Masih tentang dashboard planning, saya pikir karena masih banyak dari kita yang berfikir ala "blue-print planning," sehingga timbul kecewa tatkala cetak birunya tidak dilaksanakan.
Dengan banyak terlibat dengan teman-teman yang memainkan "governance" (pola hubungan pemda - masyarakat), saya jadi belajar bahwa "rencana" setelah lepas dari garapan teknis planner, bertransformasi dari “produk akademis” menjadi "dokumen publik", dengan kata lain "dokumen politik." Sehingga nasibnya menjadi "bola" yang dimainkan oleh para aktor, stakeholders, atau kelompok-kelompok kepentingan. Sampai menjadi suatu "produk hukum" setelah disyahkan sebagai peraturan daerah.
Planner tentu bisa dan bertanggung-jawab untuk "mengawal," atau mengadvokasi, tapi perannya hanyalah sebagai nara sumber, atau dengan kelompok profesi sebagai salah satu stakeholder. Pemahaman ini saya pikir penting, disinilah zona kritis perbedaan antara perancang "rumah pribadi" dengan perencana kota/wilayah (publik).
Sebagai perencana yang menerima kontrak, tugas selesai saat rencana disetujui bowheer, namun sebagai planner (intelektual?) maka misi profesinya untuk mengawal, mengadvokasi amanat "rencana" jalan terus. Mungkin ini makna "pemanfaatan, pengendalian" dalam UUPR.
Tentunya planner bukan cuma konsultan, sebagian besar planner adalah birokrat, sesuai posisinya (di Bappeda, Tata Kota, Dinas Cipta Karya) berperan resmi dalam "pemanfaatan, pengendalian" tersebut.
Namun demikian, terlepas dari dimana mereka bekerja tentu bisa membawa misi planning menciptakan lingkungan yang habitable, dan mengurangi kesenjangan dalam akses kepada pelayanan publik.
Disinilah sekali lagi perlunya "dashboard planning," sebagai exercise si planner untuk senantiasa memantau perkembangan, membaca trend, untuk bisa mengantisipasi dan memberi masukan kepada pemerintah (daerah) dan masyarakat, mengusulkan langkah pengendalian, memberikan peringatan (early warning) supaya tahu risiko kegiatan pembangunan kota/wilayah yang melenceng. Mengkomunikasikan via media massa, ke kelompok profesi lain, kelompok masyarakat yang kena dampak, pembuat masalah, dst, dan tentu saja kepada legislatif.
Sekali lagi, dengan RUTR sebagai pedoman, sebagai roadmap. Lalu analisis dan pertimbangan situasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi serta perkembangan lingkungan hidup sebagai faktor yang dipantau, dideteksi, diantisipasi untuk mengisi/menyarankan arah tata-ruang yang dinamis pada level lebih detail.
Sebagai misal, mempertimbangkan masalah ekonomi, pengangguran, kemiskinan yang tinggi, bagaimana saran planner terhadap peralihan land-use dari perumahan ke perdagangan (perbelanjaan) di kawasan Cihampelas, Dago dan jalan Riau di Bandung? Ada konflik antara kepentingan sosial ekonomi vs konservasi lingkungan bersejarah. Apalagi dengan lancarnya jalan Cipularang, sesuai hukum (T=P1xP2/d) maka arus pelancong belanja dari Jakarta kian besar. Memanfaatkan momentum untuk meraih manfaat ekonomi, atau konservasi? Ada pilihan kepentingan, tapi ada juga pertimbangan kelayakan untuk dilaksanakan. Melawan arus, atau memanfaatkan arus tapi secara smart. Termasuk proyeksi atau skenario seberapa sustainable trend "factory outlet" itu berlangsung. Lalu, Apa saran planner? (Risfan Munir)
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago
1 comment:
Masih banyak planner yang menyusun Rencana Tata Ruang Cuma Sekedar Cari Proyek, Kedepan hal ini harus dibenahi bersama, Kalau rencananya saja udah salah gimana kira2 implementasinya?
Post a Comment