Friday, September 26, 2008

Land Economic

Setiap planolog belajar teori lokasi, land use, dan urban (land) economics.

Lahan pekotaan jumlah atau luasnya relatif terbatas, sedangkan
permintaan potensial meningkat terus. Akibatnya harga cenderung naik.

Harga terus naik itu telah menjadi asumsi umum di masyarakat dan
di'teguh'kan pengembang. Padahal di sisi permintaan tiap saat bisa
saja menurun, karena menurunnya daya beli. Income warga yang bisa
disisihkan (disposable) menurun. Ini bisa karena inflasi, atau naiknya
harga rumah, naiknya suku bunga, dst.

Permasalahan bisa timbul jika para pengembang terus 'meniupkan' iklan
secara berlebihan, ditunjang dengan sektor perbankan dan keuangan yang
juga mendorong penyerapan kredit (KPR, konstruksi) yang sedang
overliquid. Akibatnya, pasar atau konsumen dibujuk secara berlebihan,
bahkan sampai syarat penerima kredit juga dilonggarkan secara kurang
hati-hati. Akibat selanjutnya, potensi kredit macet tinggi. Kondisi
bubble economy ini bisa membahayakan sektor keuangan dan ekonomi
secara keseluruhan.

Di negara maju seperti USA, kecenderungan tak wajar tersebut bisa
tidak segera dirasakan masyarakat karena disana tiap KPR (mortgage)
dijaminkan kepada lembaga keuangan sekunder, yang juga 'menjualnya' ke
pasar hutang. Dengan kondisi bubble yang kian membengkak tanpa
kontrol, akhirnya besarnya kredit KPR yang macet kian tak
tertangguhkan. Maka terjadilah tragedi subprime mortgage yang
gelombang ikutannya (tsunami) akhirnya merontokkan raksasa keuangan
dan mengguncang sistem keuangan pada umumnya.

Kembali ke pangkal soal, yaitu karena penilaian dan pricing yang tak
wajar atas tanah perkotaan. Serta asumsi bahwa permintaan riil selalu
naik. Ini juga mengingatkan bahwa jika sektor riil lainnya sulit
bergerak (karena berbagai kendala) maka sektor keuangan cenderung
menggelontorkan likuiditasnya ke sektor (real) property. Hal terakhir
ini dapat dibuktikan dengan tren aktifnya kelompok bank yang terjun di
sektor (real) property.(Risfan Munir)

Saturday, September 13, 2008

Memahami Makassar

Mencoba memahami Makassar, akan lebih ringan kalau tanpa beban harus jadi 'counter magnet' atau predikat lainnya. Toh dari jaman sejarah ukuran dan peranannya relatif sudah besar.

Yang jelas hinterland Makassar adalah penghasil komoditas ekspor yang masih handal seperti kakao, kopi, rumput dan lainnya. Mereka adalah masyarakat ekonomi yang justru beruntung saat harga komoditas dunia sedang naik, saat nilai rupiah merosot. Dan, mereka mengapalkan produknya, menginvestasikan dan membelanjakan uangnya di Makassar. Ada juga industri semen tak jauh dari situ.

Jadi perannya sebagai kota pelabuhan utama, pusat jasa, belanja, pendidikan, kesehatan, dst., masih dominan. Besaran angkanya perlu dipelajari. Namun kehadiran kelompok usaha Lippo dan BII yang membangun kawasan komersial dalam skala besar, setidaknya menunjukkan bahwa ada potensi ekonomi disana (lugasnya: ada pasar dan ada uang berputar).

Saya tidak tahu KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang diusulkan Sulsel adalah Makassar atau Pare-pare. Tapi kalau itu Makassar, maka peluangnya untuk menjadi pelabuhan utama akan makin besar. Karena investor akan memdapatkan berbagai kemudahan. Tinggal bagaimana Makassar dan Sulsel memanfaatkannya, dan merangkaitkannya dengan kegiatan ekonomi sekitar.

