Friday, July 17, 2009

Ruang Terbuka Hijau: Good practice dari Jogya

Ada 3 cara yang melaksanakan rencana, menurut teori dan yg diadopsi UUPR tepatnya: (a) regulasi (police power, law enforcement); (b) eminent domain (investasi dgn penyediaan lahan, bangun prasarana, sarana); dan (c ) mekanisme insentif/ disinsentif (fiscal, non-fiscal).

Salut kepada Pemkot Jogja yang melaksanakan RTR dengan menganggarkan pembelian lahan RTH. Di kota lain yang terjadi sebaliknya: ruislag stadion untuk mal.
Kalau ada yang mengatakan ada "keistimewaan" yang sulit direplikasi ke daerah lain, dugaan saya itu a.l., pertama wibawa sultan untuk menangkal godaan/ tekanan.
Kedua, Jogja sadar sebagai kota wisata, PAD nya besar dari tourism dan multipliernya, dus pajak pembangunannya signifikan, sehingga investasi beli lapangan (RTH) justified secara budget.
Sedang daerah lain, mungkin melihat lapangan hijau kepala daerah matanya langsung hijau, APBD mepet, apalagi kalau punya tanggungan biaya kampanye pilkada. Yang jelas politik anggaran juga maunya dewan (Perda toh) dan pengaruh lainnya.
Perencana menunjukkan RTR yang baik, konstelasi pengambil keputusan yang menentukan (arah kebijakan, alokasi anggaran). Sehingga pada kebanyakan daerah, kalau kita lihat dokumen APBD nya, alokasi anggaran penataan ruang itu cuma: menyusun RTR, revisi RTR. Dan, nama urusannya pun bukan "penataan ruang" (luas), tapi "perencanaan tata ruang" (pengertian mereka PR itu cuma membuat rencana?). [Risfan Munir, urban planner]

Sunday, July 12, 2009

Koperasi 62 Tahun

Tanggal 12 Juli Indonesia memperingati Hari Koperasi ke 62. Hampir tak ada gaung, kecuali iklan kecil yang disponsori oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM RI.

62 tahun yang lalu, atau 2 tahun setelah kita Merdeka. Artinya hampir seusia Republik ini tapi nampaknya kian redup saja.

Kalau saya ditanya mengapa tujuan mulia untuk kesejahteraan wong cilik itu seperti mati angin. Menurut saya itu karena salah ibu asuhnya, yaitu pemerintah yang mengkooptasi lembaga yang seharusnya tumbuh dari bawah itu, menjadi program pemerintah. Ini seperti Pramuka, awalnya adalah "kepanduan" yang didirikan oleh lembaga masyarakat, lalu dikooptasi pemerintah (Orla) sebagai Pramuka, untuk tujuan mobilisasi pemuda. Akibatnya spirit kepanduannya hilang. Inisiatif lokal kalah dengan aturan main Pusat. Begitu pula koperasi, seperti menjadi penerus program pemerintah saja.

Tidak bisa dihindari kalau kisah diatas terjadi di era Orde Lama, Orde Baru, tapi di era demokrasi, otonomi daerah dan partisipasi, mungkin saatnya dilakukan perubahan paradigma.
Saat ini kita banyak mempromosikan "social capital" dalam pengembangan kelompok-kelompok UMKM. Ini akan sejalan, kalau social capital yang tumbuh spontan dari kesamaam nasib dan kepentingan itu dijadikan spirit baru bagi koperasi saat ini.
Telah banyak contoh kasus koperasi UMKM, koperasi komunitas simpan-pinjam yang sukses, itu bisa diangkat sebagai good-practices yang bisa dipertukarkan antar koperasi, antar daerah. [Risfan Munir, ahli pengembangan ekonomi lokal]

Saturday, July 11, 2009

TR: Tata Ruang sebagai Obrolan Sehari-hari

Dalam rangka memasyarakatkan wacana "tata ruang" kiranya sudah waktunyamengobrolkan tata ruang ini tidak melulu serius, mengerutkan dahi. Selama iniwacana tata ruang rasanya kok terlalu formal. Selalu dikaitkan dengan UU, PP, RTRW, pelanggaran, sanksi, dan tema-tema besar. Wal hasil kisahnya selalu sedih saja.

Bandingkan dengan obrolan ekonomi, yang walaupun kabarnya tak selalu baik, tapi ada kisah kehidupannya. Human interest kata jurnalis. Juga wacana tata ruang kebanyakan normatif, idealnya rencana, tidak diimbangi pengungkapan realita yang terjadi, kemampuan manajemen pemerintah, kemampuan komunitas dan mungkin manusia (human scale) dalam melaksanakannya, akibatnya kisahnya selalu kelabu, biru, sedih.

Baru-baru ini Kompas mengangkat tentang "tujuan wisata liburan", dimana banyak sekolah di Jateng, Jatim yang sampai mengumpulkan uang harian beberapa bulan (Rp1000/hari), hanya untuk bisa liburan sehari di Jakarta. Pada harian yang sama juga ditampilkan destinasi wisata menarik di sekitar kota, selain ke Mal. Ini contoh kisah-kisah menarik untuk obrolan tata ruang.
Sekarang banyak terbit buku tentang obyek wisata kuliner, kerajinan yang ternyata best-seller. Kisah tempo doeloe untuk kota Jakarta, Jogja, Malang, Salatiga, Semarang. Kalau ada inisiatif mem-FRAME (membingkai)nya sebagai panduanpemahaman tata ruang, itu sungguh strategis untuk "memasyarakatkan" wacana tataruang.

Saya ingat pernah membaca tulisan Otto Soemarwoto (alm) ttg kisah ekosistem, habitat semut sebagai bacaan anak TK/SD, sehingga kesadaran ekosistem dan pelestariannya tumbuh sejak usia dini. Waktu kecil dulu saya suka membaca peta, sambil berkhayal pergi ke kota-kota, gunung-gunung, pulau-pulau.

Mungkin kita perlu memikirkannya, mengingat setelah hampir 50th pendidikanPlanologi, sudah sejak 1992 ada UU Penataan Ruang yang pertama, kok rasanya wacana tata ruang belum menjadi idiom publik. Tata ruang disebut pada saat ada masalah (besar) saja.

Bagaimana agar tata ruang tidak hanya dikenal sebagai urusan penegakan hukum saja, tapi juga jadi etika, pola hidup yang mengindahkan ruang sekitar. Tata ruang yang saya maksud ialah harmoni, keserasian pola dan struktur ruang, yang sesungguhnya milik masyarakat.Tentunya rakyat bosen kalau cuma dikuliahi soal UU, PP, RTRW, IMB, itu kan urusan pemerintah dan polisi kotapraja (kata mereka). Juga capek juga kalau kisahnya tentang Pemda yang ingkar janji dan saling tuding terus-menerus. Capek deh! Bukannya tidak perlu, tapi perlu penyeimbang yang lebih segar dan populer, yaitu kehadiran kata tata ruang yang lebih menyenangkan. Lebih manusiawi, atau human scale.

Sekali lagi kehadiran wacana tata ruang yang lebih ringan, mungkin diperlukan dalam memasyarakatkan tata ruang saat ini. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]

TR: Tata Ruang sebagai Frame Berita

Dalam focused group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Ditjen Penataan Ruang dengan kalangan jurnalis beberapa waktu yang lalu, Uni Lubis dari ANTV mengungkapkan bahwa tata ruang memiliki segala yang diperlukan untuk menulis atau membuat berita. Salah satunya ialah elemen "konflik" yang umumnya terjadi dalam fenomena tata ruang.

Dr. Soraya Afif, dosen antropologi UI, menjelaskan bahwa penataan ruang bisa diartikan pula sebagai penataan kepentingan. Ini terkait banyaknya kasus konflik antar kepentingan dalam penataan ruang. Dia mengilustrasikan konflik yang sering terjadi antara otoritas kehutanan, pertambangan dan pemerintah daerah - yang akhirnya menyulitkan terciptanya tata ruang wilayah yang mendukung kelestarian alam.

Menurut Uni Lubis selanjutnya, untuk menjadikan tata ruang sebagai fokus perhatian media dan masyarakat diperlukan strategi media, a.l.: menjadikan tata ruang sebagai FRAME, bingkai (saya tangkap sebagai cara pandang).

Selama ini sebetulnya jurnalis/media telah banyak memberitakan, mewacanakan tentang fenomena tata ruang, tanpa menyadari atau mengungkap bahwa itu adalah "tata ruang". Misalnya soal konflik operasi HPH vs kawasan lindung, pertambangan vs taman nasional, penggusuran PKL, pengembangan wilayah, ketimpangan kemakmuran antar daerah, pasar modern vs tradisional, dst. Semua peristiwa itu diberitakan tanpa dikaitkan, apalagi dibingkai sebagai masalah tata ruang atau penataan ruang.

Sudah saatnya dijalin komunikasi antara insan penataan ruang dengan para jusnalis media cetak dan elektronik, sehingga antara keduanya terjadi pemahaman timbal balik. Para insan penataan ruang tahu apa yang menarik bagi jusnalis. Sebaliknya para jurnalis menjadi tahu apa urgensi aspek tata ruang bagi kehidupan masyarakat, bahwa tata ruang bukan hanya soal pelanggaran IMB, ruang terbuka hijau, penggusuran pedagang kaki lima, dst.
Hampir semua proses interaksi sosial, ekonomi, budaya dengan lingkungan (fisik) hidupnya, adalah peristiwa tata ruang.[Risfan Munir, Jakarta - Jogja]

TR: Tata Ruang Kita Bersama

Tata ruang - yaitu pola dan struktur ruang - adalah keadaan lingkungan/ kota/ wilayah yang dihuni dan dialami semua orang selama hidupnya. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga layak jadi wacana semua orang.

Istilah ini kurang menjadi wacana karena terkesan "teknis" bidangnya perencana dan lembaga pemerintah yang punya otoritas. Penataan ruang terkesan terbatas perancanaan, pelaksanaan program, pengendalian yang menjadi tugas pemerintah. Dan, sikap aparat pemerintah pun di masa lalu menguatkan anggapan itu.

Namun saat ini seharusnya berbeda. Sejak berlakunya Undang-undang Penataan Ruang, peluang partisipasi masyarakat menjadi bagian dari prinsip penataan ruang. Hanya saja masih diperlukan beberapa upaya agar masyarakat mau lebih aktif dan bisa berpartisipasi dalam penataan ruang, yaitu dengan diseminasi terus-menerus, dan memberikan saluran dan mekanisme yang diperlukan dalam penyampaian aspirasinya.

Pertama, diseminasi atau pengembangan wacana terus menerus mengenai penataan ruang. Menghadirkan wacana tata ruang di berbagai media sampai masyarakat sadar (aware) akan permasalahan tata ruang yang dialaminya tiap hari. Mengangkat isyu yang dialami warga sehari-hari, misalnya kemacetan lalu lintas di sekitar sekolah, kantor, pusat belanja, banjir, konflik pasar modern vs tradisional, penggusuran, renovasi kawasan bersejarah, alih fungsi lingkungan perumahan menjadi FO (factory outlet), rumah makan, serta tumbuhnya PKL dan lainnya. Atau isyu yang berskala wilayah, seperti kerusakan kawasan akibat penebangan, pembalakan, juga konflik antara kuasa pertambangan dengan kehutanan. Juga isyu ketimpangan tingkat kemajuan antar daerah, antar kota, antar pulau.
Semua isyu itu sebetulnya dirasakan dan dikeluhkan oleh masyarakat, LSM, para ahli, politikus. Tapi jarang dari mereka yang sadar bahwa itu adalah masalah tata ruang dan proses penataan ruang.
Namun wacana tata ruang tentu bukan menyangku persoalan saja, tetapi juga hal-hal baik yang dialami warga dan lingkungannya, misalnya lingkungan perumahan yang tertata rapi, asri, pertamanan, kolam atau danau yan asri, resor pariwisata yang atraktif, kawasan pertokoan yang jadi sarana rekreasi keluarga, kawasan industri yang tumbuh menyerap banyak pekerja, dst.

Kedua, perlunya akan "saluran" untuk penyampaian aspirasi dalam proses perencanaan maupun pengaduan dalam rangka ikut mengawasi maupun penyampaian keluhan.
Adanya kasus Prita vs Rumah Sakit Omni, serta disyahkannya UU Pelayanan Publik, mendesakkan perlunya "saluran" tersebut agar komunikasi antara masyarakat dan penyedia pelayanan dalam penyelenggaraan penataan ruang menjadi lancar. Dan, seperti judul lagu, "tak ada dusta di antara kita."

Kedua hal diatas yang perlu dijadikan agenda dalam memasyarakatkan dan meningkatkan kepedulian semua pihak akan tata ruang. Karena aspek tata ruang, seperti aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya, layak menjadi perbincangan atau "milik" semua orang. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]