Thursday, February 12, 2009

Spatial Economy - Urban Informal Sector

Semakin mantap kalau sudah ada cantolan dari UUPR. Dan kalau difokuskan masalah sektor informal perkotaan terkait aspek spatialnya, bisa dilakukan klasifikasi.

Secara sederhana antara lain bisa dikenali sektor informal (SI) berdasarkan kekritisan gangguannya, sehingga penataan ruangnya perlu diprioritaskan. Paling urgen, misalnya, yang telah menimbulkan gangguan lalu-lintas, keamanan, seperti di sekitar pasar, di perempatan tertentu. Selanjutnya di sekitar taman, di lingkungan perkantoran, di sekitar perumahan, dan seterusnya. Besarnya jumlah pelaku sektor informal ini membutuhkan prioritas penanganan.

Sebagian bisa diberi lokasi ”formal” seperti dilokalisir, tetapi tentu tidak semua mengingat jumlahnya. Sehingga ukuran kuantitatif x% seperti ruang terbuka hijau (RTH) tidak bisa diterapkan. Dan, lokalisasi itu tidak bisa mencegah hadirnya SI ditempat lain.

Kedua, yang munculnya menurut waktu, seperti ”pasar pagi/subuh”, ”pasar senggol” baik untuk pedagang sayur atau makanan. Yang ini sifatnya bisa ”time share”, yang penting setelah selesai harus betul-betul bersih.

Ketiga, yang sporadis, muncul satu dua di mana-mana.
Keempat, yang mobile, pedagang keliling, tukang sol sepatu, tukang bunga. Mereka ini kadang pada jam-jam tertentu juga berhenti, berkerumun di tempat tertentu.

Kelima, yang berusaha di rumah-rumah. Memang ini tisak termasuk SI dalam definisi lama. Tetapi dengan makin “galaknya” inspeksi tata ruang atas fungsi rangkap perumahan, mereka menjadi sulit. Padahal kalau orang kena PHK atau pensiun, paling gampang ya wirausaha di rumah sendiri.

Dalam menghadapi fenomena dan kategori SI di atas, ada intervensi yang sifat ”perencanaan”, tapi sebagian (kategori 2, 3, 4) menyangkut ”manajemen ruang” (satu aspek dari ”pemanfaat dan pengendalian” tata ruang). Sehingga selain peta tata ruang yang sifatnya “fixed”, mungkin perlu juga peta “lokasi yang boleh untuk SI dengan persyaratan tertentu” yang berlaku untuk jangka waktu tertentu pula.

Yang terakhir ini untuk menjawab situasi ”buah simalakama” pengelolaan ruang terkait SI. Karena kalau diijinkan penuh akan mengundang ekses ”kawan-kawannya berdatangan” tapi kalau dilarang 100% juga percuma.

Aspek lain adalah menyangkut partisipasi dan ”ijin” komunitas setempat. Kepada komunitas ini juga perlu disadarkan bahwa ”mengusir terus” tidak bisa, tapi membiarkannya tidak teratur dan menimbulkan gangguan juga tidak. Kesimpulannya, disamping aspek ”perencanaan ruang” juga perlu ”manajemen pemanfaatan ruang”. Begitukah? [Risfan Munir]

No comments: