CD vs conventional planning approach. Ya ini adalah perdebatan panjang, di sekolah dan di lapangan.
Kalau buka teori sedikit, barangkali perlu disadari bahwa keduanya memang bertitik tolak dari paradigm yang beda. Conventional planning sifatnya lebih berdasar pendekatan kuantitatif, deduktif, lebih mengasumsikan pekerjaan planning seperti arsitek yang membuat blue-print, semua resources sudah disediakan oleh owner.
Sedang pendekatan yang berbasis partisipasi komunitas seperti CD, lebih berbasis teori yang sifatnya kualitatif, induktif (realita lapangan, masyarakat) yang spesifik. Asumsinya, tidak ada yang tahu kebutuhan dan resources setempat, kecuali warga setempat. Pendekatan ini banyak berkembang karena realita pendekatan pembangunan konvensional tidak pernah sampai menjangkau mereka.
Jadi kalau kita saling tuduh, yang satu jelek apanya, yang lain jelek apanya. Mungkin boleh saja, asal kita tahu proporsi dan peran masing2.
Pendekatan conventional planning, bagus secara konsep komprehensif, bervisi jauh ke depan, dst. (kita umumnya terdidik untuk ini). Tapi kelemahannya, rakyat setempat tidak dilibatkan dari awal. Dan yang pokok, asumsinya bahwa the owner punya resources (pemilik bangunan bagi arsitek) dalam kasus pembangunan kota umumnya tidak terpenuhi. Apalagi saat ini pemerintah selalu kesulitan pembiayaan. Sehingga menanti realisasi janji masterplan konvensional seperti ini akan berat. Dalam kasus Aceh, sudah mulai terjadi demo oleh masyarakat setempat yang tidak sabar, karena jangankan realisasi, kesepakatan pakai masterplan yang mana juga belum kunjung tuntas. Justru beberapa kegiatan di tingkat komunitas yang sudah mulai banyak membangun.
Saya kira sejak proyek2 UDP ala P3KT diluncurkan 15an tahun yang lalu, dalam guideline-nya sudah ditegaskan bahwa prasarana & sarana pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat/warga. Dengan begitu pemerintah jauh hari mengakui bahwa resources untuk membangun itu terbatas. Nah kalau begitu, boleh dong masyarakat berpartisipasi.
Apalagi saat ini hutang kita sudah sangat mencekik APBN. Hutang untuk pembangunan sebelumnya. Dan harus sangat sangat disadari, beban pokok dan cicilan hutang itulah yang antara lain membuat harga minyak dinaikkan, dan menimbulkan kesengsaraan mayoritas yang sangat nyata.
Saya kira sebagai planner juga perlu ikut memikirkan bagaimana mengurangi beban belanja negara, antara lain dengan mempertimbangkan masterplan yang menginspirasi proyek konvensional skala besar, yang haus hutang. Mungkin saat ini infrastruture kita sudah lumayan, sehingga bukan itu cara untuk menarik investor asing (kalau ini masih dijadikan alasan) Yang paling dibutuhkan adalah kepastian hukum dan keamanan. Kalau rakyat marah karena hidup sengsara, apa ya investor asing akan datang?
Namun harus disadari bahwa merencana dan membangun di tingkat komunitas juga punya keterbatasan, seperti yang dituduhkan teman2, karena makin rendah elevasi kita, jarak pandang juga tidak terlalu jauh. Tapi sekali lagi ini workable, banyak kasus menunjukkan bahwa resources masyarakat itu memadai untuk membangun lingkungannya sendiri, asal mereka ajak sebagai aktor sejak awal, asal perencana tidak merecokinya dengan standar yang dibawa dari Jakarta. Kadang2 kita buka buku arsitektur tradisional, lalu kita paksa masyarakat kembali ke tradisi. Tradisi yang mana? istana rajanya atau gubuk rakyatnya. Lha kalau gubuk, mau tradisional atau masa kini kan ya atap rumbia .........Itu tidak appropriate (ah ini istilah jaman Development Technology Center-nya pak Wawo). Harus ditanya dan dipelajari betul2 dari pola dan kebutuhan hidup mereka actual saat ini.
Sudahlah, dana tak ada, hutang kian mencekik leher, realistis saja lah. Jangan sombong anti rakyat segala, wong hutang yang diandalkan juga tidak ngucur2. Kalau sudah dikejar kreditor dengan sangsi dan tekanan lalu ngata2in IMF, WB imperialis. Tapi merencana ruang dan prasarana untuk merangsang hutang terus.
Kalau mimpi kita adalah membangun ala "kota-kota baru", disana tidak muncul masalah publiknya (dalam waktu dekat), sehingga planner tidak dibutuhkan di situ (kenyataan). Kian hari kota baru yang dibangun oleh bankers itu (bukan lagi oleh developer murni ala Ciputra lho sekarang) makin dikaitkan dengan property investor langsung dari luar negeri yang syaratnya juga membawa planner/arsiteknya dari sana. Ini juga masalah yang perlu dihadapi sebagai profesi.
Kesimpulan:
Pertama, masalah paradigma kuantitatif/deduktif vs. kualitatif/induktif itu ada dasarnya konsep dan teorinya masing2, dan panjang riwayatnya (ada ilmunya ini), jadi sebaiknya tidak kita simplify dengan "wadan-wadanan" (olok-olok) kayak anak kecil yang debat: lebih hebat mana "Superman vs Spiderman" gitu.
Kedua, mungkin justru di "ruang antara warga dan pemerintah" lah peran planner sesungguhnya dibutuhkan.
Idealnya sih kedua pendekatan itu bisa dimainkan bersama.
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
No comments:
Post a Comment