Pada sisi lain, daerah greater Makassar juga sudah banyak mengembangkan inisiatif untuk mendorong ekonomi wilayahnya, misalnya dengan program Gerbang Emas (gerakan bangun ekonomi masyarakat). Suatu gerakan antar Pemda dan masyarakat ekonomi yang didukung BI juga untuk menumbuhkan UMKM. Sektor yang nyatanya paling menyerap tenaga kerja.

Jalan raya berbayar Makassar -Pare-pare akan kian meningkatkan akses ke daerah penghasil komoditas ekspor di atas. Peluang yang layak dikembangkan ialah pengolahan bahan mentah seperti kakao, kopi, kopra, ikan menjadi bahan (setengah) jadi.

Dengan meningkatkan berbagai peluang dalam agro-industri, meningkatkan kualitas sektor jasa, kapasitas infrastruktur dan penataan kota (tata ruang, transportasi) niscaya akan menaikkan daya tariknya bagi wilayah provinsi lain di timur.
Di sektor jasa, selain pusat belanja, bagaimanapun Unhas cukup dihitung sebagai pusat pendidikan tinggi di wilayah timur. Banyak kegiatan pendidikan di Maluku, Papua yang berorientasi ke situ. Termasuk pendidikan kejuruan, perawat, dst. Juga ada LAN, Diklat Wilayah dan sejenisnya, yang melayani provinsi di wilayah timur.
Fasilitas rumah sakit berskala regional juga ada beberapa, seperti Stella Maris, Pelamonia, Akademis, Grestelina, RSU Labuhan Baji, dst. Yang sebagian bisa jadi RS rujukan bagi wilayah lain.

Dari pengamatan umum beberapa kali ke sana, selain transportasi kota, masalah drainase kota tampaknya menonjol, karena topografi relatif datar, kepadatan bangunan tinggi. Juga solusi atas masalah listrik yang langka.

Demikian sumbang saran saya, intinya potensi kota Makassar secara ekonomi tinggi, perlu didukung dengan peningkatan kapasitas prasarana kota, konsesi-konsesi sebagai konsekuensi otonomi daerah dan KEK, serta management perkotaan, dan kerja sama dengan daerah sekitarnya. [Risfan Munir]

Manajemen Penataan Ruang & Kawasan

Bicara tentang manajemen perkotaan/daerah (kalau dibatasi pada tata-ruang atau fisik) akan menyangkut tiga aspek di bawah ini.

(1) Manajemen Pelayanan - sebagai misal, pelayanan tata ruang. Di pemerintah daerah, urusan tata ruang adalah urusan pelayanan publik. Bagaimana masyarakat punya akses atas informasi RTR secara mudah dan transparan. Sehingga RTR tidak jadi 'obyek' pungli atau permainan 'gertak sambal' seperti lalu-lintas. Masyarakat tidak diberi tahu rencana yang benar, peruntukan yang benar, kalau tanya juga 'dipersulit', tahu-tahu dipersalahkan. Atau kalau mau tahu rencana harus 'bayar tak resmi'.
Untuk itu diperlukan a.l. SPM (Standar Pelayanan Minimal), seperti sekian % area kota harus punya rencana detail, sekian % area harus sudah mendapat penyuluhan tentang RTR, dst. Sehingga jelas bagi Pemda/SKPD yang bersangkutan agar memprogram dan menganggarkannya. Tanpa target SPM yang disepakati, maka Pemda akan seingatnya saja dalam menyusun, menganggarkan dan mengimplementasikan RTR.

(2) Manajemen Pembangunan - seperti manajemen proyek tapi lebih luas. Ini masih terkait dengan penerapan PPBS tapi lebih kompleks. Permasalahannya ialah menyangkut multi units, multi sumber dana. Program pembangunan kota/kawasan menyangkut multi-sektor, sementara tiap sektor/SKPD cenderung jalan sendiri2, punya prioritas anggaran masing2.
Umumnya program kota adalah multi-sektor, sehingga tantangannya ialah bagaimana meningkatkan koordinasi dan integrasi aktivitas, agar tidak saling tunggu atau duplikasi.

(3) Manajemen Kawasan - ini sifatnya lebih menetap atau jangka panjang. Menyangkut pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan pelayanan secara menerus (continuous process improvement), karena permasalahan kota/daerah juga dinamis sepanjang waktu.

Kalau dibandingkan dengan manajemen (perusahaan) swasta, seperti BSD, Lippo City, Jababeka, dst, tentu kita tahu bedanya seperti:
a. Swasta butuh konsumen, kalau tidak terbeli bisa bangkrut. Pemerintah daerah tak perlu jualan
b. Penduduk kota/kawasan swasta terbatas pada 'pembeli/penyewa' property, terseleksi, terbatas, sehingga lebih mudah diajak kerjasama (ada syarat di depan). Sedang jumlah warga kota sifatnya relatif terbuka, tak bisa dibatasi oleh Pemda. Dst.
c. Organisasi swasta lebih otonom. Perencanaan dan penganggaran bisa dilakukan tanpa tergantung banyak pihak di luar. Acuannya adalah permintaan konsumen. Di Pemda, rantai keputusan perencanaan dan penganggaran berjenjang, perlu kesepakatan banyak pihak, dari masyarakat, DPRD, hingga ke instansi induk (sektoral). Soal infrastruktur misalnya, ada klasifikasi jalan kota/kabupaten, provinsi, nasional. Jalannya nyambung tapi jadwal pembangunan atau rehabilitasinya bisa beda-beda
d. Di swasta ada reward dan punishment yang riil bagi personil dan organisasi. Di Pemda tidak riil, bagi yang perform reward-nya tak jelas, juga yang tidak melakukan apa-apa. Ini karena aturan dan keputusan masih belum otonom

Eksperimen daerah yang mau dikelola secara otonom seperti swasta mungkin adalah P. Batam. Tapi tidak bisa murni otonom, karena beberapa Departemen tidak pernah mengijinkan ada "daerah dalam daerah". Juga soal pertanahan, yang tak mengijinkan kepemilikan bagi warga asing. Padahal market yang dituju internasional. Tidak dimungkinkannya membatasi arus penduduk 'informal', mengakibatkan banyaknya kawasan kumuh di pulah yang SDA nya terbatas itu.

Namun dengan karakteristik seperti itu, beberapa kota/daerah toh secara optimal masih bisa me-manage kotanya dengan baik. A.l. Kota Solo, di tangan walikota Jokowi penataan fisik seperti PKL bisa berjalan baik tanpa konflik berarti. Pemindahan PKL dilakukan dengan cermat, memanusiakan (pakai iring2an segala). Tempat penampungan PKL, pasar tradisional dikelola secara baik, bak pasar modern. Bersih, penjual, karyawan berseragam. Ada door price sepeda motor hingga mobil. Tak mau kalah dengan hipermart dst.
Jokowi meng'gratis'kan kios bagi eks PKL. Uangnya dari mana? Ternyata ya dari retribusi harian. Jadi investasi Pemda ditargetkan akan kembali. Karena retribusi harian yang tampak kecil (biasanya habis di mafia parkir), kalau di-manage baik besar juga sebetulnya.

Kalau kita lihat hasil 'Otonomi award' ala KPPOD, Jawa Pos, juga PU, sebetulnya banyak sekali inovasi dan good practice yang dilakukan Pemda, yang layak dicatat dan dipertukarkan. Namun berbeda dengan pembangunan fisik, kalau jadi ya selesai. Dalam manajemen diperlukan 'continuous process improvement' yang tak kenal kata selesai. Karena hari ini dapat Adipura, tapi sebulan setelah itu bisa kotor kembali kalau tidak di-manage terus. Apalagi sumber persoalan juga dinamis.[Risfan Munir]

Kekuasaan dan Pembangunan Kota

Ada "kekuatan", atau diperlukan "kekuatan" ekstra untuk membangun "kota yang indah". Pada jaman peradaban kuno, kekuatan itu adalah kepercayaan akan "kekuatan yang di luar kuasa manusia", kosmos – sehingga pola kota, permukiman mengacu pada unsur alam (batu, gunung, pohon besar, mata air dst). Pada prinsipnya kekuatan magis, dewa, atau unsure alam yang dianggap mewakilinya. Ada juga yang mengacu kepada "makam" leluhur, yang terkait dengan kepercayaan. Struktur fisik yang dibentuk jelas cukup jelas pola dan orientasinya.
Selanjutnya adalah "kekuatan" dari kuasa raja. Dan ini universal terjadi di semua benua dan sejarah masa lalu. Pokoknya bukan kuasa "rakyat". Hanya karena rakyat menganggap raja adalah "wakil tuhan" maka dianggap wajar. Struktur fisik yang dibentuk juga jelas pula pola dan orientasinya. Yaitu terpusat pada lokasi sang penguasa. Tantang cara membangunnya, bisa diperkirakan kebanyakan mengikuti cara membangun Piramid, jaman firaun Tembok Besar China, Jalan Deandels, menggunakan tenaga, keringat, darah rakyat dan modal cemeti.
Lalu, pola kota yang diajarkan di sekolah, yaitu kota-kota negara 'bekas penjajah' dan 'negara maju' yang teratur, indah dan cantik. Ini pola mengikuti aspirasi raja/bangsawan, borjuis, kapitalis, atau rakyat? Jawabannya bisa rupa-rupa, tergantung dari sejarah negaranya. Tapi pada umumnya di Eropa abad 19-20, negara memang cukup kaya, menganut Welfare State. Ini yang membuat negara bisa membangun berbagai prasarana dan sarana kota, yang baik dan indah untuk warganya. Kreativitas arsitek kota dan planner dapat dimanjakan di sana. Beban pajak kepada rakyat tidak sampai mencekik, karena ada sumber dana, yaitu dari tanah-tanah kolonial, daerah jajahan. Tentu saja adalah arsitek/planner kolonial yang cukup tajam panggilan sosialnya seperti Thomas Karsten, tapi pembiayaan memang dari surplus usaha kolonial.
Dari level pengembangan wilayah, pada masa modern (abad 19-20) itu juga semakin kentara, bahwa hampir TIDAK ADA KOTA DI DUNIA INI YANG TUMBUH PESAT, YANG BUKAN LANTARAN POTENSI EKONOMI LOKASI (ini kata dosen saya dulu). Dapat dikata "kekuatan" penentu pola perkembangan kota bergeser ke "kekuatan ekonomi". Di sana-sini negara mencoba membangun kota/permukiman, tapi logika (hukum) ekonomi-lah yang akhirnya yang menentukan keberlanjutannya.
Pada jaman Globalisasi ini "kekuatan ekonomi" tersebut nampaknya makin ekstrem. Dan menyakikan hati, karena kekuatan modal "dari luar" yang menentukan. Ya itu karena sistem ekonominya demikian. Tapi ini melanda semua negara, yang maju dan yang berkembang. China boleh membanggakan ekonominya, tapi secara fisik/budaya simbol kota-kotanya sudah berganti merk-merk dagang dari Barat. Di Amerika pun demikian, hypermart yang jadi simbul kedigdayaan ekonominya dipenuhi produk-produk China. Landmark buildings nya dimiliki oleh pemodal dari Asia Timur atau Midde East. Inilah konteks yang dialami kota-kota kita.
Nampaknya, perencanaan dan perancangan kota yang kita anut berbasis pada asumsi Welfare State, mengandaikan negara mampu mensejahterakan warganya dengan berbagai prasarana, sarana yang dibutuhkan, dengan penataan dan desain yang indah dan nyaman pula. Dan, ada penegakan hukum, law enforcement yang kuat. Kekecewaan timbul karena nyatanya (dari jaman awal) pemerintah tidak sampai kepada kemampuan seperti iu. Sempat makmur sebentar, lalu tergerus korupsi. Lalu datang era gonjang-ganjing reformasi. Tapi yang pasti kondisi ekonomi nasional tak kunjung baik, sehingga melahirkan 'lautan sektor' informal, yang dominan sekali mempengaruhi pola fisik kota.
Mungkin saatnya mempertanyakan kembali asumsi Welfare State itu. Hal ini mulia secara cita-cita, tetapi sangat jauh realitanya. Nyatanya pola fisik kota terbentuk oleh "kuasa modal" di satu sisi dan "kuasa massa miskin" di sisi lain. Pemodal makin berkuasa karena keuangan pemerintah kota kian terbatas, sementara jumlah warga miskin yang juga kian banyak yang berbondong ke kota (karena kerja di Malaysia juga kian sulit). Keduanya sulit dikendalikan oleh pemerintah (pengelola kota).
Bisa saja para intelektual ahli perkotaan 'menggerutu atau memaki', tapi pemerintah kota kita justru memerlukan dukungan perencana tentang bagaimana menjinakkan dua kekuatan dahsyat "modal" dan "massa miskin" tersebut. Contoh yang baik adalah Kota Solo, setidaknya dalam kasus dia bisa 'merelokasi' para pedagang kaki lima secara manusiawi. Membangun "mal" rakyat yang bersih dan teratur.
Itu mungkin yang optimal, karena bergerak di area advokasi (seperti "pejuang lingkungan hidup") nampaknya hal tabu bagi dunia perencanaan kota.
Namun kalau seorang planner mau murni sebagai 'perencana fisik' (tidak mau berurusan dengan aspek kebijakan publik), sebaiknya ya bekerja pada developer swasta saja, yang selama ini memang bisa merancang kota yang 'indah dan nyaman' sesuai kaidah-kaidah merencana kota. [Risfan Munir]

Dilema Perencana Wilayah

Soal konsentrasi pembangunan di Jawa, dan Jabodetabek. Ya, ini masalah klasik. Dan, kalau jawabannya lagi-lagi titah Sistem Kota-kota, ini juga jawaban klasik, normatif. Lalu berikutnya, ke belakang, menyalahkan pengambil kebijakan orde baru, orde lama, ....terus...sampai Deandels. Ke belakang sedikit menyalahkan developer. Dengan begitu amanlah sudah. Salahnya tidak menerapkan Sistem Kota-kota (kata Pak Aby).
Menurut saya setiap kebijakan kewilayahan harus didasarkan kepada pertimbangan "kekuatan" yang bekerja. Seperti teknik sipil yang mendasarkan setiap konstruksinya atas "kekuatan" gravitasi, bagaimana mengelola daya gravitasi itu sehingga terbangun strukur yang kokoh.
Merencana wilayah dasarnya juga bagaimana mengenali, menghitung dan mengelola "kekuatan gravitasi" ekonomi geografi (kalau skalanya wilayah), selain konstrain fisik. Ada kekuatan-kekuatan lain, tapi tak sedominan "daya tarik ekonomi". Aglomerasi ekonomi yang membentuk kota/pusat tersebut. Pola sebaran (geografis)nya yang membentuk pola sistem permukiman dalam wilayah.
Tentu pola itu bukannya tidak bisa diubah. Untuk menatanya, diperlukan intervensi berupa investasi prasarana, kelembagaan dan aturan yang "sebanding kekuatannya" dengan kekuatan daya tarik (potensi) ekonomi yang ada. Sehingga upaya/kebijakan penyebaran (pusat) pembangunan juga membutuhkan dana yang sangat besar, aturan dan kelembagaan yang kuat berpihak kepada masyarakat di wilayah yang mendapat manfaatnya.
Mengadakan dana yang sangat besar dan pemerintahan yang kuat, perlu waktu. Tapi tiap rezim pemerintahan harus segera menguasainya. Untuk percepatan itu diperlukan investasi dari luar, untuk mengeksploiasi SDA, dan membangun industri kebutuhan masyarakat agar tidak tergantung pada impor sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dan investor perlu "lokasi yang siap". (Investor adalah adalah pencari untung, bukan nabi. Jadi jangan salahkan investor yang cari untung. Yang mengandaikan investor yang baik budi adalah orang naif!). Dan "lokasi yang siap", tentu adalah di sekitar Jakarta dan Surabaya. Selain itu di luar Jawa, di kawasan pertambangan, para investor membangun prasarana sejauh diperlukan untuk operasi usahanya. Lagi pula kota-kota tambang umumnya di remote area, tidak di pemukiman yang berkembang (di Soroako bukan di Makassar, di Pasir bukan Samarinda).
Kenyataan itu yang menyebabkan konsentrasi pembangunan di sekitar Jakarta dan Surabaya sulit dihindari. Prasarana relatif lebih siap, pasar konsentrasi utama nya juga di Jawa. Pembangunan prasarana skala besar di Sumatera, seperti trans Sumatera, kenyatanya tidak menghasilkan pusat baru yang kuat, tetapi memperluas wilayah pelayanan Jawa saja.
Dengan realita seperti itu, pertumbuhan Jakarta dan sekitarnya yang pesat, dalam arti positif dan negatif. Maka secara lokal perlu dicari solusi, dan dimunculkan berbagai solusi antara seperti kota satelit, kota penyangga, dan sebagainya. Yang dalam konteks perencanaan kota dan wilayah ini adalah solusi yang optimal yang bisa diberikan. Bahwa itu bukan solusi penyebaran pembangunan nasional `anak kecil' juga tahu.
Kekuatan lain yang mempengaruhi gravitasi adalah otonomi atau desentralisasi pemerintahan ke daerah. Walaupun sudat ada konsep Sistem Kota-kota, kalau semua urusan diputuskan di pusat, ya bias kepada kepentingan pusat, semua perusahaan buka headquarter di Jakarta. Banyak konsep percepatan pembangunan di daerah terkendala aturan terkait kelembagaan yang masih terpusat. Termasuk dalam hal ini Kapet dan lainnya. Maka angin otonomi daerah menjadi harapan baru akan terjadinya desentralisasi kegiatan (ekonomi) dan pemerataan pembangunan ke daerah-daerah. Karena itu saya heran mengapa wacana Desentralisasi/Otonomi Daerah ini jarang dibahas, atau dihindari, dalam milist ini - (sehingga saya sering menyentil bahwa sebagai planner UU kita bukan hanya UUPR, masih banyak UU lain terutama UU32/2004 yang perlu diacu). Seberapa ini efektif bagi penyebaran pembangunan ke daerah-daerah, ini tergantung pada seberapa efektif kualitas pemerintahan di daerah yang mengemban otonomi itu tentunya.
Sampai disini, kesimpulan sementara: (1) Perencana wilayah harus lebih memahami bahwa suatu rencana atau konsep pembangunan wilayah perlu didasarkan atas pemahaman dan pengelolaan kekuatan (gravitasi) ekonomi. Dan, intervensi dalam pengeloaan kekuatan tersebut memerlukan dana (investasi prasarana) memadai dan perangkat aturan dan kelembagaan yang kuat. (2) Berkaitan dengn itu perencana wilayah juga perlu mamahami posisinya, bahwa ada fenomena (nasional, global) dan kebijakan skala lebih luas (nasional) yang lebih menentukan sebaran lokasi kegiatan/pembangunan. (3) Masih banyak yang perlu dilakukan perencana dalam pembangunan skala wilayah untuk menumbuhkan ekonominya mengatasi pengangguran, pendaya gunaan sumber daya alam yang wajar, mengatasi masalah lingkungan.Ini domain perencana wilayah, dan bekal ilmunya cukup.
Soal ketimpangan pembangunan nasional itu adalah domain kebijakan publik, yang mesti mencakup kebijakan ekonomi, politik dsb. Boleh-boleh saja perencana wilayah ikut terjun ke sana, tapi jangan pada saat yang sama juga fanatik dengan atribut "physical planner"nya. Itu sudah beyond physical planning, tapi komprehensif dan politis. Bahkan urusan kepala negara. Lihat saja Obama waktu kampanye ke beberapa negara bagian yang 'kehilangan lapangan kerja' karena relokasi industri ke Meksiko dst, solusi yang ditawarkan Capres itu adalah meninjau agreement NAFTA. Hal seperti itu memang di luar kendali perencana/pemerintah daerah.
Dilema perencana wilayah
Kesimpulan saya selanjutnya, dilema perencana wilayah adalah karena positioningnya sebagai Insinyur (seperti Arsitek yang merencana dan mengendalikan pembangunan fisik rumah/gedung seseorang, semua tergantung kecukupan dana dan kesepakatan kedua pihak). Tetapi yang dihadapi perencana kota/wilayah adalah publik, yang fihaknya banyak, aspirasinya banyak, sedang dana pembangunannya tergantung APBD/N yang diputuskan tiap tahun oleh orang banyak pula. Kesimpulannya, kecuali bekerja di developer atau Departemen Transmigrasi, tak mungkin perencana kota merencana kota dan menyaksikan kotanya jadi dibangun sesuai rencana. Masih banyak proses yang harus dilaluinya dari rencana tersusun, disetujui, disyahkan dewan, diterjemahkan dalam uraian program/kegiatan, dianggarkan, disosialisasikan dan yang dilakukan masyarakat dimonitor, ditindak dst. Logisnya demikian, jadi jangan kecewa.
Alternatif lain, ya positioning seperti ahli manajemen, ahli ekonomi, yang perannya menyarankan pengelolaan, penataan, pembinaan - dengan sadar mengatasi masalah yang tak kunjung selesai (masalah manajemen tidak pernah berhenti, juga ekonomi seperti gejolak inflasi, persaingan, dst). Dan, ini wajar saja sebagai peran profesi. Ahli ekonomi tidak pernah merasa 'diobok-obok' walaupun ekonomi di hampir semua negara naik-turun. Ahli manajemen juga diperlukan terus, karena selalu ada masalah persaingan, human resources, performance dst. Tidak ada 'nabi ekonomi' yang mengatasi semua masalah dengan 'masterplan'nya. Tak ada ahli hukum yang dengan skenario strateginya menghapus semua kejahatan (di satu desa sekalipun). Namanya juga profesi, biasa-biasa sajalah, yang penting bisa memberi solusi dalam perkembangan wilayah/kota yang dinamis, selalu ada soal termasuk konflik kepentingan yang perlu diatasi, dst.
Karena itu, saran saya, milist ini akan produktif kalau membahas berbagai masalah dan alternatif solusi, termasuk aspek-aspek scara agar suatu solusi jadi kebijakan. Mungkin perlu belajar untuk tidak selalu normatif, seperti "....kalau pakai UU ini masalah beres, kalau pakai Konsep ini, masterplan tipe ini pembangunan pasti merata, lingkungan pasti sustainable," dst. Dan, menggeser wacana dari sisi "perencanaan", ke sisi "pemanfaatan dan pengendaliannya." Karena sisi pemanfaatan itu mungkin mengandung banyak aspek yang justru perlu dipalejari/diantisipasi planner sejak awal.
Suatu saat saya menjadi wisman, kebetulan tour guide-nya antropolog dan bertanya apa pekerjaan saya. Saya jawab "urban planner". Respons dia "Wah seperti Tuhan ya, mengatur kehidupan manusia, dimana mereka harus tinggal, dimana harus bekerja." [Risfan Munir]