Dalam rangka memasyarakatkan wacana "tata ruang" kiranya sudah waktunyamengobrolkan tata ruang ini tidak melulu serius, mengerutkan dahi. Selama iniwacana tata ruang rasanya kok terlalu formal. Selalu dikaitkan dengan UU, PP, RTRW, pelanggaran, sanksi, dan tema-tema besar. Wal hasil kisahnya selalu sedih saja.
Bandingkan dengan obrolan ekonomi, yang walaupun kabarnya tak selalu baik, tapi ada kisah kehidupannya. Human interest kata jurnalis. Juga wacana tata ruang kebanyakan normatif, idealnya rencana, tidak diimbangi pengungkapan realita yang terjadi, kemampuan manajemen pemerintah, kemampuan komunitas dan mungkin manusia (human scale) dalam melaksanakannya, akibatnya kisahnya selalu kelabu, biru, sedih.
Baru-baru ini Kompas mengangkat tentang "tujuan wisata liburan", dimana banyak sekolah di Jateng, Jatim yang sampai mengumpulkan uang harian beberapa bulan (Rp1000/hari), hanya untuk bisa liburan sehari di Jakarta. Pada harian yang sama juga ditampilkan destinasi wisata menarik di sekitar kota, selain ke Mal. Ini contoh kisah-kisah menarik untuk obrolan tata ruang.
Sekarang banyak terbit buku tentang obyek wisata kuliner, kerajinan yang ternyata best-seller. Kisah tempo doeloe untuk kota Jakarta, Jogja, Malang, Salatiga, Semarang. Kalau ada inisiatif mem-FRAME (membingkai)nya sebagai panduanpemahaman tata ruang, itu sungguh strategis untuk "memasyarakatkan" wacana tataruang.
Saya ingat pernah membaca tulisan Otto Soemarwoto (alm) ttg kisah ekosistem, habitat semut sebagai bacaan anak TK/SD, sehingga kesadaran ekosistem dan pelestariannya tumbuh sejak usia dini. Waktu kecil dulu saya suka membaca peta, sambil berkhayal pergi ke kota-kota, gunung-gunung, pulau-pulau.
Mungkin kita perlu memikirkannya, mengingat setelah hampir 50th pendidikanPlanologi, sudah sejak 1992 ada UU Penataan Ruang yang pertama, kok rasanya wacana tata ruang belum menjadi idiom publik. Tata ruang disebut pada saat ada masalah (besar) saja.
Bagaimana agar tata ruang tidak hanya dikenal sebagai urusan penegakan hukum saja, tapi juga jadi etika, pola hidup yang mengindahkan ruang sekitar. Tata ruang yang saya maksud ialah harmoni, keserasian pola dan struktur ruang, yang sesungguhnya milik masyarakat.Tentunya rakyat bosen kalau cuma dikuliahi soal UU, PP, RTRW, IMB, itu kan urusan pemerintah dan polisi kotapraja (kata mereka). Juga capek juga kalau kisahnya tentang Pemda yang ingkar janji dan saling tuding terus-menerus. Capek deh! Bukannya tidak perlu, tapi perlu penyeimbang yang lebih segar dan populer, yaitu kehadiran kata tata ruang yang lebih menyenangkan. Lebih manusiawi, atau human scale.
Sekali lagi kehadiran wacana tata ruang yang lebih ringan, mungkin diperlukan dalam memasyarakatkan tata ruang saat ini. [Risfan Munir, pengamat tata ruang]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment