Thursday, October 20, 2005

Warisan arsitektur kota

Menariknya, bicara planning memang bisa dari aspek social, ekonomi, spatial ataupun arsitektural. Lebih menarik karena selagi membaca tanggapan pak Wawo ini, kebetulan saya ngenap di Hotel Majapahit (ex Oranje Hotel, van de orloog). Hotel dimana peristiwa bersejarah bagi kota pahlawan Surabaya dan Indonesia, dimana arek2 Suroboyo merobek warna biru pada bendera Belanda, menjadi merah-putih.

Hasil renovasi cukup sempurna, baik interior, furniture maupun pertamanan-nya. Hanya seperti renovasi bangunan umumnya, kondisi lingkungan memang sudah berubah banyak dan kurang mendukung setting bangunan ini. Setidaknya ini mengingatkan saya pada bangunan2 publik di kota Malang hingga awal 70an, baik sekolah, rumah sakit, apotik, perpustakaan umum, hingga stasiun kota yang konsisten art-deco.

Barangkali ada era dimana kota sempat begitu “baik” seperti kota Malang, yang kompleks stadion nya terdiri dari 4 lapangan bola, 5-6 lapangan tennis, kolam renang, gymnasium, lengkap dengan bangunan2 istirahat dan cafĂ© nya.Arsitektur rumah yang congruence, site plan yang punya banyak open-space, punya banyak surprise. Jajaran pohon mahoni, saga, kenari dst. Juga Ijen boulevard dengan barisan pinang 2 lapis kiri dan kanan (di jalan Pasteur Bandung cuma satu baris, pun sudah dibabat). Ini peninggalan Thomas Karsten yang sungguh mengesankan.

Bukan itu saja, kampung2 kala itu juga tertata baik, setidaknya pola jalannya mengikuti pola tulang ikan, sehingga drainase mudah dibangun dan dipelihara (sampai saat ini).
Ada “cluster” lain, sekitar “kota lama” Malang kala itu masih banyak bangunan rumah (orang kaya/pembesar) etnis China yang luas halamannya ¼ alun2 sendiri, dikawal 4 patung singa, beberapa pohon tanjung meneduhi halaman. Konon ada belasan warga keturunan China yang punya “pangkat” begitu. Sayang semuanya saat ini sudah menjelma menjadi pertokoan (mungkin dibalik ruko2 bangunan asli masih ada).

Kalau melihat prasastinya, Hotel Oranje dibangun th 1910. Tapi saya tidak tahu, design meneer Karsten itu di kota Malang direalisir pada decade mana? Yang jelas awal 1930an kota Malang yang ditopang ekonomi perkebunan sekitarnya juga terlanda dampak malaise/great-depression, lalu mid 40an mulai pergolakan revolusi. Mungkinkah awal 50an warga Belanda berkesempatan membangun ini-itu, sebelum kebun2 dan pabrik gulanya di nasionalisir awal 60an?

Satu hal yang mudah, tapi kok tidak bisa diteruskan saat ini, yaitu menanam dan melestarikan pepohonan jalanan. Jalan Sudirman, Kuningan di Jakarta misalnya, mestinya setelah Ali Sadikin nanam angsana, perlu diikuti mahoni atau dammar yang berumur lebih panjang. Tapi kok tetap angsana, dan akhirnya ditebang juga untuk monorel. (Ecoplan)

No comments: