Yang saya tangkap dari diskusi sementara ini masalahnya adalah:
- Trust. Legalisasi diperlukan karena persoalan trust. Pada komunitas kecil dimana tingkat kepercayaan antar anggotanya terjaga, mungkin legalisasi atau surat2an tidak diperlukan. Tapi begitu ada kebutuhan interaksi dan transaksi dengan pihak di luar kelompok, masalah nya akan lain. Belum tentu fihak luar itu percaya tanpa adanya jaminan. Jaminan bisa surat, bisa dari tokoh yang dipercaya, atau reputasi kelompok. Masalahnya (dalam kasus kredit) uang yang akan dipinjamkan kan milik masyarakat pula. Selama hidup masih di lingkungan komunitas sendiri mungkin legalisasi, sertifikasi bisa tidak diperlukan,
- Pilihan mau masuk pasar atau tidak. Seperti dalam regional planning, kalau pilihannya "territory closure", mencukupkan diri dengan sumber daya lokal (komunitas) mungkin integrasi dengan sistem ekonomi regional/nasional/global tak diperlukan. Tapi kalau pada level tertentu perlu transaksi dengan "pihak luar", maka perlu berintegrasi ke sistem ekonomi yang melibatkan orang/fihak yang tidak kenal secara pribadi (face to face). Maka soal trust perlu dijamin oleh sesuatu yang legal, entah apakah itu berarti juga formal.
Soal perlunya kehati-hatian, baik untuk de Soto, M Yunus, atau best-practices yang lain tentunya harus disikapi secara wajar. Seperti best-practice umumnya, perlu dilihat prasyarat keberhasilannya. Masing-masing punya keunggulan, tapi juga persyaratan yang mesti disesuaikan dengan tujuan dan kondisi lingkungan setempat. Grameen bank misalnya, hampir 100% penerima kreditnya perempuan, itu karena kepedulian pada perempuan, atau justru itu syarat suksesnya? Trust terbentuk melalui komunitas perempuan itu. Karena di Bogor pernah dicoba diterapkan di beberapa komunitas, yang banyak anggota laki-laki nya kolektibilitasnya lebih rendah, karena pria lebih mobile, banyak yang pindah ke kota (atau juga karena pria lebih suka ngemplang?). Pada komunitas lain barangkali trust dibangun melalui ikatan keagamaan, etnis atau lainnya.
Risiko 'runtuhnya kemandirian' tampaknya ada disemua pilihan. Integrasi ke pasar (bebas) dalam kondisi timpang, bisa membuat capital komunitas tersedot gurita kapitalis. Tapi mengandalkan trust dalam sistem informal juga bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus hubungan informal sangat mengandalkan tokoh pemimpin komunitas, yang kharisma, tapi mudah mengarah kepada retorika "one man show". Sehingga 'kemandirian/ keberdayaan' anggota lalu kelompok menjadi korban juga. Gejala ini bukan hanya pada komunitas tradisional, tapi bisa melanda juga pada Big NGO (yang modern). Kalau ini yang terjadi, maka untuk menjamin "one man, one vote" mungkin tetap diperlukan hubungan intern organisasi, (juga kartu suara) yang formal. Kalau tidak, hilang pemimpin hilang pula trust diantara anggota. Apakah begitu?
Yang ingin saya katakan, menjadi formal atau tetap informal, melegalisir atau tetap extra legal, masuk sistem pasar atau 'territory closure', adalah pilihan atau srategi si warga sendiri.
@@@ (Risfan Munir)