Diskusi di milist “referensi” sepertinya yang dibahas menjurus ke daerah perbatasan dengan Malaysia, Brunei sementara ada perbatasan dengan Singapore, Papua New Guinea, Timor Leste juga batas laut dengan Filipina yang situasinya berbeda.
Kalau fokus perbatasan dengan Malaysia (Kalimantan), beberapa ide bagus, tapi kok masih seperti perencanaan permukiman transmigrasi, yang begitu-begitu saja. Sulit dibayangkan akan mencegah 'brain-drain' . Apalagi dana pembangunan prasarana tak ada. Mungkin Indonesia perlu berfikir jauh lebih maju.
Masalahnya kita menganggap perbatasan itu "kawasan belakang", sehingga tertinggal terus dalam prioritas. Kalau memang serius maka perlu paradigma beda. Anggap kawasan perbatasan sebagai "kawasan terdepan" dalam persaingan dan kerjasama antar negara. Bangun perbatasan bukan sebagai "kawasan/pusat desa" dengan hirarkhi terendah.Undang pengusaha besar, beri mereka untuk mengembangkan plantation skala besar, kawasan industri tertentu, kawasan eksklusif. Karena keterbatasannya adalah tak ada prasarana, jauh dari permukiman, butuh investasi besar. Maka kompensasinya, beri mereka konsesi yang lebih banyak soal tax dan kemudahan, karena tujuannya adalah pioneering.
Kaji industri, agriculture atau kegiatan ekonomi apa yang cocok untuk geografi dan lokasi antar negara, jauh dari permukiman seperti itu. Kembangkan konsep perencanaan pengembangan wilayah perbatasan yang memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah perbatasan kita, dibanding tetangga. Misalnya, buruh relatih lebih murah, SDA melimpah, ditambah kemudahan-kemudahan lainnya.
Diskusi juga dengan Arifin Panigoro, MS Hidayat, Siswono, Ciputra, LIPPO dan pengusaha besar lain yang pengalaman mengembangkan kawasan jadi modern. Intinya, perlu melihat kawasan perbatasan sebagai wilayah terdepan dalam pesaingan/persahabatan antar negara, bukan wilayah belakang. [Risfan Munir]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment