Sunday, February 15, 2009

Mazhab Pengembangan Wilayah (1)

Dalam diskusi perencanaan pengembangan wilayah sering muncul perdebatan, fokus dsri kota atau dari desa, bottom-up atau top-down, dan seterusnya. Oleh karena itu, ada baiknya faham-faham, mazhab-mazhab dalam pembangunan dikenali. Ini setidaknya supaya kita tahu seseorang bicara dari sisi mana. Semacam peta dari mazhab: asumsi, pendekatan, rekomendasi khasnya, bias dan kelemahan-kelemahan nya. Sederhananya, biasanya ada dua ekstrem: pro-kapital vs pro-rakyat, dengan berbagai ekspresi seperti "conservative vs labour", "neoclassic vs lawannya". Dan, tentu ada varian di antaranya, ditambah pada kepedulian pada environment, gender, human right, pro-local, dst.

Setiap implementasi rencana pembangunan, suka tak suka dihadapkan pada pilihan "mulai dari mana". Yang konservatif, biasanya mulai lokomotif, stimulus diberikan pada perusahaan (besar), pemodal. Dengan harapan kegiatan lain akan ikutan (trickle down effect). Yang sebaliknya, tidak percaya itu, karena dalam kasus negara berkembang, trickle down effect itu kecil sekali, sebaliknya back-wash effectnya yang mengeleminir usaha kecil, lokal yang lebih dominan. Maka pendekatan sebaliknya, yang mulai dari "bawah", yang memberi stimulus pada kegiatan mikro/kecil, padat karya, lokal yang diyakini lebih tepat.

Pandangan dan pendekatan yang sudah menjadi "keyakinan" masing-masing itu tidak bisa diremahkan. Pemerintah biasanya menghindari perdebatan yang polaristis, tapi pakai "bahasa" apapun adanya faham-faham itu di tiap kebijakan tidak bisa dihindari. Ada yang menganggap faham-faham itu "produk impor", tapi tanpa pakai teori sekalipun kita juga tahu mana kebijakan yang "pro pemodal" dan "pro rakyat."Ini bukan soal "nelayan tidak boleh kaya dan sekolah tinggi", tapi pendekatan pembangunan. Seseorang bisa saja kaya dan sekolah di FE-UI tapi rekomendasinya "pro rakyat" bukan "pro modal".

Mana yang lebih benar? Data empiris lah mungkin jawabannya. Tapi kelihatannya "debat pembangunan" ini bisa jalan sepanjang masa. Ini karena masing-masing tak pernah menemui kondisi "ideal" untuk menuntaskan implementasi kebijakan atau rencananya.Yang konservatif menghadapi realita masyarakat negara sedang berkembang dan perilaku kapitalis yang menggurita, kawin dengan kultur KKN birokrasi. Sedang yang "pro-rakyat" umumnya kurang fokus, kebanyakan isu yang diusung, dan suka ribut sendiri.

Kesimpulannya, tidak ada salahnya mengenali peta pandangan, faham atau mazhab tersebut, supaya bisa mengantisipasi implikasi dari setiap pendekatan atau pilihan kebijakan. Sebagai exercise setidaknya kita bisa tahu dinamika "tesis vs anti-tesis, untuk mendapatkan sintesis", sperti pada kasus UU27/2007 ini sebagai dinamika pemelajaran analisis kebijakan. [Risfan Munir]

1 comment:

Unknown said...

paparannya sangat bagus dalam melihat adanya perbedaan terhadap dari mana kebijakan itu diambil, namun adakah kebijakan yang diambil melihat sisi kultur suatu masyarakat dalam suatu wilayah sehingga efek sosial bukan menjadi masalah.