ditunjukkan oleh brosur-brosur yang desainnya senada itu menunjukkan ’pengemasan’ atraksi dan obyek yang jelas temanya. Agak berbeda dengan disini yang kesannya tiap operator berlomba paket untuk lokasi dan atraksi yang kurang lebih sama, dengan cara promosi dan brosur yang saling bersaing juga. Ini jelas membingungkan wisatawan, yang bukan rombingan (kalau rombongan sudah tidak perlu informasi?). Kesimpulannya kalau di Malaysia jejak Visit Malaysia 2007 sebagai ’program bersama’ itu tampak menonjol, mudal dilihat dan dirasakan wisatawan. Kalau di Indonesia untuk VIY-2008 ini bagaimana?

Malaysia juga tampak sangat serius dalam mengidentifikasi, merevitalisasi, mengemas produk-produk budayanya. Bahkan sampai-sampai yang kontroversial seperti mengakui lagu Rasa Sayange, Reog, Batik sebagai miliknya. Dari sisi mereka itu menunjukkan keseriusannya untuk merevitalisasi kekayaan budaya yang (sebetulnya) terbatas itu. Terutama soal batik Malaysia mereka sangat serius kelihatannya. Sementara kita, setelah kaget ’milik’nya diakui bangsa lain, sampai sekarang juga terbatas ’ngomel’ saja. Nyatanya no action. Tidak ada misalnya dari Departemen Kehakiman mempromosikan kemudahan mengurus hak cipta, paten, dan bentuk HAKI lainnya, atau bantuan pelayanan bagi UKM atau maestro tertentu sebagai ’aksi.’

Yang hilang dari kita saat ini adalah kejayaan Bandara Sukarno-Hatta yang pernah kita banggakan itu. Sementara KL International Airport pada tahun 2005-2006 meraih predikat sebagai the World’s Best Airport, untuk kelas 15-25 juta penumpang/tahun, maka Bandara Sukarno-Hatta kian terpuruk pamornya dengan jalan raya (tol) yang sering terendam air, dan makin macet karena makin banyak pintu keluar/masuk yang dibuka. Ini menunjukkan bahwa di kita ”tidak ada prioritas, tidak ada keterpaduan”. Semua jalan sendiri-sendiri, saling cari untung sendiri, saling jegal. Dalam dunia pariwisata pengalaman ’first impression’ dan ’last impression’ itu sangat menentukan. Kalau keluar dari airport saja sudah macet lebih dari sejam, maka moodnya sudah kacau, pulangnya juga membawa kenangan kemacetan yang sama. Maka agak nekad kalau kita terus mengharap mereka kembali, atau akan menceritakan ’kenangan manis’ kepada tetangga, keluarga dan rekan kerjanya untuk ke Indonesia. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]