ACFTA UKM
Perjanjian ACFTA sudah disepakati sejak lama, yang belum tinggal rincian implementasinya. Beberapa item produk minta pengunduran waktu, karena belum siap.
Namun lambat atau cepat implementasi ACFTA sudah tidak bisa dihindari, tinggal bagaimana kita menyiapkan diri menghadapi dan memanfaatkan "peluang"nya.
Sistem ekonomi regional dan global kian menyatu, sekat antar negara kian menipis, sehingga membatasi arus modal, barang, jasa dan tenaga kerja antar negara sudah hampir tak mungkin.
Hampir takmungkin membendung arus pencari kerja dari Indonnesia ke negeri jiran. Sementara warga Malaysia juga kian banyak berwisata ke Brastagi, D. Toba, mengisi hotel-hotel di Bandung, belanja di FO, atau memborong barang di Tanah Abang, Mangga Dua, pasar Aur Kuning Bukittinggi.
Begitu juga ketidak-mungkinan membatasi arus barang murah dari RRC. Mulai dari mainan anak-anak, pakaian, elektronik, handphone, computer, motor buatan RRC yang harganya murah itu sudah ada di tangan kita di rumah kita. Meskipun tarif bea masuk belum dibebaskan.
Fenomena China
Masuknya naga raksasa tidur itu ke WTO segera merubah landskap ekonomi dunia. Penduduk lebih dari 1M itu menggiurkan sebagai pasar bagi produk negara maju. Mereka berbondong memanfaatkan peluang. Maka mengalir pula modal investasi untuk membuka pabrik-pabrik untuk memperpendek rantai produksi - pemasaran. Hal ini mejadi mesin yang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi RRC.
Sementara RRC dari dulu memang sudah terkenal dan punya basis industri sederhana.
Buruh murah dalam jumlah yang tak tertandingi, pengendalian politik yang ketat, pengendalian nilai mata uangnya dari fluktuasi nilai mata uang dunia, dan pembukaan kawasan zona ekonomi khusus, merupakan bagian dari strategi sukses dalam pengembagan ekonominya.
Semua itu menjadikan RRC di posisinya sekarang sebagai negara penyedot FDI terbesar, produsen barang termurah dalam jumlah terbesar untuk banyak jenis produk, tapi juga pengimpor terbesar pula untuk input bahan mentah.
Implikasinya bagi Ekonomi kita?
Implikasi pertumbuhan ekonomi RRC sudah kita alami. Dampak membanjirnya barang murah sudah dirasakan para produsen. Hanya kesadaran kita baru tersentak setelah tenggat pemberlakuan 'bebas bea masuk' tahun 2010.
Pada sisi lain, investasi dari nagara itu juga semakin sering mengisi berita. Baik investasi dalam pengembangan SDA, terutama migas, maupun pembangunan infrastruktur jalan raya.
Apa Daya Kita?
MEMBENDUNG arus barang dari sana jelas tidak bisa, karena terbukti konsumen kita menyambut 'barang harga murah' dengan penuh semangat. Ingat pengecer HP yang kewalahan pembeli di sebuah Mal. Sementara Barat, Jepang mengiming-imingi konsumen dengan iklan teknologi baru seperti blackberry, RRC menyediakannya dengan harga terjangkau.
MEMBATASI mungkin masih bisa. Ide sesaat yang muncul adalah standar nasional sebagai 'barrier' agar tidak semua barang bisa masuk seenaknya. Tapi ini sangat bergantung sistem kita, terutama birokrasi yang lambat. Bisakah disusun dalam waktu cepat.
MENYAINGI untuk produk dari RRC, terutama untuk items tertentu, dimana kreatifitas lokal (industri kreatif) kita sangat berperan. Ini mungkin peluangnya. Apalagi kalau bisa dikaitkan dengan industri pariwisata. Justru warga RRC bisa jadi konsumen yang potensial.
Untuk yang terakhir itu peran Pemda (kota, wilayah) sangat besar. Bagaimana bisa mendorong dan memberi kemudahan bagi pelaku ekonomi kreatif, terutama UMKM, agar bisa meningkat keberdayaannya dalam waktu lebih cepat.
[Risfan Munir]
HUMAN-CENTERED DESIGN THINKING #1
4 years ago