Sunday, June 25, 2006

Hernando de Soto

Misteri Kapital, judul buku yang ditulis Hernando de Soto ini. Membaca Pendahuluan nya sudah kelihatan arah sekaligus kekuatan de Soto. Bahwa ada misteri mengapa di dunia ketiga ini, begitu banyak orang berusaha, berkerja keras, bertani, berproduksi, berdagang, banyak kerya seni dan kerajinannya yang diakui dunia, resourcesnya pun berlimpah, namun mengapa hasilnya begitu-begitu saja, tidak berhasil menjadi pilar kapital.

Yes, that's a big question: Why capitalist is hard to success in outside the current rich country? The West always said that because of working ethic, culture, religion, IQ, etc. But de Soto discover that the problem is "the mystery of capital." (risfan munir)

Wednesday, June 21, 2006

Koto Gadang

Koto Gadang adalah heritage, kota kecil yang konon dibangun sekitar tahun 1920an, setelah ada gempa yang menghancurkan rumah-rumah penduduk. Dicanangkan sebagai heritage karena warisan arsitekturnya menjadi monumen bangunan dan kota yang khas. Dia tidak tahu gaya apa, tetapi kalau dilihat merupakan perpaduan arsitektur kolonial dan bentuk atap, panggung rumah tradisional Minangkabau.
Kalau kita datang melalui Ngarai Sianok, melalui jalan terjal berkelok-kelok akan kian terasa suasana perdesaan lama Minangkabau.
Melihat banyaknya bangunan bata seperti di atas, mengesankan bahwa pada masa itu Koto Gadang memang dihuni oleh orang mampu. Hal ini diperkuat oleh kenyataan di sekitarnya persawahan yang subur.Menurut sopir yang berinisiatif sebagai penunjuk jalan, Emil Salim masa kecilnya sempat tinggal di situ.
Melihat masjid Koto Gadang, sy jadi teringat cover majalah Islam Panji Masyarakat pada tahun 1960annya, yang menampilkan foto masjid-masjid di seantero Sumatera Barat. Tentu saja karena pemiliknya adalah buya Hamka.
Ya, menyebut nama-nama intelektual asal Sumbar seperti Emil Salim, Hamka, St Syahrir, KH Agus Salim, Syafrudin Prawiranegara, M Hatta, dst., dia jadi bertanya bagaimana tradisi intelektual yang tinggi itu bisa tumbuh subur di Sumbar. Tetapi sekaligus juga muncul pertanyaan, mengapa kemudian mereka, atau sebaliknya apakah itu karena mereka kemudian, meninggalkan daerahnya.
ZS menjelaskan bahwa lahirnya banyak intelektual terkemuka itu karena tradisi keilmuan, diawali dengan ilmu agama telah berakar lama. Membaca dan membahas ilmu menjadi kebiasaan. Menuntut ilmu menjadi prioritas setiap orang, dan mereka mendorong putra-putrinya untuk sekolah setinggi-tingginya.
Ini mengingatkan dia pada Iskandar Alisyahbana yang meyakini: kuasai ilmu terkini - terapkan, innovasi - bisniskan sehingga menyejahterakan - kuasai ilmu lebih tinggi, dst.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana tradisi meningkatkan kualitas hidup melalui penguasaan & inovasi Iptek ini bisa dihidupkan sebagai tradisi masyarakat. Untuk melawan tradisi "short-cut" yang hanya menciptakan rent-seekers alias calo.***

Gembong LSM

Suara teriakan sudah habis,Jurus2 legal yang ditempuh sudah kalah,Masa yang dikerahkan juga sudah sukses mengulingkan penguasa lama, sekaligus menobatkan tirani baru,
Apa lagi ...?Berpartai? lewat jalan politik? "ada uang ada masa" krn momentum rakyat marah sdh lewat,
Alternatif lain, kembali berkiprah praktis, "small is beautiful", bikin proyek perbaikan lingkungan, menulis buku, peduli ini-itu, sambil membina kader.

Friday, June 02, 2006

Bencana Alam Jogya dan Klaten

Musibah bencana alam gempa bumi Sabtu tanggal 27 Mei 2006.Gempa bumi yang terjadi di Jogya (Bantul) dan Klaten.

Mendengar lagu Indonesia Jaya dan Padamu Negeri pada malam peringatan kelahiran Pancasila yang ke 61, dada terasa bergetar, penuh haru. Sudah lama kita hanya mengutuk kebobrokan birokrasi, ulah politikus, korupsi, memburuknya pelayanan publik, membuat kita menjadi sinis kepada bangsa sendiri.

Tapi dihadapan bencana alam yang menyebabkan penderitaan besar bagi sebagian anak bangsa, terasa benar panggilan untuk "bersama kita bisa." Bahu membahu memperbaiki kondisi kehidupan saudara2 yang susah, dan masa depan bersama.**

Era Ideologi Besar Sudah Mati?

Apakah pikiran2 besar saat ini memang sudah bukan jamannya lagi. ataukah optimisme orang, termasuk intelektualnya atas kemanjuran ide-ide besar atau ideologi sudah surut? Yang tinggal hanya ideologi kapitalisme yang kian masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan.Yang disponsori oleh lapisan yang berduit, bermodal, dan dibela, dipertahankan oleh lapisan menengah yang ikut menikmati kenyamanan hidup.

Masalahnya siapa yang membela lapisan bawah, lapisan miskin, lemah, informal di perkotaan dan di daerah perdesaan. Saat ini ketimpangan, gap, kian menganga lebar. Kondisi ekonomi mereka kian hari kian parah. Kebangkrutan usaha lokal, menimbulkan kian meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, dan berbagai dampak negatifnya.
Sementara itu sistem keuangan lokal, wilayah, nasional semakin didesak untuk terintegrasi (tanpa reserve), menimbulkan arus capital outflow secara kontinyu. Akumulasi modal dari tabungan atau surplus yang kian menipis itu secara kontinyu mengalir ke luar daerah, keluar negeri, dan hanya dapat dimanfaatkan oleh sistem ekonomi (sektor riil) lokal, daerah hanya sedikit.

Namun hanya berapa persen dari intelektual, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang punya interest kesana? Umumnya orang lebih cenderung pragmatis saja, sambil melempar kesinisan, kepahitan akan apa yang terjadi.
Perhatian orang sekarang lebih banyak ditujukan kepada bidang politik, namun bukan politik untuk mencari alternatif solusi, tetapi sekedar persaingan antar partai, antar calon kepala daerah, presiden.

Massa yang hidupnya kian sulit bukan diajak untuk memperbaiki nasibnya secara praktis, realistis dalam memanfaatkan sumberdaya dan peluang yang tersisa, tetapi malah diajak berilusi bahwa kalau partai, atau tokohnya menang maka segala yang dicitakan akan jadi kenyataan, tanpa diberi tahu konsepnya dalam mengatasi masalah.
Kaum intelek, aktivis LSM, yang katanya peduli, sekarang lebih asyik mengurus politik dari pada perbaikan sistem ekonomi lokal, rakyat.**