Wednesday, January 10, 2007

Balada Metropolitan

Metropolitan adalah sinar petromaks yang mengundang rama-rama membakar diri jadi abu; pemimpi-pemimpi mengisap candu; perawan-perawan jadi perayu; pemuda-pemuda perkasa jadi kuli-kuli berpenyakit paru-paru; gadis-gadis ayu jadi pelacur-pelacur sayu. Bahkan kiai, pendeta dan biksu disulap jadi penjual jamu.

Metropolitan adalah sinar petromaks yang menyinari penyanyi ndangdut memutar pusar, menggoyang pinggul; remang-remang lampu merah tempat para wakil rakyat melepas lelah membujuk penyoblos dengan menyoblos, seraya hambur limpahan tunjangan.

Metropolitan adalah gurita yang menghisap uang-uang menjadi hutang-hutang daerah; kemakmuran desa menjadi angka-angka agregat semu pelipur lara; penghias rapor good-boys, good-girls dimata kreditor.

Metropolitan adalah habitat para pemimpi, yang warganya hidup bersendi mimpi, menikmati mimpi, mendagangkan mimpi, menyebar mimpi lewat tivi, majalah, koran, cerita saat lebaran, natal, tahun baru, valentin day. Dan mengalirlah masuk para pemimpi, meringsek, memadati.

Metropolitan adalah raksasa yang meludahkan lumpur lapindo, sampah-sampah; menyemburkan api membakar hutan-hutan; mengundang banjir-banjir di berbagai penjuru. Hentakannya menenggelamkan kapal; melengser kereta dari rel; menyulap hilang pesawat terbang; mengusir petani dari ladang-ladangnya; tanah-tanah subur menghijau jadi gurun kering merekah-rekah.

Dan datanglah musim....

Manakala metropolitan menjadi gerbang bagi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong bermuatan uang, emas, timah, balok-balok kayu menuju tanah idaman setengah ada setengah semu, melalui Jakarta, Singapura, Hongkong, Tokyo, Los Angeles, New York, London, kembali ke Singapura, Hongkong, dst....kian juah ditelan awan....

Kemudian pawangnya akan berkata, "My dear...awan akan menjelma jadi hujan investasi, asal anak-anak bertindak baik, kondusif, kompetitif tapi patuh, demokratis tapi tidak neko-neko; rajin duduk di depan tivi, nonton acara yang disarankan, sambil makan yang diiklankan, minum yang diiklankan, pakai piyama yang diiklankan; agar kalau sakit sesuai yang distatistikan, dan minum obat yang diiklankan.”

Metropolitan adalah gerbang menyambut datangnya kontainer-kontainer yang hingar-bingar, bergemuruh membawa mobil mewah/murah, motor mewah/murah, elektronika mewah/murah, garment mewah/rejected, boytoys, girltoys, momytoys, branded goods, branded foods, branded drinks, beras penyangga, buah penyangga, pupuk penyangga...sampah B-3 penyanggah. Untuk terus ke kota besar, kota sedang, kota kecil, desa makmur, desa miskin, desa terisolir, desa tanpa nama. Gelombang demi gelombang.

Dan datanglah kemarau ....

Manakala berbaris-baris bus, microbus, truk, pick-up, gerobak ditarik kuda, ditarik sapi, ditarik manusia, sepeda motor, sepeda..masuk metropolitan dari arah matahari datang, dari arah matahari pergi, dari arah gunung, dari arah laut. Membawa laki-laki, perempuan-perempuan, gadis-gadis, anak-anak, bayi-bayi....masuk metropolitan. Yang segera menempati taman-taman, lapang-lapang, trotoar-trotoar, emper-emper. Yang segera melompati pagar-pagar, pintu-pintu. Yang kala diberi aba-aba segera mencopet, menggarong, merampok, memerkosa, ...... Gelombang demi gelombang.

Sampai di senja kala.......
Metropolitan menjadi raksasa yang kegemukan, kesesakan, gerah, lelah dan bosan, saat melepas cangkang bersalin baju longgar bernama megapolitan. (Risfan Munir)

Wednesday, January 03, 2007

Mendorong Pemda Berjiwa Bisnis

Ada buku menarik yang ditulis Sussongko Suhardjo, Pembangunan Daerah: Mendorong Pemda Berjiwa Bisnis, Penerbit PantaRei, Jakarta , 2006.

Buku ini bermaksud menyadarkan para kepala daerah akan penting nya memikirkan dan mengembangkan daerahnya sebagai layaknya pengusaha. Bervisi bisnis.

Ini didorong kesadaran akan realita keterbatasan sumber daya: tantangan globalisasi, tantangan dana yang terbatas, sumber daya alam yang kian terkuras, sementara SDM yang potensial sifatnya mobile atau mudah migrasi ke daerah yang lebih memberi peluang. Sehingga mau tak mau Pemda harus mengembangkan competitive advantages dari pada sekedar comparative advantages seperti selama ini.

Diawali dengan menguraikan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi (makro, mikro) dalam konteks daerah. Kebijakan dan program pengembangan ekonomi, yang mengarahkan bagaimana mengembangkan multiplier effect dari basis ekonominya.
Evolusi dari kebijakan Pemda di berbagai negara dirngkas menjadi tiga kategori:
Menarik perusahaan dari daerah lain;
Mempertahankan dan memperluas perusahaan yang ada
Mendorong pendirian perusahaan baru.
Sedangkan untuk menjelaskan metode pengembangan ekonomi daerah Sussongko mengidentifikasi setidaknya ada sebelas (a to k) kategori kiat yang diterapkan di berbagai negara.

Salah satu kasus menarik yang dicontohkan dalam menanagni masalah perburuhan, dikaitkan dengan tujuan: "mempertahankan dan memperluas kegiatan ekonomi yang ada." Seperti kita ketahui masalah buruh ini dilematis. Di satu sisi pemda perlu "mengundang dan mempertahankan investasi", di pihak lain ada tuntutan perbaikan "kesejahteraan buruh", yang di negara kita dsederhanakan dengan menaikkan UMR.
Ketentuan naiknya UMR itu seperti "mengadu-domba" pengusaha yang sedang kesulitan karena kondisi ekonomi melemah, dengan buruh yang biaya hidupnya meningkat karena inflasi (naiknya harga BBM). Kebijakan gampangan ini seperti "mengadu domba" sopir bus kota yang dikejar setoran, dengan siswa yang diberi discount separuh harga.

Kiat yang dicontohkan adalah yang dilakukan Gubernur Texas, 1993, kepada GM yang berencana menutup pabriknya di Ypsilanti dan Arlington, TX, yang berisiko 21.000 orang kehilangan pekerjaan belum termasuk multipliernya. Paket konsesi yang diberikan begitu meyakinkan, sekaligus memperbaiki hubungan perusahaan dengan buruh yang lebih kondusif (hlm 55). Di beberapa negara memberikan keringanan pajak, agar dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan atau meningkatkan keterampilan buruh sehingga gaji naik karena kompetensinya meningkat (hlm 59).
Contoh kerjasama dengan LSM untuk mengatasi masalah perburuhan ini juga ditunjukkan dengan contoh inisiatif Quest (jaringan 60 organisasi swadaya, swasta, pendidikan) yang melatih untuk peningkatan kompetensi karyawan sehingga mereka memperoleh pendapatan lebih baik (hlm 101).

Pada intinya masalah perburuhan bukan sekedar UMR. Sektor swasta tak bisa hanya ditodong untuk menaikkan UMR, apalagi saat kondisi sulit, tanpa dukungan kebijakan lain, misalnya dalam peningkatan keterampilan, pengadaan rumah pemondokan murah, yang merupakan pengeluaran buruh yang cukup besar.
Pemda yang berjiwa bisnis tentunya tidak membebani atau memungut "retribusi" di segala bidang, lalu menaikkan UMR. Karena lucu klau gembar-gembor mengundang investor dari luar (FDI), tapi yang sudah ada tidak dipelihara. Seperti "mengharap burung di awan, merpati di tangan dilepaskan."
Tentu saja bukan hanya kiat perburuhan yang dibahas di buku ini, dan bukan hanya dari negara maju. Metode, kiat-kiat, siasat dan good-practices yang pernah dilakukan oleh berbagai daerah di beberapa negara (Filipina, India, Kenya, Columbia, dst) juga ditampilkan untuk jadi inspirasi. Inilah nampaknya kekuatan buku ini yaitu variasi contoh-contoh inovasi yang dilaksanakan oleh banyak daerah.

Barangkali kalau disebut kekurangannya adalah hampir tidak adanya contoh good-practices yang dilakukan oleh beberapa (kepala) daerah di nusantara, seperti Gubernur Gorontalo, Gubernur DIY, Walikota Tarakan, dst. Dan daerah-daerah yang peringkatnya tertinggi dalam mengembangkan daya-saing versi KPPOD.

Saya kira ini Buku ini juga mengingatkan para perencana agar tidak hanya terpaku pada masalah perencanaan tata ruang, tetapi sisi pelaksanaan pembangunan daerah dalam kondisi sumber daya terbatas nampaknya juga perlu menjadi agenda utama. Banyak RPJMD yang masih utopis dalam visi, misi nya, karena tanpa dilengkapi dengan antisipasi sumber daya yang dipunyai atau akan dikembangkan (Risfan Munir).

Kota tanpa Warga

Kota tanpa warga

Melanjutkan obrolan sejarah, ada berita bagus, minggu lalu di Gramed saya nemu buku baru Jo Santoso, (Menyiasati) Kota tanpa warga, terbitan Gramed (KPG) dan Centropolis Untar.

Sejarah kota Surabaya sebagai satu kasus diulas cukup lengkap (Bab 5 dari 6 bab). Dari perluasan built-up-area sejak era Majapahit hingga kini, peristiwa2 politik, masuknya pengaruh teknologi transportasi (mobil, trem) yang tentunya cukup revolusioner untuk masa sesudahnya. Asyik karena dilengkapi denah,dan foto2 terutama dari era kolonial, heroism kota pahlawaUnsur, termasuk icon Sukarno yang pernah di HBS dan nyantrik di rumah HOS Cokroaminoto.

Rasanya kalau dibaca mundur dari bab terakhir ke depan ini seperti buku sejarah kota2, mulai dari pra sejarahselain Surabaya ada Banten. Dari kampung atau desa yang "utuh", menuju prahara metropolis yang disebut kota "tanpa warga" itu.

Namun kalau dibaca dari depan alurnya seperti cerita Agatha Christy, banyak pertanyaan2 muncul di kepala kita. Dan clue dari apa itu "kota tanpa warga" baru terbuka dari halaman 215 (dari 239 halaman).

Proses mengkota (urbanisasi) nampaknya memang perjalanan abadi. Upaya menata ruang yang liveable, yang memungkinkan warganya bersosialiasi baru berhasil sebagian di tingkat kuarter (kampung), belum pada tingkat kota. Di banyak kampung, lingkungan, warga (kota) sudah mulai guyub, sebagian karena sejarah kampung-kampung kita tumbuh karena ikatan etnis, asal daerah. Di tingkat kota, disaggregasi masih jadi masalah. Perkelahian antar kampung masih kambuhan, juga sentimen etnis masih latent.

Salah satu sebab yang diulas, karena minimnya ruang publik di perkotaan. Sementara ruang publik yang ada, didoninasi oleh kepentingan bisnis dan penguasa. Belum lagi mengkota, prahara globalisasi dengan segala kekuatannya sudah menimpa kota tanpa warga itu.

Tapi bukan perencana namanya kalau tidak mencoba memberi solusi. Ada tiga strategi yang ditawarkan menyongsong pengembangan kota yang berkelanjutan.

Membaca buku ini rasanya mengajak napak tilas perjalanan kita sebagai perencana/arsitek, yang katanya punya misi mengembangkan liveability, habitability, yang kadang optimis, kadang kecewa, kadang setia, kadang berdalih (Risfan Munir)