Di masa pancaroba ini, barangkali ada manfaatnya mengenang satu model ahli planologi seperti Thomas Karsten, yang jejak fisik karyanya sangat mewarnai kota2 besar di Jawa (mesti banyak diabadikan sebelum semua jadi ruko).
Karsten yang awalnya belajar teknik mesin lalu pindah ke sipil, dan belajar desain kota lewat pengalaman ternyata seorang yang kuat visi sosial budayanya. Sehingga ada sebutan social engineer. Bicara tentang Colonial Designs, mau tak mau menyebut namanya. Dalam kurun masa kerja dari 1915-1941 ia mewarnai bentuk 12 kota di Jawa, 3 kota di Sumatera, 1 kota di Kalimantan.
Meski dalam bingkai kolonial kala itu, Visi desainnya senantiasa menekankan harmoni. Ini terutama menanggapi keterpisahan kelompok warga yang berlatar belakang ras dan kelas ekonomi, yaitu antara: warga Eropa, China, dan kaum pribumi (kaya vs penghuni kampung). Ini layak dikaji karena di masa kini pembangunan "new town" tidak sudi mempertimbangkan kampung sekitar.
Bahkan sekat2 di antara kompleks antar golongan itu tidak dibuat eksplisit, tapi disamarkan dengan "a water course, a square, a grass-field, a hill and a group of trees."
Kepeduliannya pada perbaikan kampung urban, dimotivasi oleh niatnya untuk emansipasi dan character building, menyadari kebutuhan transformasi sosial-budaya kaum marginal ini untuk mengintegrasikan diri dalam harmoni masyarakat urban. Sehingga kampung layak mendapat air bersih, sanitasi yang layak.
Kalau boleh meng istilahkan "appropriate", ia memang tidak mengusung arsitektur tradisional ke kota, tetapi berusaha menghadirkan alam asli dengan banyak menyediakan "tree-lined boulevards, squares, vistas, and neighbourliness" sehingga terasa manunggalnya lingkungan buatan dengan alam sekitar. Ini masih terasa di beberapa site di kota Malang (sekali lagi cepat difoto sebelum jadi mall).
Sebagai ahli planologi Karsten juga aktif dalam polemik budaya, bahkan ikut mendirikan beberapa majalah. Pandangannya mencerminkan "Belanda yang baik", yang percaya pada harmoni dan perubahan yang berkelanjutan (bukan revolusi). Dia percaya bahwa masa depan ada pada bangsa Indonesia, karena Belanda mulai keropos akibat ekses kapitalisme yang individualistik, padahal yang dibutuhkan adalah semangat komunalisme, gotong-royong yang masih dimiliki komunitas pribumi (kala itu tentunya).
Kalau melihat setting historisnya cukup menarik, karena kala Karten berkiprah sebagai konsultan (pada Pemda dan para tuan-tanah China) terjadi tuntutan desentralisasi oleh gemeente terhadap kekuasaan pusat. Namun giliran untuk pembangunan kampung urban, gemeente minta dana dari pusat, dengan argumen bahwa kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab pusat.
Rupanya kala itu (1920an) masalah otonomi desa juga sudah ada, karena ada saat kekuasaan gemeente tidak bisa masuk ke desa/kampung. Walau segera dianulir dengan dasar necessity untuk "mendidik" komunitas pribumi.
Juga konflik antar ras/etnik rupanya juga sudah jadi masalah laten, sehingg kian menarik untuk jadi pelajaran bagaimana Karten menjawab masalah tersebut dengan desain urban yang menekankan harmoni. (Ecoplano)
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago