Saturday, March 21, 2009

Manajemen Perubahan Kota (1): Kasus Kemang Jakarta

Dari referensi@yahoogroups.com, saya kutip diskusi yang menarik sebagai berikut.

Date: Friday, March 20, 2009, 3:13 AM
Arsitek Djarot menulis:

Dear Sobats,
Jika ruang kota atau kawasan merupakan "teks" maka makna keberadaannya tergantung pada konteks yang berlapis-lapis. Kadang konteks kita kenali dengan baik tetapi kiranya banyak konteks yang tidak kita kenali. Celakanya "the hidden contexts" tersebut sangat dinamis jika ada di kawasan yang berubah dinamis juga Ketika konteks berubah maka teks juga akan mengalami perubahan. Kasus Kemang barangkali bisa dibaca dengan cara demikian. Lagi pula, ketika suatu rencana "membeku" menjadi blueprint atau semacamnya, maka makna rencana tersebut menjadi "berubah" karena sebenarnya konteks empiris berubah sementara konteks yang digunakan dalam proses perencanaannya tentunya tetap.

Artinya, ilmu perencanaan selalu dalam keadaan gamang, sebab relasi konteks dengan teks yang digarap keduanya obyek yang dinamis. Dinamikanya kadang tidak terduga, sebab menyangkut dimensi kuantitatif maupun kualitatif. Apakah begitu ? Kasus Kemang rasanya seperti gugurnya sebuah konsep karena perubahan yang terjadi pada fenomena empiris dalam pemikiran induktif naif ! Salam, Djarot Purbadi

Risfan Munir menjawab:

Bung Djarot,
Walau samar saya menangkap 'pesan' njenengan. Bahkan John Friedman, salah satu bapak planning itu, juga mewanti-wanti soal cara pandang "blue-print planning". Karena komunitas kota sudah seperti organism yang tumbuh dinamis, diluar dugaan "ibunya" sendiri sekalipun. Siapa yang bisa meramal dengan akurat saat ini.
Para analis ekonomi (bidang yang katanya paling kuantitatif) tercanggih sekalipun saat ini tak lebih baik dari Mama Lorenz.

Kita bisa bikin blue-print, tapi bisakah kita meramal (kecuali yang pesimistik) tentang tebal kocek pemerintah atau masyarakat untuk melaksanakannya? Kapasitas kelembagaan untuk pengendalian? Jumlah orang miskin, sektor informal kota? Celakanya semua ini memberi tekanan kepada "relevansi" suatu blue-print kota.

Tapi toh, Pemda dan masyarakat perlu "kepastian" atau setidaknya "pedoman" bagi lokasi tempat tinggal dan usahanya di peta kota. Jadi bagaimana "pedoman" yang pas itu? Yang tidak tampak sebentar-sebentar harus "disesuaikan" , sehingga hilang wibawanya? Inilah mungkin tantangan bagi kita. Damai, [Risfan Munir]

No comments: