Sunday, October 29, 2006

Planning: Melintasi Pancaroba

Planning dalam lintasan sejarah mungkin bukan jadi sebab awal, tetapi lebih banyak disusun untuk ”merespons” atau justru ”sebagai konsekuensi” dari perubahan dalam tataran lebih luas yaitu perubahan politik, ekonomi, sosial ataupun teknologi. Namun selalu ada tokoh yang layak dicatat sebagai ”agen perubahan” atau bahkan pioneer pada era-nya.

Masih dari buku yang sama,ada artikel "Expanding Grounds. The Roots of Spatial Planning in Indonesia" oleh Pauline KM van Roosmalen, yang secara lengkap membahas sejarah ke-planologi-an di Indonesia.

Tercatatlah peran Pieter Thijsse (1896-1981), insinyur pada DPU Bandung sejak 1921, dan mengajar planning and sanitation di ITB. Fondasi yang ditanamkan Thijsse adalah pentingnya penguatan: expertise, education, legislation. Seperti Karsten, yang mulai bergabung mengajar di ITB sejak 1941, ia juga menekankan agar pembangunan kota jangan hanya diperuntukkan bagi "the affluent" tapi juga kelas bawah, secara integrated.

Seperti diperkirakan, situasi perang mempengaruhi semua cerita. Desentralisasi yang dicanangkan sejak 1903, mengalami banyak tantangan. Begitu pula perkembangan ke-planologi-an. Thijsse menangkap bahwa situasi supply vs demand terhadap perencaan sangat timpang. Sementara kebutuhan "rekonstruksi" pasca perang sangat besar, namun tenaga perencana cuma 15 ahli. Terkait sarannya, tahun 1946 pemerintah membentuk Centraal Planologisch Bureau (Central Planning Bureau/CPB) sebagai bagian dari DPU, dengan tugas membimbing, mengkoordinasi rekonstruksi, di tingkat lokal, regional, nasional.

Tersirat bahwa perencanaan bergeser dari orientasi pada penciptaan lingkungan "ideal" ala Karsten, ke arah kegiatan rekonstruksi. Ini menjadi lebih tegas dengan keluarnya Town Planning Ordinance (SVO), sebagai: "Regulation to ensure a well-considered town planning, in particular in the interest of a quick and effective reconstruction of territories stricken by turmoil of war" (di-English-kan oleh penulis artikel). Yang menarik, tercatat daerah yang menerapkan SVO, dan kemudian SVV (Town Planning Regulation) adalah justru dari wilayah Indonesia Timur. Sebelum kemudian Lieutenant Governor General (1948) menetapkan untuk kota-kota secara nasional.

Situasi pasca Kemerdekaan tentu saja berpengaruh. Tahun Desember 1949, Thijsse mengundurkan diri. Berkutnya, menyusul integrasi Irian Barat ke bumi pertiwi, hampir semua ahli dari Belanda pulang kampung. Dunia akademis perencaan sempat vakum sebentar, hingga para lulusan dari USA dan Eropa lainnya masuk, dengan paradigma yang berbeda.

Apakah perbedaan paradigma tersebut. Penulis artikel tidak sampai mengulasnya. Kalau boleh berpendapat, dari pengamatan situs lingkungan yang ditinggalkannya, nampak bahwa perhatiannya pada kondisi lingkungan alam nusantara sangat kentara. Memanfaatkan iklim untuk fisika bangunan, gunung dan contour sebagai orientasi lanskap; dan perhatiannya pada lingkungan sosial dengan desain dan kelengkapan sanitasi kampung-kampung pribumi kelas bawah yang masih berbekas hingga saat ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Thijsse sepulang dari "studi bandingnya" ke Belanda dan Eropa lainnya, menyatakan bahwa planning practice disana tidak bisa serta merta di "copy & paste" disini.

Betulkah di paro pertama abad ini (sebelum dan pasca perang kemerdekaan) kota kita lebih diwarnai paradigma perencanaan "beauty and harmony" (ciri "welfare state"), sedangkan pada paro kedua lebih dipengaruhi pertimbangan "kompetisi ekonomi, land price" (ciri kapitalis, liberal)? Yang berlanjut hingga sekarang dengan kompetisi merubah stadion, alun-alun, sekolah dan public services lainnya menjadi toko?
Namun lepas dari itu, dari masa ke masa nampaknya planning, yang posisinya "sebagai konsekuensi" atau "yang merespons" situasi politik, ekonomi, sosial harus menggeliat terus untuk menjawab tuntutan masyarakat akan tersedianya ruang yang "habitable", bagi yang kaya dan miskin, yang formal (legal, dibikin legal) maupun yang informal (para-legal). (Risfan Munir)***

Friday, October 27, 2006

Sepenggal Sejarah Kota

Jika memperhatikan beberapa kota yang punya peninggalan sites yang bagus, seperti bagian utara kota Bandung, kota Bogor, Semarang, Malang, timbul pertanyaan: sejak kapankah kota-kota itu menjadi "amburadul?" Apakah faktor-faktor penyebabnya? Atau bagaimana proses perubahan fisik tersebut terjadi?

Sebagian dari pertanyaan tersebut akan dapat dijawab oleh buku: "Kota Lama, Kota Baru; Sejarah kota-kota di Indonesia". Buku ini diterbitkan Penerbit Ombak, dengan sponsor Netherlands Institute for War Documentation dan Jurusan Sejarah UNAIR, Desember 20050 (ombak_community@yahoo.com)

Namun cakupan buku ini jauh lebih luas dari sekedar nama-nama kota di atas, yaitu mulai dari Bukittinggi di belahan barat, hingga kota pulau Buton dan Manado di belahan timur. Sejarah yang hendak diungkap adalah perubahan sebagai dampak dekolonisasi yang meliputi kurun 1930-1970.

Yang menarik, situasi uncertain seperti yang dialami pasca reformasi politik 198 dan desentralisasi saat ini repanya juga dalam intensitas yang lebih "revolusioner" pada era dekolonisasi tersebut.

Tercatat bahwa semangat merencana kota (abad 20) sebetulnya merupakan respons dari "undang-undang desentralisasi" tahun 1903, yang memberikan kesempatan kotapraja untuk merancang pembangunan kotanya, yang baru berimplikasi pada sekitar tahun 1921, antara lain dengan diterimanya proposal Thomas Karsten "Indian Town Planning".

Tercatat bahwa Karsten merencana kota lebih berdasarkan kelas sosial daripada segregsi rasial (sebelumnya selalu ada pemisahan antara warga Eropa, Cina, Arab, dan probumi). Dia juga menyediakan ruang bagi kelompok tak mampu, dengan model perkampungan.

Selama dan setelah perang kemerdekaan, tentu kota-kota telah berubah lebih cepat lagi, dengan migrasi penduduk dari wilayah pergolakan ke kota. Sehingga secara soaial, ekonomi, spasial mengalami konsekuensi perubahan tersebut. Perkampungan warga kian padat, melampaui kapasitas prasarana dan sarana yang mendukungnya.

Masa berikutnya, Orde Baru, mengenalkan dan menguatkan kecenderungan melihat ruang berdasar nilai ekonominya. Terjadilah kompetisi perolehan lahan sesuai kemampuan daya beli. Maka terjadilah pergeseran ruang-ruang publik, sarana pelayanan publik, juga perumahan yang tergusur oleh kegiatan komersial yang saling bersaing menarik minat konsumen yang itu-itu juga. Sebagian kawasan menjadi "modern", sebagian kian "deteriorate".

Pada saat ini kota-kota kita umumnya dicirikan dengan landmark yang berupa supermal, hypermart – symbol kuasa ekonomi (konsumerisme). Apakah ini pertanda sejarah baru? Kolonialisasi baru (globalisasi)? Simbol-simbol budaya lokal (alun-alun, monumen) , ekonomi lokal (pasar tradisional, dst) telah terpinggirkan. Kemana kota-kota kita setelah ini? (Risfan Munir)***

Wednesday, October 18, 2006

Yunus

M Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh menerima Hadiah Nobel. Ini menarik karena selama ini M Yunus lolos dari perhatian media barat. Seperti kata MY sendiri, ini adalah kemenangan orang miskin.

MY mulai peduli pada kaum miskin tahun 1974, ketika itu sebagai profesor ekonomi "merasa bersalah" melihat penderitaan dan perjuangan kaum miskin untuk hidup. Sebagai profesor ekonomi ia merasa terlalu arogan, mengajar teori ekonomi yang muluk-muluk, sementara di sekitarnya penduduk dibelit kemiskinan. Terketuk hatinya untuk membantu mereka dengan mencoba meningkatkan akses kepada kredit mikro, info teknologi dan deserusnya.
Grameen (Bank Desa) yang didirikan tahun 1974, diresmikan sebagai lembaga formal tahun 1983, pada saat ini memiliki 2226 cabang, di 71371 desa, malayani 6.6 juta nasabah, 94% perempuan.

Makna: ada ilmu, ada kepedulian. Kaduanya direalisasikan dengan tekad "berguru kepada orang miskin."

Kata-katanya yang menarik, bahwa dia tidak memerangi orang kaya. Tapi hanya peduli pada kaum miskin. "Ini hanya gerakan membantu orang miskin. Saya tidak peduli jika orang kaya bertambah kaya." Lalu "Saya hanya khawatir dengan orang miskin yang bertambah miskin." (Risfan Munir)

Muhammad Yunus

M Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh menerima Hadiah Nobel. Ini menarik karena selama ini M Yunus lolos dari perhatian media barat. Seperti kata MY sendiri, ini adalah kemenangan orang miskin.

MY mulai peduli pada kaum miskin tahun 1974, ketika itu sebagai profesor ekonomi "merasa bersalah" melihat penderitaan dan perjuangan kaum miskin untuk hidup. Sebagai profesor ekonomi ia merasa terlalu arogan, mengajar teori ekonomi yang muluk-muluk, sementara di sekitarnya penduduk dibelit kemiskinan. Terketuk hatinya untuk membantu mereka dengan mencoba meningkatkan akses kepada kredit mikro, info teknologi dan deserusnya.
Grameen (Bank Desa) yang didirikan tahun 1974, diresmikan sebagai lembaga formal tahun 1983, pada saat ini memiliki 2226 cabang, di 71371 desa, malayani 6.6 juta nasabah, 94% perempuan.

Makna: ada ilmu, ada kepedulian. Kaduanya direalisasikan dengan tekad "berguru kepada orang miskin."

Kata-katanya yang menarik, bahwa dia tidak memerangi orang kaya. Tapi hanya peduli pada kaum miskin. "Ini hanya gerakan membantu orang miskin. Saya tidak peduli jika orang kaya bertambah kaya." Lalu "Saya hanya khawatir dengan orang miskin yang bertambah miskin." (risfan munir)