Sistem kota-kota bukanlah soal menempatkan penduduk dengan satuan permukiman, tapi apa kegiatan ekonomi yang membuatnya layak tinggal disitu.Mata rantai koleksi-distribusi? Apa yang dikoleksi dan distribusi? Kalau fasos bisalah pemerintah membangun. Tapi kalau kegiatan ekonomi, kan dunia usaha atau masyarakat sendiri.Apa yang khas, jadi keunggulan geografis wilayah perbatasa? Mungkin per"beda"an sana dan sini yang dicari. Apa yang disini murah tapi disana mahal, disini ada tapi disana tak ada, yang disana dilarang tapi disini masih boleh.
Border zone antara USA dengan Mexico, misalnya. Di sisi Mexico buruh murah, land rent rendah, aturan longgar. Sehingga banyak manufacture dibangun di sisi Mexico, dengan pasar untuk USA.Dulu orang Indonesia senang kalau ke Batam bisa belanja barang ex Singapore. Sekarang banyak orang Singapore yang belanja garment di Batam, karena harganya relatif murah. Beda nilai mata uang a.l. yang bisa menguntungkan sisi Indonesia.Sepanjang borderline Indonesia - Malaysia di sisi kita mayoritas adalah wilayah yang tak terurus, nilainya tidak kita perhatikan. Sementara di sisi seberang relitif dinilai tinggi oleh Malaysia, Brunai. Mestinya perijinan pembukaan kawasan untuk investasi skala besar lebih murah dilakukan di wilayah Indonesia.
Beri investor konsesi dan kemudahan yang luas, berbagai pengecualian. Tapi minta mereka membangun prasarana, terutama transportasi.Tak tertutup bagi investor dari Malaysia, Brunei, Singapore atau lainnya, termasuk dari Indonesia.
Sekali lagi, memanfaatkan potensi SDA dan lokasinya yang strategis menjangkau berbagai negara.Beberapa waktu yang lalu saya ketemu rekan yang Deputi di Kementerian Daerah Tertinggal. Saat bicara topik ekonomi lokal/wilayah, beliau bilang pendekatannya juga diarahkan ke pembangunan skala besar, berbasis usaha. Bukan sistem permukiman kecil-menengah, yang belum jelas kegiatan ekonominya. [Risfan Munir]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment