Metropolitan adalah sinar petromaks yang mengundang rama-rama membakar diri jadi abu; pemimpi-pemimpi mengisap candu; perawan-perawan jadi perayu; pemuda-pemuda perkasa jadi kuli-kuli berpenyakit paru-paru; gadis-gadis ayu jadi pelacur-pelacur sayu. Bahkan kiai, pendeta dan biksu disulap jadi penjual jamu.
Metropolitan adalah sinar petromaks yang menyinari penyanyi ndangdut memutar pusar, menggoyang pinggul; remang-remang lampu merah tempat para wakil rakyat melepas lelah membujuk penyoblos dengan menyoblos, seraya hambur limpahan tunjangan.
Metropolitan adalah gurita yang menghisap uang-uang menjadi hutang-hutang daerah; kemakmuran desa menjadi angka-angka agregat semu pelipur lara; penghias rapor good-boys, good-girls dimata kreditor.
Metropolitan adalah habitat para pemimpi, yang warganya hidup bersendi mimpi, menikmati mimpi, mendagangkan mimpi, menyebar mimpi lewat tivi, majalah, koran, cerita saat lebaran, natal, tahun baru, valentin day. Dan mengalirlah masuk para pemimpi, meringsek, memadati.
Metropolitan adalah raksasa yang meludahkan lumpur lapindo, sampah-sampah; menyemburkan api membakar hutan-hutan; mengundang banjir-banjir di berbagai penjuru. Hentakannya menenggelamkan kapal; melengser kereta dari rel; menyulap hilang pesawat terbang; mengusir petani dari ladang-ladangnya; tanah-tanah subur menghijau jadi gurun kering merekah-rekah.
Dan datanglah musim....
Manakala metropolitan menjadi gerbang bagi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong bermuatan uang, emas, timah, balok-balok kayu menuju tanah idaman setengah ada setengah semu, melalui Jakarta, Singapura, Hongkong, Tokyo, Los Angeles, New York, London, kembali ke Singapura, Hongkong, dst....kian juah ditelan awan....
Kemudian pawangnya akan berkata, "My dear...awan akan menjelma jadi hujan investasi, asal anak-anak bertindak baik, kondusif, kompetitif tapi patuh, demokratis tapi tidak neko-neko; rajin duduk di depan tivi, nonton acara yang disarankan, sambil makan yang diiklankan, minum yang diiklankan, pakai piyama yang diiklankan; agar kalau sakit sesuai yang distatistikan, dan minum obat yang diiklankan.”
Metropolitan adalah gerbang menyambut datangnya kontainer-kontainer yang hingar-bingar, bergemuruh membawa mobil mewah/murah, motor mewah/murah, elektronika mewah/murah, garment mewah/rejected, boytoys, girltoys, momytoys, branded goods, branded foods, branded drinks, beras penyangga, buah penyangga, pupuk penyangga...sampah B-3 penyanggah. Untuk terus ke kota besar, kota sedang, kota kecil, desa makmur, desa miskin, desa terisolir, desa tanpa nama. Gelombang demi gelombang.
Dan datanglah kemarau ....
Manakala berbaris-baris bus, microbus, truk, pick-up, gerobak ditarik kuda, ditarik sapi, ditarik manusia, sepeda motor, sepeda..masuk metropolitan dari arah matahari datang, dari arah matahari pergi, dari arah gunung, dari arah laut. Membawa laki-laki, perempuan-perempuan, gadis-gadis, anak-anak, bayi-bayi....masuk metropolitan. Yang segera menempati taman-taman, lapang-lapang, trotoar-trotoar, emper-emper. Yang segera melompati pagar-pagar, pintu-pintu. Yang kala diberi aba-aba segera mencopet, menggarong, merampok, memerkosa, ...... Gelombang demi gelombang.
Sampai di senja kala.......
Metropolitan menjadi raksasa yang kegemukan, kesesakan, gerah, lelah dan bosan, saat melepas cangkang bersalin baju longgar bernama megapolitan. (Risfan Munir)
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago