Tata ruang - yaitu pola dan struktur ruang - adalah keadaan lingkungan/ kota/ wilayah yang dihuni dan dialami semua orang selama hidupnya. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga layak jadi wacana semua orang.
Istilah ini kurang menjadi wacana karena terkesan "teknis" bidangnya perencana dan lembaga pemerintah yang punya otoritas. Penataan ruang terkesan terbatas perancanaan, pelaksanaan program, pengendalian yang menjadi tugas pemerintah. Dan, sikap aparat pemerintah pun di masa lalu menguatkan anggapan itu.
Namun saat ini seharusnya berbeda. Sejak berlakunya Undang-undang Penataan Ruang, peluang partisipasi masyarakat menjadi bagian dari prinsip penataan ruang. Hanya saja masih diperlukan beberapa upaya agar masyarakat mau lebih aktif dan bisa berpartisipasi dalam penataan ruang, yaitu dengan diseminasi terus-menerus, dan memberikan saluran dan mekanisme yang diperlukan dalam penyampaian aspirasinya.
Pertama, diseminasi atau pengembangan wacana terus menerus mengenai penataan ruang. Menghadirkan wacana tata ruang di berbagai media sampai masyarakat sadar (aware) akan permasalahan tata ruang yang dialaminya tiap hari. Mengangkat isyu yang dialami warga sehari-hari, misalnya kemacetan lalu lintas di sekitar sekolah, kantor, pusat belanja, banjir, konflik pasar modern vs tradisional, penggusuran, renovasi kawasan bersejarah, alih fungsi lingkungan perumahan menjadi FO (factory outlet), rumah makan, serta tumbuhnya PKL dan lainnya. Atau isyu yang berskala wilayah, seperti kerusakan kawasan akibat penebangan, pembalakan, juga konflik antara kuasa pertambangan dengan kehutanan. Juga isyu ketimpangan tingkat kemajuan antar daerah, antar kota, antar pulau.
Semua isyu itu sebetulnya dirasakan dan dikeluhkan oleh masyarakat, LSM, para ahli, politikus. Tapi jarang dari mereka yang sadar bahwa itu adalah masalah tata ruang dan proses penataan ruang.
Namun wacana tata ruang tentu bukan menyangku persoalan saja, tetapi juga hal-hal baik yang dialami warga dan lingkungannya, misalnya lingkungan perumahan yang tertata rapi, asri, pertamanan, kolam atau danau yan asri, resor pariwisata yang atraktif, kawasan pertokoan yang jadi sarana rekreasi keluarga, kawasan industri yang tumbuh menyerap banyak pekerja, dst.
Kedua, perlunya akan "saluran" untuk penyampaian aspirasi dalam proses perencanaan maupun pengaduan dalam rangka ikut mengawasi maupun penyampaian keluhan.
Adanya kasus Prita vs Rumah Sakit Omni, serta disyahkannya UU Pelayanan Publik, mendesakkan perlunya "saluran" tersebut agar komunikasi antara masyarakat dan penyedia pelayanan dalam penyelenggaraan penataan ruang menjadi lancar. Dan, seperti judul lagu, "tak ada dusta di antara kita."
Kedua hal diatas yang perlu dijadikan agenda dalam memasyarakatkan dan meningkatkan kepedulian semua pihak akan tata ruang. Karena aspek tata ruang, seperti aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya, layak menjadi perbincangan atau "milik" semua orang. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment