Saturday, March 21, 2009

Manajemen Perubahan Kota (3): Skenario Kawasan Kota Baru Yogyakarta

Bung Djarot, Bung Indra Budiman membawa diskusi kepada jalur kajian manajemen perubahan suatu permukiman.

Di samping sudut pandang "hukum" yang berujung pada kesimpulan "kalah tau menang". Kita juga bisa membuatnya sebagai "kajian perubahan lingkungan perkotaan". Coba tengok gambar/peta stadia kota, maka akan tampak dulu bagaimana, sekarang bagaimana. Di balik itu tentu tersimpan kisah menang/kalah dan pergeseran serta penggusuran, tapi juga ada kisah manis atau good-practices nya.

Kalau Bung Djarot mencoba memproyeksikannya ke kasus Kotabaru Yogya (Mentengnya Yogya?). Barangkali istilah blue-print kurang pas untuk konservasi. Boleh jadi ini menyangkut trend atau skenario perubahan, dan bagaimana meresponsnya. Kita bisa coba berfikir bukan dalam skenario "win-lose" tapi "challenge-response".

Tentu ada kekuatan eksternal maupun internal kawasan (Kotabaru) yang bekerja. Kekuatan eksternal, bisa jadi desakan kearah kegiatan komersial, mengingat lokasinya tak jauh dari Tugu, Malioboro dan Jalan ke Solo sebagai pusat kota atau CBD.

Secara internal, warga termasuk institusi yang tinggal di situ memang menikmati nilai lokasi karena aksesibilitas yang tinggi. Tapi kisah klasiknya bagaimana 'ketahanan ekonomi' mereka. Orang kaya lama yang menghuni (ini kawasan berdiri th 1920an ya) apakah masih 'cukup kaya' untuk memeliharanya? Bayar PBB? Biasanya kan pensiunan, atau keturunannya sebagian saja di situ, atau lebih baik jual saja agar warisannya mudah dibagi.

Lalu pembeli, atau penghuni baru: apakah mereka membeli untuk rumah tinggal? Maukah orang yang beli rumah seharga di atas Rp 1M itu tinggal di tempat yang kian hiruk-pikuk karena transportasi kota itu? Mungkin di bagian-bagian tertentu masih tenang ya.

Kalau dibanding dengan Jakarta, ada kasus Menteng, ada Kebayoran Baru. Lingkungan Kebayoran Baru sudah banyak yang beralih fungsi atau taraf "stress" terutama sekitar jalan utama. Kalau kawasan Menteng, khusus bagian intinya masih lebih tenang, karena 'orang kaya' yang beli dari 'priyayi lama' akan bangga berumah di lingkungan super-elite itu. Tarif PBB tidak sensitif bagi kantong mereka.

Upaya konservasi memang harus diterapkan bagi lingkungan seperti Menteng, Kebayoran Baru, Kotabaru Yogya, kawasan sejenis di Malang (jalan dengan nama gunung: Ijen, Semeru, Merbabu), kawasan Darmo Surabaya. Tapi bagaimana menghindari skenario "menang - kalah", yang biasanya banyak kalah nya.

Apakah masih layak berobsesi bahwa ada Pemda yang begitu strong, konsisten. Mengingat walikota ganti lima tahunan. Peruntukan komersial masih lebih menguntungkan jangka pendek bagi keuangan daerah untuk kota, yang tak bisa mengharap bagi hasil eksploitasi SDA. Mengharap pressure group, dari kelompok mana ya? Arsitek dan planner tak semua punya komitmen besar untuk itu? Budayawan biasanya ya himbauan moral saja, mana bisa melawan hasrat komersial (?).

Solusi yang umumnya dipikirkan ialah: "pertahankan bentuk/ struktur, oke lah perubahan fungsi". Itupun mesti diberlakukan selektif.Tapi strateginya, mestinya ya berilah insentif bagi penghuni supaya betah setidaknya mempertahankan bentuk arsitekturnya. Beri keringanan PBB, kemudahan utilitas, kemudahan lain. Tapi repotnya Pemerintah sendiri kan tidak satu policy untuk konservasi itu. Ada Dinas Tata Ruang/Cipta Karya dan Dinas Pariwisata/Budaya yang mau konservasi, ada BPKD (dulu Dispenda) yang mau pajak/ retribusinya, ada Bina Marga yang mau melebarkan jalan, Dinas perhubungan yang bikin trayek angkot lewat situ, dst.

Terakhir, asumsi pokok kita bahwa kalau RTRW sudah di-Perda (peraturan daerah)- kan, sudah aman. Tapi Perda sendiri, atas persetujuan Pemda, Dewan kan bisa berubah.

Itu mungkin yang terlintas di pikiran saya Bung Djarot. Tentu setiap kemunkinan skenarionya ada di antara yang optimis dan pesimis. Kisah arsitek yang melestasikan Kampung Batik Laweyan, barangkali contoh optimismenya. Tapi jangan seperti pelestarian Kawasan Condet di Jakarta, yang meminta warga (umumnya tradisional, ekonomi lemah) untuk jadi kawasan asli Betawi, sementara tetangganya yang tak di"marga-satwa"kan dapat windfall money karena harga tanah yang selangit. Sekali lagi, salah satu kuncinya, apa insentif bagi warga yang (harus) melestarikannya. Damai di bumi, Risfan Munir

1 comment:

Abdus salam said...

sebelumnya saya adalah mahasiswa perencanaan wilayah dan kota FT-UB, dan kebetulan tema tugas kami mengenai konservasi, dan lokasi yang dibahas adalah Kotabaru, saya rasa Kotabaru harus tetap dipertahankan bentuk dan fungsinya sebagai citra pendidikan dan perjuangan, jangan sampai fungsi komersial skala besar merusak citra yang telah ada