Tujuan manajemen pelayanan umumnya adalah untuk meningkatkan kinerja penyiapan, penyaluran dan penyajian pelayanan public agar dapat diterima oleh seluruh kelompok sasaran (target group) dengan mudah, lancar, adil, terjangkau.
Namun sebagaimana diketahui banyak sekali kasus yang terjadi dalam manajemen penyaluran pelayanan public ini. Contoh yang paling actual adalah pada kasus Manajemen penyaluran BLT.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Analisis Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow) akan sangat bermanfaat. Dengan menggunakan alat analisis ini, maka akan dengan mudah diidentifikasi pada proses mana persoalan penyediaan pelayanan ini ada. Sehingga selanjutnya dapat di atasi secara efektif dan tepat sasaran.
Aliran Penyediaan Pelayanan (Service Delivery Flow)
1. Siapa Kelompok Sasarannya?
Apakah ada definisi yang mudah dimengerti siapa kelompok sasarannya?
Apakah (di lapangan) bisa diidentifikasi dengan jelas nama, alamat mereka?
Dalam kasus BLT, inilah salah satu sumber persoalannya. Data dari BPS tahun 2005, banyak yang belum di-update
2. Apa kebutuhan mereka?
Apa yang sesungguhnya dibutuhkan 'kelompok sasaran'?
Pada kasus BLT: Apakah uang tunai Rp 100 ribu cukup?
3. Bagaimana rancangan (paket) pelayanannya?
Bagaimana paket pelayanan (bantuan) itu dirancang?
Dalam kasus BLT: uang tunai sebesar Rp 100 ribu/bulan, dibayarkan per 3 bulan, dan seterusnya.
Siapa yang merancang? Kerjasama, koordinasi, dan konsultasi dengan siapa saja?
4. Bagaimana mobilisasi (sumber daya) nya dilakukan?
Dari mana (saja) sumber dananya (APBN, APBD, lainnya)?
Bagaimana kalau Pemda dan dunia usaha ingin (atau diajak) kontribusi?
Bagaimana cara pengadaan atau pengerahannya? Prosedur administrasinya?
5. Bagaimana penyalurannya?
Bagaimana pelayanan itu disalurkan? Dari 'sumber'nya lewat dinas, lalu UPT, lalu titik pelayanan pembantu atau keliling, atau bagaimana?
Untuk kasus BLT, apakah memang dari Pusat langsung ke kantor Pos?
Perlu juga ditanyakan soal waktu dan kondisinya. Misal: BLT mulai Mei pada 10 kota.
Pada kasus bantuan 'beras Gakin' (keluarga miskin), beberapa Pemda sempat menolak, karena beras datang sering tidak jelas kapan. Tahu-tahu tengah malam datang. Kondisi berasnya jelek.
6. Bagaimana manajemen 'titik pelayanan'nya?
Ini sering jadi titik kritis, karena penyedia atau petugas bertatap muka langsung dengan 'pengguna jasa pelayanan' atau masyarakat kelompok sasaran
Apakah jumlah petugas memadai dibanding jumlah yang membutuhkan? Bagaimana kemampuannya, keterampilannya, sikapnya?
Bagaimana sarana, prasarana, peralatan dan perlengkapannya?
Lokasinya apakah mudah terjangkau? Perlu ongkos transpor besar?
Pada kasus BLT: di Kantor Pos, padahaliasanya Pak/Bu Pos pekerjaannya mencap perangko dan mencatat.
7. Bagaimana dia menjangkau kelompok sasaran?
Adakah layanan pembantu atau keliling? Supaya lebih merata pelayanannya hingga pelosok
Dengan pihak mana saja bekerja-sama? Apakah dengan kantor kecamatan, kelurahan, dusun? Dengan pesantren?
8. Bagaimana kelompok sasaran itu diorganisir?
Kalau memang harus mendatangi, tentu memberikan pelayanan tak bisa dari 'pintu ke pintu', harus dalam kelompok.
Siapa yang mengorganisirnya? RT/RW, LSM atau siapa? Bagaimana cara dan teknisnya?
Pada kasus BLT banyak kepala desa, RT/RW yang menolak. Karena tanpa dilengkapi data, panduan, kewenangan tertentu mereka jadi sasaran 'protes' masyarakat. [Risfan Munir, Public Service Management Specialist]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment