Visit Indonesia Year 2008
Selain Valentine Day, rupanya event langganan bulan February untuk Jakarta adalah banjir musiman. Kemarin, 2-2-2008, Jakarta lumpuh. Kepala Negara dan istananya kebanjiran. Menurut Koran Tempo ada 140 titik banjir, dengan variasi kedalaman air 20 - 100 cm. Sedang jalan terendam di 64 titik, termasuk di jalan protokol Thamrin dan sekitar Taman Merdeka Monas, istana presiden dan wakil presiden.
Dampaknya banyak warga yang rumahnya tergenang. Dampak pada transpostasi, seperti biasa kemacetan lalu lintas merata hingga seluruh Jabodetabek. Beberapa koridor busway ditutup. Angkutan kereta api metro Jakarta - Tangerang terganggu karena ada longsoran.
Yang lebih dramatis, landasan Bandara Soekarno-Hatta tergenang pada dua landas pacu, mengakibatkan bandara ditutup selama hampir lima jam, sehingga 237 penerbangan terganggu jadwalnya. Banyak penerbangan tujuan Jakarta yang selain ke Halim terpaksa mendarat di Palembang, Semarang, Surabaya, Singapura. Lalu lintas Bandara ke Jakarta pp, macet total karena beberapa ruas jalan tol tergenang.
Hujan yang turun dengan durasi satu hari lebih itu telah membuat ibukota hampir lumpuh. Padahal kelihatannya hujan kali ini hanya di wilayah Jakarta, tidak di wilayah hulu (Bogor).
Mengapa kondisi fatal ini bisa terjadi?
Kalau hanya hujan lokal, berarti ini karena sistem drainase yang tidak berfungsi.
Mengapa sistem drainase tidak berfungsi? Setidaknya ada tiga sebab: (1) karena saluran mampet, (2) karena kapasitas tampung saluran tidak memadai, (3) karena permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air.
Pertama. Mengapa (1) saluran mampet? Karena lubang outlet dipenuhi sampah dan tahah, saluran penuh sampah, pendangkalan karena kotoran, bahkan terurug bangunan, jalan.
Mengapa bisa terjadi? Karena tidak ada manajemen pemeliharaan yang memadai. Karena kebiasaan masyarakat buang sampah sembarangan.
So, mengapa tidak dilakukan perbaikan manajemen pemeliharaan?
Tidak ada pengorganisasian yang jelas? Tidak ada SOP? Tidak ada pelatihan personil? Tidak ada kebijakan antar instansi yang jelas, terpadu?
Kedua. Mengapa (2) kapasitas tampung saluran tidak memadai? Karena pendangkalan makro. Karena sistem saluran dimensi dan cakupannya sudah tidak mengejar peluasan kawasan terbangun. Kata Kasi Pemeliharaan dan Pengendalian Air DPU Jakarta, 200 pompa pengendali air sudah dikerahkan tapi tak banyak berarti
Mengapa sistem tidak memadai? Karena tidak ada antisipasi dan perencanaan yang baik? Karena budget tak cukup. Katanya diperlukan sedikitnya Rp 1,1 trilliun untuk pengerukan saluran makro, sementara tahun ini anggaran cuma Rp 50 miliar.
Ketiga. Mengapa (3) permukaan tanah yang tidak melandai ke arah laut, tapi menciptakan jebakan-jebakan air. Karena rencana tata ruang tidak terkoordinasi dengan rencana tata air. Karena ijin-ijin membuka lahan, membangun real-estat, mendirikan bangunan tidak dikontrol soal dampaknya pada ketinggian dan peil banjir. Pembangun berikutnya selalu lebih tinggi. D.p.l menimpakan risiko banjir ke lingkungan yang terbangun sebelumnya. Bahkan munkin tiap lingkungan baru tak jelas drainasenya disalurkan ke sistem sekunder, primer yang mana, berapa kapasitasnya.
So, perlu pemotretan lokasi-lokasi langganan banjir dan genangan. Lalu, dievaluasi ketinggian permukaannya. Mana-mana lingkungan yang jadi sebab genangan. Juga, dipetakan saluran drainase yang melayaninya. Lalu dipertajam analisis permasalahan sistem drainase tersebut.
Juga sebab makro lain, yaitu meningginya permukaan air laut. Dan, intrusi air laut ke dalam tanah, sehingga menahan aliran bawah tanah. Kelihatannya kok DKI tidak berupaya mengefektifkan antisipasi naiknya tinggi air laut, justru meningkatkan pembangunan fisik pantai.
So, mana yang mau diprioritaskan dari dua masalah besar - pengendalian banjir, pengendalian transportasi? Kejadian kemarin menunjukkan keduanya tidak bisa dipisahkan. Walau lalu-lintas terjadi harian, sedang banjir musiman. Tapi momentum Presiden dan Wakil nya yang kebanjiran itu bisa segera jadi momentum untuk meng-goal-kan kembali proposal penanggulangan banjir ibukota. Tapi kalau untuk merampungkan koridor busway saja harus memakai dana subsidi pendidikan das-men, maka untuk normalisasi darinase, juga pembangunan kanal banjir dari mana ya? Kita percaya Bang Foke tahu jawabannya.
Manajemen kinerja pemerintah DKI, atau Bang Foke, bisa dilihat dari berapa besar dampak banjir dibanding Feb 2007, lalu beberapa bulan lagi bagaimana kalau datang bencana yang sama. Bagaimana perbaikan sistem antisipasi, pencegahan dan penanggulangannya. Bagaimana prosesnya, bagaimana output dan outcome nya. Adakah perubahan, adakah tanda-tanda kesungguhan dalam menangani masalahnya? [Risfan Munir, alumnus S-1, S-2 Perencanaan Wilayah dan kota, ITB]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago