Ada 3 cara yang melaksanakan rencana, menurut teori dan yg diadopsi UUPR tepatnya: (a) regulasi (police power, law enforcement); (b) eminent domain (investasi dgn penyediaan lahan, bangun prasarana, sarana); dan (c ) mekanisme insentif/ disinsentif (fiscal, non-fiscal).
Salut kepada Pemkot Jogja yang melaksanakan RTR dengan menganggarkan pembelian lahan RTH. Di kota lain yang terjadi sebaliknya: ruislag stadion untuk mal.
Kalau ada yang mengatakan ada "keistimewaan" yang sulit direplikasi ke daerah lain, dugaan saya itu a.l., pertama wibawa sultan untuk menangkal godaan/ tekanan.
Kedua, Jogja sadar sebagai kota wisata, PAD nya besar dari tourism dan multipliernya, dus pajak pembangunannya signifikan, sehingga investasi beli lapangan (RTH) justified secara budget.
Sedang daerah lain, mungkin melihat lapangan hijau kepala daerah matanya langsung hijau, APBD mepet, apalagi kalau punya tanggungan biaya kampanye pilkada. Yang jelas politik anggaran juga maunya dewan (Perda toh) dan pengaruh lainnya.
Perencana menunjukkan RTR yang baik, konstelasi pengambil keputusan yang menentukan (arah kebijakan, alokasi anggaran). Sehingga pada kebanyakan daerah, kalau kita lihat dokumen APBD nya, alokasi anggaran penataan ruang itu cuma: menyusun RTR, revisi RTR. Dan, nama urusannya pun bukan "penataan ruang" (luas), tapi "perencanaan tata ruang" (pengertian mereka PR itu cuma membuat rencana?). [Risfan Munir, urban planner]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago