Begitulah realita medan kerja perencanaan saat ini. Bukan hal baru, tapi di era "dana melimpah, belum desentralisasi, situasi "governance" daerah kurang dibahas, karena dengan glontoran proyek nasional maka pembangunan kota/daerah tampak oke-oke saja. Tapi setelah otonomi daerah, dan loan tidak leluasa (beban cicilan utang mencekik) maka suasana berubah. Dan, situasi "governance" daerah jadi perhatian.
Soal peran enterpreneurship daerah saya kira presentasi Prof Tommy Firman cukup jelas. Bahwa nasib regional development era otonomi daerah sangat ditentukan kualitas leadership KDH.
Soal nasib organisasi sangat ditentukan siapa pimpinannya, saya kira di hampir semua organisasi, kecuali mungkin militer. Kenapa Lee Iacoca, Jack Welch, Cacuk, Fadel, Michael Ruslim etc terkenal karena kualitas leader memang sangat menentukan policy, gaya dan pasang/surut organisasi. Bayangkan kalau Cacuk (alm), Fadel cuma harus mengikuti pemimpin sebelumnya saja. Sehingga itu menjadi realita yang perlu diperhitungkan juga dalam advokasi rencana.
Seperti judul bukunya Mintzberg, "Rise & Fall of Strategic Planning", barangkali memang ada pasang surut antara berfikir skala luas (PJP, PJM) dan skala implementasi praktis (service management). Untuk Service delivery management banyak good-practice seperti layanan OSS (misal Solo), RSUD (Jogja), SIMPUS (Ngawi) yang disebut sebelumnya. Itu sudah mulai banyak direplikasi. Mungkin ada juga layanan cepat n tepat dalam pelayanan (advis) tata ruang yang layak diangkat dan direplikasi.
Sudah waktunya juga bagi dunia tata ruang banyak membahas aspek "pemanfaatan & pengendalian". Setelah 45 tahun berfokus pada aspek "merencana" mungkin waktunya peduli aspek pemanfaatan & pengendalian, yang tentunya mencakup manajemen pelayanan, operasional, capacity building aparat dst. [Risfan Munir, penulis buku "Penegmbangan Ekonomi Lokal Partisipatif, LGSP]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago