Saturday, March 21, 2009

Manajemen Perubahan Kota (3): Skenario Kawasan Kota Baru Yogyakarta

Bung Djarot, Bung Indra Budiman membawa diskusi kepada jalur kajian manajemen perubahan suatu permukiman.

Di samping sudut pandang "hukum" yang berujung pada kesimpulan "kalah tau menang". Kita juga bisa membuatnya sebagai "kajian perubahan lingkungan perkotaan". Coba tengok gambar/peta stadia kota, maka akan tampak dulu bagaimana, sekarang bagaimana. Di balik itu tentu tersimpan kisah menang/kalah dan pergeseran serta penggusuran, tapi juga ada kisah manis atau good-practices nya.

Kalau Bung Djarot mencoba memproyeksikannya ke kasus Kotabaru Yogya (Mentengnya Yogya?). Barangkali istilah blue-print kurang pas untuk konservasi. Boleh jadi ini menyangkut trend atau skenario perubahan, dan bagaimana meresponsnya. Kita bisa coba berfikir bukan dalam skenario "win-lose" tapi "challenge-response".

Tentu ada kekuatan eksternal maupun internal kawasan (Kotabaru) yang bekerja. Kekuatan eksternal, bisa jadi desakan kearah kegiatan komersial, mengingat lokasinya tak jauh dari Tugu, Malioboro dan Jalan ke Solo sebagai pusat kota atau CBD.

Secara internal, warga termasuk institusi yang tinggal di situ memang menikmati nilai lokasi karena aksesibilitas yang tinggi. Tapi kisah klasiknya bagaimana 'ketahanan ekonomi' mereka. Orang kaya lama yang menghuni (ini kawasan berdiri th 1920an ya) apakah masih 'cukup kaya' untuk memeliharanya? Bayar PBB? Biasanya kan pensiunan, atau keturunannya sebagian saja di situ, atau lebih baik jual saja agar warisannya mudah dibagi.

Lalu pembeli, atau penghuni baru: apakah mereka membeli untuk rumah tinggal? Maukah orang yang beli rumah seharga di atas Rp 1M itu tinggal di tempat yang kian hiruk-pikuk karena transportasi kota itu? Mungkin di bagian-bagian tertentu masih tenang ya.

Kalau dibanding dengan Jakarta, ada kasus Menteng, ada Kebayoran Baru. Lingkungan Kebayoran Baru sudah banyak yang beralih fungsi atau taraf "stress" terutama sekitar jalan utama. Kalau kawasan Menteng, khusus bagian intinya masih lebih tenang, karena 'orang kaya' yang beli dari 'priyayi lama' akan bangga berumah di lingkungan super-elite itu. Tarif PBB tidak sensitif bagi kantong mereka.

Upaya konservasi memang harus diterapkan bagi lingkungan seperti Menteng, Kebayoran Baru, Kotabaru Yogya, kawasan sejenis di Malang (jalan dengan nama gunung: Ijen, Semeru, Merbabu), kawasan Darmo Surabaya. Tapi bagaimana menghindari skenario "menang - kalah", yang biasanya banyak kalah nya.

Apakah masih layak berobsesi bahwa ada Pemda yang begitu strong, konsisten. Mengingat walikota ganti lima tahunan. Peruntukan komersial masih lebih menguntungkan jangka pendek bagi keuangan daerah untuk kota, yang tak bisa mengharap bagi hasil eksploitasi SDA. Mengharap pressure group, dari kelompok mana ya? Arsitek dan planner tak semua punya komitmen besar untuk itu? Budayawan biasanya ya himbauan moral saja, mana bisa melawan hasrat komersial (?).

Solusi yang umumnya dipikirkan ialah: "pertahankan bentuk/ struktur, oke lah perubahan fungsi". Itupun mesti diberlakukan selektif.Tapi strateginya, mestinya ya berilah insentif bagi penghuni supaya betah setidaknya mempertahankan bentuk arsitekturnya. Beri keringanan PBB, kemudahan utilitas, kemudahan lain. Tapi repotnya Pemerintah sendiri kan tidak satu policy untuk konservasi itu. Ada Dinas Tata Ruang/Cipta Karya dan Dinas Pariwisata/Budaya yang mau konservasi, ada BPKD (dulu Dispenda) yang mau pajak/ retribusinya, ada Bina Marga yang mau melebarkan jalan, Dinas perhubungan yang bikin trayek angkot lewat situ, dst.

Terakhir, asumsi pokok kita bahwa kalau RTRW sudah di-Perda (peraturan daerah)- kan, sudah aman. Tapi Perda sendiri, atas persetujuan Pemda, Dewan kan bisa berubah.

Itu mungkin yang terlintas di pikiran saya Bung Djarot. Tentu setiap kemunkinan skenarionya ada di antara yang optimis dan pesimis. Kisah arsitek yang melestasikan Kampung Batik Laweyan, barangkali contoh optimismenya. Tapi jangan seperti pelestarian Kawasan Condet di Jakarta, yang meminta warga (umumnya tradisional, ekonomi lemah) untuk jadi kawasan asli Betawi, sementara tetangganya yang tak di"marga-satwa"kan dapat windfall money karena harga tanah yang selangit. Sekali lagi, salah satu kuncinya, apa insentif bagi warga yang (harus) melestarikannya. Damai di bumi, Risfan Munir

Manajemen Perubahan Kota (2): Skenario Kawasan Kota Baru Yogyakarta

Saturday, March 21, 2009 8:29 AM
Arsitek Djarot menulis:

Pak Risfan, matur nuwun atas pencerahannya. Saya kira kita perlu sangat memperhitungkan sebuah konsep yang namanya "umur perencanaan" . Memang tampaknya sepele, tetapi ini sebenarnya dahsyat, sebab mengandung kerendahan hati yang dilandasi konsep kesementaraan. Seorang planner saya kira ada di dalam ketegangan situasi sementara, mirip situasi sementara dalam pandangan Popper itu.

Benar Pak, blueprint barangkali diperlukan, tetapi toh umurnya hanya sementara. Saya setuju dengan blueprint yang sementara semacam itu, supaya jejak-jejak perencanaan justru memperkaya kehidupan. Saya tidak tahu benar bagaimana "blueprint" kawasan Kotabaru di Jogja yang awalnya adalah permukiman elite orang kaya Belanda masa lalu dan sekarang sedikit-demi sedikit mulai menguat karakter komersialnya. Apakah ahli-ahli planning bisa mengarahkan perkembangan Kotabaru menjadi apa 20 tahun ke depan ? Barangkali harus belajar kemampuan seperti Mama Lorenz ya ??? Salam, Djarot Purbadi

Arsitek Indra Budiman Syamwil menanggapi:

Rekan Ysh,
Di era transformasi budaya, fikiran dan kemunculan sub-kultur serta habitus baru ini yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Persoalan dan perilaku merruang dengan sendirinya mengalami perubahan, demikian pula ekonomi ruang yang penuh 'uncertainty' . Manajemen by objective perlu diubah menjadi 'management of change', bagaimana meng 'antisipasi' dan mengelola perubahan itu sendiri. Bukankah demikian Pak Risfan dan Pak Djarot?
Salam, Indra B Syamwil

Manajemen Perubahan Kota (1): Kasus Kemang Jakarta

Dari referensi@yahoogroups.com, saya kutip diskusi yang menarik sebagai berikut.

Date: Friday, March 20, 2009, 3:13 AM
Arsitek Djarot menulis:

Dear Sobats,
Jika ruang kota atau kawasan merupakan "teks" maka makna keberadaannya tergantung pada konteks yang berlapis-lapis. Kadang konteks kita kenali dengan baik tetapi kiranya banyak konteks yang tidak kita kenali. Celakanya "the hidden contexts" tersebut sangat dinamis jika ada di kawasan yang berubah dinamis juga Ketika konteks berubah maka teks juga akan mengalami perubahan. Kasus Kemang barangkali bisa dibaca dengan cara demikian. Lagi pula, ketika suatu rencana "membeku" menjadi blueprint atau semacamnya, maka makna rencana tersebut menjadi "berubah" karena sebenarnya konteks empiris berubah sementara konteks yang digunakan dalam proses perencanaannya tentunya tetap.

Artinya, ilmu perencanaan selalu dalam keadaan gamang, sebab relasi konteks dengan teks yang digarap keduanya obyek yang dinamis. Dinamikanya kadang tidak terduga, sebab menyangkut dimensi kuantitatif maupun kualitatif. Apakah begitu ? Kasus Kemang rasanya seperti gugurnya sebuah konsep karena perubahan yang terjadi pada fenomena empiris dalam pemikiran induktif naif ! Salam, Djarot Purbadi

Risfan Munir menjawab:

Bung Djarot,
Walau samar saya menangkap 'pesan' njenengan. Bahkan John Friedman, salah satu bapak planning itu, juga mewanti-wanti soal cara pandang "blue-print planning". Karena komunitas kota sudah seperti organism yang tumbuh dinamis, diluar dugaan "ibunya" sendiri sekalipun. Siapa yang bisa meramal dengan akurat saat ini.
Para analis ekonomi (bidang yang katanya paling kuantitatif) tercanggih sekalipun saat ini tak lebih baik dari Mama Lorenz.

Kita bisa bikin blue-print, tapi bisakah kita meramal (kecuali yang pesimistik) tentang tebal kocek pemerintah atau masyarakat untuk melaksanakannya? Kapasitas kelembagaan untuk pengendalian? Jumlah orang miskin, sektor informal kota? Celakanya semua ini memberi tekanan kepada "relevansi" suatu blue-print kota.

Tapi toh, Pemda dan masyarakat perlu "kepastian" atau setidaknya "pedoman" bagi lokasi tempat tinggal dan usahanya di peta kota. Jadi bagaimana "pedoman" yang pas itu? Yang tidak tampak sebentar-sebentar harus "disesuaikan" , sehingga hilang wibawanya? Inilah mungkin tantangan bagi kita. Damai, [Risfan Munir]

Friday, March 20, 2009

Manajemen Penataan Ruang

Saat ini terjadi kegalauan di kalangan perencana, karena banyaknya gejala pembangunan fisik di perkotaan kok 'melanggar' aturan rencana tata ruang. Ini memerlukan pemikiran yang lebih jeli soal penerapan rencana tersebut.

Penataan Ruang selama ini lebih banyak dilihat dari aspek Perencanaannya saja, sementara Penataan Ruang sesuai UUPR menyangkut aspek "perencanaan - pelaksanaan/pemanfaatan - pengendalian," yang hakikatnya merupakan siklus proses MANAJEMEN PENATAAN RUANG, sebagai bagian dari manajemen pelayanan publik.

Bicara Manajemen, khususnya manajemen mutu, biasanya kita gunakan siklus "plan-do-check-action (PDCA)" secara berkelanjutan, dalam rangka continuous process improvement. Dalam bahasa UUPR identik dengan "perencanaan - pemanfaatan - pengendalian."

Dari berbagai diskusi dapat saya simpulkan ada beberapa tantangan dan agenda Manajemen Penataan Ruang yang memerlukan respons, antara lain di bawah ini.

ASPEK PERENCANAAN (plan):
Tantangan:
- Bagaimana menuntaskan perangkat rencana, berbagai jenis rencana: panduan, standar teknis, standar land-use, prosedur, kaitannya dengan rencana sektor dan lainnya,
- Kajian bagaimana merencana "tata ruang dinamis", di tengah perubahan multi-dimensi yang unpredictable ini. Bagaimana menggunakan skenario? Kalau toh ada review, apa syarat dan prosedurnya?
- Bagaimana prosedur perencanaan yang lebih partisipatif, melibatkan stakeholders?
- Bagaimana dengan pelatihan bagi perencana dilakukan bagi aparat, konsultan dan lainnya? Seperti kerja sama IAP dan DJPR. Bagaimana agar merata, bagaimana standarisasi mutunya?
Dan, seterusnya.

ASPEK PEMANFAATAN (do):
Tantangan:
- Bagaimana agar semua jenis rencana yang menurut regulasi harus ada bisa tersusun di semua daerah, kawasan, zona?
- Bagaimana rencana didiseminasi, diketahui dan difahami oleh warga bersangkutan, ada jajaran SKPD terkait, LSM, media massa?
- Apa instrumen "pelaksanaan" yang diterapkan - kombinasi atau salah satu dari: law enforcement, gov't investment (eminent domain), insentif/disinsentif, sesuai UUPR?
- Bagaimana agar "pressure" dari masyarakat dan media, legislatif dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan RTR
- Menciptakan dan menginventarisasi contoh atau best practices dalam penerapan instrumen2 tersebut dari barbagai daerah dan kasus. Kalau diteliti tentu banyak kisah sukses pelaksanaan penataan ruang "kawasan konflik kepentingan", "kawasan super padat", "penataan kampung tengah/pinggir kota", "penataan commercial strip", pendekatan partisipatif, melibatkan swasta, kerja sama antar instansi, dst.
- Diseminasi best practice tsb melalui workshop pertukaran pengalaman antar daerah,
Dan seterusnya,

ASPEK PENGENDALIAN (check, action):
Tantangan:
- Bagaimana memantau pelaksanaan dan pertumbuhan spontan yang terjadi di lapangan. Adakah pernah disusun prosedur pemantauan (inspeksi)? Yang melibatkan warga?
Adakah forum, pertemuan periodik membahas fenomena penataan ruang dan pertumbuhan fisik, risiko-risiko atau trend yang mengkhawatirkan?
- Bagaimana mendorong partisipasi masyarakat, media massa, legislatif agar aktif memantau pelaksanaan RTR,
- Lalu, apa action nya? Adakah strategi dan SOP seperti melakukan shock teraphy dan sejenisnya, SOP bagi aparat dan warga yang ditunjuk dalam melakukan sidak dan penindakan, Dan, lainnya

FEED-BACK:
Bagaimana agar proses Plan - Do - Check - Action (PDCA) itu dilakukan terus secara cyclical. Sehingga dalam praktek manajemen penataan ruang sehingga selalu dianggarkan pelaksanaannya, dst.

AGENDA:
Berbagai tantangan tersebut harus direspons dengan Agenda atau tindakan:
- Penyusunan agenda tindakan yang terencana dengan: rincian kegiatan, input, output dan outcome nya?
- Karena "pelaksana" tata ruang sebagian besar bukanlah instansi tata ruang, maka bagaimana menggalang saling pengertian dan dukungan antar sektor, antar instansi?
- Urusan penataan ruang termasuk "urusan wajib" pemerintah daerah, jadi bagaimana menagih pelaksanaan urusan wajib itu?
- Sebaliknya, kita tahu bagaimana sih kekuatan SKPD tiap daerah? Ada yang sub-dinas, ada yang sub-subdinas dengan personil 2-3 orang saja kompeten dalam penataan ruang. Jadi bagaimana membekali Pemda dengan perangkat bagi capacity building aparat (dan stakeholders) penataan ruang. Dan, seterusnya.

Sekali lagi, yang penting adalah membiasakan untuk melihat penataan ruang bukan cuma aspek Perencanaan nya saja, tapi sebagai bagian dari Manajemen Pelayanan Publik, khususnya urusan penataan ruang. [Risfan Munir]

Tuesday, March 17, 2009

Difussion of Technology dan Manajemen Pelayanan Publik

Saya teringat buku yang yang berjudul: "Tiga Pilar
Pengembangan Wilayah: SDM, SDA dan Teknologi" terbitan BPPT. Inovasi dan difusi teknologi yang tak bisa dilupakan.

Kebetulan program pengembangan ekonomi lokal yang saya tangani, sedikit bersinggungan dengan kegiatan Menristek tentang pengembangan jaringan BTC (business technology centers). Ini adalah jaringan pembelajaran keterampilan teknologi madya. Ada simpul-simpul antar universitas, tapi sasarannya tingkat SMK (sekolah menengah kejuruan). Jejaringnya online ini berskala internasional, sehingga skill/ teknologi apa yang dibutuhkan di tingkat lokal bisa dicarikan sumbernya di belahan bumi lain. Sementara dari Jerman, sebagai sponsornya saat ini. Kita tahu Swiss-German, juga Jepang telah lama membantu SMK-SMK kita.

Kedua, hal lain yang perlu dijawab ialah soal manajemen pelayanan publik terkait delivery management dari berbagai pelayanan (contohk distribusi tabung dan kompor gas). Tapi masalah service delivery ini terjadi juga pada hampir semua pelayanan, misalnya BLT (yang sekarang sedang akan turun), beras bagi Gakin, pupuk bersubsidi.

Planner umumnya belajar tentang sistem distribusi dan koleksi (koldip). Memang dulu konsepnya antar hirarkhi pelayanan (kota). Tapi dengan revolusi transportasi model hirarkhi tersebut sudah mesti dirubah dengan pendekatan supply chain management, atau manajemen logistik yang lebih praktis.

Sekali lagi di literatur pengembangan wilayah atau regional science itu sudah dikembangkan, tinggal bagaimana kita mengadopsi dan mengaplikasikannya.



[Risfan Munir]

Pengembangan Ekonomi Lokal Kota Bekasi

Kota Bekasi genap berusia 12th. Tapi yang ulang tahun tentu Pemdanya ya. Kalau kota/ wilayahnya kan sudah tua ya. Setidaknya waktu Chairil Anwar nulis sajaknya Bekasi juga sudah jadi permukiman yang relatif berkembang.

Kota Bekasi juga tidak tumbuh pesat karena "ditunjuk" sebagai kota satelit. Ya alamiah saja kan, Jakarta meluas hingga Jabodetabek. Lalu dipicu dengan terbangunnya jalan tol Jakarta - Bekasi, dan kemudian Cikampek hingga Bandung.

Permasalahan Kota Bekasi menurut saya ciri khas "urban fringe", pinggiran metropolitan dunia ketiga yang amburadul umumnya. Lahan terasa menyempit karena kepadatan kian tinggi. Di luar itu ada Kabupaten Bekasi yang lahannya relatif luas, yang juga sedang bergeser dari pertanian ke industri. Ini mengundang penduduk, yang kegiatan sosial dan belanjanya ke Kota Bekasi.

Untuk kota sepadat Bekasi ini mungkin ruang untuk industri sudah sulit, yang mungkin adalah untuk pembangunan sektor jasa: pertokoan, perkantoran, hotel, rumah sakit, sekolah. Untuk ruang terbuka hijau, harus ada niat (dan tekanan dari masyarakat) agar setidaknya RTH yang tersisa dipertahankan.
Soal lapangan kerja, menurut saya banyak pembukaan kesempatan kerja baru. Tapi penduduk pendatang juga tinggi pertumbuhannya. Ada juga masalah terdesaknya pekerjaan tradisional pertanian ke sektor perkotaan. Repotnya pekerja pertanian itu 'penduduk lama' (untuk tidak bilang asli), sementara yang mengisi sektor perkotaan banyak pendatang. Setidaknya itu yang saya amati selama dua dekade ini.

Selain padat, dari segi lingkungan juga ada banyak kawasan rawan banjir (genangan), karena banyaknya rawa, penampung air yang diurug jadi perumahan.

Pemkot dengan kondisinya memang akan dituntut untuk lebih fokus ke pemeliharaan, pembangunan sosial (pendidikan, kesehatan, keamanan, ketertiban). Masalahnya uangnya dari mana. Bagi hasil untuk kota biasanya tak sebanyak pemilik SDA.
Peluang yang nyata ya "pajak pembangunan-1" (hiburan, rumah makan) yang langsung diterima Pemkot. Maka dibukalah izin-izin mal dan sarana hiburan.

Bagaiman kota Bekasi ke depan? Ya oke-oke saja kali ya.
Tapi mungkin selain pemeliharaan prasarana, sarana, pendidikan dan kesehatan.
Pengembangan ekonomi lokal, khusunya yang mikro dan informal (keakyatan) perlu
diprioritaskan, karena angka pengangguran yang tinggi bisa menimbulkan kerawanan sosial.

Selamat ulang tahun Pemkot Bekasi. [Risfan Munir]

Monday, March 16, 2009

Manajemen Pelayanan Publik bagi Pengembangan Ekonomi Lokal

Posting Risfan Munir:

Soal blue collar worker, atau TKI, TKW adalah kenyataan yang sudah terjadi. Jumlahnya juga sudah jutaan. Pemerintah secara statistik, angka, juga mengakui kalau sumber devisa terbesar setelah Migas dan eksplorasi SDA (tambang? hasil hutan?) adalah remittance dari TKI. Tapi di luar statistik, memang seperti yang dikatakan Efha, masih "merendahkan" orangnya. Malu mengakui kalau mereka adalah warga yang berprofesi resmi. Budaya priyayi masih dominan di negeri kita. Celakanya juga terjadi bukan cuma di Pemda, tapi juga di kedutaan di luar negeri, yang harusnya melindungi TKI/W.

Sikap priyayi itu juga ditujukan terhadap pengusaha swasta. Sikap umumnya menganggap bahwa swasta layak dicurigai, serakah, tidak patriot. Walau katanya ingin undang investor. Walau personal oknumnya lebih suka 'kerjasama diam-diam'. Banyak usaha swasta yang menciptakan lapangan kerja untuk ribuan orang dalam satu pabrik. Tapi alih-alih dihargai, mereka dicurigai, lalu dirong-rong.

Kembali ke soal devisa, kalau urutan penghasil devisa seperti itu, artinya bangsa kita masih kategori penjual "hasil bumi, hasil hutan dan keringat". Artinya memang masih mentahan.

Kebangkitan kesadaran untuk mengembangkan industri pengolahan, untuk membeli produk jadi dari negeri sendiri seperti Jepang pada masa kebangkitannya harus dihidupkan. Pasca krisis, banyak negara melakukan 'proteksionisme' selektif (fortifikasi) adalah momentum yang harus dimanfaatkan.

Menyangkut pelayanan publik bagi pengembangan ekonomi, dari banyak diskusi yang saya ikuti di Bappenas, dengan asosiasi produsen, banyak keluhan bahwa Pemerintah terkesan lebih memberi fasilitas kepada import barang jadi daripada, bahan baku. Sebaliknya lebih memberi kelonggaran mengekspor bahan mentah daripada barang jadi. Baik untuk produk garmen, kayu/furnitur, kulit, logam. Ini sering karena kekurang fahaman perumus kebijakan, atau desakan dari luar.

Hal-hal yang seperti ini yang secara konkrit mesti diperbaiki. Masalahnya sudah jelas, konsep pengembangan ekonomi juga sudah banyak dibahas. Bukan retorika yang diperlukan, tapi mengerjakan perbaikan dalam kebijakan operasional dan pelaksanannya. Apa bukan begitu? Damai di bumi, [Risfan Munir]

Reply dari Aunur Rofiq:

Memang benar kita masih merendahkan sektor swasta dan TKI kita, cerita bung fajar sering saya temui. Banyak Bupati dan birokrat daerah yang enggan mengembangkan pusat pelatihan tenaga kerja....untuk dirty job. Sedangkan untuk sektor swasta saya pernah mempunyai program pengembangan ekonomi lokal (PEL) yang tujuannya agar para pengusaha lokal mampu mengembangkan bisnisnya terutama untuk menangkap peluang dalam rantai nilai suatu komoditi yang sudah mereka geluti (misalnya industri pengolahan hasil pertanian dll). Ternyata kepercayaan para birokrat terhadap kemampuan entreprenuer lokal sangat rendah.....mereka sepertinya tidak rela jika bisa membesarkan para pengusaha lokal tersebut.... .inilah cara pandang yang harus berubah dari birokrat kita. Meskipun pada daerah terpencil mereka tetap mengharapkan ada investor asing yang mau menanamkan modalnya disana...keinginan mereka tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal disitu sudah terdapat bibit wirausahawan- wirausahawan yang hanya memerlukan informasi tentang kredit, pasar dan teknologi saja mereka akan mampu berkembang dan mengembangkan daerah

Salam, Aunur Rofiq

Re-reply Risfan Munir:

Khusus menyangkut Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) kebetulan saya cukup lama terlibat. Memang banyak PR yang masih perlu kita kerjakan untuk meluruskan persepsi.

Masalah investasi dan penciptaan lapangan kerja, seperti pribahasa "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak."

Investor selalu dibayangkan dari luar, pekerjaan selalu dibayangkan adanya pabrik yang pekerjanya banyak. Tapi kita mesti introspeksi juga, karena teman-teman profesional, pejabat Pusat ngajarinya sering juga masih begitu.

Dalam soal pengembangan ekonomi lokal (PEL) misalnya. Sering kalau di level kabupaten data statistik tidak memadai, karena tentu ISIC tidak mencakup klasifikasi produk (dalam mata rantai produksi yang rekan Aunur sebut). Saya selalu sarankan kenapa tidak kita undang wakil pelakunya, yang besar, sedang, kecil. Kita minta mereka saling cerita input dari mana, output dijual kemana? Dengan begitu tergambar mata rantai nilai. Lalu dalam pertemuan dibahas potensi dan masalahnya. Biasanya setelah disadarkan mereka mau, dan pertemuan antar "rantai nilai" (value chain) produk sejenis itu selanjutnya otomatis jalan sendiri.

Kedua, menyangkut pelayanan publik, khususnya soal diklat untuk TKI/W. Sebagai info untuk membesarkan hati, di beberapa kabupaten/kota di Jateng, Jatim sudah banyak berdiri. Walau lagi-lagi ya usaha swasta, bukan Pemda.

Sedangkan untuk transfer of remittance, bahkan bank BUMN yang dipercaya TKW sempat meremehkan volume remitan itu. Banyak surat pembaca komplain. Baru setelah BCA terlibat mereka kaget dan bangkit, tapi sudah telat kali ya. Damai, [Risfan Munir]

Tuesday, March 10, 2009

Wisata Kota Bandung dan Creative Industry?

Saya kebetulan melewatkan libur kemarin ke Bandung. Tujuan awalnya mau melihat-lihat DiesEmas ITB, tapi karena situasi, bukannya nongkrong di kampus tapi malah lebih banyak nonton macetnya jalan Dago karena padatnya pengunjung

Dengan mengistirahatkan judgment 'spatial planning' sebentar, yang tampak adalah geliat ekonomi kota. FO masih tetap jadi magnet utama. Mudah-mudahan yang dijual memang lebih banyak produk lokal.

Kalau melihat Elizabeth (produk tas), Edward Forrer (sepatu n kulit lokal), Kartika Sari, Evita klapper tart (kue-kue lokal) makin memperbesar dan memformalkan outletnya di Dago, mungkin indikasi bahwa dagangan mereka kian moncer.

Makan siang di Bukit Dago Pakar Timur, sambil melihat panorama Bandung di kejauhan. (Kali ini keprihatinan spatial planning tak dapat dibendung, prihatin melihat bukit-bukit gundul. Tapi bisa apa ya?). Makin banyak saja retoran (Sierra, Neo Calista, berbagai warung kopi termasuk Selasar Sunaryo), dan beberapa hotel (Horizon, Marbella).

Kalau mlihat nomor mobilnya, bisa ditebak, mayoritas leter B. Namun ada trend baru, yaitu makin banyaknya wisatawan mancanegara dari Malaysia. Dengan adanya penerbangan langsung Bandung-Kuala Lumpur, dan jalan tol Cipularang, nampaknya memberikan daya tarik bagi wisatawan negeri jiran itu. Dan, mereka relatif royal dalam berbelanja dan memenuhi hotel.

Bandung, bagaimanapun nampaknya akan tetap mengundang wisatawan. Karena banyak kampus berarti banyak alumni, banyak reuni, nostalgia. Jarakpun sepertinya selalu ditingkatkan aksesnya ke Jakarta, ke Kuala Lumpur dan kota utama lainnya. Namun bagaimana daya dukung lingkungannya? [Risfan Munir]

Thursday, March 05, 2009

Pelayanan Publik: Masalah Distribusi Pupuk


Salah satu masalah manajemen pelayanan publik terkait dengan ekonomi lokal ialah masalah distribusi pupuk. Hampir tiap hari beberapa bulan terakhir ini di media massa dibahas berita mengenai keluhan dan protes masyarakat, khususnya petani karena mereka tidak memperoleh pupuk bersubsidi yang "dijanjikan" oleh pemerintah dan Bulog.

Untuk memperjelas perkaranya agar nanti bisa diketahui "dimana" letak persoalannya, maka service delivery flow diagram yang telah dibahas pada posting sebelumnya bisa digunakan. Dengan mengetahui letak persoalannya, dilanjutkan dengan analisis "apa-apa" yang menjadi sebab, maka bisa difokuskan penangannya. Setidaknya diskusi untuk itu juga menjadi terfokus, tidak kesana-kemari. Silahkan mengamati diagram tersebut. [Risfan Munir]

Wednesday, March 04, 2009

Alur Pelayanan Publik (Case - Penyaluran Bantuan Langsung Tunai/BLT)



Tujuan manajemen pelayanan umumnya adalah untuk meningkatkan kinerja penyiapan, penyaluran dan penyajian pelayanan public agar dapat diterima oleh seluruh kelompok sasaran (target group) dengan mudah, lancar, adil, terjangkau.

Namun sebagaimana diketahui banyak sekali kasus yang terjadi dalam manajemen penyaluran pelayanan public ini. Contoh yang paling actual adalah pada kasus Manajemen penyaluran BLT.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Analisis Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow) akan sangat bermanfaat. Dengan menggunakan alat analisis ini, maka akan dengan mudah diidentifikasi pada proses mana persoalan penyediaan pelayanan ini ada. Sehingga selanjutnya dapat di atasi secara efektif dan tepat sasaran.

Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow)
1. Siapa Kelompok Sasarannya?
Apakah ada definisi yang mudah dimengerti siapa kelompok sasarannya?
Apakah (di lapangan) bisa diidentifikasi dengan jelas nama, alamat mereka?
Dalam kasus BLT, inilah salah satu sumber persoalannya. Data dari BPS tahun 2005, banyak yang belum di-update

2. Apa kebutuhan mereka?
Apa yang sesungguhnya dibutuhkan 'kelompok sasaran'?
Pada kasus BLT: Apakah uang tunai Rp 100 ribu cukup?

3. Bagaimana rancangan (paket) pelayanannya?
Bagaimana paket pelayanan (bantuan) itu dirancang?
Dalam kasus BLT: uang tunai sebesar Rp 100 ribu/bulan, dibayarkan per 3 bulan, dan seterusnya.
Siapa yang merancang? Kerjasama, koordinasi, dan konsultasi dengan siapa saja?

4. Bagaimana mobilisasi (sumber daya) nya dilakukan?
Dari mana (saja) sumber dananya (APBN, APBD, lainnya)?
Bagaimana kalau Pemda dan dunia usaha ingin (atau diajak) kontribusi?
Bagaimana cara pengadaan atau pengerahannya? Prosedur administrasinya?

5. Bagaimana penyalurannya?
Bagaimana pelayanan itu disalurkan? Dari 'sumber'nya lewat dinas, lalu UPT, lalu titik pelayanan pembantu atau keliling, atau bagaimana?
Untuk kasus BLT, apakah memang dari Pusat langsung ke kantor Pos?
Perlu juga ditanyakan soal waktu dan kondisinya. Misal: BLT mulai Mei pada 10 kota.
Pada kasus bantuan 'beras Gakin' (keluarga miskin), beberapa Pemda sempat menolak, karena beras datang sering tidak jelas kapan. Tahu-tahu tengah malam datang. Kondisi berasnya jelek.

6. Bagaimana manajemen 'titik pelayanan'nya?
Ini sering jadi titik kritis, karena penyedia atau petugas bertatap muka langsung dengan 'pengguna jasa pelayanan' atau masyarakat kelompok sasaran
Apakah jumlah petugas memadai dibanding jumlah yang membutuhkan? Bagaimana kemampuannya, keterampilannya, sikapnya?
Bagaimana sarana, prasarana, peralatan dan perlengkapannya?
Lokasinya apakah mudah terjangkau? Perlu ongkos transpor besar?
Pada kasus BLT: di Kantor Pos, padahaliasanya Pak/Bu Pos pekerjaannya mencap perangko dan mencatat.

7. Bagaimana dia menjangkau kelompok sasaran?
Adakah layanan pembantu atau keliling? Supaya lebih merata pelayanannya hingga pelosok
Dengan pihak mana saja bekerja-sama? Apakah dengan kantor kecamatan, kelurahan, dusun? Dengan pesantren?

8. Bagaimana kelompok sasaran itu diorganisir?
Kalau memang harus mendatangi, tentu memberikan pelayanan tak bisa dari 'pintu ke pintu', harus dalam kelompok.
Siapa yang mengorganisirnya? RT/RW, LSM atau siapa? Bagaimana cara dan teknisnya?
Pada kasus BLT banyak kepala desa, RT/RW yang menolak. Karena tanpa dilengkapi data, panduan, kewenangan tertentu mereka jadi sasaran 'protes' masyarakat. [Risfan Munir, Public Service Management Specialist]

Tuesday, March 03, 2009

Peningkatan Kinerja Manajemen Pelayanan Publik


Manajemen Pelayanan Publik dapat difahami sebagai segala kegiatan dalam rangka peningkatan kinerja dalam pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik.

A. Mengapa Pelayanan Publik?

Manajemen Pelayanan Publik adalah tanggung-jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pada era desentralisasi dan semakin kuatnya demokratisasi saat ini, maka tuntutan akan tanggung-jawab pelayanan publik dan peningkatan kinerja manajemen pelayanan publik tersebut juga semakin kuat dan terbuka.

Pada saat ini kinerja manajemen pelayanan publik ini sudah menjadi ukuran kinerja pemerintah daerah, terutama kepala daerahnya. Dalam berbagai kesempatan ketidak-puasan masyarakat atas kinerja manajemen pelayanan publik ini kian banyak diungkapkan oleh masyarakat secara terbuka. Masyarakat menuntut penyelenggaraan manajemen pelayanan lebih responsif atas kebutuhan masyarakat dan penyelenggaraan manajemen pelayanan public yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

Amanat Presiden:
Mulai hari ini saya mengajak lembaga negara dan swasta, baik di pusat maupun daerah, untuk menggunakan moto: “permudahlah semua urusan”. Jangan dihidupkan lagi seloroh atau cemooh di masa lalu yang mengatakan, “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.” Itu harus dihentikan. (Presiden SB Yudhoyono, Semarang, 8 Maret 2006).

B. Manajemen Pelayanan Publik

Untuk merespons tantangan dan permasalahan tersebut maka dalam rangka mendukung peningkatan pelayanan akan difokuskan upaya kepada pengembangan kapasitas (capacity building) manajemen pelayanan publik yang menyangkut aspek-aspek:
a Peningkatan efektivitas pengorganisasian pelayanan
b Pengembangan prosedur pelayanan yang mudah, cepat dan transparan
c Peningkatan kualitas dan kapabilitas personil penyelenggara pelayanan
d Pengembangan kebijakan yang mendukung

C. Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (STPP)

Untuk menjawab tantangan permasalahan pelayanan publik tersebut, maka dikembangkan pendekatan peningkatan kinerja pelayanan melalui Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan (STPP).

Tujuan. Kata kunci dalam pelayanan publik adalah: aksesibilitas. Oleh karena itu tujuan dari penyusunan STPP ini adalah merancang rangkaian (paket) kegiatan guna meningkatkan aksesibilitas kepada pelayanan publik. Bagaimana agar pelayanan memadai (cukup) dan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Terjangkau dalam arti lokasinya mudah dicapai, tapi juga harganya terjangkau, serta mudah prosedur dan persyaratannya.

Prinsip. Permasalahan umum pelayanan publik antara lain terkait dengan penerapan prinsip-prinsip good-governance yang masih lemah. Masih terbatasnya partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau penyelenggaraan pelayanan, maupun evaluasinya. Untuk itu maka pendekatan STPP ini mempromosikan penerapan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam proses peningkatan pelayanan tersebut.

Kriteria penyelenggaraan pelayanan publik. Kriteria penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, sesuai Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, antara lain meliputi:
a Kesederhanaan
b Kejelasan
c Kepastian dan ketepatan waktu
d Akurasi
e Tidak diskriminatif
f Bertanggung-jawab
g Kelengkapan sarana dan prasarana
h Kemudahan akses
i Kejujuran
j Kecermatan
k Kedisiplinan, kesopanan, keramahan
l Keamanan, kenyamanan. [Risfan Munir, ex Public Service Management Specialist, Local Governance Support Program, LGSP-USAID]